Minggu, 28 November 2021

“RIVALITAS” KOMUNIS & ISLAM DI INDONESIA

Disusun oleh : Iwan Mahmud Al-Fattah

Dalam sejarah PKI, cikal bakalnya muncul pada masa penjajahan Belanda yang dibawa dan dilahirkan oleh orang-orang Belanda beraliran kiri untuk melawan Belanda yang berhaluan kanan dengan cara mendidik dan melibatkan orang-orang Indonesia. Berdasarkan data-data sejarah yang ada komunisme sendiri masuk ke Indonesia, memang muncul pada masa kolonial Belanda.
Pertama kali faham ini dikenalkan oleh seorang tokoh Yahudi anggota Freemasonry bernama Hendricus Josephus Fransiscus Sneevliet, lahir di Rotterdam, 13 Mei 1883. Sneeevliet bersama H.W. Dekker dan Bergsma pada 1914 dengan mendirikan Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV) atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda. Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya PKI.
Paham haluan kiri yang disebarkan oleh H.J.F.M Sneevliet, Bergsma, Brandstander, H.W Dekker penyebarannya yang diawali dengan mendirikan organisasi ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging) tujuannya adalah untuk memperbesar dan memperkuat gerakan komunis di Hindia Belanda dan mulai mencoba menyebarkan pengaruhnya.
Sosok Sneevliet sangatlah beperan besar dalam merusak wajah Syarikat Islam yang telah susah payah dibangun oleh tokoh-tokoh Islam saat itu. Keberadaan Syarikat Islam yang sangat besar pengaruhnya pada masyarakat berhasil dia guncang dengan cara mempengaruhi tokoh-tokoh muda terbaik dari Syarikat Islam. Keberadaan tokoh berwajah lugu ini bisa diterima dengan baik oleh pemuda-pemuda tersebut, ini menandakan jika Sneevliet sosok yang cerdas dan lihai. Boleh jadi Sneevliet sepertinya memang sudah dipersiapkan penjajah untuk merubah wajah Islam SI. Sekalipun mungkin beraliran kiri, namun tidak menutup kemungkinan dia memiliki “kerjasama dibalik layar” dengan penjajah kolonial Belanda. Dalam dunia politik apapun bisa terjadi, mereka mungkin terlihat seolah bersebrangan, namun dibelakang bisa saja bersalaman dan cipika cipiki. Kenapa demikian ? Karena target utama Sneevliet adalah organisasi besar Islam yang juga merupakan musuh besar penjajah.
Salah satu langkah sukses Sneevliet dkk dalam merubah dan merusak wajah organisasi Islam adalah ketika dia melakukan pendekatan terhadap Sarekat Islam cabang Semarang yang pada waktu itu dipimpin oleh Semaun dan Darsono hingga keduanya pun pindah haluan faham yang dianut. Saat kongres ketiga di Bandung, Semaun dengan lantang dan terang-terangan menentang agama sebagai dasar pergerakan SI. Hal ini menyebabkan SI pecah menjadi "SI Putih" yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto dan "SI Merah" yang dipimpin Semaoen. Sejak munculnya “SI Merah” ini mulailah muncul rivalitas antara ‘kanan” yang diwakili umat Islam dan “kiri”yang diwakili oleh orang-orang berhaluan komunis.
Anda bisa bayangkan betapa “hebatnya” sosok Sneevliet dkk dalam menanamkan doktrin kepada kepada pemuda-pemuda terbaik binaan dari Haji Oemar Said Cokroaminoto. Bagaimana mungkin sosok Semaun dan Darsono yang dikader dan digadang-gadang menjadi tokoh besar Islam masa depan justru bisa berbalik 180 derajat sampai kemudian rela menjadi “hamba” idiologi yang diperkenalkan oleh Sneevliet dkk itu. Tidak itu saja bahkan para pemuda binaan Sneevliet ini telah mampu mendirikan Partai Komunis Indonesia pada tahun 1924. Hanya butuh beberapa tahun saja pemuda-pemuda tersebut berhasil membuat Partai Komunis yang pada perjalanan selanjutnya akan sering berhadapan dengan umat Islam.
Menurut Ricklefs, Partai Komunis Indonesia atau PKI prinsip tujuannya bukan hanya terfokus pada nasionalisme ataupun program politik melainkan pada agama. PKI tidak mempercayai adanya Tuhan. PKI memiliki tujuan untuk mewujudkan masyarakat Komunis, baik secara parlementer maupun revolusioner. PKI berkiblat pada paham Marxisme yang dipelopori oleh Karl Marx dan landasan yang dipakai adalah Class Conflict. PKI awalnya merupakan suatu organisasi yang sosial yang menentang dengan semua ketetapan pemerintah, kemudian PKI melakukan pemberontakan di beberapa daerah. Setiap Partai Komunis di manapun di dunia, mempunyai garis politik yang sama, yaitu tujuan akhir mereka dalam rangka menciptakan diktatur proleter dengan MEREBUT KEKUASAAN PEMERINTAH DENGAN JALAN APAPUN.
Fihak lain yang juga sudah mencium adanya rencana PKI untuk menghabisi Islam ke depan adalah GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia).
Di dalam keorganisasian pemuda GPII pun tidak luput dari usaha PKI untuk memfusikan seluruh organisasi pemuda di Indonesia menjadi Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) yang berazas Sosialistis dan bertujuan menegakkan Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Kedaulatan Rakyat sebagai wadah tunggal organisasi pemuda. G.P.I.I. di dalam Kongres Pemuda yang diadakan di Yogyakarta pada tanggal 9-11 November 1945 menolak pemfusian tersebut. Selain itu, dibalik gagasan tersebut G.P.I.I. mencium adanya penunggangan oleh unsur-unsur komunis. Dan terbukti, pada saat pemberontakan di Madiun tahun 1948 banyak tokoh-tokoh Pesindo yang ikut terlibat. Kewaspadaan dan kecurigaan GPII menjadi kenyataan ketika kalangan lain belum menyadari bahaya komunisme yang menyusup kedalam organisasi pemuda Indonesia.
Pada tahun 1947 Hadratusy Syeikh KH Hasyim Asy’ari bahkan telah mengingatkan bahaya ajaran meterialisme historis yang ateis itu bagi bangsa Indonesia. Karena konsep yang sedang dikembangkan secara gencar oleh PKI itu menyerukan pengingkaran terhadap agama, adanya akhirat.
Begitu berbahaya idiologi ini, KH Wahab Hasbullah dan juga Haji Hasan Gipo Ketua umum PBNU tahun 1926-1927 itu sering terlibat perdebatan serius dengan tokoh PKI Muso dan juga Alimin serta tokoh komunis lainnya tentang keberadaan Tuhan, tentang adanya wahyu serta adanya kehidupan akhirat.
Sejak dikeluarkannya peringatan oleh KH Hasyim Asy’ari tahun 1947 itu, kalangan NU sendiri selalu siaga terhadap serbuan PKI, tetapi mengingat besarnya kekuatan PKI maka sulit dibendung. KH Wahab Hasbullah seorang Pemimpin Besar NU ditugaskan untuk mengkonsolidasi NU dan Barisan Sabilillah se Jawa. Pertemuan ini sebenarnya untuk menghadapi agresi Belanda tetapi juga sekaligus membentengi Indonesia dari komunis, yang sudah merajalela di mana-mana.
Rivalitas antara Islam dan Komunis tidak berhenti disini saja, pada tahun 1947 terjadi benturan politik dimana salah satu tokoh yang pro komunis yaitu Amir Syarifudin yang menjabat sebagai Menteri Pertahanan mendirikan IBP (Inspektorat Biro Perjuangan) yang bertujuan untuk mengawasi, mengontrol laskar-laskar yang ada. Salah satu Laskar yang menentang keras kebijakan Amir Syarifudin adalah Laskar Hibzullah. Amir Syarifuddin yang kabinetnya hanya berumur 7 Bulan, yaitu dari 3 juli 1947 sampai dengan 23 Januari 1948 nampaknya cukup jeli dalam membuat kebijakan untuk memutus pengaruh besar Laskar-Laskar Islam kepada masyarakat untuk kemudian ia gantikan dengan faham yang dimilikinya. Keputusan Amir Syarifudin jelas telah membuat banyak tokoh dan ulama Islam resah karena dengan kebijakan tersebut mudah bagi Amir untuk membubarkan laskar-laskar tersebut mengingat jabatannya sangat mendukung hal itu. Hilangnya Laskar-Laskar Islam khususnya dalam perjuangan tentu sangat merugikan umat Islam.
Sebagai puncak dari semua manuver dan provokasi PKI adalah diselengarakannya rapat umum yang dihadiri langsung oleh Muso maupun Amir Syarifuddin pada bulan Agustus tahun 1948 di beberapa tempat seperti Madiun, Trenggalek dan juga di kota kota lain di sekitar Jawa Timur –Jawa Tengah, sebagai strategi PKI untuk show of force terhadap kekuatan mereka untuk menguasai Republik Indonesia. Semua tokoh PKI setempat dan daerah serta dari CC-PKI hadir dalam rapat umum yang dihadiri puluhan ribu orang. Tetapi bukan semuanya PKI, sebagian masyarakat desa yang tidak tahu-menahu urusan politik tetapi dimobilisasi secara paksa oleh PKI. Mereka ikuti saja kehendak PKI, kalau mereka menolak jiwa mereka akan terancam. Dengan demikian kekuatan PKI kelihatan sangat besar sehingga bisa menggetarkan lawan.
Benturan fisik antara Laskar Hizbullah dengan PKI terjadi. salah satunya terjadi pada tanggal 13 Agustus 1948, dimana pasukan PKI yang dipimpin oleh Mayor Sutarno mengadakan serbuan ke asrama kesatuan Hizbullah yang hijrah di Kampung Srambatan, Stasiun Balapan. Pihak PKI dalam serbuan itu mengerahkan 2 Batalyon dengan persenjataan senapan, granat dan mitraliur berat. Pihak Hizbullah yang berada dalam komplek asrama itu dalam kondisi belum siap, namun berusaha untuk mempertahankan wilayah, sampai menunggu datangnya bala bantuan. Kepungan dan serangan dari PKI terus menggencar di siang hari, namun tidak berhasil menguasai asrama. Saat Bala bantuan dari Hizbullah datang, pihak PKI dapat ditumpas dan kemudian mereka melarikan diri mundur dari medan perang dan menetap di utara Kota Surakarta dalam kondisi kalah banyak yang tewas, dan salah satunya pemimpin PKI yaitu Mayor Sutarno.
Pada tahun 1948 menjadi ujian yang berat bagi Bangsa Indonesia. Sejak dicetuskannya Negara Komunis (Negara Republik Indonesia Sovyet) di Madiun setelah Komunis Sovyet di Surakarta pada 18 September 1948 tahun itu, umat Islam sering mendapatkan berbagai gangguan dari kalangan Komunis. Sejumlah Pesantren di serang berikut Ulama‟ dan Santri menjadi korban kebiadaban mereka. Setiap saat dalam gerakan-gerakan yang dilakukan kalangan Komunis ini sering meneriakkan yel-yel “Pesantren Ambruk”, ”Masjid Bangkrut”, dan “Santri Dikubur”, disini jelas bahwa permusuhan tersebut diantaranya ditujukan kepada umat Islam. Menurut Salim H.S, konflik organisasi NU dengan PKI sudah dimulai sejak pemberontakan PKI di bawah Muso pada 1948 di Madiun. Pada saat itu, banyak warga NU yang menjadi korban pemberontakan PKI. Banyak ulama disiksa dan pesantren dibakar sehingg warga NU bergabung dengan Laskar Hizbullah dan melakukan penumpasan terhadap PKI. Konflik tersebut meruncing saat PKI semakin dekat dengan Sukarno.
Tahun 1948 ini benar-benar ini juga menjadi sebuah ujian terberat bagi umat Islam. Komunis benar-benar melancarkan teror yang menakutkan dengan banyak mengorbankan nyawa. Orang-orang Masyumi yang merupakan organisasi Islam besar pada masa itu telah menjadi sasaran mereka selain santri-santri dan ulama. Hefner dalam risetnya bahkan telah menulis tentang bagaimana perilaku PKI saat di Madiun, “orang-orang Masyumi tampak sebagai korban satu-satunya; kadang mereka sebatas dirampok, tapi tidak jarang pula disiksa dan dibantai”. Selain Madiun konflik antara santri dan milis PKI juga terjadi di Surakarta. Tidak itu saja, Pondok-pondok besar seperti Gontor Ponorogo juga diserang PKI. KH Imam Zarkasih adalah sasaran tembak mereka selanjutnya. Perlu diketahui bahwa salah satu Partai yang menjadi musuh PKI adalah Partai Islam Masyumi. Sehingga banyak anggota Masyumi yang menjadi sasaran penculikan dan pembunuhan, termasuk di Pesantren Modern Darussalam Gontor yang dikirim surat oleh PKI untuk pemimpin Pondok, agar tidak meninggalkan Pondok, karena PKI sudah mengetahui kalau pemimpin Pondok KH Imam Zakasyi termasuk anggota Masyumi.
Gambaran kekejaman PKI terhadap para tokoh Masyumi dan juga PNI dapat dilihat dari laporan surat kabar Tionghoa seperti berikut:
Semoea pemimpin Masjoemi dan P.N.I ditangkep atawa diboenoeh dengen tidak dipreksa poela. Kakedjeman di kota Madioen djadi memoentjak, koetika barisan ‘warok’ Ponorogo masoek kota dengen bersendjata revoler dan klewang. Dimana ada terdapet orang-orang Masjoemi, P.N.I. atawa jang ditjoerigaken, zonder banjak tjingtjong lagi lantas ditembak. Belon poeas dengen ini tjara, korban itoe laloe disamperi dan klewangnja dikasi bekerdja oentoek pisahken kepalanja sang korban dari toeboehnja.
Dari berita surat kabar ini jelaslah bagaimana watak asli seorang komunis jika mereka sudah merasa berkuasa, nyawa manusia bukanlah hal yang penting bagi mereka. Karena bagi mereka mati ya mati hidup ya hidup, semua berjalan dengan sendirinya tanpa harus ada ketergantungan dengan Tuhan. Jadi kalau sekedar membunuh toh bagi komunis biasa-biasa saja, yang penting hasrat mereka untuk berkuasa bisa tercapai.
Setelah gagalnya PKI merebut kekuasaan, mereka rupanya tidak tinggal diam, pelan tapi pasti mereka kemudian berhasil kembali comeback ke gelanggang politik Indonesia dengan berhasil menjadi pemenang pemilu ke 4 dengan strategi merangkul rakyat bawah. PKI melakukan pendekatan kepada kaum muda, etani, kaum buruh, wanita dengan membentukannya dengan kaum elit. Dan terbukti strategi ini cukup berhasil dengan banyak massa yang simpati kepada mereka. PKI berhasl melakukan propaganda kepada akar rumput dan kaum miskin perkotaan. Mereka juga banyak melakukan kegiatan-kegiatan yang mampu menarik minat masa seperti pertunjukan kesenian bahkan juga mereka dengan lihainya mengadakan pelatihan-pelatihan ketrampilan termasuk baca tulis dan sudah tentu kursus politik. Secara garis besarnya apa yang dilakukan PKI adalah buah dari sebuah PENCITRAAN.
Pada saat Orde Lama berjaya, PKI seolah mendapatkan tempat terhormat, karena Bung Karno saat itu sangat “memanjakan” keberadaan mereka yang dianggap sangat revolusioner dimana sikap seperti itu juga selalu dibangga-banggakan Bung Karno.
Merasa diatas angin selama di rezim orde lama ini PKI atau Komunis kembali unjuk gigi dengan menampilkan karakter yang sesungguhnya. Sudah bisa ditebak apa yang akan mereka lakukan, terutama khususnya kepada umat Islam dan tokoh-tokohnya yang selama ini memang paling keras menghadapi mereka. Dunia politik pun mereka buat menjadi tak menentu, konflik lapangan sering muncul. Bahkan menurut penjelasan dari KH Jusuf Hasjim pada saat pembentukan Barisan Serba Guna (Banser) pada periode itu (1964) adalah dimaksudkan untuk menghadapi aksi-aksi semacam dari teror yang dibuat PKI terutama yang telah dilakukan Barisan Tani Indonesia (BTI). Aksi sepihak PKI terkadang merebut tanah wakaf milik masjid, madrasah atau lembaga Islam lainya, dengan cara paksa dan kekerasan. Oleh karena itu, ansor melihat aksi itu adalah melanggar hukum. Maka, untuk menegakkan wibawa hukum, Ansor merasa perlu menghadapi tindakan BTI/PKI. Semangat perlawanan terhadap PKI pada periode Soekarno ini menurut sebagian besar aktivis NU merupakan kelanjutan perselisihan santri-abangan pada peristiwa Madiun 1948.Dalam konflik antara PKI dan NU (Ansor) mempunyai semboyan untuk saling membenarkan langkah masing-masing. Jika PKI berujar “Serobot dulu, Urusan Belakangan!” maka Ansor membalas dengan “Sikat dulu, Urusan Belakangan!”
Salah satu konflik yang cukup panas yang terjadi adalah GP Ansor dengan PKI, dan itu memuncak pada awal tahun 1965. Pada tanggal 13 Januari 1965 di Pondok Pesantren Kanigoro, Kras, Kediri, ribuan anggota Pemuda Rakyat dan BTI yang dipimpin Suryadi dan Harmono menyerang para santri yang tengah beribadah salat subuh. Selain itu PKI juga menganiaya pimpinan pondok pesantren, Haji Said Koesnan, dan menangkap pengasuh pondok pesantren, K.H. Djauhari. Kemudian, Pemuda Rakyat dan BTI berkilah, di pondok pesantren tersebut tengah berlangsung makar karena mereka menggelar pelatihan mental bagi Pemuda Pelajar Indonesia. Lantas kemudian untuk merespons aksi PKI tersebut, Banser mendatangkan anggotanya dari Kediri ke Kanigoro. Mereka memeriksa rumah-rumah anggota PKI, kemudian menangkap dan menyerahkan Suryadi dan Harmono (pimpinan Pemuda Rakyat dan BTI) ke Polsek. Dari kejadian inilah suasana semakin hari terus memanas karena ulah dari PKI terutama yang sering dilakukan oleh BTI.
Serangan terhadap NU yang dilakukan PKI seringkali terjadi. Aidit misalnya, rajin sekali dia memprovokasi tokoh-tokoh NU. Salah satu yang pernah diserang adalah Menteri Agama KH Saifuddin Zuhri yang digugat karena Islam mengharamkan makan daging tikus. Dengan cara lebih diplomatis tapi tajam bahkan sempat membuat malu aidit, serangan DN Aidit terhadap kesucian Islam itu ditangkis oleh KH Saifuddin Zuhri.
Selain NU, komunis juga berkonflik dengan PII (Pelajar Islam Indonesia). Bahkan begitu berbahayanya komunis ini, pada tanggal 20-25 Agustus 1963 PII telah melakukan analisis tentang bahaya komunis. PII merasa yakin bahwa suatu saat nanti PKI akan melakukan gerakan politik berupa kudeta. Tetapi analisis yang dilakukan PII memperkirakan pemberontakan tersebut terjadi sekitar tahun 1970. Dalam merespon kemungkinan dampak buruk akibat pemberontakan itu, secara internal PII melakukan penguatan basis-basis militansi kader, sistem kaderisasi, penyiapan dan penguatan struktur pendukung seperti Brigade PII.
Sebagai organisasi yang pernah berhadapan langsung dengan PKI tentu PII tidak mau kecolongan untuk yang kesekian kalinya. Peristiwa Kanigoro dimana saat itu banyak terdapat kader PII dapat dikatakan istimewa karena pelaksanaan penyerbuan arena training PII itu diawasi oleh tokoh Central Comite PKI yakni Nyoto, sasaran akhir PKI saat itu jelas untuk menghancurkan PII secara total.
Pada masa orde lama, setelah berhasil menjatuhkan Masyumi dan Bung Hatta yang dituduh sebagai komprador-komprador kapitalis imperialis Amerika, PKI mempunyai target selanjutnya untuk dihancurkan karena dianggap “rival terberat” dan sering menghalang halangi cita-cita mereka yaitu HMI (Himpunan Mahasiswa Islam).
PKI mulai berencana menjatuhkan HMI, karena menyadari HMI merupakan musuh besarnya, melalui Underbouwnya seperti Konsentrasi Gabungan Mahasiswa Indonesia (CGMI), mereka mulai menyerang, memfitnah, dan menuntut pembubaran HMI. Salah satu tokoh yang sangat getol agar HMI dibubarkan adalah DN Aidit. DN Aidit menuntut pembubaran HMI yang dianggapnya Antimanipol, Kontravolusi, tidak Progresif-Revolusioner, underbouw Masyumi dan sebagainya. Dalam pidatonya Aidit sering berkata, “Mengapa Masyumi / GPII telah dibubarkan, HMI tidak dibubarkan? Kalau tidak dapat membubarkan HMI, kata DN Aidit, lebih baik pakai sarung !” serunya di depan lebih dari 10.000 massa CGMI itu. Yel-yel bubarkan HMI terus bergema. Tindakan Aidit ini jelas tergolong lancang dan kurang ajar, karena secara tersirat lewat sindirannya itu ia merasa lebih berkuasa dari Bung Karno.
Setelah bubarnya Masyumi karena dianggap tidak menyalahkan pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia), maka selain HMI target PKI selanjutnya adalah membubarkan organisasi yang mempunyai hubungan dekat dengan Masyumi, diantaranya Muhammadiyah. Mereka ada yang di IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia), PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), Masyumi, PNI bahkan PKI (seperti Haji Misbach dan Tan Malaka, walaupun bukan pada masa orde lama).
Setelah Masyumi bubar, sebagian besar mantan aktivis politik Muhammadiyah lalu mencurahkan kegiatannya kepada Muhammadiyah saja. Hal ini dianggap berbahaya oleh PKI karena Muhammadiyah dapat dijadikan sebagai alat perjuangan alternatif dalam melawan PKI. Berkali-kali PKI berusaha keras untuk membunuh karakter nama baik Muhammadiyah beserta tokoh-tokohnya dengan cara fitnah, namun demikian tokoh-tokoh Muhammadiyah punya cara cerdas untuk menghadapi ulah PKI ini.
Muhammadiyah melakukan “pendekatan” kepada Bung Karno untuk mengambil hatinya tanpa harus kehilangan jatidiri dan marwah organisasi. Selain itu Muhammadiyah juga sering melakukan kerjasama dengan NU dalam menghadapi proganda PKI. Bila tokoh-tokoh NU berjuang secara politik dari dalam langsung untuk menghadapi tokoh-tokoh PKI, maka Muhammadiyah juga punya cara lain yang tidak kalah cerdasnya melalui “Suara Muhammadiyah”, mereka juga sering mengutip kata-kata orang yang berpengaruh dan punya kharisma di negeri ini untuk dipergunakan sebagai propaganda anti PKI.
Tokoh-tokoh seperti Muhammad Hatta sering dimuat ulang tulisannya untuk kepentingan ini. Seperti tulisan ”Nasakom-Jalan Setan”, ”Sosialisme Bukan Barang Baru”, dan lain sebagainya. Beberapa slogan-slogan yang dibuat Muhammadiyah bahkan sangat menjengkelkan PKI karena slogan-slogan itu telah membuat Bung Karno senang.
Tidak ketinggalan dari saudara-saudara organisasi Islam lainnya, Organisasi PERSIS atau Persatuan Islam sejak tahun 1953, telah berada di garis terdepan untuk melawan aktivitas dan kehadiran Partai Komunis dalam kancah politik Indonesia. Bahkan, Persis dengan dimotori ketua umumnya, Isa Anshary, membentuk “Front Anti Komunis” pada pertengahan November 1953. Tak hanya itu, kantor Persis pun dijadikan markas Front Anti Komunis. Pergerakan Front Anti Komunis sungguh sangat strategis. Front ini bergerak dengan sistem sel yang justru identik dengan strategi gerakan PKI itu sendiri. Tujuannya jelas, supaya bisa memerangi komunisme di semua lapisan masyarakat. Dalam fatwanya, Persis secara resmi menolak paham komunisme. Demikian juga, orang yang mengikuti paham ini dianggap kafir. Konsekuensinya, kalau ia mati tidak boleh disembahyangkan dan tidak boleh dikuburkan secara Islam. Sikap Persis yang sangat keras ini tentu telah menjadi perhatian khusus PKI, tidak heran propaganda PKI untuk menghabisi organisasi ini sangatlah kuat, sehingga tidak heran jika tokoh Persis seperti Isa Anshary, Muhammad Natsir juga menjadi incaran PKI yang harus dihabisi.
Muhammad Natsir yang aktif di dunia politik juga dianggap berbahaya dengan pernyataan-pernyataannya, misalnya, berkali-kali beliau menyatakan pentingnya politik sebagai media perjuangan umat Islam. Baginya, aktivitas politik berguna untuk promosi agama di setiap lapisan masyarakat. Jelas ini adalah ancaman bagi PKI yang memang sangat anti dengan agama.
Pada saat memanasnya suhu politik setelah meletusnya peristiwa G 30 S PKI. Salah satu kesatuan aksi yang suaranya cukup diperhitungkan adalah KAMI, didalamnya terdapat organisasi mahasiswa Islam. Berdasarkan kesepakatan, Kesatuan Aksi Mahasiswa Jndonesia (KAMI), dibentuk pada tanggal 25 Oktober 1965. KAMI dibentuk oleh organisasi mahasiswa yang hadir ketika itu yang diantaranya, yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), Semmi (Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) juga organisasi mahasiswa nasionalis dan keagamaan. Selain HMI, PMII yang didukung oleh NU dan IMM yang didukung Muhammadiyah, melalui para akfifisnya terus bergerak dengan memberikan pengaruh gerakan dan pemikiran kepada organisasi KAMI, sehingga sepanjang tahun 1966 aksi KAMI cukup menyita perhatian publik. Salah satu isi tuntutan mereka adalah BUBARKAN PKI.
Pada golongan masyarakat Arab, tokoh-tokohnya berjuang melalui organisasi besar seperti Masyumi, NU dan lain-lain, ada juga yang bersifat terbuka dan berani menentang PKI seperti yang dilakukan Habib Salim Jindan. Pada 1960-an, ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) yang telah melancarkan serangan-serangan anti-Islam, salah satu tokoh Zuriah Nabi yang karismatik yaitu Habib Salim bin Djindan senantiasa berada di depan bersama ribuan massa untuk menyerang kelompok kiri ini. Padahal, ketika itu, PKI merupakan partai yang sangat kuat dan ditakuti. Ia mengingatkan umat Islam akan bahaya besar bila komunis berkuasa di Indonesia.
Konflik dan “rivalitas” antara Islam dan Komunis nampaknya akan terus mewarnai perjalanan bangsa ini dibanyak tempat, tidak hanya di pulau-pulau besar Indonesia, juga di pelosok-pelosok terpencil. Sekalipun organisasi komunis di Indonesia telah dinyatakan terlarang, namun strategi dan idiologinya belum mati total, terbukti beberapa puluh tahun terakhir ada fihak yang terang-terangan mengaku bangga menjadi anak seorang PKI, selain itu fakta-fakta sejarah dimana didalamnya terdapat PKI sebagai “dalang permasalahan” justru mulai digugat keberadaannya, bahkan dalam sebuah pertemuan Taufik Ismail pernah disoraki anak-anak keturunan PKI karena membacakan pusi tentang kekejaman PKI.
Menurut Prof. Dr. H. Aminuddin Kasdi, MS, gerakan komunisme tidak pernah mati. Terbukti, hingga kini kajian sosialisme yang tak lain adalah komunisme tak pernah surut. Bahkan cenderung kian gencar. Tapi sayangnya, gerakan anti komunis sendiri kian hari kian melemah. “Gerakan anti komunis laksana anjing menggonggong tapi kafilah tetap berlalu,” tandas. “Artinya, gerakan ini dianggap sebagai bualan kosong semata,” ucapnya bernada sesal.
Pertanyaan sekarang, bagaimana kondisi kita saat ini ? akankah sejarah terulang kembali ? Bisa ya bisa tidak, tergantung bagaimana kejelian anda dalam membaca “tanda-tanda yang ada” dari kemunculan mereka…
Jakarta, 17 Agustus 2021
SUMBER :
Ahmad Bayquni. Perjuangan Gerakan Pemuda Islam Indonesia Pada Masa Revolusi Fisik 1945-1949, Jurusan Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab Dan Humaniora : UIN Syarif Hidayattullah Jakarta, 2008.
Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah Dua, Peran Ulama dalam menegakkan dan mempertahankan Proklamasi, Bandung : P.T Tria Pratama, 2016.
Abdul Mun‟im DZ, BENTURAN NU PKI 1948-1965. Jakarta: Langgar Swadaya, 2014.
Ajib Purnawan, IMM Bersaksi di Tengah Badai, Yogyakarta: Penerbit Panji, 2007.
Alfan Alfian. HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) 1963-1966: Menegakkan Pancasila di Tengah Prahara.
Alwi Shihab. Hujjatul Islam: Habib Salim Bin Djindan, Guru para Habaib, Republika Online, Sabtu 30 Juni 2012 18:08 WIB
Amos Sukanto. Ketegangan Antar Kelompok Agama Pada Masa Orde Lama Sampai Awal Orde Baru: Dari Konflik Perumusan Ideologi Negara Sampai Konflik Fisik. Jurnal Teologi Indonesia 1/1 (Juli 2013): 25-47.
Cecep Sopandi. Peran Pelajar Islam Indonesia (PII) Dalam Pemberdayaan Politik Pelajar, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik : Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013.
Dedi Kurniawan, dkk. Gaya Baru Komunisme Anjing Menggonggong Komunisme Tetap Berlalu, Lensa Utama- MPA 324 / September 2013.
Hefner, Robert W. Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam. Princeton: Princeton University Press. 1985.
Herry Nurdi. Jejak Freemason dan Zionis di Indonesia, .Jakarta, Cakrawala Publishing, 2006.
Immawan Wahyudi. Pertarungan Yang Menegangkan, Suara Muhammadiyah, No 17/80/1995.
Laili, Rahmawati Diyah. Perlawanan Masyarakat Tempurejo Kecamatan Widodaren Kabupaten Ngawi Jawa Timur terhadap Gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1948. UIN Sunan Gunung Djati Bandung. 2016.
M Agung Ridho. Mengupas Problema Kota Semarang Metropolitan, Yogyakarta: Deepublish, 2016.
Maulana Ahsanun Niam. Konflik Hizbullah Dan Pki Tahun 1948-1950 Dan Dampak Terhadap Sosial Ekonomi Pasca Konflik Di Surakarta. Jurusan Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab Dan Bahasa Institut Agama Islam Negeri Surakarta 2020.
Aurora, dkk. Pengumpulan Sumber Sejarah Lisan: Gerakan Mahasiswa 1966 dan 1998, Kementerian Pariwisata Dan Ekonomi Kreatif Direktorat Jenderal Sejarah Dan Purbakala Direktorat Nilai Sejarah, 2011.
Muhamad Arifudin. Partisipasi Gerakan Pemuda Ansor Dalam Penumpasan G 30 S/Pki 1965 Di Kediri, Universitas Nusantara PGRI, Kediri, 2019.
Moh. Hatta, “Nasakom Djalan Setan”, Suara Muhammadiyah, No. 3 Februari 1965.
Mohammad Natsir, Revolusi Indonesia, Bandung: Sega Arsy, 2016.
Muhammad Munawar Kholil. Sikap Muhammadiyah Terhadap PKI Periode Yunus Anis dan Ahmad Badawi (1960-1966), Fakultas Adab : Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009.
M.C. Riclefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta: Gadjah Mada University, 2013.
Kuntowijoyo, Sejarah Perjuangan Hizbullah Sabilillah Divisi Sunan Bonang, Surakarta:Yayasan Bhakti Utama, 1997.
Paulinus yanto. Strategi Partai Komunis Dalam Memenangkan Pemilu 1955, UNY Jogyakarta., 2017.
Pepen Irfan Fauzan. Konfrontasi Total Persis Terhadap PKI, Risalah No. 6 Thn. 58 - September 2020.
Salim H. S., Hairus. Kelompok Paramiliter NU. Bantul: LkiS, 2004.
Susiyanto, Barisan Hizbullah: Peran Jihad dalam Perjuangan Kemerdekaan,(Semarang: Universitas Sultan Agung, 2019.
Soetarjono, Pemberontakan PKI-Moeso di Madiun, Magetan: Penerbitan Kabupaten Magetan, 2001.
Soegiri DS. Gerakan Serikat Buruh Jaman Kolonial Hindia Belanda Hingga Orde Baru, (Jakarta: Hastra Mitra, 2005.
Tim PBNU. Benturan Nu-Pki 1948 -1965, Jakarta , 2013.