Kamis, 10 September 2015

DATUK QIDAM, ULAMA BETAWI PENDIRI PONDOK PESANTREN KAYU PUTIH TANAH TINGGI & MARKAS BESAR MUJAHIDIN JAYAKARTA

Beliau adalah seorang Ulama Karismatik Jayakarta pada masanya. Para Pejuang Mujahidin Jayakarta mengenalnya sebagai sosok yang tegas dan penuh dengan strategi, tidak heran jika beliau ini dihormati oleh para mujahidin Jayakarta pada waktu itu, apalagi beliau saat itu menjabat sebagai seorang "Pangeran Jayakarta" dengan kedudukan sebagai PEMIMPIN MUJAHIDIN. .

Nama aslinya adalah Raden Karta Daim Syah sedangkan nama yang lebih terkenal adalajh Datuk Kidam. Gelar Datuk yang berada di Betawi menunjukkan jika beliau ini adalah bukan seorang ulama. biasa. Menurut Riwayat yang dituturkan kepada kami oleh buya KH Rusdi Ali dari Kampung Melayu Jakarta Selatan tahun 2014 yang lalu, semua ulama yang kedudukannya tinggi di Betawi pada masa abad ke 17 dan 18 diberikan gelar Datuk, salah satunya adalah ulama-ulama pengurus Masjid Al Atiq Kampung Melayu. Oleh karena itu apabila kita mendapati ada makam-makam di betawi yang diberikan gelar Datuk maka dia adalah merupakan seorang ulama yang boleh jadi sangat karismatik, seperti misalnya Datuk Ibrahim di Condet (keturunan Maulana Malik Ibrahim).

Datuk Qidam ini dahulunya pernah tinggal di wilayah Barat terutama kantong-kantong perjuangan para ulama betawi seperti Kampung Bambu Larangan Cengkareng, Jelambar Kampung Gusti, namun karena dirinya selalu dikejar-kejar Penjajah Belanda karena menjadi pemimpin mujahidin, akhirnya beliau memutuskan hijrah ke wilayah Jatinegara Kaum.

Kantong-Kantong Perjuangan Mujahidin Jayakarta di wilayah Betawi terutama Front Barat saat itu yang tercatat dalam kitab Al Fatawi adalah Jelambar, Pekojan, Cengkareng dan sekitarnya, Rawa Belong, Tanah Abang (saat itu belum ada pemecahan wilayah), Masjid Angke, Mangga Besar, dan masih ada beberapa yang lainnya.

Dari wilayah Jatinegara Kaum kemudian beliau bergeser lagi ke sebuah daerah yang bernama TANAH TINGGI KAYU PUTIH yang kini sudah tidak ada lagi dan berganti dengan PACUAN KUDA PULO MAS. Di daerah inilah beliau mendirikan PESANTREN DATUK KIAI QIDAM SYAH (DATUK QIDAM). Sayangnya keberadaan Masjid dan Pondok Pesantren yang didirikan dahulu kini tinggal kenangan, masjid yang beliau bangun dirubuhkan rezim orde baru tahun 1972 untuk kepentingan pacuan kuda dan perumahan. Padahal dari Kayu Putih Tanah TInggi dahulu terkenal sangat makmur, sampai-sampai pernah dijuluki "NEGERI INDAH KAMPUNG DONGENG" karena begitu makmur dan sentosanya kehidupan para penduduknya. Kini daerah tersebut sudah hilang dan menjadi daerah elit, keluarga besar keturunan Datuk Qidam kemudian hijrah ke daerah Kayu Putih Utara Kecamatan Pulo Gadung. Namun ada satu hal yang aneh, hingga kini tanah bekas masjid Datuk Qidam yang dirubuhkan rezim orde baru (masa Gubernur Ali Sadikin) tidak pernah bisa dibangun apapun......aneh, Miris juga bila melihat tanah bekas masjid tersebut, kebetulan saya sudah melihatnya. Sampai saat ini wilayah Kayu Putih Tanah Tinggi sudah tidak dikenal, orang tahunya hanya daerah Pulo Mas Pacuan Kuda. Sedangkan nama Kayu Putih berpindah ke wilayah Pulo Gadung yang sekarang ini.

Di Pesantren ini disamping sebagai tempat belajar, namun dijadikan juga sebagai basecampnya para Mujahidin Jayakarta yang terus menerus melakukan perlawanan terhadap Belanda. Dahulu banyak pejuang-pejuang Jayakarta singgah dan bersembunyi di wilayah ini, dan hebatnya daerah ini sulit dideteksi Belanda karena begitu rahasianya informasi yang ada didalamnya. Datuk Qidam memang sangat merahasiakan tempat yang dijadikan markas besar perjuangan kaum Mujahidin Jayakarta ini. Belanda hanya tahu kalau Pondok Pesantren Tanah Tinggi hanya merupakan pesantren biasa yang tidak perlu diwaspadai. Inilah yang menurut kami salah satu kecerdasan Datuk Qidam dalam rangka melakukan sebuah strategi. Para Mujahidin Jayakarta, pasca dibakarnya Keraton Jayakarta, secara turun temurun dan estafet terus menerus melakukan koordinasi perlawanan di beberapa perlawanan yang terjadi di beberapa wilayah Jayakarrta. Salah satu Pemegang Garis Komando mereka adalah Datuk Qidam ini. Perlawanan bawah tanah terus digelorakan oleh Kaum Mujahidin sampai puncaknya muncul Para Pendekar Pitung dan Gerakan Ki Dalang.

Para Mujahidin Jayakarta tidak pernah berhenti untuk berjuang baik secara terbuka maupun gerilya dan semua perjuangan tersebut telah dicatat dengan baik oleh para Mushonif (ulama pencatat sejarah) Jayakarta secara turun temurun. Para ulama pencatat sejarah tersebutlah yang berhasil merekam berbagai perjuangan mujahidin Jayakarta dan menjaganya dengan baik dari incaran dan rampasan penjajah. Dan terakhir pencatatan itu dilakukan oleh Al Allamah KH Ratu Bagus Ahmad Syar'i Mertakusuma yang juga murid dari Guru Mansur Sawah Lio, Syekh Abdul Ghoni, Sayyid Muhammad Idrus Al Haddad dari Kampung Rawa Sari.

Secara silsilah, Datuk Qidam ini masih satu nasab (satu keturunan) dengan Syekh Junaid Al Batawi, Syekh Mujtaba Al Batawi, Guru Mansur Sawah Lio, KH Ratu Bagus Ahmad Sya'ri Mertakusuma, Syekh Abdul Ghoni, Para Pendekar Pitung, juga dengan keluarga besar Aria Wiratanudatar (leluhurnya KH ABDULLAH BIN NUH), Raden Kertadria (Pahlawan Perang Pecah Kulit), Raden Wirantayudha (Pangima Perangnya Untung Suropati). Mereka ini adalah keturunan dari Sultan Besar di Pulau Jawa yaitu Sultan Abdul Fattah Sayyidin Panatagama yang merupakan Pendiri Kesultanan Islam Pertama di Jawa yaitu Kesultanan Demak Bintoro.

Datuk Qidam ini beberapa puluh tahun yang lalu mempunyai peninggalan jubah untuk sholat dan perangkat keagamaan lainnya, sayangnya hingga kini keberadaan barang-barang tersebut tidak diketahui keberadaannya, padahal jubah tersebuth menjadi bukti sejarah.

Semoga jasa salah satu pemimpin Mujahidin Jayakarta ini dibalas oleh Allah SWT.....

Al Fatehah...........

Sumber :

Kitab Wangsa Aria Jipang oleh Ratu Bagus Gunawan Semaun Mertakusuma, Agapress, 1986.
Kitab Al Fatawi (Silsilatul Syar'i), oleh Al Allamah KH Ratu Bagus Ahmad Syar'i Mertakusuma Al Hafizh, Palembang - Jakarta, Al Fatawi, 1910.

BAHASA MELAYU KEJAWEN DALAM SEJARAH JAYAKARTA

Pasca dibakarnya Keraton Jayakarta (lokasi keraton tidak jauh dari pelabuhan Sunda Kelapa), maka kehidupan masyarakat Jayakarta otomatis berubah. Masyarakat Jayakarta yang tadinya lebih banyak hidup dalam tradisi perairan atau pesisir, terpaksa mau tidak mau sebagian besar harus menjadi kehidupan agraris.

Terbakarnya Keraton Jayakarta dalam sejarahnya sering diklaim karena lemahnya pertahanan Jayakarta bahkan dibumbui dengan cerita-cerita yang konyol dan tidak masuk akal atau mitos.Disisi lain sejarah sering menulis jika Keraton Jayakarta itu dibakar oleh VOC dan antek-anteknya, padahal Keraton Jayakarta dibakar oleh Pejuang Jayakarta sendiri, hal ini terpaksa dilakukan untuk mengelabui dan memudahkan evakuasi penduduk Jayakarta keluar wilayah Keraton, terutama anak-anak, wanita dan orangtua. Karena Keraton dan bangunan lain berasal dari Kayu sudah tentu sangat mudah terbakar. Tentu dibakarnya keraton Jayakarta adalah merupakan strategi perang yang dilakukan mujahidin Jayakarta saat itu.

Jatuhnya pusat pemerintahan Jayakarta yang digambarkan dalam Keraton Jayakarta sebenarnya jika dilihat dari satu sisi merupakan musibah dan merupakan malapetaka kaum muslimin, karena di wilayah sekitar Keraton banyak terdapat pusat-pusat kegiatan Islam, seperti masjid, majelis ilmu dan fasilitas lainnya. Tapi disisi lain, dengan terbakarnya Keraton Jayakarta menjadikan penyebaran penduduk Jayakarta menjadi lebih merata sehingga penyebaran Islam  jadi lebih menyeluruh. Selama ini memang penyebaran Islam masih terpusat di benteng Jayakarta, sehingga perhatian para pemimpin Jayakarta di pedalaman wilayah Jayakarta masih terbatas.

Sekalipun wilayah vital Jayakarta telah diambil oleh VOC yang dipimpin oleh Jan Pieterzoon Coen, bukan berarti kehidupan masyakarat Jayakarta runtuh total, justru ketika wilayah pusat Jayakarta itu menjadi kendali VOC, para pemimpin Jayakarta, Mujahidin dan ulamanya bersatu padu melakukan perlawanan dengan cara gerilya. VOC sendiri sering menyebut kalau gerakan Mujahidin Jayakarta ini.sebagai perampok.

Hijrahnya penduduk Jayakarta keberbagai wilayah Jayakarta lainnya, menyebabkan banyak terjadi perubahan.Yang jelas jalur komunikasi mereka jadi lebih terbatas.Namun demikian ada satu hal yang tidak banyak berubah, yaitu pemakaian bahasa.

Pada masa berkembangnya penduduk Jayakarta hingga kemudian hijrah ke berbagai wilayah, bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah bahasa Melayu Kejawen.Bahasa Melayu Kejawen adalah bahasa Melayu yang bercampur dengan bahasa Jawa.Jangan salah faham dulu, bahwa Kejawen disini bukanlah faham Kebatinan yang selama ini kita ketahui.  Kejawen disini untuk menegaskan bahwa ada pengaruh yang kuat dalam pemakaian tata bahasa di Jayakarta dari unsur –unsur Bahasa Jawa, sedangkan bahasa yang selalu digunakan sehari-hari pada masa negeri Jayakarta berdiri, kemudian juga setelah era 1619 Masehi adalah Bahasa Melayu (terutama mereka yang tidak pernah mau tunduk pada pemerintahan Penjajah VOC, Penjajah Inggris, Penjajah Belanda).

Kita tidak perlu heran adanya hal ini, karena dahulunya memang Jayakarta adalah wilayah yang dikuasai Kesultanan Demak yang berpusat di Demak (kini menjadi wilayah Jawa Tengah).Kesultanan Demak dibawah pimpinan Sultan Trenggono banyak mengirim ulama, bangsawan, tokoh penting dan sebagian mujahidin Demak untuk bersatu dalam membangun Jayakarta menjadi Wilayah Islam.Bahkan Sultan Trenggono berharap Jayakarta ini akan menggantikan Demak jika nanti Kesultanan Demak Runtuh. Sehingga pada saat Sultan Trenggono akhirnya mengutus salah satu tokoh yang nantinya menentukan berdirinya sejarah Jayakarta, salah satu yang diutus adalah Fattahillah. Masuknya Fattahillah telah menyebabkan banyaknya pengaruh budaya  Jawa dan Melayu dinegeri ini, terutama dalam pemakaian bahasa.

Fattahillah adalah tokoh besar lintas wilayah, di Malaka dia diakui kebesaranya, di Aceh namanya disebut sebut, di Palembang namanya sama harum dengan tokoh besar Kesultanan Palembang, di Lampung dia juga menjadi tokoh yang dikagumi, di Banten namanya sangat karismatik di Cirebon bahkan menjadi tokoh penting dalam pemerintahan, sehingga tidak heran jika dialah salah satu tokoh yang paling banyak mewarnai sejarah Jayakarta.

Penyebaran masyarakat Jayakarta, setelah era tahun 1619 Masehi yang tercatat dalam kitab Al Fatawi sebagiannya terdapat diwilayah Jelambar, Pekojan, Cengkareng, Palmerah, Slipi, Tangerang, Depok, Pondok Gede dan sekitarnya, Jatinegara Kaum, Tanah Tinggi Kayu Putih, Kampung Benda, Bekasi (seperti misalnya Cibarusah), Bogor, Karawang. Perlu diketahui bahwa wilayah Jayakarta itu justru pada masa Fattahillah hingga pada masa pemimpin Jayakarta era gerakan bawah tanah justru lebih besar dari wilayah sekarang, karena wilayah seperti Tangerang, Bekasi, Karawang, menjadi wilayah Jayakarta. Sebenarnya pada masa lalu wilayah Jakarta Selatan seperti Lebak Bulus, Pondok Labu, Cinere, Gandul, Mampang Prapatan, Tegal Parang, Kuningan juga masuk kategori tersebut terutama dalam penggunaan bahasa Melayu Kejawen, namun siiring daerah-daerah tersebut menjadi wilayah modern, maka lama kelamaan terkikislah bahasa Melayu Kejawennya. Namun untuk daerah Pamulang, Gunung Sindur, Pondok Cabe masih kami dengar gaya bahasa Melayu Kejawen ini.

Para pemimpin Jayakarta yang hijrah ke wilayah tersebut banyak membentuk pasukan perlawanan untuk menghadapi penjajah.Mereka banyak yang menyamar jadi petani, mereka banyak yang berbaur dengan rakyat tanpa menunjukkan diri kalau mereka itu bangsawan. Bahasa yang digunakan sehari-hari juga sama dengan masyarakat Jayakarta pada masa itu, terutama daerah yang telah kami sebut itu.Gaya Pesisirnya penduduk Jayakarta betul-betul “hijrah” menjadi bahasa pedalaman.

Bahasa Melayu Kejawen tentu merupakan sebuah fakta unik dalam sejarah Jayakarta.Kami sendiri telah membuktikan keunikan tersebut. Pada tahun 2002 pada saat terjadi banjir besar wilayah Jakarta dan sekitarnya, kami dan beberapa teman mendapat tugas dari organisasi yang menaungi kami yaitu Wanadri (Organisasi Perhimpunan Penempuh Rimba Dan Pendaki Gunung) untuk mendata peta wilayah musibah banjir, kebetulan kami tertarik untuk mendata wilayah Bekasi dan . Saat itu kami mencoba peta wilayah Bekasi Utara.Wilayah Bekasi Utara yang kami datangi yaitu Wilayah Taruma Jaya, Babelan, Cabang Bungin, Ujung Harapan (wilayah ulama Karismatik bekasi, KH NOER ALI), Gabus, Muara Gembong dan sekitarnya.Dan sampai di daerah-daerah ini kami merasa terkejut ketika mendengar dialek mereka dalam berbahasa Jakarta.Sangat jelas jika unsur bahasa yang mereka gunakan, telah banyak mendapat serapan dari unsur melayu dan Jawa. Ketika kami menanyakan pada beberapa orang ibu berapa umurnya, beliau jawab, “Tebak Bae”, jawaban ini jelas membuat kami tersenyum, karena diucapkan dengan gaya lepas dan khas rakyat banget, kami juga berapa kali mendengar kata yang sering digunakan sepertiDewek, Ora, Sirah, Bagen, Bocah, Banyu, Katong, Puguh, Meneng, Iwak, Wadon, Munggah, Lanang, Kulon, Wetan, dan masih banyak lagi yang lainnya. Bahasa-bahasa seperti ini kami juga pernah dengar di daerah-daerah yang kami sebut diatas. Pada tahun 1993 – 1999 kami sering sekali berkunjung ke daerah Cengkareng dan sekitarnya dan bahasanya hampir sama. Bahkan di Tangerang yang berbatasan dengan Jakarta seperti daerah Gondrong, Petir, Jombang ataupun sekitarnya  sampai saat ini masih kami temukan.

Bahasa Melayu Kejawen memang terdengar seperti kasar, apalagi jika diucapkan secara lepas dan lantang, (anda tentu ingat masih gaya intonasinyaMpok Nori, Bokir, Nasir, Malih, Nirin Kumpul, Bolot, Mandra dan dari daerah “pinggiran” lainnya bukan ?) sehingga terkadang sering menciptakan stereotif yang salah pada pemakainya, terutama kepada mereka yang tinggal diperkotaan  pada pemerintahan masa lalu, yang diantaranya para pejabat pemerintahan Belanda dan juga Golongan “Batavieren”. Sedangkan para ulamanya, pejuangnya, dan masyarakatnya yang religius justru bisa saling memahami bahkan akrab, misalnya orang Kwitang dengan orang Kayu Putih Tanah Tinggi atau sama orang Bekasi, Orang Cengkareng sama orang Kenari Jakarta Pusat, Orang Mester (Jatinegara, Kampung Melayu) sama Orang Bekasi. Orang Mester sama orang  Pekojan, Orang Rawa Belong sama Orang Tenabang, Orang Palmerah sama Orang Jelambar, Orang Kemandoran sama Orang Tenabang, Orang Jatinegara Kaum dengan Orang Mangga Dua dan masih banyak lagi lainnya. Kita harus tahu bahwa daerah Jakarta dulu tidak seperti sekarang, yang sering disebut adalah wilayah lokal, kecuali wilayah-wilayah vital Penjajah Belanda, seperti Daerah Medan Merdeka, Sao Besar, Senen, Mester, dan beberapa lainnya. Sikap egaliter pada masa itu cukup kuat, sesama orang Jayakarta, tidak ada itu yang namanya bentrok sesame rakyat Jayakarta, karena mereka itu telah disatukan dengan agama mereka yaitu Islam. Tidak ada sejarahnya Orang Tenabang berkelahi dengan Orang Cengkareng, tidak ada Orang Senen berkelahi dengan Orang Bekasi, yang ada Orang Rawa Belong atau Cengkareng berkelahi melawan tukang pukul para tuan tanah lintah darat, dan jongosnya kumpeni untuk melindungi rakyat. Kalau ada sesama rakyat Jayakarta berkelahi, apalagi sama-sama Islam, jelas itu sangat memalukan.Semua rakyat Jayakarta pada masa itu saling menghormati dan saling bersilaturahim, fatwa ulama lebih mereka patuhi, omongan tokoh sangat mereka hormati.

Pada pusat pemerintahan penjajah yang berpusat di Batavia, dibandingkan dengan bahasa Melayu Kejawen yang banyak digunakan diwilayah “pinggiran”, bahasa yang berkembang di Pusat pemerintahan Belanda memang lebih banyak dipengaruhi serapan bahasa dari berbagai etnis, seperti China, Arab, Belanda, dan etnis-etnis Nusantara lain apalagi memang pada masa itu Batavia telah dijadikan pusat pemerintah dan daerah perekomian yang cukup menjanjikan sehingga telah mengundang banyak fihak dari luar negeri.

Pada masa itu stereotif yang muncul pada orang-orang menggunakan bahasa Melayu Kejawen tersebut terutama yang berada di “pedalaman”, seolah kampungan dan masuk masyarakat “kelas bawah”,  oleh Penjajah dan “golongan Batavierennya”. Padahal dari daerah yang katanya “kampungan” bahkan katanya “terbelakang” ini telah lahir Para Pejuang Jayakarta yang militan, seperti Pendekar Pituan Pitulung (Pitung), KH Noer Ali, Syekh Abdul Ghoni, KH Ahmad Syar’i Mertakusuma,  Dedengkot Pemberontakan Ki Dalang, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Sejatinya mereka yang tinggal di daerah “pinggiran” justru banyak terdapat Mujahidin Jayakarta yang selalu siap sedia jika diperintahkan oleh ulama atau tokoh yang mereka hormati untuk berperang melawan penjajah kafir dan juga para begundalnya, tidak ada kata toleransi, kerjasama dan damai dengan penjajah, sekali penjajah tetap penjajah. Loyalitas dan kepatuhan mereka kepada tokoh adat, tokoh masyarakat, pejabat dan ulama sangatlah tinggi, dan itu sampai sekarang masih bertahan terutama daerah-daerah yang kami sebut diatas.Sekalipun memang tidak banyak, daerah “pinggiran” yang menggunakan bahasa Melayu Kejawen sampai sekarang ternyata masih terus bertahan, bahkan pada masa lalu sering bahasa ini dijadikan sebagai media perlawanan terhadap penjajah kafir dengan adanya kiprah para DALANG WAYANG KULIT dan adanya PERTUNJUKAN-PERTUNJUKAN LENONG. Bahasa yang digunakan para Dalang itu adalah bahasa Melayu Kejawen kerakyatan yang didalamnya banyak sindiran-sindiran Kepada “Penjajah Kumpeni Kafir”, “Para Tuan Tanah Lintah Darat”, “Centeng-Centeng” yang jadi jongosnya Kumpeni. Kelihatannya memang lucu dan rendahan, tapi bagi para masyarakat yang mengerti siapa “dalang” nya, dan siapa yang “mempertunjukan” lenong itu,  jelas itu merupakan bentuk sebuah perlawanan terhadap penjajah kafir atas  kezaliman mereka. Tema tidak akan jauh dari “MAJIKAN”, “JONGOS”, “AJARAN AGAMA”, “SEMANGAT PERJUANGAN” dan tema-tema “pemberontakan”. Adanya pertunjukan Wayang Kulit yang dilakukan seperti ini bukanlah hal yang aneh dalam sejarah Jayakarta, karena wayang kulit yang dimainkan memang mendapat pengaruh dari Walisongo, terutama pada penyiaran Islam, dan ini juga dilakukan oleh para Dalang-Dalang dari Jayakarta, terutama untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah kafir.

Bahasa Melayu Kejawen yang kadang sering disebut  bahasa “Betawi Ora” (ada yang mengatakan Ora Betawi) sampai saat ini masih bertahan, anda yang ingin mengetahui silahkan kunjungi kehidupan masyarakat yang ada di perbatasan kota Jakarta seperti perbatasan Tangerang dan Bekasi, Depok, dan lain sebagainya jika anda menemukannya, itulah bahasa yang pernah digunakan oleh masyarakat Jayakarta  yang sejak berdiri tahun 1527 Masehi, kemudian hijrah besar-besaran ditahun 1619 Masehi, hingga sampai sekarang ini, dan bahasa ini juga banyak kami temukan dalam kitab Al Fatawi, sehingga terkadang sering membingungkan kami dalam membacanya, karena antara Melayu dan Jawa saling berkolaborasi….

Bahasa Melayu Kejawen jelas merupakan salah satu kekayaan sejarah Jayakarta yang dahulunya merupakan wilayah Islam yang berperadaban…….
Wallahu A’lam Bisshowab…..

Sumber :

Iwan Mahmud Al Fattah, Fattahillah Mujahid Agung Pendiri Kota Jayakarta, Jakarta : Madawis & Ikrafa, Jakarta, 2014.
KH Ahmad Syar’i Mertakusuma, Kitab Al-Fatawi (Babul Tarikh Jayakarta), Jayakarta-Palembang : Majelis Adat Jayakarta Al Fatawi, 1910.

Wawancara :

Bang Yu, (Yusuf bin Gunawan bin Semaun bin KH Ahmad Syar’i bin Abdul Wahab bin Bahsan Mertakusuma), Sejarah Jayakarta, 17 Agustus 2015 di kediaman keluarga besar beliau Joglo Jakarta Barat. 
Biografi Yusuf Mertakusuma :

Yusuf Mertakusuma atau panggilan akrabnya Bang Yu adalah penulis sejarah Jayakarta dan merupakan seniman asli keturunan Jayakarta. Dalam beberapa tahun ini beliau bermukim di Bandung Jawa Barat, namun kepeduliannya akan sejarah Jayakarta tidak pernah luntur. Sejak  tahun 1968 M beliau bersama ayahnya (Babe Gunawan Mertakusuma) konsen pada pelestarian sejarah Jayakarta melanjutkan perjuangan Al-Allamah KH Ahmad Syar’i Mertakusuma yang merupakan penulis sejarah asli Jayakarta. Sampai pada tahun 1999 Bang Yu bersama ayahnya terus menerus berusaha meluruskan sejarah Jayakarta. Bang Yu lah yang banyak mendokumentasikan sejarah Jayakarta. Penulisan Sejarah Jayakarta yang mereka lakukan berdasarkan catatan turun-temurun yang dipegang oleh para keturunan Mujahidin Jayakarta. Ayahnya Babe Gunawan juga aktif menulis di beberapa harian surat kabar seperti Sinar Pagi terutama mengenai sejarah Jayakarta. Babenya Bang Yu ini juga secara silsilah berkerabat dekat dengan keluarga Firman Muntaco (Penulis Betawi) , MH Husni Thamrin, Syekh Abdul Ghoni, Guru Mansur, Rano Karno (Gubernur Banten) serta beberapa tokoh  Jakarta lainnya. kakeknya Bang Yu yang bernama Engkong Semaun juga merupakan penulis sejarah Jakarta dan merupakan Kepala Redaksi Koran Bintang Timur pada masa Penjajahan. Kakeknya Bang Yu lulusan Mulo dan memiliki kemampuan Bahasa Inggris, Belanda, Belgia, Arab. Salah satu karya Bang Yu adalah Si Manis Jembatan Ancol (Versi Asli Jayakarta), sampai saat ini karya tersebut belum ada yang menerbitkan karena berbagai alasan, sedangkan saat ini Bang Yu sedang menyelesaikan buku sejarah Pangeran Kertadria (Pangeran Pecah Kulit). Karya-karya lain Bang Yu adalah lukisan-lukisan tentang Jakarta dan beberapa syair lagu, termasuk lagu Rampak Si Pitung. Perjuangan Bang Yu dan babenya dalam mensosialisasikan sejarah Jayakarta tidaklah mudah, terutama dalam menghadapi sejarawan yang berkiblat pada penulisan sejarah versi penjajah. Namun demikian perjuangan Bang Yu tidaklah mengenal lelah, secara rutin beliau selalu melakukan komunikasi dengan beberapa orang yang peduli terhadap sejarah terutama dalam melestarikan sejarah Jayakarta yang merupakan negeri Islam ini... Semoga perjuangan Bang Yu dan keluarga besarnya tetap selalu istiqomah..


PERAN PARA DALANG WAYANG KULIT DALAM MEMBANGKITKAN PERLAWANAN RAKYAT JAYAKARTA

Sejak berdirinya negeri Jayakarta tahun 1527 M oleh Fattahillah atas Perintah Komando dari Sultan Trenggono dari Kesultanan Demak, maka agama Islam telah ditetapkan menjadi agama resmi negeri Jayakarta, dengan nama Pemerintahan Hikmah JumhuriyahJayakarta.

Sebelumnya, yang perlu diketahui bahwa penguasa Sunda Kelapa sebelum kedatangan Fattahillah adalah seorang yang beragama Islam, namun secara umum negeri Sunda Kelapa belum resmi menjadi sebuah negeri Islam, mengingat saat itu masih sebagian rakyat Sunda Kelapa yang menganut agama non Islam.

Perkembangan Islam pada masa SundaKelapa memang belum begitu menyeluruh, Islam lebih banyak berkembang di wilayah pesisir, sedangkan Sunda Kelapa sekalipun berada di pesisir, kendali kekuasaanya tetap berada di pedalaman, dimana Kerajaan Pajajaran menjadi Komando Tertingginya.

Datangnya Pasukan Mujahidin Fattahillah pada tahun 1527 Masehi di Sunda Kelapa telah merubah peta perpolitikan Sunda Kelapa, hingga Sunda Kelapa kemudian berubah menjadi nama Fathan Mubhina dan akhirnya diresmikan dengan nama Jayakarta.

Kedatangan Fattahilah di tahun 1527 Masehi diiringi dengan Pasukan Mujahidin dari berbagai daerah, baik itu dari Demak, Malaka, Pasai, Melayu, Palembang, Banten, Cirebon, Surabaya, Ternate Tidore dll. Merekalah yang menjadi tulang punggung perjuangan dari Fattahillah dalam mendirikan negeri Jayakarta yang Islami. Setelah Jayakarta berdiri hamper sebagian besar mereka menetap dan menjadi penduduk Jayakarta.

Pada saat negeri Jayakarta yang telah ditetapkan dengan ajaran Syariat Islamnya, maka sejak saat itu Jayakarta dipenuhi dengan berbagai aktifitas Islami. Dakwah terus menyebar kebeberapa wilayah dan salah satu cara dakwah yang dilakukan oleh keluarga besar Jayakarta, yaitu berdakwah dengan cara budaya seperti yang pernah dilakukan oleh Majelis Dakwah Walisongo.

Jayakarta jelas merupakan program jangka panjangnya Kesultanan Demak khususnya dalam rangka menjalankan misi menyebarkan Islam yang Rahmatan Lil Alamin, serta penerapan kehidupan yang dipenuhi akan nilai-nilai Akulturasi dantoleransi, namun tidak pula kehilangan akan ketegasannya.

Islam terus berkembang dibumi Jayakarta, dan salah satu strategi cerdas dalam memajukanya adalah dengan cara pagelaran wayang kulit yang dilakukan para Dalang. Tentu tema-tema yang diusung adalah tema tentang Keislaman dan tema-tema kerakyatan dan disampaikan dengan bahasa yang mudah dimengerti pada masa itu. Budaya wayang kulit ini terus bertahan sekalipun Keraton Jayakarta runtuh, di beberapa daerah pedalaman Jayakarta, kegiatan wayang kulit masih terus bertahan, bahkan sampai pada masa tahun 70 dan 80an kegiatan wayang kulit Jayakarta itu masih ada.

Perkembangan Wayang kulit ketika masa Fattahillah sampai ke masa tahun 1619 Masehi lebih banyak dilakukan di Benteng Jayakarta dan sekitarnya (JP COEN kemudian menggantinya manjadi BATAVIA) dan temanya lebih banyak berkisar akan ajaran Islam, setelah era tersebut kegiatan wayang kulit lebih banyak dilakukan di daerah-daerah pedalaman Jayakarta.

Peta perkembangan wayang kulit mengalami perubahan, dari yang tadinya lebih banyak berbicara tentang ajaran-ajaran pokok Islam lebih meningkat menjadi tema-tema perlawanan (jihad fi sabilillah). Ketika pagelaran wayang kulit dilakuka nbanyak KI DALANG maka biasanya disitu akan disisipkan pesan-pesan terselubung akan perlawanan terhadap penjajah. Pesan-pesan diberikan dalam bahasa sastra kerakyatan yang mudah difahami. Sehingga pada masa KI DALANG berjaya, pesan-pesan mereka selalu mudah diingat oleh masyarakat. Pesan-pesan KI DALANG sangat efektif dalam meningkatkan Ghirah perlawanan terhadap penjajah, paling tidak melalui gaya bahasa rakyat dan juga ungkapan sehari-hari. KI DALANG sepertinya memahami jika rakyat tidak kuasa melawan langsung penjajah kafir,  sehingga melalui peran merekalah, rakyat telah banyak disadarkan akan pentingnya arti sebuah perjuangan terhadap sebuah tirani.

Wayang Kulit yang sering dipertontonkan kerakyat jelata biasanya memakai bahasa Melayu Kejawen (Kejawen yang dimaksud disini bukanlah aliran kebatinan), hal ini mungkin merupakan sebuah kewajaran, mengingat bahasa ini sejak masa Fattahillah, kemudian setelah era 1619 M sudah sangat familier. Masyarakat Jayakarta yang banyak hijrah dari benteng Jayakarta menuju daerah-daerah pedalaman Jayakarta ternyata terus menggunakan bahasa Melayu Kejawen dalam bahasa pergaulan sehari-harinya, sehingga mau tidak para dalang wayang kulit menggunakan bahasa ini dalam pertunjukkannya. Ini berbeda dengan penggunaan bahasa yang digunakan didalam benteng Batavia yang banyak dipengaruhi, bahasa Portugis, Belanda, China da netnis-etnis dari beberapa daerah Nusantara yang didatangkan oleh JP COEN (Sang Monster Dari Negeri Bataf).

Begitu pentingnya arti seorang dalang dalam sebuah perjuangan, sehingga lama kelamaan penjajah juga mulai curiga terhadap sepak terjang mereka. Tidak jarang tuduhan miring dan cap-cap negatif sering ditujuka npada KI DALANG dan perangkatnya. Budaya Wayang Kulit dipandang rendah oleh Penjajah Kafir, wayang kulit dianggap tidak sesuai dengan Pemerintah Batavia dan tidak cocok bila dipentaskan di kota, hanya cocok di kampung, kalaupun dipentaskan di rumah-rumah para tuan tanah, itu hanya sebagai symbol bahwa mereka mampu (tapi disitu terjadi juga “senjata maka ntuan”, karena KI Dalang tetap saja melakukan kritik-kritik keras), sedangkan dansa-dansi ala sinyo dan noni Belanda justru dipuji sebagai sebuah kebudayaan “YANG MAJU DAN BERADAB”.

Salah satu puncak perlawanan yang dilakukan para Mujahidin Jayakarta melalui peran dalang wayang kulit adalah ketika munculnya PERLAWANAN KI DALANG DI TANGERANG pada tahun 1924 M. Perlawanan KI DALANG sudah dirintis sejak meredupnya perlawanan Pendekar PituanPitulung (PITUNG) setelah syahidnya Radin Muhammad Ali Nitikusuma sebagai pemimpin gerakan Pendekar Pitung.

Sosok yang menjadi sentral pergerakan KI DALANG ini adalah berasal dari Keturunan Jayakarta asli. Berkat beliaulah gerakan perlawanan KI DALANG meledak, sehingga para tokohnya menjadi buruan penjajah kafir untuk dihukum mati termasuk penulis kitab Al-Fatawi, KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma.

Peran para Dalang Wayang Kulit tidak bisa dianggap enteng, karena profesi dalang pada masa Jayakarta Berjaya sangatlah terhormat, karena disamping sebagai pendalang, dia juga merupakan tokoh masyarakat  yang dihormati. KI DALANG jelas mempunyai pengetahuan yang lebih dari rakyat biasa, dan hebatnya mereka bisa mengungkapkan dengan bahasa rakyat.Pesan-pesan dari KI DALANG bahkan bisa diingat oleh anak-anak, padahal sebenarnya pesan-pesan itu bermakna dalam dan penuh dengan satire bahkan terkadang sarkasme khususnya yang ditujukan kepada penjajah kafir (dan itu tidakapa-apa menurut kami).

Namun saat ini boleh dikatakan Wayang Kulit Jayakarta sudah nyaris tidak terdengar, wayang kulit khas Jayakarta jarang sekali kita temui, yang  ada justru dangdut pantura, musik gerobak, music korea, konser-konser music yang syairnya aneh kadang banyak yang seronok.

Terakhir kami mendengar bahwa dalang-dalang wayang kulit Jayakarta ada di daerah bekasi, namun durasi pertunjukkan sangat minim, karena sekarang ini sudah diganti dengan pertunjukan orkes dangdut…

Semoga akan banyak timbul kembali para dalang-dalang yang mampu mengembalikan kejayaan Jayakarta dengan nilai-nilai islaminya…

Sumber :

Tafsir Kitab Al Fatawi, R.B Gunawan Mertakusuma, Jakarta : Al-Fatawi, 1981
Pemberontakan Ki Dalang 1924, Iwan Mahmud Al Fattah, Jakarta : Madawis-Ikrafa, 2014 (lihat di tulisan sebelumnya)

Wawancara Bersama :

Bang Yu (Yusuf bin Gunawan bin Semaun bin KH Ahmad Syar’i bin Abdul Wahab bin Bahsan Mertakusuma), Tanggal 17 Agustus 2015, di kediaman keluarga besar beliau Joglo Jakarta Barat.

Biografi Yusuf Mertakusuma :

Yusuf Mertakusuma atau panggilan akrabnya Bang Yu adalah penulis sejarah Jayakarta dan merupakan seniman asli keturunan Jayakarta. Dalam beberapa tahun ini beliau bermukim di Bandung Jawa Barat, namun kepeduliannya akan sejarah Jayakarta tidak pernah luntur. Sejak  tahun 1968 M beliau bersama ayahnya (Babe Gunawan Mertakusuma) konsen pada pelestarian sejarah Jayakarta melanjutkan perjuangan Al-Allamah KH Ahmad Syar’i Mertakusuma yang merupakan penulis sejarah asli Jayakarta. Sampai pada tahun 1999 Bang Yu bersama ayahnya terus menerus berusaha meluruskan sejarah Jayakarta. Bang Yu lah yang banyak mendokumentasikan sejarah Jayakarta. Penulisan Sejarah Jayakarta yang mereka lakukan berdasarkan catatan turun-temurun yang dipegang oleh para keturunan Mujahidin Jayakarta. Ayahnya Babe Gunawan juga aktif menulis di beberapa harian surat kabar seperti Sinar Pagi terutama mengenai sejarah Jayakarta. Babenya Bang Yu ini juga secara silsilah berkerabat dekat dengan keluarga Firman Muntaco (Penulis Betawi) , MH Husni Thamrin, Syekh Abdul Ghoni, Guru Mansur, Rano Karno (Gubernur Banten) serta beberapa tokoh  Jakarta lainnya. kakeknya Bang Yu yang bernama Engkong Semaun juga merupakan penulis sejarah Jakarta dan merupakan Kepala Redaksi Koran Bintang Timur pada masa Penjajahan. Kakeknya Bang Yu lulusan Mulo dan memiliki kemampuan Bahasa Inggris, Belanda, Belgia, Arab. Salah satu karya Bang Yu adalah Si Manis Jembatan Ancol (Versi Asli Jayakarta), sampai saat ini karya tersebut belum ada yang menerbitkan karena berbagai alasan, sedangkan saat ini Bang Yu sedang menyelesaikan buku sejarah Pangeran Kertadria (Pangeran Pecah Kulit). Karya-karya lain Bang Yu adalah lukisan-lukisan tentang Jakarta dan beberapa syair lagu, termasuk lagu Rampak Si Pitung. Perjuangan Bang Yu dan babenya dalam mensosialisasikan sejarah Jayakarta tidaklah mudah, terutama dalam menghadapi sejarawan yang berkiblat pada penulisan sejarah versi penjajah. Namun demikian perjuangan Bang Yu tidaklah mengenal lelah, secara rutin beliau selalu melakukan komunikasi dengan beberapa orang yang peduli terhadap sejarah terutama dalam melestarikan sejarah Jayakarta yang merupakan negeri Islam ini... Semoga perjuangan Bang Yu dan keluarga besarnya tetap selalu istiqomah..

PENGGUSURAN KAMPUNG PULO SOLUSI BANJIR ? DUKA NESTAPA &TANGIS PEDIH RAKYAT KECIL JAKARTA TERHADAP AROGANSI PENGUASA

"Turut Berduka Cita atas penindasan yang dilakukan Penguasa Jakarta Kepada Rakyat"

Miris saya mendengar telah terjadinya bentrok antara fihak Pemda DKI dengan warga Kampung Pulo Kampung Melayu Jakarta Timur yang terjadi pada hari ini (Kamis, 20 Agustus 2015). Sepertinya untuk menyelesaikan sebuah masalah, kekerasan selalu menjadi sebuah jalan keluar yang “terbaik” menurut sudut pandang pemerintah. Pengerahan Satpol secara besar-besaran dengan didukung aparat keamanan sepertinya merupakan “jurus jitu” untuk menundukan rakyat jelata yang tinggal didaerah yang “mereka” anggap tidak layak dan katanya “mengganggu” lingkungan, ironisnya pada satu sisi sangat jarang saya mendengar kalau pengerahan besar-besaran seperti ini ditujukan kepada fihak golongan kaya yang tinggal dipemukiman-pemukiman elit, padahal pemukiman tersebut telah merusak dan menghancurkan lingkungan serta ekosistem yang ada. Stratifikasi sosial sepertinya telah menjadikan pemerintah “tebang pilih” dalam menjalankan setiap “operasinya”. Mirip dengan perilaku Kumpeni Belanda dulu terhadap rakyat miskin. Dengan angkuhnya penjajah Kumpeni Belanda itu menindas rakyat jelata, namun terhadap Tuan-tuan tanah Penjajah Belanda sangat memanjakan betul mereka itu. Rakyat Pribumi seperti tidak berada di negerinya sendiri...dan itu kini terjadi sekarang!

Penggusuran dengan alasan apapun pada dasarnya sangatlah tidak manusiawi dan tidak beradab. Saya berani mengatakan seperti ini karena cara-cara yang dilakukan para penggusur tersebut bila kita lihat secara kasat mata cenderung sangat melukai perasaan rakyat kecil. Akibatnya dengan adanya perilaku seperti itu semakin membuat adanya jarak antara “si miskin” dan “si kaya” atau “si lemah’ dan “si kuat”. Kalau memang ingin mengadakan sebuah penggusuran, apakah tidak ada cara yang lebih beradab dan bermartabat ? sudah putus asakah mereka yang menjadi penguasa, sehingga tidak ada cara yang lebih elegan dalam menyelesaikan masalah seperti ini ?  Pendekatan “kerakyatan” dulu yang pernah dilakukan pada saat kampanye politik sepertinya tidak berlaku lagi bila untuk masalah penggusuran, dulu begitu butuhnya mereka para pemimpin itu pada rakyat, kini justru malah menyakiti rakyat. Ingat bung, ini Jakarta, kota yang penuh dengan sejarah yang panjang. Jangan pernah menyakiti rakyat kalau anda tidak ingin menyesal.

Saya bukan anti terhadap pemerintah DKI, tapi jika mereka selalu memakai cara-cara kekerasan seperti ini apalagi untuk masalah sosial, itu sama saja mereka akan menciptakan bom waktu yang mungkin sangat mengerikan bila terjadi. Kita tentu masih ingat bagaimana dulu Peristiwa penggusuran Makam Mbah Priok yang berakhir dengan kekerasan yang cukup “mengerikan” bukan?. Kalau penggusuran untuk alasan mencegah banjir, kenapa tidak dimulai dari hulunya dulu?  Permasalahan banjir ini sangat kompleks, namun demikian, sekalipun masalahnya komplek perlu ada sebuah skala prioritas, maka menurut saya skala prioritasnya adalah dimulai dari Hulu dulu dengan mengadakan kerjasama yang baik, bukan justru dari hilirnya dulu seperti yang dilakukan pada Kampung Pulo yang jelas-jelas berada di pusat kota (hilir), mau ditanggulangi seperti apapun, tetap saja masih sangat berpotensi besar untuk banjir, karena posisi tanahnya memang sudah rendah, dengan posisi tanah Jakarta yang seperti ini, tetap saja bahaya banjir akan selalu mengintai. Justru saya sendiri sangat malu pada diri sendiri kalau melihat perjuangan penduduk Kampung Pulo itu bertahan dari bahaya banjir (apa pemimpin Jakarta yang sekarang sudah berbasah-basah ria masuk kelorong kampung ini pada saat banjir besar ? ). Di satu sisi kita hanya bisa menyalahkan mereka kenapa mereka tinggal disana, padahal mereka itu sudah tinggal berpuluh-puluh tahun yang lalu dan hanya bisa memilih tinggal di tempat itu karena keadaan.

Kalau ingin melihat sesuatu lebih baik janganlah kita semua melihat dari sudut pandang kita saja, terutama pemerintah DKI Jakarta ini. Setiap permasalahan sosial di DKI tidak harus diselesaikan dengan cara AROGAN dan SARAT AKAN KEKERASAN. Kalau setiap masalah sosial seperti penanggulangan banjir diselesaikan dengan cara penggusuran apalagi disertai dengan kekerasan, plus diiringi dengan pengerahan besar-besaran Satpol dan aparat keamanan, pertanyaannya adalah, apakah Jakarta ini “medan perang”?. Tentu dengan adanya pengerahan seperti ini, rakyat pun akan mudah terpancing karena terbakar hatinya, mereka tentu sangat marah karena ditindas oleh adanya keangkuhan penguasa Jakarta ini. Memang kita tahu Jakarta ini membutuhkan kepemimpinan yang tegas dan disiplin dalam setiap hal, tapi itu bukan berarti si pemimpin jadi semena-mena dan mentang-mentang baik dari keputusan ataupun mulutnya. Pendekatan terhadap rakyat itu harusnya ambil hati mereka mas, bukan menunjukkan arogansi dan merasa paling benar, rakyat itu berfikirnya normal-normal saja kok, untuk urusan hukum mereka itu lugu dan tidak neko-neko, yang penting bagaimana mereka itu tidak terganggu akan hajat hidupnya. Penggusuran jelas sangat menggangu  hajat hidup mereka. Jangan karena anda  itu “berkuasa” dan “menang” terhadap hukum di Jakarta ini, semua bisa dilibas, semua harus tunduk, semua harus memaklumi, semua harus mendengar. Ini negeri Jakarta bung, negeri yang dahulunya merupakan wilayah yang damai dan penuh dengan toleransi kepada siapapun, negeri ini panjang sejarah perlawanannya terhadap tirani, jangan sakiti mereka para rakyat Jakarta, karena sekali anda menyakiti mereka, tunggulah, cepat atau lambat anda akan jatuh, ingat bung penguasa, sejak dahulu negeri Jakarta ini tidak pernah tunduk terhadap penguasa yang arogan dan zalim, siapapun dia....Ingat bung, kami dulu punya Pendekar Pitung yang pernah melawan kezaliman para penguasa dan tuan-tuan tanah budak penguasa, bukan tidak mungkin kalau anda sebagai penguasa masih terus bertahan dengan gaya arogan anda, akan muncul Pitung-Pitung baru yang lebih keras dari Pitung-Pitung yang dahulu dalam menghadapi kezaliman anda....

Jakarta, 20 Agustus 2015

Iwan Mahmud Al-Fattah (Pemerhati Sejarah Jakarta)

ENTONG GENDUT DARI CONDET DAN KISAH KEMATIANNYA BERDASARKAN KITAB AL-FATAWI (Pejuang Jayakarta Di Wilayah Front Timur)

Hari Sabtu tanggal 29 Agustus 2015 Kemarin, saya menghadiri Lebaran Betawi yang diadakan oleh Komunitas Ciliwung Condet Jakarta Timur, sebuah Komunitas yang mempunyai kepedulian akan lingkungan sungai dan lingkungan Condet. Dalam acara tersebut telah banyak hadir para sesepuh Condet dan juga beberapa tokoh teras Bamus Betawi termasuk Haji Oding, Bang Biem Benyamin juga Ibu Sylvia Murni dan beberapa undangan dari Dzurriyah Kesultanan Banten.

Bagi saya sendiri Condet bukanlah sebuah tempat yang asing, karena sejak tahun 80an wilayah ini sering saya datangi, puncaknya adalah ketika pada tahun 1989 – s/d 1995 saya rajin datang berziarah kerumah  Habib Umar bin Hud Al Attas untuk minta didoakan dengan berbagai hajat. Disamping itu saya juga rajin menghadiri maulid-maulid seperti kediaman Alhabib Syekh Al-Jufri di depan Masjid Al-khairat, Al-Habib Husein bin Ali Al-Attas di Gang Buluh, Alhabib Abdul Qodir Al Haddad Al Hawi, di Majlis Kebajikannya KH Sasi Cililitan. Condet semakin melekat di hati saya ketika akhirnya saya selama 11 tahun ini telah mencari nafkah di daerah ini  dengan mengajar di salah satu sekolah Islam yang berada di wilayah Bale Kambang, tepatnya yang berada disamping Gang Pangeran. Di Condet ini bahkan saya pernah berkunjung dan silaturahim ke kediaman Penulis Handal Jakarta yaitu Almarhum Firman Muntaco dan bahkan pernah ngobrol-ngobrol dengan anak beliau yang bernama Mpok Fifi Firman Muntaco yang meneruskan jejak perjuangan Babe Firman ini..

Bagi saya sisi yang menarik dari Condet adalah sejarah panjangnya. Condet adalah merupakan daerah yang cukup unik, dari sebuah daerah yang dulunya merupakan pinggiran Jakarta kini menjelma menjadi sebuah daerah yang sarat akan nilai-nilai perkotaan. Beberapa hal yang menurut saya cukup menonjol dari Condet adalah Karakter Islamnya. Sampai saat ini Islam di tanah Condet masih bertahan dengan baik, sama baiknya seperti daerah tetangga lainnya seperti Mampang Prapatan Jakarta Selatan. Tentu bertahannya Islam di Tanah Jakarta yang satu ini menjadi sebuah pertanyaan yang menarik bagi kita semua. Jawaban itu sebenarnya bisa kita dapati kalau saja kita mau keliling dan mempelajari sejarah tokoh-tokoh pada masyarakat Condet ataupun Tanjung Barat.  Di Condet ini sebenarnya banyak makam-makam bersejarah dari tokoh-tokoh besar pada masa lalu seperti Makamnya Datuk Ibrahim dan kakeknya yang datang kurang lebih 300 tahun lalu. Beliau ini adalah keturunan Maulana Malik Ibrahim (Walisongo) yang berdakwah di tanah Condet. Salah satu Situs yang juga pernah saya dengar riwayatnya adalah keberadaan wilayah Pesantren Tapak Sunan. Daerah ini dahulunya merupakan salah satu wilayah yang pernah dikunjungi Fattahillah dan beberapa Wali dalam rangka dakwah Islamiah. Sehigga sangat wajar jika pemimpin pondok pesantren ini memberikan nama TAPAK SUNAN.

Di samping  itu, Condet juga dulu pernah bermukim seorang tokoh besar Pejuang Dan Pemimpin Jayakarta yang bernama Aria Wiratanudatar. Aria Wiratanudatar ini adalah pemilik tanah-tanah Condet dan Tanjung Barat (termasuk gedung tinggi yang berada dipertigaan Rindam-TB Simatupang) sebelum dirampas oleh Penjajah Belanda karena Aria Wiratanudatar diketahui mengkoordinir pejuang Jayakarta untuk melawan penjajah, hingga menyebabkan beliau akhirnya hijrah di Cianjur Jawa Barat dan menjadi Adipati Cianjur. Beberapa rekan kerja saya di Condet juga bahkan mengatakan bahwa di Condet masih ada beberapa situs dan makam tua dari beberapa tokoh masa lalu yang terjepit pada beberapa rumah penduduk. Hanya saja saya belum sempat mengadakan penelitian ke makam-makam tersebut.

Hal lain yang juga tidak kalah menarik adalah bahwa Condet ini dahulunya terkenal sebagai penghasil buah-buahan terbaik di Jakarta khususnya salak condet. Sampai saat ini bekas-bekas pohon salak masih bisa kita temukan dipinggir-pinggir sungai Ciliwung dan beberapa tanah warga yang belum dibangun perumahan. Kehidupan lain yang masih bisa kita temukan adalah pembuatan makanan tradisional seperti Emping Condet, Dodol Condet, Geplak dan makanan-makanan khas Jakarta lainnya.

Pada perayaan Lebaran Betawi di Condet 2015, terus terang saya seperti memasuki masa-masa tahun 80an saja, saat saya masih remaja, dimana dulu masih dapat saya tenemukan lingkungan yang asri dan budaya-budaya Jakarta yang khas. Tanah Jakarta termasuk Condet saat itu masih hijau dan rindang, bahkan sampai saat ini masih ada beberapa tempat di Condet yang masih bertahan dengan keasriannya, salah satunya tanah dimana tempat yang menjadi markasnya Komunitas Ciliwung Condet ini. Dahulu menurut ayah saya yang pernah ke Condet tahun 1955, Condet benar-benar masih sangat desa banget. Kebetulan ayah saya bersama rombongannya pernah silaturahim kepada beberapa tokoh Condet dan Tanjung Barat untuk sekedar “adu maenan” dan “tuker-tukeran ilmu”. Menurut beliau aspal baru sampai Cililitan saja, setelah itu masuk Condet masih jalan setapak yang betul sangat alami. Condet menurut beliau sangat jauh keadaanya dengan Pasar Senen Jakarta Pusat yang sudah dipenuhi dengan kehidupan kota. Menurut beberapa orangtua yang ada di Condet, Condet itu memang daerah yang sangat bersahaja dan sarat akan nilai-nilai pertaniannya. Dan mereka itu sangat ramah terhadap pengunjung luar, setiap rumah bahkan selalu didepan terasnya disediakan gentong air untuk para musafir yang kelelahan. Jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain cukup berjauhan, namun nilai-nilai silaturahimnya tetap kuat, apalagi saat itu keberadaan ulama sangat menonjol seperti misalnya pada sosok karismatik yaitu Habib Muhsin bin Muhammad Al-Attas (tokoh yang pertama mendirikan Masjid Al-Hawi yang berada di Ujung Cililitan Jakarta Timur) pada awal-awal tahun 20an. Tidaklah mengherankan bila pada tahun 50 sd 70an banyak kalangan Habaib dan arab lainnya yang berasal dari Tenabang, Pekojan,  Kwitang, Karet, banyak  memilih pindah ke Condet karena memang lingkungannya yang menyenangkan dan Islami.

Kecintaaan akan Condet bahkan bertambah saat saya mendengar kisah kepahlawanan salah seorang Mujahid Condet yang bernama Entong Gendut. Nah berawal dari kehadiran saya di Lebaran Betawi 2015 inilah saya tertarik ingin mengangkat kembali Sejarah Entong Gendut tersebut. Kenapa saya tertarik mengangkat kisah perjuangan Entong Gendut ini ? karena  pada saat pameran foto tokoh-tokoh Condet klasik hingga pada masa sekarang kemarin, saya belum menemukan sosok Entong Gendut berada pada jajaran tokoh-tokoh tersebut. Sedangkan saat saya berkunjung di Museum Muhammad Husni Thamrin di Kenari Jakarta Pusat, nama Entong Gendut masuk sebagai Pahlawan Jakarta lengkap dengan lukisannya yang berkarakter tegas. Nama Entong Gentong bahkan di Museum ini disejajarkan dengan Muhammad Husni Thamrin, Ismail Marzuki, Letkol Imam Syafi’i, Benyamin S dan beberapa tokoh Betawi lainnya.

Siapa sebenarnya nama Entong Gendut ini ?

Berdasarkan beberapa literatur yang saya baca, Entong Gendut ini digambarkan sebagai sosok yang pemberani dalam melawan kezaliman dan kesewenang-wenangan Tuan Tanah yang didukung oleh Penjajah Belanda.  Dinamakan Gendut karena perawakannya agak gemuk. Panggilan Entong sendiri merupakan panggilan akrab kepada yang muda pada masa itu. Di beberapa wilayah seperti Pondok Gede dan Bekasi, panggilan Entong ini bahkan masih sering saya dapati. Bahkan salah seorang orangtua sahabat saya, kalau ketemu saya selalu memanggil saya Entong...

Keberadaan atau kisah Entong Gendut ini dapat saya katakan sangat minim referensinya dalam sejarah Jakarta, namun bagi orangtua di Condet yang usianya diatas 70 tahun, nama yang satu ini sangatlah melekat dihati mereka. Entong Gendut sendiri kisahnya sudah masuk dalam Forklore (cerita rakyat). Itu artinya keberadaan beliau sudah diakui masyarakat Jakarta baik secara fakta maupun legenda, jadi sangatlah mengherankan jika ada warga Jakarta, apalagi mereka yang senang akan sejarah tidak mengenal sosok Entong Gendut ini.

Entong Gendut memang sosok yang misterius dan cukup menarik untuk dilacak sejarahnya. Beberapa tahun lalu untuk melacak jejak dirinya, saya pernah mendengar jika beliau ini punya keturunan yang tinggal di sekitar Gang Pangeran di samping SMA Global Islamic School. Memang jika saya melihat Gang Pangeran ini masih ada beberapa peninggalan rumah betawi Tua, yang satu berada di samping mushola yang satu dipinggir jalan Gang Pangeran. Insya Allah ke depannya saya akan mencoba mencari jejak keturunan Entong Gendut ini.

Dalam perjalanan hidupnya Entong Gendut adalah sosok pembela rakyat Condet yang telah lama ditindas secara semena-mena oleh Tuan Tanah dan antek-anteknya. Tuan Tanah dari bangsa asing ini serta penjajah Belanda banyak berbuat zalim dengan cara membuat pajak tanah dan pajak tanaman dengan nilai uang yang sangat  tinggi, bahkan mereka tidak segan-segan merampas secara sefihak tanah-tanah pertanian rakyat.  Tanah Condet pada masa lalu memang sangat makmur dan menjanjikan bagi para pemiliknya, apalagi daerah ini merupakan dataran tinggi yang aman dari wilayah banjir serta jauh dari pengawasan pemerintahan Penjajah Belanda yang berada dipusat kota seperti daerah Jakarta Pusat yang sekarang ini.

Perlawanan para pemuda dan pejuang Jakarta terhadap para Tuan Tanah dan Penjajah pada masa lalu memang kebanyakan berawal dari masalah pertanahan. Sejak dahulu masalah tanah selalu menjadi gejolak antara si kaya dan si miskin, antara rakyat dan penguasa. Tanah-tanah rakyat inilah yang akhirnya selalu menjadi penyebab timbulnya perjuangan. Tanah yang harusnya menjadi milik pribumi, justru telah dirampas dan dimiliki oleh Tuan Tanah dari Bangsa Asing. Ironisnya Tuan Tanah dari Bangsa Asing ini banyak juga dibantu oleh para penghianat yang rela mengorbankan darah saudaranya sendiri demi kepuasan harta dunia. Rakyat seperti bukan hidup di negerinya sendiri. Mereka seperti tamu di negerinya sendiri, bangsa asinglah yang justru menjadi Raja. Rakyat betul-betul menderita dan itu juga dialami oleh Entong Gendut. Sekalipun rakyat dicekam ketakutan oleh tindak tanduk Tuan Tanah dan Penjajah Belanda,  namun hampir semua rakyat Condet sangat mendukung dan simpati terhadap perjuangan Entong Gendut ini,  walau mereka hanya bisa mendukung melalui doa. Rakyat memang tidak bisa membantu langsung perjuangan Entong Gendut itu karena mereka selalu  dicekam ketakutan karena telah terus menerus mendapatkan ancaman intel-intel dan pasukan Belanda yang terus mencari keberadaan Entong Gendut dan kawan-kawannya.

Perlawanan Entong Gendut sendiri muncul setelah redupnya perlawanan Pendekar Pitung, dimana satu persatu anggotanya Syahid dan gugur ditangan penjajah Belanda.

Dalam beberapa riwayat, dan ditulis yang kami ketahui beberapa tahun lalu, Perlawanan Entong Gendut ini tidak lama karena keburu “gugur” oleh Penjajah Belanda. Nah pada sisi inilah saya ingin  menjelaskan sejarahnya lebih dalam lagi. Pada beberapa versi yang pernah kami ketahui, Entong Gendut ditulis gugur pada tahun 1916 Masehi setelah tertembak ditepi sungai Ciliwung. Versi kedua Entong Gendut “naas” karena menyalahi pantangan ilmunya yang tidak boleh menyeberangi sungai, sehingga ia akhirnya tertembak dan tewas. Versi ketiga Entong Gendut Gendut terjebak di tepian sungai Ciliwung dan ditembaki oleh pasukan Belanda, namun beliau dikatakan kebal dan tahan peluru, namun akhirnya menyerah karena kalah jumlah, kemudian dia memberi tahu kelemahan ilmu yang dimilikinya. Versi keempat beliau tertembak dan tewas kemudian mayatnya dibawa ke Cililitan namun kemudian ternyata hilang, kemudian tidak lama kemudian terdengar bahwa beliau “hidup” dan muncul di Purwakarta Jawa Barat.

Dari sekian versi tersebut, semua rata-rata menyatakan bahwa Entong Gendut gugur, walaupun ada beberita cerita yang dipengaruhi unsur mistik, dan cerita seperti ini memang biasa disebarkan fihak fihak penjajah kepada rakyat untuk menggambarkan bahwa “sesakti-saktinya” jagonya pribumi, tetap saja ia kalah oleh Penjajah ! Padahal kematian Entong Gendut jauh dari prasangka dari penjajah ini.

Namun berdasarkan keterangan kitab Al-Fatawi dan keterangan KH Ahmas Syar’i Mertakusuma. Entong Gendut ini seperti yang digambarkan diatas. Entong Gendut memang gugur namun caranya tidaklah seperti yang diatas.

Entong Gendut dalam catatan KH Ahmad Syar’i Mertakusuma ternyata adalah merupakan bagian dari strategi perjuangan dari Mujahidin Jayakarta. Entong Gendut ini ternyata masuk dalam jaringan Gerakan Perjuangan KI DALANG yang berpusat di Desa Teluk Naga Kampung Melayu Tangerang, sedangkan Majelisnya berada di Kampung Bambu Larangan Cengkareng, Masjid Kumpi Haji Kuntara Nitikusuma (kini nama Masjid Kuntara berganti menjadi Masjid Safinatul Husna). Pada waktu itu wilayah Tangeran Kampung Naga masuk menjadi wilayah Jayakarta. Dan di wilayah Tangerang dan Cengkareng inilah banyak terdapat Mujahidin Jayakarta.

Gerakan KI DALANG adalah gerakan Perjuangan Mujahidin Jayakarta, setelah redupnya perlawanan 7 Kesatria Jayakarta, Pendekar Pituan Pitulung (Pitulung). Tumbangnya gerakan Pitung di tahun 1905 Masehi setelah gugurnya Penghulu mereka yaitu Radin Muhammad Ali Nitikusuma, setelah itu semua Mujahidin Jayakarta melakukan konsolidasi dibawah tanah hingga kemudian akhirnya pada tahun 1914 muncul Gerakan Perjuangan Ki Dalang.
Gerakan Ki Dalang adalah gerakan perlawanan terhadap kezaliman Tuan Tanah dari bangsa asing ataupun bangsa sendiri yang didukung Penjajah Belanda. KI Dalang ini memang banyak yang terdiri dari Dalang, namun dalam praktek perdalangannya mereka menyebarkan ajaran jihad fisabilillah terhadap pada Tuan Tanah dan Penjajah Belanda. Kata-kata “kafir” sering dikumandangkan untuk membedakan antara Tuan Tanah, penjajah dan rakyat Jayakarta.

Gerakan Ki Dalang dimulai tahun 1914 dan berakhir pada tahun 1926.

Dalam perjuangan KI Dalang ini Entong Gendut mendapatkan tugas  di bagian Timur Jayakarta, termasuk Desa Condet, sedangkan bagian Selatan yang mendapatkan tugas adalah Entong Geger dari Jati Padang Pasar Minggu. Peta pergerakan Entong Gendut adalah dimulai dari Kampung Condet sampai wilayah Tanjung Barat. Setiap beberapa bulan mereka melakukan konsolidasi dan mematangkan strategi dengan para pejuang Jayakarta lainnya.

Perjuangan Entong Gendut ini cukup membuat repot Penjajah Belanda dan membuat ketakutan para Tuan Tanah di kawasan Condet dan Tanjung Barat, apalagi Entong Gendut ini tidak segan-segan memberikan “hukuman” keras kepada mereka yang berfihak kepada Penjajah dan Tuan Tanah, berapa kali ia bersama dengan teman-temannya berhasil memberi pelajaran telak kepada pasukan belanda, Tuan Tanah dan antek-anteknya.

Semangat perjuangan Entong Gendut adalah Jihad Fi Sabilillah, sehingga apabila dia mendengar atau melihat langsung kemungkaran, maka Entong Gendut akan segera bertindak. Semangat Islamnya sangat luar biasa sekali.  

Perjuangan Entong Gendut sendiri harus berakhir pada tahun 1920 Masehi. Pada tahun inilah Entong Gendut tertangkap Belanda. Bersama dengan tokoh KI Dalang lainnya dia tertangkap tangan. Mereka yang tertangkap adalah :

  1. Radin Abdul Karim bin Daim Nitikusuma
  2. Entong Geger dari Jati Padang
  3. Entong Gendut dari Condet
  4. KH Ahmad Syar’i Mertakusuma
Empat orang ini dibawa hidup-hidup ke Penjara  Jambi Sumatra. Entong Gendut dan Entong Geger akhirnya syahid dan gugur di dalam Penjara Jambi. Radin Abdul Karim dipindahkan di penjara Tanjung Pinang, dan pada tahun 1932 Masehi beliau wafat di rumah sakit Pangkal Pinang Sungai Liat Sumatra. Sedangkan KH Ahmad Syar’i berkat pertolongan Allah berhasil meloloskan diri dan bersembunyi di Bandung, kemudian beliau tertangkap di Karawang dan segera dijatuhi hukuman mati berupa gantung oleh Pemerintah Penjajah Belanda, namun beliau berhasil lolos kembali dan hijrah ke Medan Sumatra Utara, setelah itu tidak lama kemudian beliau kembali ke Jakarta untuk mengadakan pemberontakan besar-besaran Ki Dalang, lalu setelah Pemberontakan KI Dalang meledak pada tahun 1924, KH Ahmad Syar’i pada tahun 1926 memutuskan hijrah ke Palembang karena suasana Jakarta yang sudah tidak kondusif bagi dirinya, semua gerak geriknya sudah mulai tercium Belanda, beliau akhirnya hijrah ke Palembang sambil membawa semua dokumen-dokumen penting perjuangan Mujahidin Jayakarta diantaranya kitab Al-Fatawi yang menceritakan tentang sosok Entong Gendut tersebut.

Demikianlah sekelumit sejarah Entong Gendut yang ternyata merupakan salah satu Mujahidin Jayakarta dan merupakan satu rekan perjuangan dari Al-Allamah KH Ahmad Syar’i Mertakusuma yang merupakan penulis kitab Al-Fatawi, semoga kisah Entong Gendut ini menjadi inspirasi bagi kita semua dan saya berharap kedepannya, nama Entong Gendut ini bisa diperhatikan untuk diabadikan atau dijadikan nama sebuah jalan atau tempat di sekitar Condet, karena beliau ini adalah seorang pejuang dan mujahidin yang telah berani membela kehormatan rakyat Jakarta dalam menegakkan keadilan dan kebenaran. Mudah-mudahan tokoh masyarakat, ulama dan pemerintah setempat bisa memperhatikan nama pejuang yang satu ini.....

Wallahu A’lam bisshowab...

Sumber :
Wangsa Aria Jipang, Gunawan Semaun Mertakusuma, Jakarta : Agapres, 1986
Al-Fatawi (Silsilatul Syar’i), KH Ahmad Syar’i Mertakusuma, Jakarta – Palembang : Majelis Adat Jayakarta Al-Fatawi, 1910.
Cerita Rakyat Jakarta DKI Jakarta, Bambang Suwondo, Jakarta : Depdikbud, 1980.
Catatan Perjalanan Hidup, Gunawan Semaun Mertakusuma, Jakarta : Al-Fatawi, 1981