Oleh : Iwan Mahmud Al-Fattah
Salah satu kajian menarik dalam sejarah Islam di Indonesia adalah pembahasan tentang sejarah keberadaan tentara-tentara Jepang yang beragama Islam pada masa penjajahan Jepang, sekalipun penjajahan Jepang itu singkat, namun selama waktu 3 tahun ini seolah seperti ratusan tahun saja karena kekejaman mereka yang tiada tara. Boleh ditanyakan kepada mereka yang masih hidup bagaimana kejamnya tentara-tentara Jepang ini. Mereka sangat buas dan brutal terhadap bangsa jajahan apalagi terhadap wanita, sudah tak terhitung korban wanita yang diperlakukan tidak senonoh dan tidak manusiawi, belum lagi sifat mereka yang ringan tangan dan mudah membunuh. Namun disamping kekejaman mereka, ada sisi lain yang menarik untuk dibicarakam terutama pada strategi politik yang mereka terapkan untuk mendapatkan simpati massa, yaitu mereka melakukan propaganda-propaganda bahwa Jepang sangat menaruh perhatian besar pada masyarakat Islam. Bayangkan ditengah kekejaman mereka pada rakyat Indonesia, bangsa yang dikenal harakirinya dalam berperang ini ternyata melakukan strategi politik Islam yang nantinya justru bisa menjadi “senjata makan tuan”.
Apapun propaganda yang dilakukan Jepang pada masa penjajahan motifnya tetaplah politik. Strategi politik mereka dalam mengambil umat Islam itu bahkan sudah dilakukan sebelum mereka memasuki wilayah Indonesia. Sebagai bangsa yang saat itu sedang berjaya karena berhasil menahlukkan banyak negara terutama di wilayah Pasifik dan Asia Tenggara Jepang tidak serta hanya bertujuan langsung menguasai sebuah negara. Jauh sebelum mereka melakukan expansi, tim-tim riset atau inteligen mereka sudah lebih dahulu masuk kebeberapa negara yang akan mereka caplok, kultur, bahasa, perekonomian, idiologi pasti sudah mereka pelajari jauh-jauh. Sebelum tentara mereka masuk, sudah tentu tim-tim yang sudah lebih dahulu masuk melakukan propaganda awal dengan mengatakan bahwa Jepang adalah bangsa yang baik dan memberikan solusi. Dan salah satu keberhasilan mereka kita bisa lihat saat Jepang mendarat di Indonesia, sambutan masyarakat gegap gempita karena bisa jadi intel-intel mereka telah berhasil memainkan informasi yang ada.
Perlu diketahui bahwa sebelum masuknya Tentara Jepang di Indonesia, Jumlah masyarakat Jepang di Indonesia itu sudah banyak. Menurut Sahajudin, keberadaan orang Jepang di Indonesia pada masa Hindia Belanda memperlihatkan keseriusan Jepang untuk menguasai Indoneisa sebagai negara yang sangat kaya. Hipotesa itu tidaklah berlebihan, karena arus emigran Jepang semakin meningkat dari abad ke abad. Kalau abad XVII hanya mencapai 30 orang, memasuki abad XX telah mencapai ribuan orang. Emigran Jepang memang meningkat tajam ke Hindia Belanda pada awal abad XX, golombang kedatangan terbagi dua fase: pertama, terjadi pada awal pemerintahan Meiji (tahun 1868) sampai akhir tahun 1910-an, porstitusi merupakan mayoritas kegiatan orang Jepang, terutama ke Jawa; fase kedua, awal tahun 1910-an sampai 1930-an yang mayoritas kegiatan orang Jepang adalah pemilik toko. Emigran ini meningkat terus, tercatat bulan November 1920 jumlah emigran Jepang di Hindia Belanda sudah mencapai 4.148 orang dan menjadi 6.600 orang pada tahun 1939. Jepang juga telah membentuk suatu departemen propaganda yang disebut Sendembu (Departemen Propaganda) yang memiliki tugas dan fungsi untuk mempengaruhi dan meyakinkan rakyat.
Menjelang kedatangan pendudukan Jepang, departemen ini juga memanfaatkan ramalan Jayabaya yang mengisukan akan datangnya juru selamat berkulit kuning. Bahkan ntuk menarik perhatian pemimpin umat Islam Timur Tengah, pada tanggal 5-29 November 1939, Jepang mengadakan Pameran Islam di Tokyo dengan sasaran umat Islam Indonesia. Demikian pula, diundang pemimpin MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), suatu organisasi federasi Islam yang telah berdiri pada akhir masa pemerintahan kolonial Belanda.
Selama berada di Jepang, para ulama dan pimpinan partai politik Islam diberlakukan terhormat. Sebaliknya, perlakuan pemerintah kolonial Belanda terhadap ulama atau pimpinan partai Islam di Indonesia sangat berbeda jauh dan selalu bersikap menindas. Sejak semula Jepang telah menyadari akan besarnya pengaruh ulama sebagai pimpinan Islam di tengah-tengah rakyat Indonesia. Oleh karena itu, sejak awal Jepang berada di Indonesia, mereka berupaya menarik simpati para pimpinan Islam yang dilakukan secara intensif. Jepang sangat menyadari bahwa Islam merupakan salah satu sarana terpenting untuk langkah infiltrasi guna menanamkan pengaruh dan pikiran serta cita-cita fasisme mereka. Terlebih lagi, pada awal kedudukannya Jepang juga membentuk Shumubu (Kantor Departemen Agama) di ibukota, dan pada tahun 1944 dibuka cabang-cabangnya di seluruh Indonesia dengan nama Shumuk. Pada awalnya, badan ini diketuai oleh seorang Jepang bernama Kolonel Horie Choso (1942), kemudian digantikan oleh Prof. Husein Djajaningrat, dan kemudian K.H. Hasyim Asy’ari (1944). Pemerintah Jepang juga mengadakan pelatihan penghulu, urusan-urusan kenegaraan, dan lain sebagainya. Untuk menarik simpati umat Islam, Jepang menerima permintaan para ulama untuk tidak membubarkan MIAI. Dengan tidak dibubarkannya MIAI Jepang memperoleh simpati umat Islam. Karena MIAI merupakan wadah organisasi penting bagi umat Islam untuk melakukan konsolidasi dan mengatur siasat mengadapi penguasa pendudukan Jepang. Namun demikian, adanya dekrit yang dikeluarkan oleh pemimpin Jepang di Indonesia, Jendral Immamura.
Puncak dari keberhasilan itu semua adalah saat tentara Jepang mendarat di Indonesia, rakyat Indonesia di semua menyambutnya dengan gembira dan merasa bersyukur telah dibebaskan dari belenggu penjajahan Belanda. Secara spontan rakyat Indonesia mengibarkan bendera kebanggaan mereka yaitu bendera merah putih disepanjang jalan yang dilalui oleh bala tentara Jepang sebagai ucapan selamat datang kepada “Sang Tentara Pembebas”.
Saat Perang Dunia II, kelompok militer di Jepang melalui pendirian pusat pusat studi untuk mengkaji Islam dan Dunia Muslim. Pilot-pilot tempur Jepang yang pergi ke negara-negara Asia Tenggara sebagai tentara semasa Perang Dunia II diajarkan untuk mengucapkan “La ilaha illa Allah” digunakan ketika pesawat-pesawat mereka ditembak jatuh di kawasan-kawasan ini supaya mereka tidak dibunuh. Sebuah pesawat Jepang telah dikatakan ditembak jatuh dan pilotnya diamankan oleh penduduk setempat.
Bagaimanapun, pusat-pusat pengkajian yang dulu pernah didirikan Jepang justru sama sekali tidak diketuai atau diurus oleh orang-orang Muslim dan tujuannya bukan untuk penyebaran Islam. Tujuan sebenarnya adalah untuk menambah wawasan militer dengan pengetahuan yang diperlukan mengenai Islam. Oleh karena itu, dengan berakhirnya Perang Dunia II pada tahun 1945, pusat-pusat pengkajian ini menghilang.
Jelaslah dari penjelasan diatas membuktikan bahwa persiapan Jepang untuk masuk ke Indonesia direncanakan secara matang dan terukur yang pada akhirnya misi mereka berhasil dengan sukses dan itu terbutki ketika rakyat menyambut kedatangan mereka dimana-mana seolah-olah “juru selamat” sudah tiba. Beberapa tokoh pemuda dan tokoh-tokoh politik Indonesia saat itu bahkan sebelumnya banyak yang percaya bahwa Jepang adalah solusi jitu terhadap penjajahan Belanda, namun tidak sedikit pula yang mewanti-wanti dari awal untuk tidak mudah percaya terhadap propaganda Jepang seperti Bung Hatta. Dan memang tidak lama dari masa “bulan madu” keluarlah sifat asli mereka yang kejam dan brutal yang bisa mereka lakukan dimana dan kapan saja terutama pada bangsa jajahannya. Tinggalah rakyat kecil yang merasa dan sengsara.
Masih ingat bagaimana dulu ketika mereka membantai masyarakat Kalbar karena dianggap makar. Penangkapan secara massal terhadap para pemuka gerakan di bawah tanah, mulai dilakukan pada 23 Oktober 1943, seminggu setelah berlangsungnya rapat rahasia yang dihadiri oleh tokoh-tokoh gerakan di bawah tanah di Pontianak. Penangkapan segera dilakukan terhadap tokoh-tokoh seperti Notosoedjono, Panangian Harahap (pemilik sekolah dan sahabat Sultan Pontianak), J.E. Pattiasina, Ng Nyap Sun, dan lain-lainnya. Penangkapan ini dilakukan secara rahasia, selalu dilakukan di waktu malarn. Penangkapan berlangsung sejak saat itu sarnpai saat menyerahnya Jepang. Korban yang ditangkap tidak pemah mengetahui, ke mana mereka akan dibawa, karena tiap korban penangkapan ditutup mukanya (istilah daerah disungkup). Mereka tidak pemah dihadapkan pada pengadilan macam apa pun, dan setelah diinterogasi, mereka langsung dibawa ke tempat mereka menjalani hukuman mati. Diperkirakan lebih dari dua puluh satu ribu orang terbunuh dalam gerakan pembunuhan besar-besaran itu, ada yang sempat memperhitungkan sekitar dua puluh satu ribu tiga puluh tujuh; tetapi ada pula yang menetapkan besarnya angka hingga lima puluh ribu orang korban. Angka yang tepat tidaklah pernah diketahui. Korban-korban ini hanya mereka yang diakibatkan oleh penangkapan-penangkapan saja, tidak terhitung mereka yang gugur dalam perlawanan langsung melawan Jepang.
Perlakuan tentara Jepang terhadap para tawanannya sangatlah kejam, terlebih lagi kepada para orang-orang Belanda. Orang-orang Belanda maupun Indo-Belanda yang laki-laki disiksa seperti hewan, dipukul dan ditendang, bahkan disuruh mamakan kotorannya yaitu tinja dan meminum air seninya sendiri, banyak diantara pasukan Belanda yang disiksa hingga mati, sedangkan para tawanan wanita Belanda diperkosa secara beramai-ramai oleh para tentara Jepang. Ini tidak hanya berlaku di satu daerah saja, di daerah lain banyak yang mengalami kekejaman mereka. Tentu kita tidak akan pernah lupa bagaimana ketika mereka memperlakukan rakyat bangsa ini dengan kerja paksa yaitu Romusha. Sampai saat ini kenangan pahit ini sulit untuk dilupakan.
Disaat kekejaman yang begitu banyak dilakukan tentara jepang kepada rakyat pribumi, ada beberapa kebijakan “simpatik” yang dilakukan para petinggi militer mereka. Diantaranya dengan melakukan gerakan proganda terhadap masyarakat dan juga tokoh-tokoh agama dan politik Indonesia bahwa Jepang akan “mengakomodasi” aspirasi umat Islam. Tokoh-tokoh Islam mulai didekati, bahkan organisasi Islam mereka restui untuk terbentuk hingga lahirnya Masyumi yang dikomandoi oleh KH Wahid Hasyiim dengan penasehat tertingginya Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari setelah sebelumnya mereka membubarkan MIAI (Majelis Islam A’laa Indonesia/Dewan Islam Tertinggi Indonesia).
Gerakan lain yang tidak kalah uniknya dari bangsa penyembah matahari ini, Jepang ternyata telah menugaskan beberapa tentara mereka yang muslim untuk melakukan tugas inteligen dengan cara mengawasi, menguntit segala kegiatan atau aktifitas para ulama-ulama yang dipandang berbahaya dan berpengaruh besar pada masyarakat baik secara “terbuka” maupun “tertutup”. Tentu bukanlah hal yang mudah untuk melakukan hal ini karena adanya kesamaan akidah.
Tentu menjadi sebuah pertanyaan besar, mengapa Jepang bisa “memperkerjakan” tentara Islam tersebut. Perlu diketahui bahwa sekalipun perkembangan Islam sangat lambat di Jepang, namun keberadaan Umat Islam di Jepang sudah ada terutama pada awal-awal abad ke 20. Anggota MIAI yang dulu pernah diundang Jepang tahun 1937 M di Masjid Kobe tentu mengetahui hal tersebut. Kedatangan Islam sendiri tidak bisa dilepaskan karena adanya hubungan yang “mesra” antara Turki Usmani dengan mereka.
Menurut Abubakar Mamoto, hubungan Turki dan Jepang pernah terjadi pada tahun 1890 M. 1890, yaitu ketika Kerajaan Turki mengirimkan kapal perang angkatan laut ke Jepang dalam misi muhibbah yang menjadi pelopor bagi hubungan antara dua negara dan disisi lain antara orang Islam dengan Orang Jepang. Misi ini membuka jalan untuk hubungan diplomasi antara Jepang dan Turki. Ketika pulang ke Turki awak kapal Turki mendapat musibah di laut. Dengan mengetahui keadaan kapal Turki, orang-orang Jepang menolong mereka dengan mengadakan penyelamatan. Komunitas muslim pertama kali dimulai dengan datangnya beberapa ratus orang Turki, Uzbek, Tadzik, Kirghiz, Kazak dan pengungsi Muslim Tatar dari Asia Tengah dan Rusia yang terjadi pada waktu Revolusi Bolshevik. Para pengungsi Muslim ini mendapat perlindungan di Jepang. Mereka mulai kehidupan baru setelah mendapat tempat tinggal dengan tenang di beberapa kota di Jepang seperti Tokyo, Kobe, Nagoya dan sebagainya. Mereka juga mulai melakukan kegiatan keagamaan dengan membentuk komunitaskomunitas di tempat mereka tinggal. Hubungan antara Muslim ini dengan penduduk setempat membawa kepada masuknya beberapa orang Jepang kedalam agama Islam.
Pada tahun 1904-1905 Jepang pernah terlibat dalam suatu peperangan dengan Rusia. Pada waktu itu, angkatan perang Jepang telah berhasil menawan puluhan ribu anggota tentara Rusia berjumlah 71.947 orang orang yang dikirim ke Jepang dan ditempatkan di suatu camp. 28.000 orang ditempatkan di dekat kota Osaka dan hampir 1000 adalah orang Tartar yang memeluk agama Islam. Revolusi Bolshevik selama perang dunia I, muncul komunitas Muslim dengan kedatangan ratusan muslim dari Turki, Urbekistan, Tajdjikistan, Kazastan serta pengungisi lain yang berasal dari Asi tengah serta Rusia. Orang-orang Muslim tersebut diberi hak suaka tinggal oleh pemerintah Jepang di beberapa kota di Jepang.
Dari penjelasan sejarah singkat tentang Islam di Jepang dapatlah kita ketahui bahwa sudah terdapat orang-orang Islam di Jepang saat itu yang sebagian besar merupakan tawanan perang dari RUSIA yang berhasil dikalahkan Jepang tahun 1905 M. mereka banyak yang masuk Islam bahkan memang awalnya memang sudah ada yang Islam, selain itu juga terdapat orang-orang Islam asli dari negeri Jepang sendiri. Bisa jadi mereka yang “dipekerjakan” dalam Badan Intilejen Jepang itu memang benar-benar orang Islam yang jumlahnya saat itu masih sedikit sekali. Suka atau tidak suka ketika dihadapkan aturan bangsanya yang harus ikut berperang maka mereka pun harus tunduk. Tentu ini merupakan dilema besar bagi mereka, tentu orang-orang yang dikirim untuk misi propaganda itu adalah orang-orang spesial dan memang memiliki dasar ilmu agama Islam yang kuat.
Tidak terbayangkan bagaimana jadinya perasaan mereka saat itu, disaat mereka masih menjadi minoritas di negerinya sendiri, tiba-tiba mereka harus dihadapkan dengan saudara seakidahnya sendiri terutama di wilayah Asia Tenggara, tiba-tiba mereka dipaksa berjuang untuk negaranya dengan cara “menjual” harkat dan martabat keislamannya. Tentara Islam Jepang ini tentu tahu bagaimana pola hubungan masyarakat Islam dan ulamanya, tentu mereka juga tahu bagaimana pengaruh ulama-ulama Timur Tengah kepada ulama Indonesia, mengingat diantara mereka ada yang pernah naik haji. Satu lagi beban berat yang mungkin harus mereka tanggung adalah “cap pengkhianat” sebagai sesama muslim. Kondisi ini mirip yang dialami oleh Tentara Gurkha Inggris ketika berhadapan dengan para pejuang Arek Suroboyo yang sering mengucapkan Takbir Allahu Akbar, sebagian Tentara Gurkha kaget begitu mengetahui bahwa lawan yang dihadapinya banyak beragama Islam, sedangkan diantara mereka banyak pula yang beragama Islam. Dari kondisi memerangi lawan mereka akhirnya akhirnya malah berbalik membantu lawan.
Beberapa Tentara Islam Jepang yang bertugas sebagai agen, beberapa waktu kemudian bahkan menjadi erat hubungannya dengan tokoh-tokoh Islam, salah satunya adalah KH Wahid Hasyim. Salah satu orang Islam Jepang itu bernama ABDUL HAMID NOBUHARU ONO. Bahkan perkenalan ini sudah terjadi pada masa Belanda. Ketika Abdul Hamid Ono berada di Sedayu, Jawa Timur. Dia ini pengaruhnya besar sekali, karena dalam jabatannya yang terikat dengan kantor rahasia Jepang di Jakarta, yang lebih dikenal dengan nama “Kantor Menteng 46”. Abdul Hamid Ono sangat lancar berbicara bahasa Indonesia dan mengerti betul seluk beluk agama Islam dan ulama-ulamanya. Dibantu Hamid Ono, KH Wahid Hasyim memperjuangkan pembebasan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari melalui pembesar-pembesar dan instansi penting , dan sesudah melalui banyak rintangan akhirnya berhasillah pembebasan Mbah Hasyim Asy’ari dengan selamat pada tanggal 18 Agustus 2802 Showa atau bulan Sya’ban 1361 H. Abdul Hamid Ono bersama Hitoshi Shimizu ini nantinya dalam setiap pertemuan Islam atau latihan-latiihan selalu memuji pemerintah Jepang namun disisi lain Jepang melakukan pengetatan kepada ummat Islam untuk beribadah. Namun setelah berapa lama Abdul Hamid Ono akhirnya menaruh sikap simpatik kepada Mbah Hasyim Asyari dan KH Wahid Hasyim karena sikap dan akhlak mereka.
Selain nama Abdul Hamid Ono yang ditugaskan untuk mengawasi keluarga besar Tebu Ireng dalam hal ini Mbah Hasyim Asyari , ada nama lain yang juga ditugaskan untuk menempel ketat ulama Jakarta yang karismatik AlHabiib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi Kwitang yaitu Muhammad Abdul Muniam Inada. Muhammad Abdul Muniam Inada bahkan pernah berceramah di Majelis Habib Ali Kwitang pada tanggal 24 April 1943. Pidato Inada dalam rangka untuk mendapatkan dukungan dari ulama dan ummat Islam Indonesia agar dapat memenangkan perang Asia Timur Raya. Bahkan berdasarkan keputusan bersama antara Pimpinan Tentara Jepang yang beragama Islam yaitu Muhammad Abdul Muniam Inada, Abdul Hamid Ono swerta Letnan Satu Yanagawa diputuskan dibentuk Tentara Pembela Tanah Air yang Islami dan dipimpian Daidancho (Komandan Batalyon oleh Ulama). Untuk mengembangkan pengaruh Jepang di kalangan kaum muslim salah satu periwra menengah mereka yaitu Kolonel Horie Choso secara berturut turut juga mengadakan pertemuan dengan para Kyai du beberapa kota di Jawa Barat tahun 1943 dan dia juga mengirimkan para pembantunya yang terdiri dari orang-orang muslim Jepang seperti Muhammad Sayido Wakas, Muhammad Abdul Muniam Inada agar secara bergiliran mengunjungi masjid besar yang ada di Jakarta. Adapun tugas mereka adalah menyampaikan ceramah dan khutbah Jumat yang menggalang dukungan kaum muslim terhadap usaha-usaha perang Jepang. Tentu selain isi kutbah atau menghadap kepada ulama dan ummat, penampilan mereka sering terlihat Islami. Ini nanti bisa dilihat dari foto-foto Tentara-tentara Islam Jepang tersebut, apalagi diantaranya mereka pernah ada yang naik haji dan punya hubungan dengan orang-orang di Arab Saudi.
Satu nama yang juga tidak kalah “perannya” adalah nama Muhammad Saleh Suzuki Tsuyomi. Dialah salah satu kunci terbentuknya Laskar Hizbullah selain nama penting lainnya yaitu KH Wahid Hasyim, Abdul Hamid Ono, dll. Berbeda dengan pola pelatihan terhadap pasukan Peta, Yanagawa melarang hukuman berupa memukul secara fisik karena dianggap dapat menyinggung perasaan umat muslim. Sebagai gantinya bentuk hukuman yang diberikan dalam pelatihan Hizbullah berupa kegiatan sumo (gulat tradisional Jepang). Tentu kebijakan Yanagawa boleh jadi setelah mendapat masukan dari Muhammad Saleh Suzuki Tsuyomi dan Abdul Hamid Ono. Posisi Muhammad Saleh Suzuki nampaknya bukanlah orang sembarangan, namanya sering disebut-sebut dalam sejarah Islam di Japan terutama hubungannya dengan aktifitas haji pada masa tahun 1930an. Suzuki bahkan merupakan utusan khusus Jepang untuk menemui Ibnu Saud untuk menegosiakan beberapa kepentingan politik Jepang khususnya di negara-negara Islam termasuk Arab Saudi. Jadi tidak mengherankan jika Muhammad Saleh Suzuki Tsuyomi disebut sebagai salah satu fihak yang berjasa dalam berdirinya Laskar Hizbullah dengan pelatihan militer pertamannya di Cibarusah. Bukan tidak mungkin dia ini sudah membuat jaringan ulama-ulama Indonesia yang pernah belajar Mekkah pada saat itu. Mekkah saat itu merupakan tempat tujuan utama para pelajar Islam menimba ilmu baik yang berasal dari Pesantren-Pesantren, Nahdatul Ulama, Muhammadiyah ataupun organisasi lain dan juga perorangan.
Ketiga orang disebut yaitu H. Abdul Munia Inada, H. Abdul Hamid Ono, dan H. Muhammad Saleh Suzuki dalam sejarahnya juga ternyata dahulunya memang pernah belajar di Timur Tengah , sehiingga sangat wajar jika mereka ini begitu cerdik dalam memanfaatkan momentum yang ada dan pandai “memainkan” peran yang sesua dengan kondisi saat itu.
Nama muslim Jepang lain yang jarang dibahas misalnya Profesor Tetsumaro Kanaya, ia adalah seorang ilmuwan yang concern mengkaji tentang Islam dan umat Islam. Ia adalah tokoh penting di balik acara pameran dan kongres Islam yang digelar di Tokyo dan Osaka pada November 1939 yang juga dihadiri delegasi perwakilan ulama Indonesia. Usai kongres itu, Prof Kanaya berangkat ke Indonesia demi memperkuat ikatan antara umat Muslim kedua negara. Untuk melacak keberadaannya anda bisa melihat di buku “Ten Years Of Japanese Burrowing The Netherland Indies” terbitan “The Netherland Information Of Bureau New York” pada halaman 26.
Tentu menjadi sebuah pertanyaan bagaimana sikap para ulama-ulama kita, khususnya mereka yang mendapat pengawasan dari Jepang melalui orang tentara Islamnya ? Para ulama kita seperti Habib Ali Kwitang dan Mbah Hasyim Asyari pada dasarnya lebih mementingkan keselamatan ummat. Mereka memang menerima baik orang-orang Jepang seperti Inada, Ono ataupun Suzuki, ini terbukti mereka bisa mengikuti kegiatan majelis bahkan ikut juga memberikan ceramah. Persamaan akidah menyatukan mereka terlepas adanya kepentingan politik fihak Jepang. Para ulama kita bukan tidak visi dan misi terselubung penjajah jepang, namun demi untuk mementingkan kesalamatan ummat mereka sangat berhati hati betul dalam menentukan sikap, apalagi Jepang saat sangat kuat dan menang dalam segala-galanya. Namun bila sudah menyangkut pelanggaran akidah, ulama-ulama kita berani menentangnya seperti yang dilakukan Mbah Hasyim yang menolak praktek penghormatan Sakerei (penghormatan dengan cara hampir seperti ruku' ke arah matahari terbit atau menundukan kepala saat duduk dengan posisi seolah seperti menyembah, pada setiap pertemuan umum dan setiap disebut nama Teno Haika Kaisar Jepang yang juga dianggap penjelmaan Dewa), begitu juga yang dilakukan Ajengan KH Ahmad Sanusi dari Pesantren Gunung Puyuh yang pantang melakukan Sakerei, juga KH Zaenal Mustafa dari Pesantren Sukamanah Singaparna Tasikmalaya yang secara keras menolak ajaran yang merusak akidah ini.., Ki Bagus Hadikusumo dari Muhammadiyah, juga HAMKA.
Beberapa tentara Islam Jepang itu nantinya tercatat dalam sejarah perjuangan Indonesia. Mereka jelas bagian dari propaganda jepang dalam masa penjajahan, namun untuk mengatakan mereka “pura-pura Islam” atau cap “munafik” rasanya masih terlalu prematur mengingat hubungan mereka juga cukup baik dengan pemuka agama kita ditunjang dengan latar belakang akidah yang sama. Selain itu faktor keterpaksaan juga mengiringi mereka dalam bertugas, siapalah yang berani membantah pemerintah Jepang saat itu yang gagah perkasa dan luas kekuasaannya ? Apalagi dimasa tahun 1935 – 1945 Islam di Jepang masih minoritas dan dapat dihitung jumlahnya. Keberadaan mereka di Indonesia ini sama persis seperti kasus pasukan Gurkha Inggris melawan pejuang 10 November 1945 di Surabaya dan juga mirip dengan Pejuang Kesultanan Manipa dari Pulau Seram Maluku yang ditawan dan dipaksa menjadi budak bahkan menjadi prajurit bayaran VOC di Batavia oleh oleh Jan Pieterzoon Coen dan kemudian akhirnya memberontak dibawah pimpinan Kapiten Jongker. Sedikit banyak peran serta mereka tetaplah harus diberikan pada lembaran sejarah bangsa ini. Hal lain yang perlu kita ketahui pasca kemerdekaan RI diketahui banyak pasukan Jepang yang tidak kembali ke negaranya dan lebih memilih membantu para pejuang RI. Sebagian mereka diketahui memilih agama Islam sebagai kepercayaannya yang terakhir dan menikahi wanita pribumi. Sedangkan tokoh-tokoh Islam Jepang di masa perjuangan, tidak diketahui lagi bagaimana kelanjutan episode kehidupannya, apakah mereka ditangkap sekutu atau memilih kembali pulang ke negaranya untuk membangun peradaban Islam yang baru setelah negaranya babak belur dan luluh lantak dihantam bom atom sekutu.
Penjajahan Jepang merupakan peristiwa pahit yang sulit untuk dilupakan bangsa ini. Kehadiran jepang walaupun singkat namun cukup membekas. Mereka memang banyak membawa perubahan terutama dalam gerakan ummat Islam yang lebih banyak bisa berleluasa yang bisa jadi karena adanya “kolaborasi” tentara Islam Jepang dengan tokoh-tokoh politik Islam, namun sekalipun demikian kedatangan mereka ke Indonesia juga membawa malapetaka yang besar, dimana nyawa manusia begitu murahnya dimata mereka, sehingga di kemudian hari Ummat Islam juga melakukan perlawanan terbuka kepada mereka hingga akhirnya berhasil memanfaatkan momentum dengan kekalahan mereka dari tentara sekutu.
Jakarta, 22 Agustus 2021.
FOOTNOTE :
1. Sahajuddin. Propaganda Dan Akibatnya Pada Masa Pendudukan Jepang Di Enrekang (1942-1945), Makasar : Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan, 29 November 2019, hlm. 189.
2. B.J. Holland (terj), Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970, Jakarta: Grafiti, 1985, hlm. 11.
3. Miftahuddin, dkk. Peran Organisasi Islam: Dari Perjuangan Menuju Kemerdekaan Sampai Masa Perang Kemerdekaan (1936-1949), Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, Tahun 2012, hlm 18.
4. Rz. Leirissa,Sejarah Nasional Indonesia V, Jakarta: PT. Sinar Utama, 1984, hlm 124.
5. Putri Ayudia Nasution. Perkembangan Islam Di Jepang Nihon No De Okeru Islam No Shinchoku, Medan : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan 2017, Hlm 18.
6. Oesdarto, dkk. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Kalimantan Barat, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Pusat Penetian Sejarah Dan Budaya Proyek Penelitian Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978, hlm 83 – 84.
7. L. De Jong dan Arifin Bey. Pendudukan Jepang di Indonesia, Jakarta: Kelsan Blanc, 1987, hlm 20.
8 .Abubakar Morimoto, Islam In Japan Its Past, Present And Future, 1978. Atau lihat di Andi Syahraeni. Islam di Jepang, Jurnal Rihlah Vol. 5 No.2/2017, hlm 87 -88.
9. Aboebakar. Sejarah Hidup KH A. Wahid Hasyim. Bandung : Mizan, 2011, hlm 179.
10.Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah. Bandung : Salamadani, 2014, hlm. 57.
11. Nino Oktorino. Konflik Bersejarah Dalam Cengkraman Dai Nippon, Jakarta : Elek Media Komputindo, 2013, hlm. 52.
12. Ibid, hlm. 51.
13 Lihat di Mikiya Koyagi. The Hajj by Japanese Muslim In The Interwar Period : Japan’s Pan Asianism And Economic Interests in The Islamic World. University of Texas at Austin, Jurnal World Of The History -University Of Hawai Press, Vol. 24, N0. 4, 2014, hlm 849
14. Khairu Nisa. Sejarah Shumubu (Cikal Bakal Departemen Agama) Pada Masa Pergerakan di Indonesia, Yogyakarta : fakultas Adab, UIN Sunan Kalijaga, hlm. 5.
15. Muhammad Yasir. Mengenang Jasa Tokoh-Tokoh Muslim Jepang Di Indonesia, Nov 3, 2020, sidogirimedia.com