Selasa, 04 Agustus 2015

MELURUSKAN NASABNYA MBAH KH HASYIM ASY'ARY AZMATKHAN AL-HUSAINI, (Benarkah beliau Dzurriyah Sunan Giri ?)

Muktamar NU masih berlangsung dengan semarak, dan sepertinya proses kedepannya semakin menggembirakan apalagi setelah "turun gunungnya" kyai-kyai karismatik NU dalam menyelesaikan "dinamika" yang terjadi kemarin.

Mencermati muktamar NU ini, rupanya ada satu hal yang mengusik hati kami, terutama tentang ditampilkannya nasab Mbah KH Hasyim Asy'ary bersama dengan Mbah KH Muhammad Dahlan yang merupakan pendiri ormas NU dan Muhammadiyah.

Tadinya kami berfikir mungkin saja ini sebuah uphoria sesaat karena adanya muktamar, namun karena kami melihat bahwa ini adalah urusannya dengan nasab tokoh besar umat Islam Nusantara dimana untuk masalah yang satu ini cukup "sensitif" bagi beberapa kalangan (terutama yang berkecimpung dalam dunia ilmu nasab), maka sepertinya kami akhirnya ingin juga ikut berkomentar terhadap hal yang satu ini, apalagi setahu kami kedua-duanya memang bernasabkan kepada keluarga besar Walisongo. Yang juga membuat kami tertarik dan jadi pengen menimpali,  karena disitu banyak kami temukan generasi-generasi yang "hilang" atau tidak tertulis, sehingga terkesan terlalu pendek generasinya (terutama nasab Mbah KH Hasyim Asy'ari). Bagi yang berkecimpung dalam ilmu nasab, tentu akan bertanya-tanya tentang "pendeknya" nasab Mbah Hasyim Asy'ari itu dan repotnya banyak juga yang percaya dengan nasab beliau dengan versi yang "pendek" tersebut.

Mengenai nasab keduanya, pada intinya beliau-beliau ini memang Sayyid (atau Habib/Keturunan Rasulullah SAW), hanya saja kadang dalam penulisan nasab, beberapa orang sering "salah kamar" dalam penyusunan atau penisbatan nama mereka. Contoh misalnya, nasab KH Ahmad Dahlan, dalam versi Film Sang Pencerah, beliau ditulis dan disebutkan keturunan langsung Maulana Malik Ibrahim Azmatkhan, sesuatu yang sangat mengejutkan kami, padahal jelas-jelas di keluarga besar KH Ahmad Dahlan, nasab beliau yang tertera adalah berasal dari Sunan Giri Azmatkhan. Memang antara Maulana Malik Ibrahim dan Sunan Giri itu satu nasab, namun untuk KH Ahmad Dahlan nasab langsungnya jelas dari Sunan Giri bin Maulana Ishak bin Maulana Ibrahim Zaenuddin Al-Akbar As-Samarkondy bin Husein Jamaluddin bin Sultan Ahmad Syah Jalaluddin bin Al Amir Abdullah bin Abdul Malik Azmatkhan. Sedangkan Maulana Malik Ibrahim bin Sultan Barokat Zaenal Alam bin Husein Jamaluddin bin Sultan Ahmad Syah Jalaluddin bin Abdullah bin Abdul Malik Azmatkhan. Untuk masalah KH Ahmad Dahlan sepertinya memang sudah mashyur berasal dari Sunan Giri. Jelas Maulana Malik Ibrahim hitungannya adalah kakek bagi Sunan Giri karena Maulana Ibrahim Zaenuddin Al-Akbar As-Samarkondi dan Sultan Barokat Zaenal Alam adalah adik kakak. Memang terkadang antara Maulana Ibrahim Zaenuddin Al Akbar As-Samarkondi dan Maulana Malik Ibrahim sering disamakan pada satu orang (karena sama-sama pakai nama Maulana dan Ibrahim), padahal mereka adalah sosok yang berbeda, yang satu makamnya di Tuban yang satu di gresik..

Bagaimana dengan Mbah Hasyim Asy'ari ? nah ini yang menurut kami sangat menarik.

Beberapa tahun yang lalu dalam sebuah blog tertentu, kami pernah melihat perdebatan yang cukup panas antara yang mempercayai kalau Gus Dur adalah Sayyid dan juga  yang kontra terhadap nasab beliau. Masalahnya yang kami lihat pada waktu itu, banyak yang kontra terhadap nasab Gus Dur karena dilatar belakangi sikap beliau yang sering dianggap "kontroversial" dalam kaca mata beberapa orang. Padahal kalau kita bicara nasab, ya kita harus jujur dan tegas, apakah dia Sayyid atau tidak, atau apakah dia sudah menjadi pribumi karena akulturasi, ya tetap harus dijelaskan, jika memang data nasabnya tercatat, terpelihara dan bersanad, mereka tetap merupakan Dzurriyahnya Rasulullah SAW.

Dalam beberapa sumber yang kami ketahui, dipercaya bahwa leluhurnya Mbah Hasyim ini adalah berasal dari Klan Basyaiban, padahal setelah kami teliti dalam catatan Sayyid Bahruddin Azmatkhan, beliau berasal dari Klan Azmatkhan, terutama leluhurnya yang bernama Jaka Tingkir. Jaka Tingkir jelas bukan bernasabkan kepada basyaiban, namun beberapa keturunannya memang banyak yang menikah dengan keluarga basyaiban. Dalam ilmu nasab dinamakan tautan nasab. Artinya basyaiban adalah kekerabatan. Hal ini wajar mengingat basyaiban adalah salah satu fam yang tua yang masuk ke Nusantara setelah terlebih dahulu masuknya Azmatkhan yang diwakili oleh keluarga walisongo mulai dari Sayyid Huseim Jamaluddin sampai kepada masa berdirinya Majelis Dakwah Walisongo. Perlu diketahui bahwa keluarga besar Basyaiban itu baru datang pada abad ke 16 sedangkan keluarga Jaka Tingkir sendiri sudah berada di jawa sejak abad ke 13. 

Jelaslah jika dinisbatkan langsung kepada fam Basyaiban tidak tepat, namun kalau kekerabatan nasab memang ada. Leluhur Basyaiban sendiri yang pertama kali datang ke Jawa adalah Sayyid Abdurrahman Tajudin (Sunan Pangkunegoro) bin umar bin  Abdullah bin Abdurrahman bin umar bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Basyaiban. Sayyid Abdurrahman Tajudin ini kemudian mendapatkan istri dari cucunya Suinan Gunung Jati (ada juga yang menulis anak Sunan Gunung Jati yang bernama Ratu Khadijah). Sedangkan Jaka Tingkir mendapatkan istri anak Sultan Trenggono bin Raden Fattah. Dari generasi saja  mereka sudah berbeda, dari tahun sudah berbeda, dari istri sudah berbeda. Jaka Tingkir lebih banyak di Jawa Tengah dan Timur (Kesultanan Pajang) sedangan Sayyid Abdurrahman Tajudin lebih banyak di Cirebon karena telah menjadi bagian keluarga besar Sunan Gunung Jati Azmatkhan...

Jaka Tingkir dalam riwayat mashyur bukanlah anak dari Sunan Giri. Siapapun sejarawan akan mengetahui bahwa ayah dari Jaka Tingkir ini  adalah Ki Ageng Pengging yang merupakan tokoh sufi besar pada masanya. Dalam catatan Sayyid Bahruddin Azmatkhan anak-anak Sunan Giri pun tidak ada yang bernama Jaka Tingkir. Jadi jelas Jaka Tingkir nasabnya bukan ke Sunan Giri. Kalaupun nanti dihubungkan dengan Sunan Giri, itu mungkin tautan pernikahan dengan keturunan Sunan Giri yang selanjutnya. Pada intinya Jaka Tingkir memang seorang Sayyid tulen atau Alawiyyin Sejati. Beliau bernama asli Sayyid Abdurrahman Azmatkhan. Leluhur utamanya adalah Sayyid Sayyid Husein Jamaluddin bin Sultan Ahmad Syah Jalaluddin bin Al Amir Abdullah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammul Faqih bin Muhammad Shohib Mirbath. Kami sengaja tidak menampilkan dulu nasab Jaka Tingkir bin Ki Ageng Pengging sampai kepada Sayyid Husein Jamaluddin karena menunggu dulu izin dari guru kami yang memegang sanad nasab beliau ini. Namun untuk memastikan nasab Jaka Tingkir ini, sangat jelas dan tegas, kami katakan bahwa Jaka Tingkir adalah keturunan Rasulullah SAW dari jalur Sayyid Husein Jamaluddin bin Sultan Ahmad Syah Jalaluddin bin Al Amir Abdullah bin Abdul Malik Azmatkhan, artinya Jaka Tingkir adalah seorang Keturunan Al Imam Al Muhajir Al Basri Al Husaini. Dari Nasabnya Jaka Tingkir kelak akan lahir ulama-ulama besar seperti KH Sahal Mahfud, KH Hasyim Asy'ari, Syekh Mutamakkin dan ratusan ulama besar lainnya yang banyak berada di Jawa ini.

Kami juga ingin menegaskan, bahwa nasabnya Mbah Hasyim Asy'ari itu berada pada urutan ke 36 dari Rasulullah SAW, sedangkan Gus Dur di urutan 38. Jadi kalau selama ini ada nasab yang beredar di internet yang menyebutkan Gus Dur generasi ke 34, itu adalah generasi yang sangat pendek untuk keturunan Rasulullah khususnya pada keluarga besar Azmatkhan. Rata-rata keturunan Azmatkhan seperti Mbah Hasyim Asy'ari ini berada di generasi 36 dan Gus Dur generasi ke 38. Dan ini juga sesuai dengan perjalanan nasab keluarga besar Alawiyyin lain yang sekarang berada urutan 38 - 40 atau 40 - 42. Angka generasi tersebut adalah normal, namun kalau angka 34 jelas itu ada nama yang hilang dan tidak tercatat. Untuk kasus Mbah Hasyim Asy'ary sebenarnya secara bersanad sudah lama terdata dan tersimpan dengan baik oleh keluarga besar Sayyid Bahruddin Azmatkhan, hanya saja memang tidak dipubilkasikan, mengingat untuk urusan nasab memang harus langsung dengan keluarga besar sang ulama tersebut. Nasab jelas tidak bisa diobral, apalagi Mbah Hasyim Asy'ari memang sangat hati-hati dalam masalah nasab. Memang level Mbah Hasyim ini bukan lagi membicarakan nasab, namun bagaimanana menjadikan nasab itu sebagai uswah bagi ummat tanpa perlu harus diumumkan..

Mungkin ada yang bertanya, kenapa Sayyid Bahruddin bisa menyimpan nasabnya Mbah Hasyim Asy'ari ? ya tidak anehlah, sebab Sayyid Bahruddin satu perguruan dengan Mbah Hasyim Asy'ari karena sama-sama pernah menjadi murid Mbah Kholil Bangkalan, dan Sayyid Bahruddin sekaligus juga pernah berguru langsung kepada Mbah Hasyim Asy'ari. Sayyid Bahruddin juga satu angkatan dengan KH As'ad Syamsul Arifin (Sayyid Bahruddin lahir tahun 1899 dan wafat tahun 1992). Di kalangan Kyai Khos dulu, Sayyid Bahruddin memang dikenal baik, namun secara umum, memang beliau jarang muncul, karena memang wataknya seperti itu. Sayyid Bahruddin secara nasab satu alur dengan Mbah Kholil Bangkalan, mereka sepupuan sekalipun beda usia. Hubungan antara Sayyid Bahruddin dan Mbah hasyim sendiri cukup baik, sehingga tidaklah heran jika sanad keilmuannya mbah hasyim banyak dipegang oleh Sayyid Bahruddin ini. Jadi kalau banyak data nasab Mbah Hasyim di Sayyid Bahruddin itu adalah hal yang wajar, apalagi Sayyid Bahruddin sudan mendata semua nasab sejak tahun 1918 Masehi melanjutkan sanad Ilmu nasab dari ayahnya, sayyid abdul rozaq.

Demikianlah pelurusan nasab Mbah Hasyim Asy'ari Azmatkhan Al Husaini.....

Alfatehah untuk beliau....

Sumber :

As-Syekh As-Sayyid Al-Allamah Bahruddin Azmatkhan Al-Husaini Al Hafizh, Al Mausuuah Li Ansaabi Al Imam Al Husaini, Jakarta : Madawis, 2015.
Iwan Mahmud Al Fattah, Diagram Nasab Keluarga Besar Azmatkhan Al-Husaini, Jakarta : Madawis & Ikrafa, 2014.

PANDANGAN SINIS CHRISTIAAN SNOUCK HORGRONJE TENTANG ARAB HADRAMAUT DAN ISLAM

Dalam tataran para akademisi yang berkecimpung dalam dunia sejarah pemikiran dan pergerakan politik Islam di Indonesia, nama yang satu ini mungkinsangat tidak asing. Dia adalah salah seorang “akademisi”, orientalis sekaligus politikus yang memang sejak awal telah ditugaskan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk menyelidiki gerak gerak perjuangan bangsa Indonesia. Namanya diangap begitu “berjasa” dan di kalangan pemerintah kolonial, karena telah berhasil memberikan “pencerahan” dan “kemajuan” dalam mengatasi berbagai perlawanan bangsa Indonesia pada saat itu (seperti wilayah Aceh yang terkenal akan para Mujahidinya).

Nama lengkapnya sendiri adalah Christian Snouck Hurgronje, dia seorang orientalis Belanda terkenal dan merupakan ahli politik imperialis.Lahir pada 8 Februari 1857 di Oosterhout dan meninggal pada 26 Juni 1936 diLeiden. Ia merupakan anak keempat pendeta J.J. Snouck Hurgronje dan Anna Maria,putri pendeta Christiaan de Visser.

Orangtua Christian Snouck Hurgronje , Anna Maria de Visser sangat populer di kalangan pendeta sebagai puteri Pendeta ProtestanDs. Christiaan de Visser, rekan sejawat Ds. J.J. Snouck Hurgronje dengan Anna Catherina Scharp. Pada tanggal 3 Mei 1849 Ds. J.J. Snouck Hurgronje dan Anna Maria de Visser yang belum resmi menikah dikeluarkan dari Gereja Hervormd di Tholen atau Zeeland Belanda karena melakukan hubungan gelap. Padahal waktu itu Ds.J.J. Snouck Hurgronje telah menikah dan mempunyai enam orang anak. Ds. J.J.Snouck Hurgronje dan Anna Maria de Visser baru resmi menikah setelah sekitar enam tahun tragedy pengusiran di Gereja Hervormd. Yakni, setelah istri Ds. J.J.Snouck Hurgronje yang pertama meninggal dunia 31 Januari 1855 di Terheij (1986: 119) – (2002 : 7)

Christian Snouck Hurgronje dalam perjalanan pendidikannya, telah menyelesaikan pendidikan tinggi dalam bidang bahasa-bahasa Semith pada tahun 1880 Masehi dengan desertasi yang berjudul “Perayaan Makkah”. Ia yang berasal dari keluarga Pendeta Protestan Tradisional dalam hidupnya telah dipenuhi dengan pemikiran-pemikiran liberal.

Ketertarikan Christian SnoukHorgronje akan bahasa Smith tentu semakin membuat kajian kali ini menarik,sebab bahasa Smith itu ternyata akar sejarahnya, disamping Arab dekat juga denganbangsa Yahudi, sehingga  semakinmenguatkan dugaan jika ia “diindikasikan” sebagai bagian keturunan Yahudi(perlu kajian selanjutnya….), apalagi guru-guru dan rekannya banyak yangberdarah yahudi,  dan jika melihatketerlibatan dia dalam menghancurkan perlawanan rakyat Aceh, patut diduga jikaia bagian dari Yahudi Zionis karena secara kebetulan gerakan Christian SnoukHorgronje itu bersamaan waktunya dengan berkembangnya gerakan teosofi(gerakan kebathinan Yahudi) yang mempunyai Loji di Aceh dan juga berfungsisebagai markasnya.

Snouck adalah sosok yang kontroversial. Pada saat di Mekkah dalam rangka tugas dan “pengabdian” kepada pemerintahnya, dia banyak melakukan banyak “terobosan". Di Makkah Snouck pernah menyatakan diri masuk Islam dan berganti nama menjadi Abdul Gaffar pada tanggal  16 Januari 1885, di hadapan Qadi Jeddah dengan dua orang saksi. Setelah itu Snouck pindah tinggal bersama-sama dengan Aboebakar Djajadiningrat dari Pandeglang, seorang tokoh yang kebetulan tinggal sementara di Makkah. Namun, dalam surat kepada seorang teman sekaligus gurunya yang ahli islamologi Jerman Theodor Noldeke, ia menyebutkan bahwa ia hanya melakukan idhar al-islam, bersikap Islam secara lahiriah. Dalam suratnya tersebut ia juga menyebutkan bahwa semua tindakannya itu sebenarnya adalah untuk menipu orang Indonesia agar mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya (2011: 61 – 62).

Sampai saat ini mungkin snouck ini masih dianggap “pahlawan” dinegerinya, namun bagi kami pribadi sosok ini justru merupakan “biang keladi” rusaknya sejarah Islam Nusantara. Beberapa pandangannya mengenai Islam jika dikaji lebih cermat lagi, banyak sekalinya isinya yang penuh dengan distorsi. Berbagai penyimpangan pemikiran tentang Arab dan Islam telah dia tuangkan dan paparkan dengan mengatasnamakan “keilmiahan”,  padahal sudah jelas dia ini merupakan seorang politikus yang bermain dua kaki. Oleh karena itu kami lebih memandangnya sebagai politikus ketimbang akademisi.

Christian Snouck Hurgronje, menurut orang Eropa dianggap sebagai seorang orientalis yang ahli dalam bahasa Arab dan Islam dari Universitas Leiden Belanda. Ia diangkat menjadi professor karena keahliannya dalam mengepalai bagian pelajaran bahasa arab dan pelajaran Islam di universitas tersebut.

Beberapa pandangan sampai saat ini sudah banyak menyebar di negeri ini,dan ironisnya pandangan “Profesor” yang satu ini masih ada juga pengikutnya, padahal jelas-jelas semua pemikirannya didasari atas kepentingan penjajah kolonial. Diantara pemikirannya misalnya :
Dalam beberapa tulisannya di buku yang berjudul De Islam in Nederlandsc-Indie yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Islam di Hindia Belanda, ia menulis yang diantaranya :

1. Di Kepulauan Hindia ada dua keadaan yang menguntungkan bagi kelanjutan penyebaran agama Islam dengan cepat. Penduduk kepulauan ini pada waktu itu sebagian besar masih berada ditingkat perkembangan ruhaniah yang meskipun secara khusus sangat berbeda-beda, namun pada hakikatnya sama rendahnya dengan bangsa Arab pada zaman Nabi Muhammad, dan yang hingga kini masih tampak pada penduduk Afrika Tengah (1983 : 11).

Sanggahan : Jelas sekalijika Snouck ini sangat memandang rendah kemampuan Islam dan kebudayaan orang Arab, Indonesia dan Afrika Tengah dianggapnya pada saat itu sangat terbelakang. Padahal kebudayaan Arab dan Islam pada saat dia mengatakan itu, peradabannya lebih tinggi dari bangsanya yang justru datang kenegeri ini hanya untuk merampok dan menjajah. Ketika bangsanya Snouck ini datang ke Nusantara, justru peradaban Islam Nusantara itu sudah jauh berkembang apalagi jika ditinjau dari sisi ruhaniah, justru Eropa pada masa itu masih terjebak dengan “kegelapannya”. Islam dan Arab bahkan jauh lebih awal sudah memberikan warna pada Nusantara ini. Pada masa Kesultanan Demak saja semua bidang kehidupan sudah sangat maju, belum lagi di Aceh yang juga merupakan pusat peradaban Islam di Sumatra, belum lagi Palembang, Ternate, Malaka, Melayu, Patani, Champa, dll. Bangsa Arab pada masa Nabi juga sebenarnya tidak sebodoh yang dia katakan, karena pada saat itujustru dunia sastra sangat berkembang pesat, karena karena kepercayaan mereka saja yang menyimpang, dan itu bukan berarti peradaban bangsa Arab itu rendah, sepertinya tuan Christian Snouck Horgronje ini harus banyak belajar tentang peradaban Arab dan Islam (atau dia pura-pura tidak tahu ?).

2.  Di sana, orang-orang kafir di daerah pedalaman seperti orang batak di Sumatra, orang dayak di Kalimantan, orang arafuru di Sulawesi di mata penguasa Kerajaan Islam didaerah pesisir tetap merupakan jenis manusia yang lebih rendah tingkatannya, dan agama Islam dengan ajarannya tentang “jihad” memberikan dalih yang tepat sekali kepada penguasa-penguasa tersebut untuk melakukan pemerasan terhadap mereka.Mereka ini dibebani pajak yang berat, dijadikan budak beliau, dan dikuasai tanpa ada usaha untuk memimpin dan mendidiknya (1983 : 11).

Sanggahan: Luar biasa tuduhan Snouck ini, dia mengatakan bahwa orang di daerah pedalaman itu seolah masih terbelakang, padahal suku-suku yang dia sebut itu mempunyai budaya dan kearifan lokal yang justru menurut kami lebih maju dari bangsanya Snouck. Seolah-olah bangsanya itu sangat memikirkan bangsa Indonesia untuk lebih maju. Para penguasa Islam dia katakan tidakmemikirkan dan tidak membimbing suku suku tersebut menuju kehidupan dan peradaban yang lebih maju. Padahal banyak fihak dari Kesultanan-Kesultanan sudah lebih dulu memasuki suku-suku pedalaman tersebut untuk membina hubungan baik, baik itu dalam bidang adat, pemerintahan, maupun dalam rangka dakwah Islamiah, pemerintahan Islam dia identikan dengan tirani dan pemerintahan yang zalim, seolah pemerintahnya yang notabenenya penjajah dan perampok lebih “memikirkan” nasib suku-suku tersebut, seolah pemerintahan bangsanya jauh lebih “beradab” dan “beretika”. Snouck dengan sinisnya menyatakan bahwa ajaran “jihad” itu tujuan utamanya untuk menindas eksistensi kehidupan suku-suku tersebut. Konsep “jihad’ dianggapnya untuk membuat aturan hidup yang“menyakitkan”. Padahal apa yang dia kemukakan itu justru menyimpang dari ajaran “jihad” itu sendiri. Jihad dianggapnya bertujuan untuk melanggengkan perbudakan (padahal Islam menentang keras perbudakan !), dia mengatakan bahwa “jihad’ juga sah untuk menentukan sebuah pajak yang berat. Olala……. sepertinya Snouck inisangat anti dengan istilah yang satu ini, padahal pengertian jihad tidak seperti dengan apa yang dia fahami.

3. Kaum pendatang bangsa Arab dari Hadramaut, yaitu daerah tandus di Arab Selatan, yang merantau ke kota-kota dagang di Hindia Timur, memberi pengaruh yang sama pula arahnya. Makin kuat pengaruh itu bekerja di suatu tempat, makin banyak pula kehidupan orang-orang Islam disitu kehilangan kesahajaannya yang menarik hati, dan sifatnya Nampak suram dan kaku, dan acapkali juga menjadi kurang toleran (1983 : 13 -14).

Sanggahan : Jelaslah pernyataan “Tuan” Christian Snouck Hurgronje tidak sesuai dengan fakta sejarah yang ada. Karena kedatangan bangsa Arab dari Hadramaut justru banyak memberikan dampak yang positif dalam kebudayaan dan kehidupan sosial Nusantara dan itu sudah dimulai sejak kedatangan Walisongo yang merupakan keturunan dari Arab Hadramaut. Justru kedatangan bangsanya ChristianSnouck Hurgronjekenegeri ini membawa banyak melapetaka bagi rakyat Nusantara. Arab Hadramaut yang dia maksud memang lebih banyak ditujukan kepada para Sayyid dari keluarga Alawiyyin. Padahal keluarga besar Alawiyyin itu datang ke negeri ini tujuan utamanya untuk berdakwah dan memberikan kemajuan peradaban pada wilayah yang mereka tempati. Tidak percaya ? lihatlah beberapa kesultanan-kesultanan Nusantara, disitu banyak keturunan Alawiyyin yang jadi pemimpinnya, lihatlah ulama-ulama yang menyebarkan Islam secara damai di berbagai wilayah Nusantara, disitu banyak orang Arab Hadramaut baik yang sudah berbaur maupun yang baru akan melakukan proses akulturasi. Para ulama dan Kyai-kyai besar di Pulau Jawa, Madura, Sumatra, Kalimantan bahkan leluhurnya banyak yang berasal dari Arab Hadramaut keturunan dari Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammul Faqih bin Muhammad Shohib Mirbath. Kehidupan Arab Hadramaut baik yang Sayyid dan non Sayyid sejak masa Walisongo sampai kepada masanya Snouck justru lebih banyak diterima oleh bangsa ini, mereka terjun dan berbaur dengan masyarakat tanpa sungkan-sungkan, ketimbang bangsanya Snouck yang lebih banyak bersikap elitis dan borjuis. Arab Hadramaut, apalagi mereka yang berkecimpung dalam bidang dakwah, perdagangan bahkan banyak yang menjadi proyek percontohan dalam berperilaku budi pekerti di tengah masyarakat. Dalam hal toleransi Arab Hadramaut itu sangat toleran terhadap hal-hal kebangsaan, lihatlah walisongo dan juga para habaib yang hidup pada abad ke 19 bahkan hingga sampai saat ini, kalaupun sekarang ini ada habaib yang dipandang kurang baik, itu hanyalah oknum dan sebagian kecil saja. Yang jelas Arab Hadramaut sudah memberikan warna penting dalam kehidupan bangsa ini.

4. Setelah pulang ke tanah air, sebagai orang-orang yang telah mengalami pembaharuan jiwa mereka (orang-orang yang baru pulang haji) menjadi orang-orang yang fanatic.Sesungguhnya pengaruh haji itu atas kehidupan ruhani kebanyakan haji, kalaupun ada, kecil sekali (1983 : 28).

Sanggahan : Sepertinya Christian Snouck Hurgronje ingin membolik balik fakta  yang sesungguhnya tentang haji ini, karena justru orang yang pulang dari haji justru sisi ruhaniahnya akan lebih meningkat, secara aplikasi, sikap dan pemikirannya seorang muslim dan muslimat itu akan jauh lebih baik dibandingkan sebelum dia naik haji, haji adalah ibadah yang sangat bernilai tinggi dan diidam-idamkan kaum muslim dan muslimat, jadi darimana dia mengambil ukuran kalau haji pengaruhnya kecil bagi orang Islam ? Kalau haji tidak penting, untuk apa Snouck menjadi mata-mata di Mekkah bahkan sampai harus pura-pura masuk Islam dan disunat lalu menetap Mekkah dan menjadi intelnya Belanda ? Kalau dia mengatakan orang-orang yang haji jadi lebih fanatic dalam beragama, justru memang itu tujuan mereka berhaji (semakin fanatic menjalankan ajarannya). Sepertinya memang fihak Snouck dan “majikannya” sangat kuatir kepada masyarakat yang pulang haji, karena memang banyak dari jamaah haji setelah pulang, mereka jadi lebih berani dan frontal terhadap penjajah, hal ini sangat wajar, karena begitu mereka berada di Mekkah dan madinah, mereka banyak bertemu ulama-ulama besar yang berasal dari Indonesia yang memberikan mereka motivasi untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah belanda. Ulama-ulama Indonesia seperti Syekh Nawawi Banten, Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi dll memang sepanjang hayat mereka terus menanamkan nilai-nilai perjuangan kepada jamaah haji yang berasal dari Indonesia, sehingga di samping berhaji, para jamaah datang membawa oleh-oleh dari Mekkah dengan pemikiran yang berlawanan dengan penjajah. Inilah yang menyebabkan Snouck dan tuannya memandang sinis terhadap ritual haji, karena ternyata telah membahayakan pemerintahan mereka.

5. Marilah kita kembali kepada masalah pengajaran. Dapat dimengerti bahwa dalam pendidikan di sekolah. Al-Qur’an sedikit sekali mengandung unsur-unsur pembina kehidupan. Anak-anak sedikit banyak dibiasakan pada ketertiban dan belajar ucapan-ucapan bahasa Arab dan mengenal huruf Arab sertacara-cara menjalankan ibadah.

Sanggahan : Al-Qur’an dia katakan sedikit sekali mengandung unsur-unsur pembinaan kehidupan ? aneh, apa dia sudah mempelajari keseluruhan isi Al-Qur’an, sehingga berani mengatakan seperti ini, terlihat sekali betapa dangkalnya pemahaman tuan Snouck ini terhadap Al-Qur’an, padahal dia anggap sebagai orang yang ahli bahasa Arab dan Islam.  Al-Qur’an itu kalau dia mau berfikir justru diperuntukkan untuk semua manusia, artinya non Islampun kalau mau mempelajari lebih dalam Al-Qur’an dipersilahkan, ini karena sifatnya yang universal dan itu sudah banyak bukti, bagaimana banyak para ahli ilmu pengetahuan non islam yang telah membuktikan tentang kebenaran Islam. Sudah jelas Al-Qur’an adalah pedoman hidup bagi manusia, artinya jika itu merupakan sebuah pedoman bagi manusia, apakah mungkin di dalamnya minim dengan adanya ajaran atau pembinaan kehidupan terhadap manusia ? Tuan Snouck sepertinya memang sangat benci sekali dengan kitab suci Agama Islam ini.

6. Bahwa hal ini sedang mengalami perubahan dapatlah dianggap sebagai suatu keadaan yang menggembirakan. Sebab meskipun pengajaran di pesantren kita hormati sebahi pernyataan iman yang sungguh-sungguh, pengajaran itu sama sekali berdasarkan tanggapan tentang alam manusia zaman pertengahan dan sekali-kali tidak mempunyai tujuan untuk mempermudah asosiasi yang begitu diharapkan antara kehidupan pribumi dengan peradaban zaman kita (1984 : 257 – 260).

Sanggahan :  Pengajaran Islam di pesantren dia katakan hanya berpatokan pada abad pertengahan saja dan tidak mempunyai tujuan serta hanya mempersulit kehidupan pada zamannya Christian Snouck Hurgronje. Ini jelas tuduhanyang tidak berdasar, Islam masuk ke Indonesia mempunyai tujuan yang pasti. Dan di Nusantara, Islam itu bukanlah dimulai pada abad pertengahan, justru Islam sudah masuk jauh lebih awal daripada yang dikira oleh para sejarawan eropa termasuk “Tuan” Christian Snouck Hurgronje. “Tuan”Christian Snouck Hurgronje mengira jika Islam Nusantara itu baru dimulai pada abad pertengahan (abad 15dan 16) padahal Islam sudah pada masa Sahabat Nabi sudah masuk ke negeri ini, dan bukti-bukti arkeologisnya dapat kita temukan pada beberapa tempat. “Tuan” Christian Snouck Hurgronje seolah ingin menegaskan bahwa peradaban bangsanya jauh lebih “beradab” dengan peradaban Islam yang telah dibawa oleh para ulama kita seperti Walisongo dan Alawiyyin yang banyak dianut para pribumi Nusantara. Pribumi tegasnya dia ingin katakan terbelakang, sedangkan  bangsanya itu lebih “berperadaban”.

Sumber :

Aqib Suminto, PolitikI slam Hindia Belanda, Het Kantoor voor Inlandsche Zaken, Jakarta: LP3ES,1986, hlm. 119. Lihat pula Lathiful Khuluq, Strategi Belanda Melumpuhkan Islam; Biografi C. Snouck Hurgronje, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Budi Ichwayudi, Hipokritisme Tokoh Orientalis Christiaan Snouck Hurgronje,dalam Religio: Jurnal Studi Agama-agama, Volume 01, Nomor 01, Maret 2011.
Mr. Hamid Al-Qadri, Christiaan Snouck Hurgronje ,Politik Belanda Terhadap Islam Dan Keturunan Arab, Jakarta : Penerbit Sinar Harapan, 1981.
Prof. Christiaan Snouck Horgronje, Islam di Hindia Belanda (terj.) S. Gunawan, Jakarta : Bharatara Karya Aksara, 1983.

Fatwa Tegas Tentang Ayah & Bunda Nabi Muhammad Adalah Mukmin Dan Masuk Surga

Tulisan ini adalah sebuah jawaban terhadap fitnah dari kaum Zionis,Atheis, dan oknum-oknum yang mempropagandakan bahwa kedua orangtua nabi Muhammad adalah masuk neraka.

Oleh:

As-Sayyid ShohibulFaroji Azmatkhan Al-Hafizh

Fatwa ini didukung oleh beberapa tulisan Ulama dan Mufti, di antaranya:

1. Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Kitab Masa­likulHunafa’ Fi Hayati Abawayyil Musthafa.
2. Al-Qadhi Abu Bakar Al-Arabi, Kitab Tafsir Ayatul Ahkam
3. Sayyid Muhammad Abdullah Al-Jurdani, Kitab Fathul ‘Allambi Syarhi Mursyidil Anam
4. Sayyid Ishaq Azuz Al-Hasani Al-Makki, Kitab Al-HujajAl-Waadhihaat Fii Najaat Al-Abawain Wa Al-Ajdaad Wa Al-Ummahaat
5. Prof.Dr. Wahbah Zuhaili, Kitab Tafsir Al-Munir

Bab 1 Pendahuluan

Seorang mukmin sangat meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabiterakhir, nabi yang me­miliki kemuliaan dan derajat yang ter­tinggi, baik dilangit maupun di bumi. Kemuliaannya dinyatakan oleh Allah SWT dengan firman-Nyayang artinya, “Dan sesungguhnya Engkau (ya Muham­­mad) benar-benarberada di atas akhlaq yang agung.” (QS Al-Qalam: 4).

Jika yang kecil (hamba) menyifati sesuatu de­ngan “agung”, yang MahaBesar (ALLAH) belum tentu menganggapnya agung. Tetapi jika Allah, YangMahabesar menyifati sesua­tu dengan kata “agung”, tidak dapat ter­bayangkanbetapa besar keagungan­nya. Dan sudah tentu, makhluk yang agung tidak mungkinkeluar kecuali dari rahim yang agung pula.

BAB 2 Kemuliaan Nasab Nabi Muhammad

Kemuliaan Nabi Muhammad SAW mencakup segala hal, termasuk nasab­nya (keturunannya).Beliaulah manusia yang paling baik nasabnya secara mut­lak. Nasab beliau beradadi puncak ke­muliaan. Musuh-musuh beliau pun mem­beri pengakuan atas haltersebut.

Nabi SAW pernah menjelaskan bah­wa nasabnya (keturunannya), yakni ayah,kakek, dan seterusnya, adalah orang-orang suci dan orang-orang pilih­an. Dalamsebuah riwayat At-Tirmidzi dari Abbas bin Abdul Muthalib, beliau mengatakan, “AkuMuhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib. Sesung­guhnya Allah telah menciptakanmakh­luk, maka Dia telah menjadikan aku da­lam sebaik-baik bagian mereka;kemudi­an Dia menjadikan mereka dua bagian, maka Dia menjadikan aku dalamsebaik-baik bagian mereka, kemudian Dia men­jadikan mereka beberapa kabilah,maka Dia menjadikan aku dalam sebaik-baik ka­bilah mereka; kemudian Dia menjadi­kanmereka beberapa keluarga, maka Dia menjadikan aku dalam sebaik-baik keluargadan sebaik-baik diri di antara mereka.”

Dalam hadits lain beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telahmemilih Ismail dari (di antara) anak Ibrahim, dan Dia telah memilih keturunanKinanah dari keturunan Ismail, dan Dia telah me­milih Quraisy dari keturunanKinanah, dan Dia telah memilih Bani Hasyim dari keturunan Quraisy, dan Diatelah memi­lih aku dari Bani Hasyim.”

Dari hadits-hadits di atas jelaslah, beliau adalah keturunan orang-orangpi­lihan, dan beliau adalah keturunan Nabi Ismail, putra Nabi Ibrahim.
Ayah Nabi SAW, yang bernama Ab­dullah bin Abdul Muthalib, wafat tatkalaNabi SAW berada dalam kandungan ibundanya. Sedangkan ibunda Nabi SAW, AminahAz-Zuhriyah, wafat tatkala Nabi SAW berusia 6 tahun.

Ayah-bunda Nabi termasuk pendu­duk Makkah yang tergolong ahlul fatrah,maksudnya orang-orang yang hidup di Makkah pada zaman sebelum diutusnya seorangutusan Allah. Dalam kaitan de­ngan mereka, adalah sebelum diutusnya NabiMuhammad SAW. Karena itu, tidak ada ancaman siksa sedikit pun bagi kaum yangbelum masuk Islam saat itu, ka­rena ajaran Islam memang belum di­turunkan olehAllah kepada umat ma­nusia.

Selain termasuk ahlul fatrah, mereka bukan tergolong para penyembah ber­hala,orang-orang yang suka berjudi, mi­num minuman keras, berzina, dan per­buatanhina lainnya. Mereka berdua hi­dup sebagai masyarakat yang terhormat danberperangai baik, apalagi orangtua mereka, Abdul Muthalib, adalah pembe­sar utamakota Makkah yang bertugas menjaga kemashlahatan Ka‘bah dan suku Quraisy.

Ayah-bunda Rasulullah SAW adalah orang-orang yang selamat dan tidak ter­pengaruholeh keyakinan Jahiliyyah, mes­kipun keduanya orang-orang yang hidup dalam masa fatrah.Demikian juga moyang beliau hingga Nabi Adam AS, tidak seorang pun dari merekayang ter­golong kafir dan musyrik. 

Sebagaimana ditegaskan dalam kitab Fathul‘Allam bi Syarhi Mursyidil Anam, karya Sayyid Muhammad AbdullahAl-Jurdani, bahwa Rasulullah bersabda, “Aku selalu berpin­dah dariiga-iga yang suci dan rahim-rahim yang bersih.”

Rasulullah adalah semulia-mulia makh­luk. Beliau selalu berada dalam ke­muliaandi sisi Allah SWT, sedangkan ke­muliaan dan kekufuran jelas tidak mung­kinberkumpul.

Di dalam kitab tersebut juga disebut­kan sebuah hadits dari‘Urwah dari Aisyah RA yang mene­gaskan bahwa ayah dan bunda Rasulullah SAW dihi­dup­kankembali oleh Allah, lalu kedua­nya ber­iman kepada ajaran Ra­sulullah SAW,kemudian keduanya dimatikan kem­bali oleh Allah SWT.

Dengan keterangan-keterangan di atas dan berbagai keterangan lain, kaummuslimin meyakini bahwa ayah bunda Nabi adalah orang-orang suci, orang-orangpilihan, orang-orang yang dise­lamatkan dari kemusyrikan dan ke­ku­fur­an sertaperilaku-peri­laku buruk kaum Ja­hiliyah. Sehingga, tem­pat mereka kelak adalahdi dalam surga. Itulah keyakinan kita berdasarkan dalil-dalil dan keterang­an-keteranganyang kuat yang kita da­patkan dari para ulama terpercaya.

Bab 3 Kelemahan Hadits Yang Menyebut Kedua Orang Tua Nabi Masuk Neraka

Tetapi ada segolongan kaum mus­limin yang punya pandangan lain. Me­rekaberpendapat bahwa ayah-bunda Nabi tidak tergolong penghuni surga, me­lainkansebaliknya. Mereka menda­sar­kan pendapatnya itu pada hadits yang menyebutkanbahwa Rasulullah mengatakan ayahnya berada di neraka, dan hadits lain yangmenyatakan bahwa beliau tidak diizinkan untuk memintakan ampunan buat ibunya.

Hadits yang pertama adalah hadits riwayat Imam Muslim dari Hammad, bah­wasanyaseorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, di manakeberadaan ayahku?”

Rasulullah menjawab, “Dia di neraka.”

Maka ketika orang tersebut hendak beranjak, Rasulullah memanggilnya se­rayaberkata, “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka.”

Sedangkan hadits yang lainnya me­nyebutkan, “Aku meminta izin kepadaTuhanku untuk memintakan ampunan buat ibuku, namun Dia tidak meng­izin­kan Aku.Aku meminta izin untuk men­ziarahi kuburnya, Aku pun diizinkan.” (HR Muslim).

Berdasarkan hadits-hadits di atas, mereka berani mengatakan bahwaayah-bunda Nabi SAW bukanlah penghuni surga sebagaimana keyakinan kita.

Agar tidak membuat kebimbangan dalam hati kita dan karena ini menyang­kutmanusia dan makhluk teragung yang paling kita cintai, marilah kita simak uraianberikut.

Imam Suyuthi menerangkan, Ham­mad, perawi hadits di atas, diragukan olehpara ahli hadits, dan hanya diri­wayat­kan oleh Muslim. Padahal, banyak riwayatlain yang lebih kuat darinya, se­perti riwayat Ma‘mar dari Anas, Al-Bai­haqidari Sa‘ad bin Abi Waqqash, “Se­sungguhnya seorang a‘rabi berkata ke­padaRasulullah SAW, “Di mana ayahku?’
Rasulullah SAW menjawab, ‘Dia di neraka.’

Si a‘rabi pun bertanya kembali, ‘Di mana ayahmu?’

Rasulullah pun menjawab, ‘Sekira­nya kamu melewati kuburan orang kafir,berilah kabar gembira dengan neraka’.”

Riwayat di atas tanpa menyebutkan ayah Nabi berada di neraka. Ma‘mar danAl-Baihaqi disepakati oleh ahli hadits lebih kuat dari Hammad, sehingga ri­wayatMa‘mar dan Al-Baihaqi harus didahulukan daripada riwayat Hammad.

Seandainya pun hadits Hammad di atas diterima, menurut para ulamaAhlussunnah wal Jama’ah ada beberapa pentakwilan. Antara lain,

Pertama, saat Nabi SAW menjawab pertanyaan orang itu adalah sebelumturunnya firman Allah ayat 15 surah Al-Isra’, yang telah dise­butkan di atas.Jadi setelah ayat ini turun, keterangan Nabi SAW kepada si pena­nya itu pundinasakhkan (di­ha­puskan).
Kedua, neraka yang dimaksud oleh Nabi SAW adalah neraka dingin pemberija­minan kesela­mat­an (artinya, ya surga), karena ayah Nabi dan ayah sipenanya termasuk ahlul fatrah.

Yang penting juga untuk kita ingat ada­lah bukti-bukti yang menunjukkanke­suci­an orangtua Nabi dan sete­rusnya ke atas. Dalam se­buah haditsdikatakan, “Aku (Muhammad saw) selalu berpindah dari sulbi-sulbilaki-laki yang suci menuju ra­him-rahim perempuan yang suci pula.” Je­lassekali, Rasulullah SAW menyata­kan bahwa kakek dan nenek moyang be­liauada­lah orang-orang yang suci, bu­kan orang-orang musyrik, karena orang-orangmusyrik dinyatakan najis dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman yang arti­nya,“Hai orang-orang yang beriman, se­sungguh­nya orang-orang yang musyrik itunajis.” (QS At-Tawbah: 28). Nama ayah Nabi pun Abdullah, cukup mem­buktikanbahwa beliau ber­iman ke­pada Allah, bukan penyembah berhala.

Pernyataan beliau di atas berarti bah­wa semua sesepuh beliau, mulaidari ayah-bundanya sampai Adam dan Hawa, tidak ada seorang pun dari mereka yangkafir (mengingkari Allah). Sebab yang dapat disebut “orang suci” hanyalah orangyang beriman. Sungguh indah be­berapa bait syair yang ditulis oleh se­mentara ulama:

Kupastikan keimanan mereka mulai dari AdamHingga ayah beliau yangterdekat dan muliaPara ibu beliau pun seperti merekaDalilnya adalah nashAl-Kitab dan sunnahUngkapan beliau perihal kaum SajidinBanyak riwayat bersanad­kanbeliau tentang merekaBeliau berpindah-pindah dari sajid ke sajid lainnyaMerekasemua manusia-manusia ter­baik dalam zamannya

Di atas telah disebut­kan hadits Nabi yang diri­wa­yatkan Imam Muslimdan Imam Tirmidzi yang mereka shahihkan, yaitu hadits dari Watsilah bin Asqa’RA bahwa Rasulullah SAW bersab­da, “Se­sung­guhnya Allah telah memilihIsmail dari (di antara) anak Ibrahim, dan Dia te­lah memilih keturunan Kinanahdari ke­turunan Ismail, dan Dia telah memilih Quraisy dari keturunan Kinanah,dan Dia telah memilih Bani Hasyim dari keturun­an Quraisy, dan Dia telahmemilih aku dari Bani Hasyim.”Berdasarkan hadits ini, Ibn Taimiyahmengatakan, “Hadits di atas menunjukkan bahwa Ismail dan turunan­nyaadalah orang-orang pilihan dari ke­turunan Ibrahim.”

Imam Al-Baihaqi meriwayatkan dalam kitabnya, Dalail An-Nubuwwah, dariAnas, disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Aku adalah Muham­madbin Abdillah bin Abdil Mutthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilabbin Murrah bin Ka`ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr binKinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma`ad bin`Adnan. Dan tidaklah terpisah go­longan manusia kecuali Allah telah men­jadikanaku dalam yang terbaik dari dua golongan tersebut. Maka aku dilahirkan darikedua orangtuaku dan tidak menge­naiku sesuatu pun dari kebejatan Jahi­liyah.Dan aku lahir dari pernikahan dan ti­daklah aku lahir dari perzinaan dari mu­laiNabi Adam sampai pada ayah-ibuku. Maka aku adalah yang terbaik dari kalian darisisi nasab dan orangtua.”

Masih banyak lagi hadits lain yang menjelaskan ihwal orangtua-orangtuaNabi SAW bahwa mereka adalah pilihan Allah SWT. Tidakkah Anda membacakalimat “Sesungguhnya Allah memilih”. Apakah Allah akan memilih orang kafir se­dangkandi sana ada orang yang ber­iman? Apakah Allah memilih penduduk neraka jika disana ada penduduk surga?

Yang juga kita yakini dan disepakati oleh berbagai keterangan, keduaorang­tua Nabi termasuk ahlul fatrah, orang yang hidup di masa fatrah, yaknisuatu masa ketika terjadi kekosongan nubuw­wah (kenabian) dan risalah(kerasulan). Semenjak Nabi Isa AS hingga diutusnya nabi berikutnya, yakni nabikita SAW, terpaut jarak waktu yang panjang. Umat manusia hidup tanpa adanyarisalah ke­nabian. Para ulama mengatakan, manu­sia yang hidup di masa fatrahini tidak dimintai pertanggungjawaban. Mereka mendasarkan pendapatnya padafirman Allah SWT yang artinya, “Dan tidaklah Kami mengadzab (suatu kaum) hinggaKami mengutus seorang rasul.” (QS Al-Isra’: 15).

Dari ayat itu, orang-orang yang hidup sebelum Nabi Muhammad SAW diutus,mereka adalah ahlul fatrah, yang tidak diadzab atas perbuatannya.Karena sebagai bentuk keadilan Allah adalah hanya mengadzab suatu kaum setelahjelas risalah datang kepada mereka namun tidak diindahkan.
Dari ayat itu pula dapat dipahami bahwa keluarga Nabi SAW sebelum diri­nyadiangkat menjadi nabi dan rasul ada­lah ahlul fatrah, dan karenaitu mereka tidak diadzab dan tidak digolongkan sebagai orang-orang musyrik ataukafir.

Inilah sikap yang adil, lantaran se­cara nalar tentu kita tidak bisamenerima bila seseorang dimasukkan ke dalam neraka padahal tidak ada seorangnabi pun yang mengajarkan agama kepada mereka. Bagaimana Allah, Yang Maha­adil,sampai tega menghukum orang yang tidak tahu apa-apa? Pendapat ini dikemukakanoleh banyak ulama, di an­taranya Al-Imam As-Suyuthi.

Berkaitan dengan hadits tentang ibunda Nabi di atas, kalau kita pahamisekilas memang ada kesan bahwa ibunda Nabi SAW itu tidak masuk surga. Sebabpermintaan Rasulullah SAW un­tuk memintakan ampunan atasnya tidak dikabulkanAllah SWT. Namun kesimpulan itu ditolak oleh para ulama. Mereka menolak bilahadits itu disimpulkan dengan cara demikian. Kalau Allah SWT tidak memperkenan­kanRasulullah SAW memintakan am­pun­an untuk ibundanya, tidak berarti ibun­danyabukan mukmin. Sebagai­mana ketika Rasulullah SAW tidak men­shalati jenazah yangmasih punya utang, sama sekali tidak menunjukkan bahwa jenazah itu mati dalamkeadaan kafir.

Adapun larangan Allah SWT untuk memintakan ampunan orang kafir ada­lahsemata-mata karena orang itu sudah diajak masuk Islam namun tetap mem­bangkangdan akhirnya tidak sempat ma­suk Islam dan mati dalam keadaan kafir. Sedangkankedua orangtua Nabi SAW sama sekali belum pernah mem­bang­kang atau mengingkaridakwah. Se­bab mereka ditakdirkan Allah SWT untuk hidup sebelum masa turunnyawahyu.

Ayah-bunda Nabi juga orang-orang yang suci yang tidak ternodai oleh per­buatan-perbuatankeji orang-orang Ja­hiliyah. Dan Nabi SAW dalam berbagai haditsnya menyatakanke­banggaannya (bukan keta­kaburan) terhadap ketu­run­an­nya sebagaimana di­sebutkandi atas. Dalam ha­dits yang lain beliau ber­sabda, “Aku adalah nabiyang tidak berdusta. Aku ada­lah putra Abdul Mutha­lib.” (Sha­hihAl-Bukhari dan Shahih Muslim). Mengenai Abdul Muthalib,kenyataan­nya, ia termasuk ahlul fat­rah. Dan tidak mungkin beliau mem­banggakanAbdul Muthalib jika ia se­orang kafir, sebab hal itu tidak diperkenankan.

Tampak jelas sekali bahwa tidak mungkin orangtua Nabi adalah orang-orangkafir atau musyrik. Sedangkan Nabi SAW telah membanggakan nasab keduaorangtuanya sebagai nasab yang terbaik. Demikian juga ucapan Nabi SAW kepadaSa‘ad bin Abi Waqqash pada Perang Uhud ketika beliau melihat seorang kafirmembakar seorang mus­lim, Rasulullah SAW bersabda kepada Sa‘ad, “Panahlah dia,jaminan kesela­mat­anmu adalah ayah dan ibuku!”

Maka Sa‘ad berkata dengan gem­bira, “Rasulullah SAW mengumpulkan akudengan nama ayah dan ibunya!” (HR Al-Bukhari, bab Manaqib Zubair bin Awam, babManaqib Sa‘ad bin Abi Waqqash).

Bab 4. Nabi Muhammad lahir Dari Rahim Wanita yang Suci

Bagaimana mungkin Sa‘ad berbaha­gia disatukan dengan orangtua Rasul­ullahjika keduanya orang-orang musy­rik? Secara logika kita dapat mengata­kan,mungkinkah nabi umat Islam, nabi ter­mulia, lahir dari rahim perempuan musyrik,padahal Nabi Isa AS lahir dari rahim wanita yang suci? Banyak wanita yangberiman melahirkan anak-anak yang tidak memiliki keistimewaan, se­dangkanRasululluh keistimewaannya diakui di dunia, langit maupun bumi. Mungkinkah ialahir dari perempuan musyrik. Sungguh tidak mungkin!

Banyak keterangan yang dapat kita jadikan pegangan demi menguatkankeyakinan kita ini.Nabi SAW bersabda, “Aku berdoa memohon kepada Tuhan­ku,agar tidak ada satu pun keluargaku yang masuk neraka, maka doaku dika­bul­kan.”(Hadits riwayat Abu Sa`id Abdul Malik bin Abi Utsman, disebutkan dalamkitab Dzakhairul `Uqba, karya Al-Hafizh MuhibbuddinAth-Thabari).Sedangkan yang dimaksud keluarga Nabi SAW (ahlulbayt), menurut para jumhur ulama, adalah para istri Nabi SAW dan ahlul kisa(Sayi­dina Ali, Sayidatina Fathimah, Sayidina Hasan, dan Sayidina Husain). Jikapara istri, anak, menantu Nabi SAW dikate­gori­kan sebagai keluarga Nabi SAW,bagai­mana dengan ayah-bunda Nabi SAW? Tentu beliau berdua tergolong keluargaNabi, yang dijamin masuk surga.

Mungkin Anda akan bertanya, jika orangtua-orangtua Nabi, mulai dari ayah­nya,kakeknya, dan seterusnya, semua­nya orang-orang pilihan, orang-orang suci, danorang-orang yang beriman ke­pada Allah, bagaimana dengan Azar, yang disebutkandalam Al-Qur’an seba­gai ayahanda Nabi Ibrahim namun tak mau beriman kepadanya?

“Ayah” Nabi Ibrahim AS yang dise­but dalam Al-Qur’an sesungguhnya ada­lahpaman beliau. Di dalam Al-Quran ter­dapat beberapa lafazh ab (ayah)diguna­kan untuk menyebut amm (paman).Demikianlah menurutImam As-Suyuthi yang dikemukakannya dalam risalah-risalahnya yang terkenal.

Di antaranya Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an yang artinya, “Adakahkalian hadir ketika Ya`qub menjelang ajal­nya. Ketika itu ia bertanya kepadaanak-anaknya, ‘Apa yang hendak kalian sembah sepeninggalku?’

Mereka menjawab, ‘Kami hendak menyembah Tuhan-Mu dan Tuhan ayah-ayahmu(para orangtuamu), Ibrahim, Ismail, dan Ishaq…” (QS Al-Baqarah: 133).

Yang jelas, Ismail AS bukan ayah Ya‘qub AS, melainkan pamannya. Di dalamAl-Qur’an juga terdapat sebuah ayat yang menerangkan, Ibrahim AS dilarangmemohonkan ampunan bagi ayahnya, setelah diketahui bagaimana sikap ayahnyaketika ia mendengar tindakan Ibrahim AS menghancurkan berhala-berhala.Berkaitan dengan itu Allah berfirman yang artinya,“Tidak pa­tut bagiseorang nabi dan orang-orang ber­iman memohonkan ampunan (kepa­da Allah) bagiorang-orang musyrik…” (QS At-Tawbah: 113).

Di kemudian hari setelah Nabi Ibra­him AS menyelesaikan pembangunanKa‘bah pada akhir hidupnya, beliau ber­doa yang artinya, “Ya Allah,ampunilah aku dan kedua orangtuaku.” (QS Ibra­him: 41). Jika larangan istighfarpada ayat tersebut pertama ditujukan kepada ayah Nabi Ibrahim yang sebenarnya,ten­tu beliau tetap tidak boleh memohon­kan ampunan lagi setelah dilarang!

Bagaimana dengan riwayat bahwa Nabi SAW menangis di pusara ibunya danhadits tersebut dikatakan sebagai asbabun nuzul dari ayat 113 dari surahAt-Tawbah yang artinya, “Tiadalah se­pa­tutnya bagi nabi dan orang-orangyang beriman memintakan ampun (ke­pada Allah) bagi orang-orang musyrik, walau­punorang-orang musyrik itu ada­lah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi merekabahwasanya orang-orang musyrik itu ada­lah penghuni neraka Ja­hanam”?

Riwayat itu dinilai dhaif oleh pakar hadits Adz-Dzahabi, karena dalamren­teten perawinya terdapat nama Ayyub, yang berstatus lemah. Pakar tafsir Dr.Wahbah Az-Zuhail mengomentari ulama yang menyatakan hadits tersebut seba­gaisebab turunnya ayat 113 QS At-Tawbah, dengan komentar bahwa itu jauh darifakta, sebab orangtua Rasul hidup di masa fatrah, sehingga tidak te­pat haditstentang tangisan Nabi SAW di pusara ibunya sebagai sebab turun­nya ayattersebut (lihat Tafsir Al-Munir, juz 6, hlm. 64).

Dan banyak lagi hadits yang senada dengan itu, namun dengan redaksi yangberbeda, seperti yang diriwayatkan, Ahmad, Muslim, Abu Dawud dari jalur AbuHurairah.

Hadits tersebut tidak dapat dijadikan dalil kemusyrikan ibunda Nabi SAWkarena alasan-alasan berikut.

Pertama, hadits tersebut secara man­thuq (tekstual) tidakmenyebut keka­firan atau kemusyrikan ibu Nabi secara tegas dan jelas, sehinggasuatu tindakan ceroboh kalau dengan ketidakjelasan man­thuq hadits tersebutlangsung me­nyatakan kemusyrikan ibunda Nabi SAW.

Kedua, hadits-hadits yang menyata­kan bahwa kejadian Rasulullah mena­ngis dikuburan ibunya di kota Makkah, menurut Ibnu Sa‘ad, adalah salah, sebab makamibu Nabi bukan di Makkah, me­lainkan di Abwa (suatu wilayah yang ma­sih masukkota Madinah).

Ketiga, hadits-hadits tersebut, terma­suk hadits mengenai ayahanda Nabi se­ba­gaimanadisebutkan di atas, dibatal­kan (mansukh) oleh surah Al-Isra’ ayat 15yang telah disebutkan. Karena me­reka, ayah dan ibunda Nabi SAW, hidup sebelumada risalah nubuwwah. Karena itu mereka termasuk ahlul fatrah yangterbebas dari syari’at Rasulullah SAW.

Keempat, khusus hadits riwayat Mus­lim tentang ayahanda Nabi, yang di­maksud“ayahku” dalam hadis tersebut ada­lah paman. Karena, di dalam Al-Qur’an, seringkali, ketika ada kataabun (ayah), yang dimaksudadalah `ammun (paman), jadi bukan orangtua kandung.

Dan untuk penyebutan orangtua kan­dung, biasanya Al-Qur’an menggunakankata walid,sebagaimana firman Allah yang artinya, “Ya Tuhankami, ampunilah aku dan ibu-bapakku....” (QS Ibrahim 41).

Kelima, hadits-hadits tersebut ber­ten­tangan dengan nash hadits lain se­pertiyang disebutkan di atas bahwa Nabi SAW lahir dari nasab yang suci.

Keenam, dikatakan oleh Al-Qadhi Abu Bakar Al-A‘rabiy bahwa orang yang mengatakanorangtua Nabi SAW di ne­raka, mereka dilaknat oleh Allah SWT, sebagaimanaFirman-Nya yang artinya, “Se­sungguhnya orang-orang yang me­nyakiti Allah danRasul-Nya, Allah akan melaknat mereka di dunia dan akhirat, dan disiapkan bagimereka adzab yang menghinakan.” (QS Al-Ahzab: 57). Berkata QadhiAbu Bakar, “Tidak ada hal yang lebih menyakiti Nabi SAW selain di­katakan bahwaayahnya atau orang­tuanya berada di neraka.” Demikian di­katakan As-Suyuthidalam kitab Masa­likul Hunafa’ Fi Hayati Abawayyil Musthafa.

Bab 5 Kesimpulan/ Penutup

Demikian pendapat ulama bahwa orangtua Nabi SAW bukan orang-orangmusyrik, karena wafat sebelum kebang­kitan risalah dan menjadi ahli fatrah, dantak ada pula nash yang menjelaskan me­reka sebagai penyembah berhala. Di antaraulama yang berpendapat bahwa orangtua Nabi bukan musyrik adalah Al-ImamAsy-Syafi‘i dan para ulama besar Syafi‘i dan madzhab-madzhab lainnya, sepertiAl-Hafizh Al-Muhaddits Al- Imam Al-Qurthubi, Al-Hafizh Al-Imam As-Sakhawi,Al-Hafizh Al-Muhaddits Al-Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi yang mengarangsebuah buku khusus tentang keselamatan ayah-bunda Nabi SAW, Al-Hafizh Al-ImamIbn Syahin, Al-Hafizh Al-Imam Abubakar Al-Bagh­dadi, Al-Hafizh Al-ImamAth-Thabari, Al-Hafizh Al-Imam Ad-Dara­quth­ni, dan masih banyak lagi yanglainnya.

Syaikh Al-Qhadhi, salah seorang imam dari Madzhab Malikiyyah, pernahditanya ihwal bahwa orangtua Nabi SAW berada di neraka. Maka ia menjawab, “Mal`un (terlaknatorang itu), karena Allah SWT berfirman yang artinya, ‘Se­sungguhnya orang-orangyang menya­kiti Allah dan Rasul-Nya, Allah melaknat mereka di dunia dan diakhirat, dan menyiapkan untuk mereka adzab yang hina’.” (QS Al-Ahzab: 57).Adakah yang lebih menyakiti hati Rasulullah SAW dari mengatakan bahwa orangtuaRasulullah SAW berada di neraka?

Arti bebas dari scan kitab yang berwarna kuning: “Ibnu Taimiyahmengatakan bahwa sebelum mengkafirkan seseorang dengan nyata-nyata syaratnyaharus telah ditegakkannya hujjah [sampainya hujjah], dan itu menjadi dasarucapan-ucapannya dalam sebagian yang telah dihukumi kafir, “Tetapi sebagianmanusia yang bodoh [tidak mengetahui] beberapa hukum karena terhalangkebodohannya, maka tidak boleh seseorang menghukumi kafir sehingga tegaknyahujjah [sampainya hujjah] padanya dari arah sampainya risalah kenabian. Sebagaimanafirman Allah Ta’ala: (Dan tidaklah kami mengadzab mereka, sehingga kamimengutus kepadanya seorang Rasul) {QS. Al-Isra’: 15} [Majmu’ Fatawa jus 11 hal.406]” “Syeikh Hamid bin Nashir bin Ma’mar seorang ulama pendakwah murid dariMuhammad bin Abdul Wahhab berkata, “Semua orang yang sudah sampai kepadanyaAl-Qur’an dan dakwah [risalah/diutusnya] Rasul, maka telah ditegakkan hujjahkepadanya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: (…supaya dengannya aku memberiperingatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Qur’an (kepadanya)).{QS. Al-An’am: 19).” Dan pada hal. 54 Syeikh Ishaq bin Abdurrahman An-Najdberkata, “Dan yang dimaksud: tegaknya hujjah adalah sebab telah diutusnyaRasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sampainya Al-Qur’an [kepadanya],siapa saja yang mendengar dakwah Rasulullah dan telah sampainya Al-Qur’ankepadanya, maka telah ditegakkannya hujjah [hukum]. Dan inilah yang dimaksudoleh ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.


PARA AHLI HIKMAH DAN ORANGTUA NABI MUHAMMAD DI ZAMAN FATRAH (Masa Ketauhidan Sejak Nabi Isa AS Sampai Ke Nabi Muhammad SAW)

Selama kurun waktu mulai sepeninggal Nabi Isa AS hingga saat kedatangan Nabi Muhammad SAW terdapat sejumlah orang ahli tauhid (orang-orang yang meyakini keesaan Allah SWT) dan mempercayai adanya hari kebangkitan kembali sesudah mati). Mereka ini adalah orang-orang yang menda’wahkan kebenaran Allah sejak masa Nabi Isa AS dan Nabi Muhammad SAW. Masa inilah yangdisebut dengan masa FATRAH. Orang-orang ini ada yang dianggap sebagai Nabi dan adapula yang berpendapat lain.

Diantara sekian banyak dari orang-orang yang hidup pada masa FATRAH ini adalah sebagai berikut:

1. Handzalah bin Shinwan : Ia termasuk keturunan Nabi Ismail bin Ibrahim AS. Sebagian menganggap dirinya adalah Nabi. Handzalah diutus Allah kepada kau Rass (Asshabur Rassi) yang juga berasal dari keturunan Nabi Ismail bin Ibrahim AS. Kaum Rass terdiri dari dua kabilah, yang satu bernama “Adnan” dan yang satunya lagi bernama “Yaaman” (ada yang menyebutnya “Ra’wail”. Dua Kabilah itu berada di negeri Yaman. Kepada mereka Handzalah menyampaikan apa yang diperintahkan Allah kepadanya, tetapi mereka kemudian membunuhnya. Allah lalu mewahyukan kepada seorang Nabi dari Bani Israil cucu Yahuda supaya menyuruh raja Bukhtu Nasshar membinasakan kaum Rass.

2. Dzul-Qarnaen : Menurut riwayat berasal dari Wahb bin Munabbih, yang dimaksud “Dzul-Qarnaen” ialah Iskandar Yang Agung . Ia hidup dalam zaman fatrah. Penamaan Dzul-Qarnaen (Si Dua Tanduk) diberikan orang kepada Iskandar Agung karena suatu malam ia mimpi berada di dekat matahari hingga dapat memegang dua buah tanduknya, yaitu tanduknya di sebelah timur dan tanduknya di sebelah barat. Apa yang dilihatnya dalam mimpi itu ia ceritakan kepada kaumnya dan sejak itulah ia dinamakan “Dzul-Qarnain”. Di Dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang secara ringkas menjelaskan siapa Dzul-Qarnaen yaitusurat Al Kahfi ayat 83 – 98.

3. Para Penghuni Goa (Ashabul Kahfi) : Kisah sebenarnya mengenai Ashabul Kahfi termaktub di dalamAl-Qur’anul Karim Surat Al Kahfi mulai ayat ke 13 hingga ke 26.

4.Jirjis : Jirjis hidup dalam zaman Fatrah, sepeninggal Nabi Isa AS, ia mengalami sebagian dari Kaum Hawariy (para pengikut setia Nabi Isa). Ia diutus mendatangi seorang raja di Maushil. Kepadanya ia berseru supaya menyembah sujud kepada Allah Azza Wa Jalla, tetapi kemudian ia dibunuh. Allah SWT menghidupkannya kembali, kemudian ia dibunuh lagi. Demikian terjadi hingga tiga kali. Ketiga kalinya ia dibakar oleh raja tersebut dan abunya dibuang ke sungai Dajlah (Tigris). Karena tindakan sekejam itu Allah murka lalu raja  dan semua pengikutnya dibinasakan.

5. Habib An-Najjar : Habib An-Najjar tinggal di Antakia, negeri Syam. Disana terdapat seorang raja yang zalim dan menyembah berhala serta gambar-gambar. Dua orang murid Nabi Isa Al Masih datang mengajaknya bersembah sujud kepada Allah Azza wa Jalla.Ajakan yang benar itu dijawab oleh raja dengan pukulan dan penyiksaan, lalu kedua-duanya dijebloskan ke dalam penjara. Untuk memperkuat dua ajakan orang itu, Allah mengutus orang ketiga, yang menurut para ahli riwayat ialah Petrus.Di kalangan orang Romawi dia dikenal dengan nama Petrus dan dikalangan orang aRAB dikenal dengan nama Sama’an.  Kisah yang nantinya berkaitan dengan Habib An-Najjar ini terdapat dalam surat Yaasin ayat 14– 19 dan ayat 20 – 21.

6. Ashabul Ukhdud : Hidup dalam zaman fatrah di Najran, Yaman, pada masa kekuasaan raja Dzu Nuwas yang beragama Yahudi. Ketika raja itu mendengar di Najran banyak orang memeluk agama Nasrani, ia datang sendiri ke kota ituuntuk menjatuhkan hukuman berat terhadap mereka. Ia memerintahkan penggalian parit atau liang besar kemudian dipenuhi dengan kayu bakar lalu menyalakannya. Semua orang Najran yang memeluk agama Nasrani digiring ke tempat itu, lalu kepada mereka dihadapkan salah satu diantara dua pilihan : masuk agama Yahudi atau tetap dalam agama nasrani. Siapa yang memeluk agama Yahudi ia selamat dan siapa yang mempertahankan agama nasrani ia dilemparkan ke dalam parit yang membara dan menyala. Peristiwa sekejam itu diabadikan dalam Kitab  suci Al-Qur’ansurat Al Buruj ayat 4 – 8.

7. Khalid bin Sinan Al ‘Absiy : Nama lengkapnya ialah Khalid bin Sinan bin Ghaits bin ‘Abs. Mengenai Khalid bin Sinan itu, Rasulullah SAW pernah berkata : “Ia seorang Nabi yang dilenyapkan kaumnya”. Seorang perempuan dari keturunan Khalid bin Sinan pernah datang menghadap Rasulullah SAW ketika beliau sedang membaca surah Al Ikhlas. Pada saat itu perempuan tersebut berkata : “Dahulu ayahku (yakni Khalid bi Sinan) pernah mengucapkan kata-kata seperti itu.

8. Riab Asy-Syanny : Ia berasal dari Bani Abdul Qais, hidup dalam zaman sebelum Bi’tsah dan memeluk agama nasrani sebagaimana yang diajarkan Nabi Isa AS. Menurut sebuah riwayat, pada masa itu banyak orang  mendengar suara berkumandang di angkasa dan mengatakan : “Penduduk bumi yang terbaik adalah tiga orang : Riab Asy-Syanny, Pendeta Bahira dan seorang lagi yang belum muncul (Yaitu Muhammad Rasulullah SAW).

9. As’ad Abu Karb Al-Himyariy : Ia seorang beriman yang hidup dalam zaman fatrah. Beberapa abad sebelum bi’tsah ia sudah mempercayai sepenuhnya akan kedatangan Muhammad SA sebagai Nabi dan Rasul. Dalam sebuah syairnya ia mengatakan :

“Aku Bersaksi bahwa Ahmad (Muhammad)adalah utusan Allah Pencipta Manusia”.
“Bila dikaruniai umur panjang mengalami hidupnya aku pasti membantunya”.
“Aku akan taat kepadanya bersama semua manusia di bumi, Arab maupun bukan Arab”.

Dalam sebuah riwayat, As’ad itulah orang pertama yang menyelimuti Ka’bah dengan kain.

10. Qus bin Sa’idah Al-Iyadiy: Qus bin Sa’idah adalah cucu Iyad bin Ad bin Ma’ad, terkenal sebagai orang arif di kalangan masyarakat Arab dan mempercayai sepenuhnya akan hari kebangkitan kembali sesudah mati. Dialah yang pada zamannya berkata : “siapa yang hidup ia pasti akan mati dan siapa yang telah mati luputlah segala-galanya. Apa yang akan datang pasti akan tiba waktunya”.

Ketika Rasulullah SAW masih hidup, datang kepada beliau perutusan dari kaum Iyad. Kepada mereka beliau SAW, bertanya tentang Qus bin Sa’ad. Mereka menjawab, bahwa Qus telah meninggal dunia. Mendengar jawaban itu beliau berkata : “Semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya. Terbayang olehku seolah-olah ia berada di pasar Ukadz sedang mengendarai unta berwarna merah (coklat) seraya berseru “ Hai saudara-saudara, kumpullah serta dengarkan dan sadarilah, bahwa siapa yang hidup ia pasti akan mati dan siapa yang mati luputlah segala-galanya ! Apa yang akan datang pasti akan tiba waktunya!”

11. Zaid bin ‘Amr bin Nufail : Ia adalah ayah Sa’id bin Zaid,salah satu diantara sepuluh orang Sahabat Nabi yang diberitahu Rasulullah SAW akan masuk surga. Zaid adalah saudara misan (anak paman) Umar bin Khattab RA. Selama hidupnya, Zaid tidak sudi menyembah berhala, bahkan berani mencela patung-patung yang disembah kaum musyrikin itu. Oleh Al Khattab (ayah Umar RA) ia diserahkan kepada orang-orang jahat supaya mereka menyiksa dan menganiayanya. Ia lalu memencilkan diri di dalam gua Hira, hanya pada waktu-waktu tertentu saja ia masuk ke dalam kota Mekkah secara diam-diam. Beberapa lama kemudian ia pergi ke Syam untuk mencari-cari agama yang benar hingga meninggal dunia di negeri itu.

12. Umayyah bin Abis-Shilt Ats-Tsaqafy : Ia seorang penyair yang cerdas dan berpandangan luas, bekerja sebagai pedagang dan selalu bepergian ke Syam. Disana ia berjumpa dengan pembesar pembesar gereja nasrani dan yahudi. Ia banyak mempelajari kitab-kitab mereka, namun sebelum itu ia telah mengetahui akan datangnya seorang Nabi dari bangsa Arab. Dalam syair-syairnya ia mengetengahkan berbagai soal yang lazim dikemukakan oleh para ahli agama. Misalnya, soal soal mengenai langit, bumi, bulan dan malaikat. Kecuali itu ia menyebut juga Nabi-Nabi, hari kebangkitan sesudah mati, surga dan neraka. Ia seorang yang mengagungkan kebenaran Allah Azza Wa Jalla dan mempercayaai tiada Tuhan selain Allah. Umayyah merupakan orang Arab pertama yang dalam surat-suratnya mencantumkan kalimat “Bismika Allahumma” sebagai pembukaan. Setelah Islam datang kalimat tersebut diganti dengan “Bismillahi Ar-Rahman Ar-Rahim”.

13. Waraqah bin Naufal : Nama lengkapnya Waraqah bi Naufal bin Asadbin Abdul Uzza bin Qushay. Ia anak lelaki Paman Sayyidah Khadijah binti Khuwailid RA istri Rasulullah SAW. Waraqah banyak mempelajari kitab-kitab agama Nasrani serta ilmu ilmu lainnya dan pantang menyembah berhala. Ialah yang memberitahu Khadijah Ra bahwa suaminya seorang calon Nabi bagi umat manusia,akan diganggu dan didustakan orang. Dalam pertemuannya dengan Muhammad SAW (sesudah bi’shah) ia berkata kepada beliau :”Hai putra pamanku, hendaklah anda tetap pada tugas dan kewajiban anda. Demi Allah yang nyawaku berada ditangan-Nya, ada akan menjadi Nabi bagi ummat manusia, anda akan diganggu, didustakan, diusir dan akan diperangi orang. Seumpama aku hidup mengalami masa kenabian anda, aku pasti akan turut membela kebenaran Allah”. Dalam syairnya mengenai Nabi Muhammad SAW, Waraqah menulis :

Ia seorang pemaaf dan berlapang dada
Tidak membalas kejahatan dengan kejahatan
Menahan nafsu si saat marah
Pantang mengumpat dan melontar makian”

14. ‘Addas Maula Utbah bin Rabi’ah : Ia berasal dari penduduk Ninawa, bertemu dengan Rasulullah SAW ketika beliau sedang berdakwah mengajak penduduk kota Thaif supaya hanya bersembah sujud kepada Allah Azza wa Jalla, mengenai ‘Addas terdapat sebuah riwayat yaitu ketika ia melindungi Rasulullah SA dari penganiayaan orang-orang Thaif dengan menyembunyikan beliau di dalam sebuah kebun. ‘Addas termasuk orang yang diberitahu Rasulullah SAW akan beroleh kehidupan yang baik di akhirat kelak.

15.Abu Qais Shirmah bin Abu Anas : Ia seorang dari Kaum Anshar berasal dari Bani An-Najjar, hidup menghayati kerahiban, memakai pakaian kasar danmenjauhkan diri dari penyembahan berhala. Rumahnya dijadikan tempat ibadah,tidak boleh dimasuki perempuan yang sedang haid atau orang lain yang sedang junub. Ia dengan tegas mengatakan : “ Aku hanya menyembah Tuhannya Ibrahim”. Ketika Rasulullah SAW hijrah ke Madinah ia segera memeluk Islam dan menjadi muslim yang baik serta patuh kepada Allah dan Rasulnya.

16. Abu ‘Amr Al-Ausiy : Nama Aslinya ialah ‘Abdu ‘Amr bin Shaifi bin Nu’man, berasal dari Bani ‘Amr bin ‘Uruf dari kabilah Aus. Ia seorang terhormat, di masa jahiliah ia hidup menghayati kerahiban dan memakai pakaian serba kasar. Hubungannya dengan Rasulullah SAW setiba beliau tiba di Madinah mempunyai kisah tersendiri yang cukup panjang. Ia keluar meninggalkan madinah bersama 50 orang pembantunya dan meninggal dunia di Syam sebagai orang Nasrani.

17. Abdullah bin Jahsyi Al-Asadiyia berasal dari Bani Asa bin Khuzaima, suami Habibah binti Abi Sufyan bin Harb sebelum wanita itu nikah dengan Rasulullah SAW. Ia banyak membaca kitab-kitab agama Nasrani kemudian cenderung kepada agama tersebut. Ia bersama istrinya memeluk agama Islam dan turut berhijrah ke Ethiopia/Habasyah (kini menjadi Eriteria) bersama sejumlah kaum muslimin. Di sana ia berbalik meninggalkan agama Islam dan memeluk agam Nasrani, sedangkan istrinya tetap memeluk agama Islam. Ia meninggal dunia di Hasbyah. Kepada kaum Muslimin ia pernah mengatakan : “Kami sudah dapat melihat pada saat kalian baru dapat membuka mata sedikit”.

Sepeninggal ‘Abdullah bin Jahsy, Habibah binti Abi Sufyan bin Harb (istrinya) menikah dengan Rasulullah SAW melalui perantaraan Najasy (Kaisar Negeri Habasyah), bahkan kaisar itulah yang membayarkan mas kawin 400 dinar kepada Habibah atas nama Rasulullah SAW. Jasa baik yang berikan Najasy itu atas dasar simpatinya kepada kaum Muslimin yang berhijrah ke negerinya. Sementara riwayat mengatakan, bahwa Najasyi kemudian masuk Islam.

18. Pendeta Bahira : Bahira seorang pendeta Nasrani yang beriman kuat menurut ajaran Nabi Isa Al-Masih As. Di Kalangan orang-orang Nasrani ia terkenal dengan nama Sirjis. Ia berasal dari kabilah ‘Abdul Qais. Ketika Rasulullah SAW masih berusia 12 tahun,oleh pamannya, Abu Thalib, beliau diajak bepergian ke Syam mereka diketahui oleh Bahira yang saat itu sedang berada di dalam biaranya. Bahira sudah mengenal Rasulullah SAW dari tanda-tanda dan sifat-sifat beliau yang terdapat di dalam kitab suci terdahulu. Ia melihat gumpalan awan meneduhi beliau SAW, disaat sedang beristirahat di sebuah tempat. Ia kemudian mempersilahkan Abu Thalib dan putra saudaranya itu singgah di biaranya. Kedatangan mereka disambut dengan hormat dan dijamu makan. Dalam kesempatan itu Bahira melihat sendiri tanda-tanda kenabian yang terdapat di punggung Muhammad SAW. Sambil meletakkan tangan pada tanda kenabian beliau itu Bahira menyatakan keyakinannya, bahwa putra Abu Thalib kelak kan menjadi seorang Nabi utusan Allah. Hal itu diterangkan olehnya kepadaAbu Thalib, dan Bahira minta agar mereka segera pulang. Kepada Abu Thalib ia berpesan supaya menjaga keselamatan putranya dari gangguan orang-orang Ahlul Kitab.

Berdasarkan keterangan ini, yang juga masukgolongan Ahlul Fatrah adalah Ayah dan Ibu Nabi kedua orang­tua Nabi termasuk ahlul fatrah, orang yang hidup dimasa fatrah, yakni suatu masa ketika terjadi kekosongan nubuw­wah (kenabian)dan risalah (kerasulan). Semenjak Nabi Isa AS hingga diutusnya nabi berikutnya,yakni nabi kita SAW, terpaut jarak waktu yang panjang. Umat manusia hidup tanpa adanya risalah ke­nabian. Para ulama mengatakan, manu­sia yang hidup di masafatrah ini tidak dimintai pertanggungjawaban. Mereka mendasarkan pendapatnyapada firman Allah SWT yang artinya, “Dan tidaklah Kami mengadzab (suatukaum) hingga Kami mengutus seorang rasul.” (QS Al-Isra’: 15).

Dari ayat itu, orang-orang yang hidup sebelum Nabi Muhammad SAW diutus, mereka adalah ahlul fatrah, yang tidak diadzab atas perbuatannya. Karena sebagai bentuk keadilan Allah adalah hanya mengadzab suatu kaum setelah jelas risalah datang kepada mereka namun tidak diindahkan.

Dari ayat itu pula dapat dipahami bahwa keluarga Nabi SAW sebelum diri­nya diangkat menjadi nabi dan rasul ada­lah ahlul fatrah, dan karena itu mereka tidak diadzab dan tidak digolongkan sebagai orang-orang musyrik atau kafir.

Inilah sikap yang adil, lantaran se­cara nalar tentu kita tidak bisa menerima bila seseorang dimasukkan ke dalam neraka padahal tidak ada seorang nabi pun yang mengajarkan agama kepada mereka. Bagaimana Allah, Yang Maha­ adil, sampai tega menghukum orang yang tidak tahu apa-apa? Pendapat ini dikemukakan oleh banyak ulama, di an­taranya Al-ImamAs-Suyuthi.

Sumber :

HMH Al Hamid Al Husaini, Sirothul Mustofa,Jakarta : Al Hamid Al Husaini Press, 1990, hlm 82 - 93
FatwaTegas Mufti Kesultanan Palembang Darussalam Tentang Ayah & Bunda NabiMuhammad Adalah Mukmin Dan Masuk Surga, Senin, 10 Juni2013.