Oleh : Iwan Mahmoed Al Fattah
Hampir 8 tahun saya tidak ke tempat ini lagi. Terakhir tahun 2013 saya kesini dalam rangka penelitian sejarah dan silsilah salah seorang tokoh mujahid jakarta pada masa lalu yaitu Mbah Uyut Sena atau Syekh Maulana Sainan Jaya Ratu atau Pangeran Senopati dari Kesultanan Banten. Siapa sangka dalam penelitian tersebut saya menemukan sejarah lain yang juga tidak kalah pentingnya yaitu Masjid Al Mujahidin.
Dahulunya disini pernah diadakan pelatihan militer selama 2 bulan oleh Laskar Hizbullah yang terdiri dari para santri dan ulama dari berbagai daerah. Jangan ditanya bagaimana model latihan saat itu apalagi pada suasana perang dunia ke 2 melanda, Ditambah lagi yang melatih adalah Tentara Jepang yang dikenal kejam dan brutal. Di tempat inilah banyak berdatangan ulama² besar yang mengawal perjuangan Laskar Hizbullah. Para ulama² inilah yang mengisi siraman² rohani kepada laskar yang mengikuti pelatihan militer tersebut. Terdapat nama saat itu KH Wahid Hasyim (Tebu Ireng), KH Imam Zarkasyi (Gontor), KH Noer Ali Singa Karawang Bekasi, dll. Nama KH Wahid Hasyim sangatlah menonjol pada pelatihan militer itu. Beliau pulalah dengan didorong ulama² lain melakukan lobi² cerdas kepada Jepang untuk mau melatih para santri. Tentu saja Jepang senang akan hal itu mengingat Jepang butuh tenaga sukarewan untuk memperkuat pasukan mereka yang telah banyak mengalami kekalahan diberbagai front melawan sekutu, namun Jepang rupanya lupa bahwa Laskar Hizbullah sekalipun dilatih mereka, Laskar Hizbullah mempunyai visi dan misi yang tidak sama seperti mereka. Laskar Hizbullah bukanlah pengekor Jepang bukan pula pejuang kaleng-kaleng yang mudah tunduk akan iming-iming dan jabatan. Kebutuhan akan ketrampilan miiter saat itu memang dibutuhkan pejuang kita. Para ulama menganggap bahwa salah satu kelemahan perjuangan para santri dan ulama karena mereka minim akan strategi dan teori berperang sedangkan bicara soal keberanian para santri dan ulama tidaklah diragukan lagi. Namun keberanian tanpa pengetahuan dan pengalaman militer adalah hal yang fatal dalam perjuangan. Akibatnya karena minimnya pengetahuan dan ketrampilan dunia militer, perlawanan para pejuang mudah dipatahkan baik pada masa Penjajah Belanda maupun Jepang. Dan ini sangat disadari para ulama kita pada masa itu.
Sekalipun laskar hizbullah dilatih Jepang dengan keras, disiplin serta disertai dengan adanya "sentuhan fisik" sana sini, pelan tapi pasti para ulama yang ada disana juga menyisipkan nilai-nilai kesadaran akan arti sebuah kemerdekaan bangsa kepada para santri yang mengikuti pelatihan militer yang berat itu.
Cibarusah pada masa lalu tentu tidak seperti sekarang ini yang banyak terdapat perumahan. Cibarusah pada masa itu masih banyak terdapat hutan dan kebun-kebun yang lebat milik para petani. Di wilayah ini juga banyak terdapat ulama² yang punya andil terhadap perjuangan kemerdekaan RI dan penyebaran ajaran Islam.
Untuk menuju daerah Cibarusah tepatnya Kampung Babakan Cibarusah kita bisa melalui jalur kali malang yang panjang, cukup lumayan jika ditempuh dari Jakarta dengan menggunakan motor. Bisa juga melalui Jalur Pantura sampai nanti bertemu dengan perempatan menuju arah Lippo Cikarang.
Untuk menuju masjid Cibarusah ini saya harus banyak bertanya-tanya terlebih dahulu, maklum karena sudah lama tidak kesini. Alhamdulillah setelah hampir 2 jam mencari bertemulah saya dengan situs bersejarah Masjid Al Mujahidin yang berada dipinggir jalan raya Babakan Cibarusah. Posisi Masjid Al Mujahidin ternyata juga tidak jauh dari pertigaan Jonggol-Cianjur-Cibarusah.yang juga terdapat Pasar Cibarusah.
Saya yakin dibalik pemilihan daerah ini tentu ada banyak pula pertimbangan. Salah satunya boleh jadi dipilihnya tempat ini, selain strategis juga cukup mendukung untuk pelatihan militer. Dipilihnya Cibarusah bisa jadi untuk mengingatkan kembali dan juga melanjutkan kiprah para pejuang tempo dulu dalam jihad fisabilillah. Bukankah para ulama terdahulu banyak yang faham akan sejarah para leluhurnya ? Satu nama yang juga tidak kalah pentingnya kenapa Cibarusah dipilih menjadi tempat pelatihan militer yaitu terdapatlah nama ulama karismatik Cibarusah yaitu KH RADEN NAWAWI MAKMUN atau Mama Cibogo. Kedekatannya dengan petinggu NU saat itu menjadi faktor kenapa Cibarusah dipilih selain faktor lainnya
Tempat pelatihan militer yang kini terdapat Masjid Al Mujahidin jaraknya sangatlah dekat dengan makam Pangeran Senopati alias Mbah Uyut Sena alias Syekh Maulana Sainan Jaya Ratu. Pangeran Senopati dahulu dikenal sebagai orang yang gigih dalam melawan VOC hingga kemudian beliau hijrah dari Jayakarta (Jakarta) menuju Cibarusah. Tidak mengherankan kalau didaerah ini banyak terdapat keturunan beliau.
Dalam waktu 2 bulan sekitar 500an santri dan ulama digojlok habis-habisan di Cibarusah, tidak sedikit yang mengalami kelelahan fisik dan ditimpa berbagai macam penyakit. Bahkan mereka banyak yang mengalami diare yang cukup parah. Namun betapapun demikian, semangat Laskar Hizbullah tidaklah padam. Mereka terus berlatih dan berlatih sampai kemudian banyak yang menguasai ketrampilan berperang dan mahir menggunakan senjata api. Salah satu pertempuran besar dimana disitu terdapat peran vital Laskar Hizbullah adalah peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, selain itu perlawanan sengit dimana Laskar Hizbullah terlibat juga terjadi Jakarta dan sekitarnya. Front Front perlawanan pecah mulai dari Kalibata, Klender sampai perbatasan Bekasi. Di Bekasi nama Kolonel KH Noer Ali harum semerbak dengan perlawanannya yang heroik sampai membuat decak kagum Bung Tomo.
Semua perlawanan dan pertempuran yang dilakukan Laskar Hizbullah terhadap penjajah tentu tidak lepas peran serta daerah Cibarusah yang pernah menjadi kawah candradimuka dalam menempa fisik dan mental mereka...kini Masjid Al Mujahidin berdiri kokoh menjadi saksi bisu bahwa dimasa perjuangan dulu pernah berkumpul para ulama dan santri dari berbagai daerah untuk menempa diri demi tegaknya kemerdekaan RI...
Alfatehah untuk para pejuang Laskar Hizbullah..
Bekasi 11 Agustus 2021 (Mushola Perahu)