Senin, 22 Agustus 2016

PENELITIAN MAKAM BERSEJARAH DI HUTAN KOTA UI, SITUS SEJARAH YANG "TERKURUNG" DI UJUNG SELATAN JAKARTA (Waliyullah Mastur "Di Tengah Lautan Ilmu", Syekh Abdurrahman bin Abdullah Al Magribi)

Penelitian makam kali ini adalah masih berkisar di seputaran wilayah Jakarta Selatan.
Sebelum saya banyak bercerita tentang kisah perjalanan ini, saya berharap terhadap beberapa fihak untuk tidak salah sangka dan salah menduga terhadap apa saya lakukan. Ini penting agar nantinya apa yang saya suguhkan tidak bias kemana-mana apalagi sampai masuk wilayah khilafiah dan perdebatan yang bisa mengundang kebencian. Apa yang saya lakukan adalah murni penelitian sejarah dan perilaku syar’i yang Insya Allah tidak ada sama sekali unsur kemusyrikan seperti yang dikhawatirkan beberapa fihak. Insya Allah ketika saya mendatangi makam, saya lebih banyak mencari riwayat atau catatan sejarah dari nara sumber yang berhubungan dengan makam yang saya teliti, selain itu saya hanya berdoa untuk arwah para ulama tersebut, lain dari itu tidak ada hal-hal yang aneh yang saya lakukan. Insya Allah dalam penelitian yang saya lakukan saya masih mengedepankan nilai-nilai logika namun juga tanpa meninggalkan nilai-nilai kearifan lokal yang ada.
Insya Allah apa yang saya lakukan semata-mata demi untuk melestarikan sejarah para nenek moyang kita yang sudah berjasa dalam menyebarkan agama Islam di negeri ini.
Inilah laporan perjalanan yang telah saya lakukan....
Perjalanan yang saya lakukan kali ini pada tanggal 21 Agustus 2016. Perjalanan saya lakukan bersama dengan istri dan sahabat saya yang bernama Sandi Sedayu dari Salemba. Perjalanan dimulai bakda zuhur dengan berkumpul di Kramat Jati. Dari Kramat Jati, sebelumnya kami menapak tilasi sebuah makam tua yang berada di daerah Ciracas Jakarta Timur. Dari Ciracas kami kemudian bergerak ke target makam yang akan kami tuju. Target yang kami tuju kali ini adalah makam milik seorang Waliyullah yang bernama SYEKH ABDURRAHMAN bin ABDULLAH AL MAGRIBI atau yang terkenal dengan sebutan MBAH TAKOL. Makam ulama ini posisinya berada di tengah Hutan Kota Universitas Indonesia.
Makam ini sebenarnya sudah lama saya ketahui, namun baru satu bulan ini bisa saya datangi sebanyak dua kali. Kedatangan pertama saya adalah 3 minggu yang lalu, saya sendiri pada waktu itu, sedangkan kedatangan kedua kali ini kami datang dengan jumlah tiga orang. Karena prosedur masuk ke wilayah ini sudah saya ketahui, dalam perjalanan yang kedua ini, saya meminta izin untuk bisa masuk kepada fihak keamanan yang ada di daerah tersebut. Untuk masuk ke wilayah ini sebaiknya kita melapor kepada fihak Keamanan yang menjaga keberadaan Hutan Kota UI ini, fihak tersebut adalah Satuan Pengamanan dari Dinas Pertanian PEMDA DKI yang berada di depan jalan besar Hutan Kota. Ada baiknya kita juga melapor kepada fihak keamanan UI yang posisinya bersebelahan dengan Satuan Pengamanan Dinas Pertanian Pemda DKI. Perlu diketahui walaupun UI masuk wilayah Depok Jawa Barat, namun keberadaan Hutan Kota UI justru masuk wilayah Jakarta Selatan. Karena Hutan UI ini dikelola Dinas Pertanian Pemda DKI maka keberadaan makam Keramat Syekh Abdurrahman masuk bagian Jakarta.
Dari depan pintu masuk, kami menyusuri Hutan Kota UI dengan mengendarai motor. Saat menyusuri ini kami jadi teringat saat masih aktif di kegiatan petualang, kebetulan istri saya adalah pernah menjadi ketua Mapala di kampusnya, sedangkan saya aktif di Wanadri, sahabat saya Dayu juga aktif di Kegiatan Korps Suka Rela PMI Jakarta Selatan. Perjalanan berlangsung tidak lama, namun demikian jalanan yang kami lewati cukup membuat kesan seolah kami seperti berada di tengah hutan rimba yang sesungguhnya. Suasana juga agak sedikit “mencekam” karena kami melewati “police line” yang masih tersisa, sepertinya ini bekas kasus pembunuhan yang terjadi tempo hari.
Tidak lama kami tiba, disini kami kemudian disambut oleh salah satu pengurus makam yang bernama ABAH atau kadang dipanggil AKI. Dengan ramah beliau mempersilahkan kami duduk di depan teras makam. ABAH yang kami temui ini ternyata adalah sosok yang ramah dan sederhana, beliau adalah pensiunan TNI AD. Sebelum ziarah, seperti biasa kami terlebih dahulu memperkenalkan diri sekaligus mengungkapkan tujuan kedatangan kami. Abah sangat senang mendengar tujuan kami yang ingin menggali sejarah makam bersejarah ini.
Sekalipun kami sudah tahu nama makam ini, Abah kemudian juga menceritakan secara singkat sosok yang akan kami ziarahi ini. Menurut Abah, beliau yang dimakamkan disini bernama Syekh Abdurrahman bin Abdullah Al Magribi. Beliau mempunyai gelar MBAH TAKOL yang menurut ABAH bermakna, “Orang yang selalu berpindah-pindah dalam melakukan dakwah”. Ajaran yang dikembangkan Syekh Abdurrahman Al Magribi, menurut Abah tidak jauh berbeda seperti yang diajarkan ulama-ulama terdahulu. Abah mengatakan kalau makam ini tergolong makam tua di wilayah Jakarta. Keberadaan makam ini juga pernah membuat beberapa orang Jawa Timur penasaran. Beberapa orang tersebut bahkan mengatakan jika Syekh Abdurrahman ini masih berkaitan dengan keluarga “AL MAGRIBI” yang banyak terdapat di Jawa Timur. Memang jika menilik nama laqob “AL MAGRIBI" menunjukkan jika nama tersebut identik dengan keluarga besar Walisongo. Namun jangan lupa gelar AL Magribi ini juga sering disematkan kepada keluarga keturunan Sayyidina Hasan yang berasal dari Maroko. Kita perlu tahu kalau Al Magribi itu adalah nama lain Maroko pada masa lalu.
Terus terang masuk ke sekitar makam ini, kami seperti masuk kampung Betawi tempo dulu, disitu masih ada sumur tua, disitu masih masak dengan kayu bakar dan kiri kanan semuanya adalah pohon-pohonan, suara serangga masih banyak terdengar, satu minggu saya juga betah di tempat seperti ini, hanya saja nyamuknya luar biasa ramahnya.
Dalam beberapa obrolan kami dengan Abah, menurut beliau keberadaan makam Syekh Abdurrahman bin Abdullah Magribi Alhamdulillah sampai saat ini masih terjaga dan bertahan dengan baik ditengah bangunan-bangunan Universitas Indonesia.
Dari ABAH kami banyak mendapat informasi penting tentang keberadaan makam Syekh Abdurrahman bin Abdullah Al Magribi ini. Menurut beliau Syekh Abdurrahman Al Magribi adalah penyebar agama Islam yang berada di kawasan Universitas Indonesia, dahulu sebelum berdirinya UI kawasan ini adalah merupakan pemukiman warga Betawi yang kental dengan nilai keislamannya. Ini dibuktikan dengan masih banyaknya makam-makam yang berada di sekitar makam Syekh Abdurrahman. Menurut Abah perubahan wilayah disekitar makam terjadi pada tahun 70an, dan pada beberapa tahun kemudian pemukiman tersebut harus berakhir setelah berdirinya Universitas Indonesia. Saya sempat bertanya kepada Abah, “Abah apa betul makam ini mau digusur?”. Abah menjawab dengan santai, “Ah tidak benar itu bang..sambil senyum” (Abah kadang manggil saya Bang, Bib, Ustadz, Abi, Bos, dll, Abah memang kocak orangnya). Menurut Abah Makam Syekh Abdurahman memang tidak digusur namun demikian kepedulian dari fihak yang berwenang dirasa masih kurang. Sebagai sebuah situs sejarah, menurut Abah makam ini harusnya diurus dan dipelihara keberadaannya oleh Dinas-dinas yang terkait, seperti misalnya Dinas Sejarah atau atau UI sendiri. Walau bagaimanapun Syekh Abdurrahman adalah sosok yang berjasa dalam penyebaran agama Islam di wilayah dimana UI kini berdiri. Abah sendiri sudah berapa kali berusaha agar situs makam ini diperhatikan oleh fihak yang terkait, namun sampai saat ini tanggapan belum ada yang serius, namun walaupun demikian, Abah masih setia merawat makam dan lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu anda tidak usah heran kalau melihat lingkungan disini, bersih, asri dan rindang
Menurut Abah kalau datang ke tempat makam seperti Waliyullah Syekh Abdurrahman, jangan meminta yang macam-macam, cukup berdoa dan juga mengenang kembali akan jasa beliau dalam menyebarkan agama Islam. Abah mengatakan ajaran Syekh Abdurrahman Al Magribi tidaklah neko-neko. Ajarannya cukup singkat, “jalani saja Islam secara baik dan sempurna”.
Sampai saat ini menurut Abah makam ini tidak pernah sepi dari ziarah. Ada saja yang datang. Bahkan pernah juga ada serombongan polisi yang datang ketempat ini untuk menyelesaikan sebuah kasus. Ketika mereka datang ke tempat ini, justru mereka merasa nyaman karena memang suasana di tempat ini sepi dan tenang. Mereka bahkan kemudian memasak dan makan di tempat ini. Ada juga yang pernah beberapa hari nginap karena merasa tempat ini menjadikan dirinya tenang. Memang jika datang ketempat ini, rasanya berbeda, selain sepi suasanan hijau membuat kita jadi lebih nyaman. Yang penting menurut Abah, bagi yang ingin kesini harus dengan niat yang benar dan tidak lupa juga melapor kepada fihak keamanan agar keberadaannya bisa diketahui. Intinya sopan santun dan etika tetap harus dijaga.
Selain makam Syekh Abdurrahman bin Abdullah Magribi, juga terdapat makam pengikutnya, disamping paling kanan dari arah pintu masuk adalah Nyi Dasimah dari Cirebon, kemudian ditengahnya ada makam Kyai Mojo (bukan Kyai Mojo yang dekat dengan Pangeran Diponegoro), dan di depan makam ketiganya ada satu makam yang bernama Syekh Jalaludin Al Magribi.
Setelah agak lama ngobrol dan silaturahim dengan Abah kami kemudian berziarah dengan adab-adab yang sudah kami pelajari. Setelah selesai berdoa, kami sempat mengambil beberapa gambar di lokasi sekitar. Setelah semua selesai, kami kemudian pamit kepada Abah untuk melanjutkan perjalanan berikutnya.
Perjalanan kali ini jelas sangat berkesan….siapa sangka di tengah hutan kota yang tertutup ada sebuah makam bersejarah yang keberadaannya masih terjaga…semoga fihak-fihak yang terkait bisa memperhatikan dan menjaga situs ini, khususnya Dinas Pertanian DKI, Dinas Sejarah DKI dan juga UI sendiri. Semoga keberadaannya masih bisa terus bertahan…
Al Fatehah Untuk Syekh Abdurrahman Al Magribi, Syekh Jalaludin Al Magribi, Kyai Mojo dan Nyai Dasimah….


Jumat, 19 Agustus 2016

PENELITIAN MAKAM BERSEJARAH JILID II DI JAGAKARSA, SYEKH AHMAD WALIYULLAH (Wali Yang Nasabnya Mengejutkan)

17 Agustus 2016 membawa berkah buat saya karena pada hari itu saya berhasil menemukan sebuah makam bersejarah di wilayah Jagakarsa Jakarta Selatan. Penemuan ini tentu sangat mengejutkan buat saya mengingat keberadaannya yang sangat tersembunyi. Saya sengaja meneliti pada saat hari yang bersejarah bagi Indonesia, bagi saya inilah dedikasi yang bisa saya persembahkan untuk bangsa dalam bentuk "jihad" pada bidang sejarah, biarlah yang lain bergembira ria sedangkan saya lebih menikmati cara seperti ini.
Kesempatan Libur tentu menjadi sebuah peluang emas buat saya untuk menapaktilasi jejak para ulama terdahulu yang ada di Jakarta. 
Sejujurnya sebelum 17 Agustus sebenarnya saya ingin mengangkat sejarah KH Noor Ali, KH Darip dan Guru Amin, namun hasrat saya yang menggebu gebu dalam menapak tilasi ulama-ulama Jakarta yang lain membuat saya menahan diri dulu untuk mengangkat sejarah 3 Macan Betawi ini apalagi saya lihat sudah ada beberapa orang yang menulis tentang mereka.

Perjalanan dimulai pukul 11 siang. Kali ini saya melakukan seorang diri karena kebetulan istri saya yang biasanya mendampingi setiap penelitian sedang ada kegiatan 17 Agustus di Tegal Parang Jakarta Selatan.
Dalam perjalanan menuju target yang dituju, sebelumnya saya menapaktilasi tokoh masa lalu di daerah Lenteng Agung. Dari sini saya menuju Srengseng Sawah juga untuk napak tilas. Setelah dari sini saya melanjutkan ke Jagakarsa untuk mencari makam seorang ulama dan Waliyullah mastur.
Seperti biasa, andalan saya dalam mencari adalah "Navigasi Mulut". Prinsip saya, kalau di Hutan Gunung saja saya bersama teman teman di Wanadri mampu menemukan titik koordinat yang akan kita tuju, kenapa di kota yang jelas banyak penduduknya malah tidak berhasil ? dan saya tipe orang yang tidak pernah mengandalkan google maps.
Dengan "Navigasi Mulut" inilah berkat izin Allah saya berhasil menemukan makam yang saya cari. Makam ini terdapat di jalan INDAH (disamping Kecamatan Jagakarsa ) Rt 05 Rw 07 No : 46 Kelurahan Jagakarsa Kecamatan Jagakarsa. Untuk bisa berziarah ke makam ini saya harus meminta izin terlebih dahulu mengingat makam ini berada di tanah milik pribadi.
Awalnya memang cukup sulit menemukan makam ini. Berapa kali saya bertanya kepada penduduk sekitar namun sebagian besar menyatakan tidak tahu. Titik terang mulai muncul saat saya mendapat informasi dari penduduk asli disana. Ternyata makam yang saya cari berada di area dalam rumah milik penduduk setempat. Rasa syukur saya ucapkan ketika menemukan makam ini, saya juga berterima kasih kepada Tuan Rumah yang bernama Bang Fikri yang sudah menyambut saya dengan ramah. Bang Fikri juga menyarankan kalau nanti mau ziarah hubungi Ibu Atin yang mengurus makam.
Memang tidak mudah untuk mencari makam Waliyullah yang mastur. "Mereka" sepertinya memang tidak ingin diketahui banyak orang. Namun karena niat saya hanya untuk ziarah dan mengambil pelajaran sejarah dari mereka, sayapun tidak patah semangat "silaturahim" dengan mereka.
Makam yang saya temukan ini bernama Syekh Ahmad Waliyullah. Beliau adalah utusan Sunan Gunung Jati untuk wilayah Jagakarsa. Saya mendapatkan info tentang beliau dari seseorang. Tadinya saya berfikir bahwa informasi ini tidak valid karena saya hanya dibekali nama dan perkiraan wilayahnya tanpa ada alamat yang jelas, tapi karena tekad saya sudah bulat, maka sayapun bersumpah untuk menemukan makam beliau.
Pada saat saya menemukan makam ini hal yang mengejutkan adalah : tertera di nisan kalau beliau wafat tahun 1582. Nah pada saat saya membaca nisan ini, tiba-tiba saya seperti ingat sesuatu tentang nama Wali ini, dan ternyata benar, setelah saya melihat diagram nasab tentang Jaringan keluarga besar Walisongo yang telah saya buat, ternyata nama SYEKH AHMAD WALIYULLAH ini adalah adik dari SUNAN GUNUNG JATI lain ibu ! Mungkin nantinya info ini bisa mengejutkan beberapa fihak mengingat banyak orang tahunya kalau Sunan Gunung Jati hanya punya satu adik (dari Rara Santang).
Keterangan lain yang semakin menguatkan keterangan diatas adalah bahwa jarak wafat antara Sunan Gunung Jati dan Syekh Ahmad Waliyullah ini ternyata tidak terlalu berjauhan, ini semakin mengindikasikan jika mereka ini adalah kerabat dekat.
Adanya informasi sejarah ini tentu semakin mempertegas adanya sebuah peradaban Islam di wilayah Jagakarsa Jakarta Selatan. Sebelumnya saya pernah menulis tentang Pangeran Jaga Raksa/Jaga Rasa/Jaga Karsa, kini muncul lagi nama Syekh Ahmad Waliyullah. Tentu keberadaah Syekh Ahmad Waliyullah di Jaga Karsa semakin membuktikan kebenaran kalau Jagakarsa dahulunya merupakan buminya para Aulia.
Syekh Ahmad Waliyullah jelas bukan tokoh sembarangan apalagi beliau adalah utusan khusus Sunan Gunung Jati. Jaga Karsa beruntung karena di tanahnya telah bersemayam jasad seorang Wali yang setaraf dengan Walisongo...
Berdasarkan keterangan Bang Fikri beberapa puluh tahun lalu makam ini sering diziarahi namun pada saat saat sekarang ini sudah nyaris tidak ada, mungkin karena posisi makam ini yang berada di dalam rumah sehingga hanya orang orang tertentu saja yang mengetahui keberadaan Waliyullah ini...
Al Fatehah untuk Syekh Ahmad Waliyullah....

Minggu, 14 Agustus 2016

"PAKUNYA" MATRAMAN JAKARTA, SYEKH SYAMSUDIN (Waliyullah Karismatik Penasehat Salah Satu Putra Pangeran Diponegoro)

Namanya tidaklah setenar ulama-ulama Jakarta lain. Mungkin kalau disebut namanya orang Jakarta akan berkerut dahinya, pikir sebagian mereka, siapa memang Syekh Syamsudin ?
Saya sendiri mengetahui beliau saat masih kecil. Kebetulan rumah pertama keluarga saya yang ada di Matraman Dalam berada samping makam ini. Saya tahunya makam ini adalah makam Keramat. Sehingga waktu kecil tidak jarang makam ini menjadi lokasi tempat bermain saya. Menurut sahabat ibu saya di daerah dekat makam ini pada masa kecilnya sekitar tahun 1920an, masih banyak pohon besar dan pada waktu itu disekitar makam tidak ada yang berani lewat apalagi malam hari. Waktu itu memang di sekitar makam kebun kebun sangat lebat.
Makam beliau berada di wilayah Matraman Dalam II Rt 15 Rw 08 Kelurahan Pegangsaan Kecamatan Menteng Jakarta. Kondisinya saat ini sudah dijepit rumah rumah sekitarnya. Untuk masuk ke dalamnya kita harus melewati gang yang kecil. Di sekitar makam juga terdapat Pasar Kaget Matraman Dalam yang berlangsung pagi s/d zuhur. Pengurus makam dahulu adalah Almarhum Bapak Ibi. Kini saya kurang tahu siapa yang mengurusnya, namun setahu saya kondisi makam selalu bersih dan rapi.
Keberadaan beliau mulai menggugah saya saat guru ngaji saya berkata bahwa wilayah Matraman khususnya Matraman Dalam ada makam seorang Waliyullah. Guru ngaji saya ini mendapat informasi dari salah satu gurunya. Tentu saja ketika mendapat informasi ini saya terkejut main. Menurut ayah saya pada tahun 1955 memang di sekitar tempat ini dahulunya banyak terdapat makam, mungkin sebagian makam tersebut sudah dipindah ke wilayah Menteng Pulo bahkan bukan tidak mungkin beberapa ada yang ditindih oleh bangunan rumah.
Jika dilihat secara geografis bisa dikatakan kalau disini adalah pusat atau tengahnya wilayah Matraman Dalam Jakarta Pusat.
Keberadaan makam Syekh Syamsuddin memang merupakan misteri sejarah bagi sebagian orang. Namun demikian dalam penelitian maraton saya tentang sejarah Masjid Jami Matraman Jakarta Pusat, diketahui bahwa Syekh Syamsudin ini ternyata adalah salah satu penasehat dari Mbah Joned Dipomenggolo bin Pangeran Diponegoro yang pernah menetap di kampung Matraman Dalam yang dahulunya banyak terdapat keturunan pasukan Matatam yang hijrah pasca berhentinya perang Mataram melawan VOC tahun 1629 Masehi.
Perlu diketahui bahwa wilayah yang saya tempati ini mempunyai jejak sejarah yang luar biasa..Tercatat banyak tokoh besar yang berkaitan dengan wilayah ini, mulai Sultan Agung Mataram, Bung Karno, Bung Hatta, Gus Dur, KH Abdullah bin Nuh, KH Wahid Hasyim, Barack Obama, Prabowo dan masih banyak lagi yang lainnya. Saya menyebut Matraman dan sekitarnya sebagai "HARTA KARUN SEJARAH JAKARTA"
Syekh Syamsudin yang saya ketahui berasal dari Slawi beliau datang ke Matraman untuk mendampingi putra Pangeran Diponegoro yang sedang diburu Penjajah Belanda. Setelah mengetahui keberadaannya kemudian beliau berdua saling bahu membahu untuk melakukan perlawanan bersama rakyat Matraman (luas wilayah Matraman dahulu sangat luas). Diperkirakan Syekh Syamsudin ini hidup antara tahun 1780 s/d 1840an. Beliau satu zaman dengan Pangeran Diponegoro.
Syekh Syamsudin inilah yang banyak memberikan dorongan moril kepada Mbah Joned untuk terus melakukan perlawanan kepada Belanda setelah ayahnya berhasil ditangkap secara licik. Kelak Mbah Joned hijrah ke Bogor Ciapus karena keberadaanya berhasil diendus Belanda sedangkan Syekh Syamsudin tetap tinggal di Matraman Dalam untuk mengembangkan dakwah Islamiah.
Sebagai seorang ulama plus pejuang, kemungkinan besar Syekh Syamsudin ini juga mengembangkan aliran silat Matramani untuk menggembleng para pejuang..aliran silat dipegang teguh oleh Mbah Joned Dipomenggolo. Kelak dikemudian hari aliran silat Matramani juga dipelajari oleh KH Nur Ali dan KH Darip Klender. Sayang .. kini semua itu tinggal sejarah saja...
Jejak sejarah Matraman kini tinggal Masjid Jami Matraman. Dan keberadaan makam Syekh Syamsudin jelas merupakan fakta sejarah yang mengukuhkan bahwa Matraman adalah wilayah bersejarah yang keberadaannya wajib kita pellihara semua....
Al Fatehah untuk Syekh Syamsudin.....

LAKSAMANA SAMPO LO KHOEI KIAN (RAKEAN JAYA LAKSANA)

Perjalanan kali ini adalah lanjutan dari yang lalu...
Kali ini saya mengadakan penelitian di Cakung Jakarta Timur, tepatnya di Km 23 No 17 yang merupakan perusahaan yang bernama Chow bersaudara dimana disitu terdapat sebuah makam bersejarah.
Perjalanan saya lakukan setelah pulang kerja, sekitar pukul 17.30 sore.
Makam ini berhasil saya temukan setelah mendapat keterangan Babe Manto yang merupakan juru kunci makam Nyi Hayati binti Syekh Yusuf Sidiq yang dimakamkan tidak jauh dari lokasi makam ini. Tentu menjadi sebuah hal yang menarik tentang keberadaan tokoh yang dimakamkan ini, mengingat Sang istri adalah seorang kakak seorang ulama besar Nusantara pada masa itu dan merupakan seseorang yang memiliki garis keturunan terhormat. Tidak menutup kemungkinan tokoh ini mempunyai nama lain yang mempunyai keterikatan hubungan nasab dengan klan-klan yang berasal dari Timur Tengah yang kemudian hijrah ke negeri China dalam rangka expedisi dakwah (baca buku Tititan Muhibah Laksamana Cheng Ho) kemudian ratusan tahun kemudian mereka berasimilasi menjadi bagian penting negeri China.
Makam ini tidak begitu dikenal, sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang tahu keberadaannya. Ketika saya tiba di tempat ini, Bapak Satpam mengatakan kalau makam ini tidak banyak orang yang mengunjunginya, justru yang datang dari luar Cakung.
Makam ini dikenal dengan nama Kumpi Rakean. Merupakan Cikal bakal munculnya silat aliran Cakung sekaligus juga merupakan penyebar agama Islam.
Adapun sejarah singkat tentang beliau adalah Sbb :
Beliau adalah kakak ipar Syekh Quro Karawang. Kakaknya yang bernama Nyi Hayati telah menikah dengan Laksamana laut ini.
Laksamana Sampo Lo Khoei Kian datang ke Jawa pada tahn 1411 M. Misi utama kedatanganya adalah untuk mencari keberadaan Cheng Ho yang tidak ada kabar dan beritanya setelah melakkan titian muhibah ke berbagai negara, termasuk wilayah Nusantara.
Ketika berada di Jawa dia kemudian diangkat menjadi orang penting pada kerajaan Pajajaran.
Dalam perjalanannya menuju Jawa, Laksamana Lo khoei kian. Juga membawa anak dan istrinya. Dan juga laksamana laksamana lainnya. Yang juga mantan pasulan Laksamana Sampo Kong (panglima Chen Ho) dalam rombongan tsb
Laksamana Lo khoei kian.bertindak sebagai Pimpinan Tertinggi. Istri laksamana Lo khoei kian. Yang kakak kandung Syeikh Quro Bernama HAYATI.
Pernikahannya dgn Laksamana Lo khoe kian dikaruniai dua orang anak, satu laki laki, dan satu perempuan. Anaknya yg laki laki diberi nama. AHMAD HUSIN. dengan nama mongolianya.
LO KHOEI SIN. (yang di akhir hayatnya makamnya menjadi makam keramat Ujung Krawang Cakung dengan sebutan KERAMAT KONG KUSIN Dan sekarang telah tergusur oleh jalan Tol cakung) dan anak kedua yang Perempuannya Bernama LO WEN ZHE. Atau sering disebut NONA, dan dihari tuanya makamnya menjadi makam keramat, dengan Sebutan keramat KUMPI NONA Atau disebut juga kumpi Nyamuk yang letak keramatnya berada dikampung Cakung.di wilayah Rt. O7/Rw.02. Sekarang berada di depan mimbar masjid Attawab. Tepatnya didekat rumah bapak Manto.makamnya sdh tdk terawat lagi.. Makam beliau berdampingan dgn makam ibundanya. Yaitu ibu HAYATI. Kakak kandung syeikh Quro..
Disamping membawa anak istri Laksamana Lo khoei kian. Juga membawa berapa orang laksamana. Masing masing Bernama.
1. Laksamana sampo BHUN TONG
2. Laksamana sampo SHOEI SOE
3. Laksamana Sampo KHU POH.
4. Laksamana sampo HOK LAN.
5. Laksamana sampo LAW ANG SAN.

Kedatangan Tamu asing dipulau kelapa yg luar biasa banyaknya ini, Syeikh Quro melaporkan para tamu pendatang dari luar pulau ini kepada ADIPATI KARANG PAWITAN (sekarang Karawang) Yaitu RAKEYAN ADHI YAKSA. Kemudian.
ADHIPATI RAKEYAN ADHIYAKSA. Melanjujtkan laporan tsb ke pemerintah Pusat, yaitu KE KRATON GALUH PAJAJARAN. Yg berpusat di Galuh pajajar (raja galuh/kadipaten) Kemudian setelah mendapat laporan tsb. Prabu Siliwangi atau Raden Pamanah Rasa Permana Dewa. Melakukan kunjungan kepadepokan Syeikh Quro, dipulau kelapa.
Pada perkembangan selanjutnya, Syekh Quro yang kemudian mengatur tempat untuk berdomisilinya kakak iparnya ini bersama dengan para pengikutnya hingga akhirnya berkembang menjadi sebuah pemukiman yang bernama Pulo Aren. Di Pulo Aren ini kemudian Laksamana Sampo Lo Khoei Kian kemudian mendirikan padepokan pencak silat yang bernam Cha kung (Segala Daya Upaya)> Sejak itulah daerah ini disebut CAKUNG.
"materi dikutif seperti yang tertera di makam Nyi Hayati dan juga beberapa situs tentang sejarah silat Cakung..."

NYI HAYATI BINTI SYEKH YUSUF SIDIQ BIN HUSEIN JAMALUDDIN BIN AHMAD BIN ABDULLAH BIN ABDUL MALIK AZMATKHAN, WALIYULLAH WANITA TERTUA DI JAKARTA

Satu lagi informasi sejarah Jakarta yang membuat saya terkejut yaitu dengan adanya keberadaan seorang tokoh wanita yang berpengaruh pada masa lalu.
Lagi-lagi saya dibuat seolah tidak percaya dengan yang saya temukan ini. Betapa harta karun sejarah di Jakarta ini seakan tidak ada habis habisnya.
Seperti biasa naluri saya untuk melakukan sebuah perjalanan selalu muncul yang kadang sering tidak saya rencanakan. Sore ini setelah saya pulang kerja tiba tiba saya tergerak untuk melakukan pencarian sebuah makam bersejarah di daerah Cakung. Dalam keadaan lelah saya masih cukup semangat untuk kembali melakukan aktifitas penelitian sejarah, dan kali ini daerah yang jadi target adalah Cakung. Cakung sendiri menurut info sejarah yang baru saya peroleh, merupakan wilayah tua di kawasan Jakarta, ini juga nanti akan dibuktikan dengan adanya makam yang saya temukan ini
Nama dari tokoh yang akan kita bahas ini mungkin tidak banyak yang mengenal, tapi kalau saya sebut nama Syekh Quro Karawang, Insya Allah banyak yang kenal karena beliau merupakan Waliyullah dan penyebar agama Islam yang awal di beberapa daerah Jawa Barat.
Syekh Quro Karawang atau Maulana Hasanuddin adalah anak Syekh Yusuf Sidiq As-Samarqondy (beliau lahir di Samarqondi) yang merupakan Mufti Kesultanan Champa. Syekh Yusuf Sidiq merupakan anak dari Sayyid Husein Jamaluddiin Wajo atau yang lebih dikenal dengan gelar Syekh Jumadil Kubro I. Sayyid Husein Jamaluddin ini adalah leluhur Walisongo, Fattahillah dan juga beberapa Kesultanan Nusantara. Jadi jelas sosok yang telah saya temui ini adalah keturunan Tokoh besar yang merupakan leluhurnya Walisongo yang hidup pada abad 14 Masehi.
Namanya adalah Nyi Hayati. Benang merah antara beliau dengan Syekh Quro adalah saudara kandung. Beliau adalah kakak dari Syekh Quro Karawang. Beliau ini merupakan salah satu istri dari seorang Laksamana pada era kekaisaran China. Berdasarkan kurun waktu yang ada, NYI HAYATI ini hidup diantara tahun 1411 Masehi dan seterusnya...
Saya sendiri sebelumnya ragu kalau ada makam dari kakak Syekh Quro ini di Cakung. Tapi setelah saya banyak mendengar riwayat asli sejarah Cakung dari penduduk asli saya jadi terpana karena ternyata di daerah ini banyak tersimpan rahasia sejarah yang cukup mengagetkan..Tentu aja ini sebuah kejutan buat saya karena selama ini saya belum pernah turun langsung meneliti sejarah daerah ini.
Dalam riwayat yang saya peroleh Nyi Hayati bersama dengan pasukan yang dibawa masuk ke daerah Cakung melalui Kali Cakung yang pada masa itu masih lebar dan dalam. Kondisi tanah Cakung pada masa itu masih rawa dan bisa dipakai untuk lalu lintas perahu. Di Cakung Nyi Hayati kemudian menetap sedangkan adiknya yaitu Syekh Quro meneruskan perjalanan ke Karawang. Di pemukiman baru yang kelak bernama Cakung beliau bersama suaminya menyebarkan agama Islam. Islam kemudian berkembang dengan baik. Sebagai istri seorang laksamana,Nyi Hayati juga banyak mempunyai Panglima yang kemudian banyak menyebarkan agama Islam ke arah Bekasi terus sampai Karawang...
Sampai saat ini keberadaan makam Waliyullah Wanita ini masih terawat dengan baik oleh salah satu sesepuh yang bernama Babe Manto, sejak beberapa generasi terdahulu, leluhur Babe Manto masih terus menjaga situs bersejarah yang langka ini. Menurut Babe Manto makam ini pernah dicari-cari seorang ulama besar dari Lasem, selama 6 hari di Jakarta dia mencari keberadaan makam Nyi Hayati. Ulama tersebut ternyata keturunan Nyi Hayati ini.
Alhamdulillah saya banyak mendapat infornasi sejarah penting dari sosok bersahaja dan penduduk asli Betawi Cakung...
Al Fatehah untuk Nyi Hayati binti Syekh Yusuf Siddiq bin Sayyid Husein Jamaluddin Jumadil Kubro bin Sultan Ahmad Syah Jalaludin bin Al Amir Abdullah bin Sayyid Abdul Malik Azmatkhan...

PENELITIAN MAKAM DI PESISIR UTARA JAKARTA

Seperti apa yang diutarakan Bang Humaidi Syari'ati...maka kemarin hari Minggu Tanggal 7 Agustus 2016 bersama istri, saya kembali "bertempur" ke arah pesisir utara Jakarta untuk meneliti keberadaan makam dan situs sejarah yang ada.
Perjalanan terberat adalah ketika kami harus masuk ke pelabuhan Marunda yang berdebu dan nyaris sulit mencari keberadaan situs yang kami sedang cari ini, padahal situs ini ada keterangannya di internet. SITUS itu adalah Makam Tete Jongker. Tete Jongker adalah sosok kontroversial dalam sejarah Jakarta karena dianggap pernah terlibat dalam membela VOC, namun yang membuat saya tertarik ternyata namanya juga termasuk bagian dari perlawanan rakyat Jayakarta, bahkan salah satu istrinya adalah putri dari Salah satu tokoh pejuang Jayakarta. Tete Jongker bahkan pernah mengkonsolidasikan pasukannya dari wilayah Jipang Pulorogo (Slipi Jakarta Barat) untuk bertempur dengan pasukan VOC. Jipang Pulorogo pada waktu itu merupakan maskar besar pejuang Jayakarta dalam menghadapi tirani Penjajah. Dua sisi sejarah Tete Jongker inilah yang menurut saya cukup menarik untuk diangkat kembali sejarahnya.
Dari Tete Jongker atau Kapitan Jongker atau Kapitan Ahmad Sangaji Kawasa kami kemudian bergeser ke arah Masjid Al Alam (Kitab Al Fatawi menyebutnya Masjid Al Fathan). Disini kami meneliti beberapa makam. Keterangan penduduk setempat hanya menyebut dua nama makam yang dianggap tua yaitu KH Jamiin bin Abdullah (tokoh yang menemukan kembali keberadaan masjid Al Alam) dan Nyai Noor Ratu Ayu Zamani yang berasal dari Selatan (tokoh yang dianggap sesepuh dan makamnya diperkirakan berusia sekitar 200 tahun lebih). Sedangkan yang lain adalah makam baru. Adapun makam Sayyid Abdul Halim yang dibangun secara permanen ditemukan oleh Gus Dur, sedangkan makam Kumpi Rauna, Syarifah Zaenab dan Syarifah Maryam pindahan dari Makam Keluarga Al Haddad Priuk...
Tidak semua tempat kami datangi mengingat waktu yang begitu sempit, apalagi kami juga akan bergerak ke arah pusat untuk mencari keberadaan makam tertua di Salemba....sebenarnya masih banyak makam-makam bersejarah di pesisir utara ini namun karena itu tadi, waktu...Insya Allah lain kesempatan akan saya jajaki.


SYEKH IBIN RA (Syekh Jagorawi), RAHASIA SEJARAH KRAMAT JATI

Salah satu rahasia sejarah besar yang jarang terungkap adalah tentang keberadaan seorang ulama mastur yang dimakamkan di daerah Kramat Jati Jakarta Timur. Ini juga nanti semakin menegaskan kenapa kampung Kramat Jati identik dengan ulama. Jangan lupa dari semua perjalanan yang saya lakukan di Jakarta, kampung yang namanya dilekatkan dengan kata "KRAMAT", biasanya terdapat seorang ulama yang mempunyai kelebihan.
Selama ini mungkin orang hanya mengetahui bahwa makam tua di Kramat Jati adalah Datuk Tonggara Kramat Jati, padahal selain makam Datuk Tonggara, ada satu lagi makam yang bisa dianggap tua, yaitu makam seorang ulama atau Waliyullah yang bernama Syekh Ibin Ra. Makam beliau berada di pinggir jalan tol dan terletak di Jalan Dukuh V Gang Sadar Kramat Jati Jakarta Timur.
Namanya mungkin tidak setenar dengan nama-nama lain, tapi kalau melihat nisannya, jelas sekali kalau beliau ini jauh lebih tua dari makam-makam yang ada disekitar Kramat Jati lainnya, tertera di nisannya kalau beliau wafat tahun 1800 M. Itu artinya pada tahun 1700 awal sampai akhir merupakan masa-masa kehidupannya, bisa dikatakan bahwa beliau ini satu masa dengan Datuk Tonggara bahkan bisa juga lebih tua dari Datuk Tonggara.
Keberadaan makam beliau ini secara tidak sengaja saya temukan saat saya mencari makam yang lain. Pada saat saya berkunjung ke makam tokoh lain, tiba-tiba perasaan saya seolah seperti dituntun untuk bertanya kepada seorang penduduk sekitar Kampung Dukuh tentang keberadaan makam yang saya cari, padahal sebelumnya saya sudah ke makam yang sebelahnya yang saya kira makam yang saya cari. Setelah diberi tahu makam yang saya maksud, saya justru terkejut ketika membaca nisan makam tersebut.
Makam tersebut jelas bukan yang saya cari, namun yang membuat saya takjub adalah ketika saya baca usia makam tersebut, apalagi disitu tertera gelar keulamaan. Saya jelas tertegun. Disekitar makam juga saya lihat seorang murid beliau yang bernama Kumpi Kecil. pohon-pohon sekitar semakin menambah kesan bahwa makam ini cukup tua untuk dinilai.
Tidak lama dari rasa kaget saya ini, saya kemudian berdoa untuk arwah sang makam dan juga mencatat hal-hal yang penting yang ada di sekitar makam. Dari makam, saya kemudian kembali ke satu rumah warga yang sebelumnya saya tanya tentang keberadaan makam yang saya cari itu. Mereka menyambut saya dengan ramah, dan mengatakan bahwa sejak tadi telah memperhatikan saya yang beberapa kali mondar mandir.
Saya diterima dengan tangan terbuka oleh keluarga ini dan kemudian salah satu keturunan Syekh Ibin menerangkan bagaimana sebenarnya ketokohan dari seorang Syekh Ibin Ra ini.
Syekh Ibin Ra adalah seorang ulama dan waliyullah yang menyebarkan agama Islam di kawasan Kramat Jati. Sosoknya sederhana, tawadhu dan zuhud sekali. Sampai akhir hayatnya pola hidup seperti ini masih terus dipertahankan. Menurutnya Syekh Ibin ra adalah Wali Mastur yang keberadaan makamnya masih terjaga dengan baik. beberapa tahun yang lalu pernah ada beberapa fihak yang ingin mengutak atik keberadaan makam ini, namun selalu saja gagal. Pernah pula makam ini dibuat yang agak mewah, namun lagi-lagi terjadi keanehan, bangunan yang dibuat mewah itu rusak seketika. Memang sejak dulu Syekh Ibin Ra tidak senang untuk dimewah-mewahkan. Ajaran beliau memang identik dengan kezuhudan.
Menurut keluarga besar Dzuriyah Syekh Ibin Ra, biarlah keberadaan makam tersebut apa adanya, dan biarlah yang berziarah yang tahu saja, yang penting niat berziarah hanya berdoa dan tidak membuat permintaan yang aneh-aneh..
Perjalanan ini cukup mengesankan..tidak hanya makam Syekh Ibin yang saya temukan, peninggalan kuno dari istri Syekh Ibin pun berhasil saya temukan. Dan seperti biasa, banyak orang sekitar yang tidak faham dan mengerti akan sejarah Syekh Ibin serta hal-hal yang berkaitan dengan beliau. tapi saya maklum karena sejarah memang tidak semua orang yang mencintainya.
Sekali lagi keberadaan Syekh Ibin Ra membuktikan jika bumi Jakarta kaya akan kehadiran Waliyullah...

KI NURRIYIN, WALIYULLAH MAMPANG PRAPATAN, LELUHURNYA SEBAGIAN ULAMA MAMPANG, PANCORAN DAN TEGAL PARANG

Satu lagi ulama mastur yang mungkin bagi sebagian besar masyarakat tidak mengetahuinya yaitu KI NURRIYIN.
Siapakah beliau ini ?
Salah satu keturunannya mengatakan kepada saya kalau Ki Nurriyin ini leluhurnya berasal dari Cirebon lalu hijrah ke Banten dan terakhir beliau datang ke wilayah Mampang Prapatan untuk membuka lahan pemukiman dan berdakwah di wilayah tersebut. Dapatlah dikatakan Ki Nurriyin ini adalah salah satu tokoh yang menjadi cikal bakal berdirinya wilayah Mampang Prapatan.
Sejarah Ki Nurriyin seolah terkunci rapat, ini saya buktikan ketika bertanya kepada beberapa orang di sekitar makam beliau, ternyata mereka banyak yang tidak tahu. Makam beliau sendiri terdapat di Jalan Mampang Prapatan XVI tepatnya di Gang Swadaya (di depannya ada gang H.Ibrahim) Jakarta Selatan. Gang Swadaya berada persis di belakang masjid ISTIKMAL. Tadinya saya kira makam beliau berada di samping dan depan masjid karena di dua posisi tersebut banyak terdapat makam, namun ternyata makam beliau tidak berada di dua tempat tersebut. Posisi makam terjepit di tengah tengah perumahan penduduk yang banyak merupakan pendatang.
Menurut salah satu penduduk sekitar makam Ki Nurriyin, beberapa waktu yang lalu ada saja yang sering menziarahinya. Ini menandakan jika sosok Ki Nurriyin ada yang tahu keberadaannya. Kondisi makam beliau saat saya datangi agak sedikit kotor, kelambunya pun seperti sudah lama tidak diganti.
Dari beliau ini kelak akan muncul nama-nama seperti KH Hasan Azhari, KH Faisal, KH Zarkasi Noor, KH Machmun Chatib, dll. Semua ulama-ulama tersebut sosok terpandang di kawasan Jakarta Selatan khususnya wilayah Mampang Prapatan dan sekitarnya. Sejak dulu daerah Mampang Prapatan dan sekitarnya memang banyak terdapat ulama-ulama kenamaan Betawi, bahkan pada saat sekarang ini beberapa masjidnya menjadi pusat kegiatan Sholat Subuh berjamaah.
Secara garis keturunan atau nasab, saya belum mengetahui pasti nasab ulama mastur ini, namun jika dilihat peta penyebaran nasab yang ada, daerah kawasan Mampang, Tegal Parang dan juga Pancoran, itu banyak keturunan dari Trah Banten yang sudah menghuni wilayah tersebut selama ratusan tahun termasuk Ki Nurriyin ini. Saya sendiri percaya kalau Ki Nurriyin pasti salah satu keturunan orang orang besar pada masa lalu. Seperti kebiasaan ulama-ulama dahulu biasanya mereka itu sering menyembunyikan identitas dirinya agar tidak diketahui masyarakat, mereka lebih mengandalkan akhlak daripada nasab. Rasanya bagi mereka yang berada di kawasan tersebut sudi untuk menziarahi salah satu "Pakunya" Mampang Prapatan ini..
Al Fatehah untuk Ki Nurriyin....

GURU ALIF, PAKUNYA WILAYAH DUREN TIGA, KARISMATIK DAN DICINTAI PARA ULAMA & PENDEKAR

Betawi seakan-akan tidak pernah kehabisan sejarah tentang keberadaan ulama-ulamanya. Yang mahsyur saja begitu banyaknya, apalagi yang mastur. Kebetulan saya berminat pada yang terakhir. Sekalipun mungkin sejarah mereka singkat, namun dengan kita mengetahui siapa mereka, maka penghormatan rasanya wajib kita berikan kepada mereka, paling tidak dengan mengingat dan meneruskan apa-apa yang sudah mereka sumbangkan dalam menyiarkan dakwah Islamiah di bumi Betawi.
Dalam wisata sejarah dan ziarah kali ini, saya berkesempatan "mengunjungi" makam salah seorang ulama yang bernama Raden Haji Guru Alif. Saya mengetahui nama beliau ini setelah secara tidak sengaja membaca diagram nasab yang dimiliki kerabat istri saya. Nama Guru Alif sendiri bagi saya tidaklah asing, mengingat sering sekali melewati nama jalan yang diberi nama Jalan "GURU ALIF" di daerah Duren Tiga. Tapi saya tidak menyangka jika GURU ALIF ini adalah salah satu ulama yang karismatik dan terpandang di daerah Duren Tiga dan juga Tegal Parang.
Bagi sebagian masyarakat Duren Tiga khususnya yang keturunan asli setempat, nama Guru Alif sangat dikenal sebagai sosok ulama yang karismatik dan penuh wibawa. Jika dilihat dari gelarnya, beliau adalah seorang ulama yang dalam ilmunya. Pada masa lalu untuk digelari sebagai seorang "GURU" bukanlah perkara yang mudah. GURU pada masa itu sama seperti Kyai atau ulama karismatik seperti yang sekarang ini. Pada saat saya bertanya kepada seorang bapak dimana keberadaan makam Guru Alif, bapak tersebut sebelum memberitahukan lokasi makam Guru Alif, beliau banyak memuji Guru Alif dan juga menceritakan beberapa "karomah" yang dimiliki Guru Alif.
Guru Alif bila dilihat nasabnya adalah keturunan Pangeran Soegiri bin Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan Ageng Tirtayasa adalah keturunan Maulana Hasanuddin Banten yang terkenal sangat gigih melawan VOC. Guru Alif ini masih terhitung kerabat dekat Ki Letek yang dimakamkan di Tegal Parang.
Adanya Guru Alif sekali lagi membuktikan jika keberadaan seorang ulama pada satu tempat biasanya akan memberikan dampak positif, apalagi ini mereka itu Waliyullah. Masuk ke wilayah Duren Tiga sama halnya seperti halnya ketika saya masuk ke daerah Condet, Tegal Parang, Mampang Prapatan, Kramat Jati, Klender, otista, Bidara Cina, Tebet, Kampung Melayu, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Ciganjur yang nuansa Islamnya cukup kuat.
Dalam sejarah singkatnya, Guru Alif ini banyak dicintai para pendekar dan ulama. Seperti halnya Guru Syariun yang dikenal banyak memiliki karomah, Guru Alif ini juga punya banyak keistimewaan. Dikisahkan oleh cucunya yang bernama Babe Rozak, Guru Alif pernah melindungi orang-orang yang sedang diburu penjajah. Saat itu Guru Alif sedang mengajar dan kemudian menyuruh orang-orang tersebut duduk dan diam di dekatnya. Anehnya penjajah yang mencari keberadaan orang-orang tersebut tidak melihat jika dihadapan mereka terdapat Guru Alif dan orang-orang buruan mereka. Pernah juga suatu saat ada pencuri kambing milik beliau, anehnya kemudian si pencuri hanya bisa berputar-putar di kandangnya. Secara garis besar menurut Babe Rozaq, kakeknya itu adalah sosok ulama tawadhu tapi punya beberapa keistimewaan. Tadinya Babe Rozaqi agak enggan menceritakan kepada saya, namun karena niat saya untuk dakwah bidang sejarah, beliau justru malah bertambah akrab setelah tahu kalau istri saya orang Tegal Parang dan masih kerabat Guru Alif juga melalui hubungan dengan Ki Letek.
Bagi beberapa jawara dan pendekar, Guru Alif sangat dicintai, sehingga beberapa dari mereka meminta kepada cucunya untuk bisa dimakamkan berdekatan dengan Sang Guru Karismatik. Pada masanya para pendekar melihat sosok Guru Alif bisa membuat hati mereka bisa lebih dekat kepada Allah.
Sampai saat ini keberadaan makam beliau masih sering diizarahi keluarga dan anak keturunannya. Silaturahim sesama saudara dzurriyah beliau yang tersebar di daerah jabodetabek sampai sekarang masih terjalin dengan baik..
Al Fatehan untuk Guru Alif...

KI LETEK (RADEN LAYTANI) "PAKUNYA" TEGAL PARANG, AYAH WALIYULLAH GURU SYARIUN

Beliau adalah ayah dari Waliyullah Guru Syariun. Guru Syariun atau Kong Riun sendiri terkenal sebagai ulama karismatik Betawi tempo dulu khususnya pada daerah Tegal Parang. Melalui didiikan sang ayah, Guru Syariun atau Kong Riun telah menjadi salah satu ulama Betawi yang karismatik pada masanya. Pada masanya sosok Kang Riun adalah figur yang banyak dicintai masyarakat, muridnya banyak tersebar di wilayah Condet. Pasar Minggu, Cililitan, Kalibata, Tegal Parang, Mampang Prapatan dan sekitarnya. Kalau boleh disamakan, beliau mirip dengan kyai-kyai khos seperti sekarang ini. Pada masanya Kong Riun dikenal sebagai sosok yang memiliki banyak karomah dan itu diakui oleh beberapa orangtua yang pernah saya temui baik di Condet, Tegal Parang dan Cilebut. Mertua saya Al Ustadz Affandi Ahmad bahkan mendengar langsung riwayat keistimewaan Kong Riun dari Kong Umar yang merupakan paman dari Almarhumah Ibu dari istri saya.
KI LETEK dalam sejarah hidupnya dikenal sebagai seorang ulama karismatik sama seperti anaknya sehingga tidak mengherankan banyak keturunannya banyak yang menjadi ulama di daerah Selatan Jakarta khususnya wilayah Tegal Parang. Keturunannya banyak mewarnai penyiaran dakwah Islamiah.
Nasab atau garis keturunan Ki Letek seperti yang saya miliki, berasal dari Pangeran Soegiri bin Sultan Ageng Tirtayasa yang dimakamkan di Jatinegara Kaum. Adapun ayah Ki Letek adalah Raden Muhammad Thohir atau yang dikenal dengan panggilan Guru Pede sedangkan leluhur diatasnya yaitu Pangeran Soegiri adalah salah satu ulama dan Mujahid Jayakarta yang kelak banyak menurunkan ulama-ulama dan pejuang Jayakarta. Kebetulan istri saya masih tetesan darah dari beliau sehingga sangat wajar jika saya sedikit banyak mengetahui sejarah Ki Letek, apalagi beberapa Dzuriyahnya masih banyak yang berkerabat dengan keluarga istri saya. Setiap tahun bahkan keluarga besar Ki Letek khususnya keluarga besar Guru Riun yang tersebar di beberapa wilayah Jabodetabek selalu mengadakan haul di Cilebut yang banyak dihadiri ulama-ulama Jakarta dan sekitarnya.
Selain Kong Riun, Ki Letek juga punya anak diantaranya Raden Muhammad Syafii (Shofi), Raden Muhammad Sholeh, Raden Sarbini (Ki Bopeng), Raden Norsani, Raden Fiun (Ki Ung), Ratu Syarifah, Ratu Syarihah, Raden Musa. Keturunan Ki Letek ini banyak menyebar di beberapa daerah seperti Cililitan, Condet, Kalibata, Mampang, Tegal Parang, Pasar Minggu, Citayam, Cilebut dan beberapa tempat lainnya. Banyak keturunan Ki Letek atau kerabatnya merupakan tokoh atau ulama-ulama penting di tempat mereka masing-masing. Dari diagram nasab yang dimiliki istri saya, sangat jelas menunjukkan jika Ki Letek trah Jayakarta. Leluhurnya yang banyak di Jatinegara Kaum sebagian telah hijrah ke daerah Tegal Parang Jakarta Selatan untuk melakukan dakwah Islamiah sekaligus melakukan perlawanan terhadap penjajah.
Dilhat pada masa hidupnya Ki Letek ini hidup pada sekitar tahun-tahun 1820 s/d akhir 1900an. Anaknya (Guru Syariun) sendiri wafat tahun 1926 dan dimakamkan di Cilebut Bogor.
Mengenai nama "KI" itu menunjukkan bahwa sosok Ki Letek atau Raden Laytani sangat dihornati masyarakat. Tidak semua tokoh pada masa itu bisa digelari "KI". Sebenarnya gelar resmi dari beliau ini adalah "Raden" namun karena akulturasi budaya maka gelar 'KI" ini lebih populer di masyarakat. Sampai saat ini keberadaan makam beliau masih sering dikunjungi dan diziarahi anak keturunannya yang tersebar di wilayah Jabodetabek. Makam beliau berada di Jalan "Haji Ali Gang DD Tegal Parang" (depan rumah Wan Shehan Shihab) dan berada tidak jauh dari belakang Masjid Istiqomah.
Ki Letek dapat dikatakan salah satu tokoh yang ikut mewarnai wajah keislaman Tegal Parang. Seperti yang saya kenal, wajah keislaman daerah ini memang sangat kuat sama seperti halnya daerah Condet, Kalibata, Pasar Minggu, Mampang, Kuningan, Jagakarsa, Ciganjur, Bangka, Kemang, dll. Daerah Tegal Parang ini banyak terdapat masjid dan majelis taklim, bahkan daerah ini terkenal sebagai salah basis umat Islam Betawi yang cukup kuat dalam menahan gempuran-gempuran budaya lain. Daerah ini banyak dihuni ulama-ulama Betawi yang terkenal, beberapa dari mereka berdasarkan diagram nasab yang saya miliki banyak yang merupakan keturunan Ki Letek ini. Dapatlah dikatakan bahwa KI Letek adalah salah satu "PAKU" di wilayah Tegal Parang...
AL FATEHAH UNTUK KI LETEK (RADEN LAYTANI AZMATKHAN AL HUSAINI )

RABIATUL ADAWIYAH BINTI DATUK RAIMAN (Rabiatul Adawiyah Dari Condet, Mastur Nan Harum)

Tidak banyak diketahui tentang keberadaan wanita yang satu ini. Tapi jika mendengar riwayat singkat hidupnya, hati ini langsung saja takjub apalagi setelah informasi ini saya terima tidak lama dari perjalanan saya ke makam para Datuk di Condet.
Adanya informasi ini segera saja saya tindak lanjuti. Berdasarkan keterangan Bapak Rahman yang merupakan keturunan Datuk Raiman. Makam Ibu Rabiatul Adawiyah sendiri berada dekat dengam SD 03 Balekambang atau tepatnya Jl. GARDU gang Rabi'ah.
Pada perjalanan kali ini saya melakukannya seorang diri dengan disertai perlengkapan dokumentasi. Alhamdulillah walaupun saya harus keluar masuk gang kecil, makam wanita sholihah ini berhasil saya temukan.
Dalam kehidupannya Ibu Rabiatul Adawiyah dikenal sangat mirip dengan ayahnya yang bernama Datuk Raiman. Ibu Rabiatul Adawiyah adalah wanita yang terkenal sebagai ahli ibadah dan identik dengam kehidupan Zuhud.
Sebagai seorang muslimah yang taat, sehari-harinya beliau ini lebih banyak diisi dengan zikir, sholat dan berkiprah dalam bidang penyiaran Islam di tanah Condet Jakarta Timur. Bersama dengan ayahnya dan Datuk Datuk lain mereka menyebarkan agama.
Secara informasi saya mengetahui tentang beliau ini melalui kawan saya yang tinggal di Condet. Kawan saya ini membisikan kepada saya bahwa selain banyaknya keberadaan Datuk, rupanya ada makam dari seorang wanita "istimewa". Menurutnya makam wanita "istimewa" ini banyak yang sudah menziarahinya tapi jarang yang tahu. Dari beberapa informasi yang dia ketahui, salah satu hal menarik di makam ini pernah terdengat kabar di makam beliau tercium harum bunga semerbak.
Tentu informasi tentang Ibu Rabiatul Adawiyah ini semakin menambah khazanah sejarah Condet. Sayangnya keberadaan makam beliau cukup tersembunyi karena sudah dikurung oleh rumah-rumah penduduk.
Sebagai anak seorang Waliyullah, Ibu Rabiah pun sepertinya mempunyai tetesan karakter dan watak yang sama. Ibu adalah pelaku kehidupan zuhud. Beliau juga diketahui mempunyai beberapa kelebihan. Salah satu kelebihan yang pernah dimilikinya adalah;, bahwa beliau melihat langsung keagungan malam Lailatul Qadar. Keterangan lain, Salah satu tulisan kaligrafi berwarna emas karya beliau pernah dikoleksi oleh Bung Karno, entah sekarang berada di mana...
Berkaca dalam riwayat singkat tentang beliau ini, saya jadi ingat seorang Waliyullah wanita yang terkenal yaitu Rabiatul Adawiyah. Sepertinya Datuk Raiman menginginkan anaknya itu kelak seperti Rabiatul Adawiyah Sang Sufi besar, guru para Wali pada masanya dan ternyata keinginan beliau tercapai...karena Sang Anak ini telah menjadi mutiara penerang wilayah Condet dan sekitarnya...
Al Fatehah untuk Ibu Rabiatul Adawiyah binti Datuk Raiman

DATUK RAIMAN DARI JEMBATAN TIGA CONDET (Sang Wali Mastur Yang Tenggelam Dengan Zuhudnya)

Condet seolah tidak pernah kehilangan pesona sejarahnya. Selaiin dikenal dengan masyarakat Betawinya yang religius, Salak Condet, Emping Condet, Silat Condet, Dodol Betawi Condet, para Sayyidnya, Condet ternyata juga menpunyai "harta karun" sejarah yang tidak sedikit.
Dalam edisi kali ini saya akan coba mengangkat kisah singkat salah seorang tokoh yang mungkin bagi sebagian besar masyarakat Condet kurang dikenal.Tapi justru karena kurang dikenal inilah yang menjadi ketertarikan saya untuk mendalaminya.
Keberadaan tokoh ini saya ketahui dari salah satu sahabat saya yang tinggal di Condet. Dia memberi tahu saya kalau di Condet ada seorang Waliyullah yang dimakamkan tapi jarang diketahui masyarakat. Dia memberi tahu saya karena telah melihat dan membaca beberapa tulisan saya berkenaan dengan kegiatan wisata ziarah dan sejarah yang telah saya lakukan.
Tentu saja dengan adanya informasi ini membuat saya senang dan segera saja langsung saya tindak lanjuti untuk mendatangi makam Waliyullah tersebut.
Saya mendatangi makam ini seorang diri. Seperti biasa Navigasi andalan saya adalah "Mulut". Untuk mencari tokoh-tokoh seperti ini bukanlah hal yang mudah karena mereka ini adalah orang-orang yang mastur (tersembunyi). Berapa kali ketika saya bertanya pada orang-orang sekitar banyak yang tidak mengetahuinya. Tapi Alhamdulillah untuk menemukan tokoh yang satu ini saya telah dipermudah Allah..
Siapakah tokoh kita kali ini ?
Waliyullah tersebut bernama Datuk Raiman.Beliau berasal dari Sumedang. Menurut salah satu keturunannya yang berhasil saya temukan, Datuk Raiman merupakan salah satu ulama yang ikut menyebarkan agama Islam di kawasan Condet. Makam beliau sudah ada sejak 150 tahun yang lalu.
Menurut Dzurriyah Datuk Raiman yaitu Bapak Abdurrahman, leluhurnya itu merupakan sosok yang tawadhu dan zuhud. Datuk Raiman menurutnya mempunyai beberapa karomah. Pak Rahman yang merupakan keturunan ke 6 dari Datuk Raiman mengatakan bahwa Datuk Raiman sosok yang paling gigih dalam mempertahanakan pola hidup sederhana. Dia tidak senang ketenaran bahkan sampai wafatnya dia berpesan agar batu nisan atau kuburannya dibuat sesederhana mungkin.
Mengenai gelar Datuk yang disandang leluhurnya, menurut Pak Rahman kemungkinan karena status keilmuwan agama yang dimiliki, karena kalau itu dikaitkan dengan Datuk gelar adat yang berasal dari Melayu dia merasa heran karena leluhurnya itu justru berasal dari Sunda.
Menurut beliau, salah satu ajaran yang merupakan warisan Datuk Raiman dan dipegang teguh beberapa keturunannya adaah : Haqqulah, Nurullah, Qudratullah. Ini adalah istilah-istilah dalam dunia sufi yang hanya bisa difahami oleh orang-orang yang sudah merasakan makrifat.
Menurut Pak Rahman, sosok Datuk Raiman ini memang seorang ulama yang tidak pernah mau menonjol. Saking ingin tidak menonjol ia berpesan agar makamnya jangan pernah dibangun apapun, buat saja apa adanya.
Pernah suatu saat ada orang yang pernah membatu atau membuat rapi makam beliau, tapi keesokan harinya makam beliau kembali seperti semula, aneh....
Makam beliau ini menurut Pak Rahman ada saja yang menziarahinya. Dan memang jika saya rasakan, masuk ke pemakaman beliau ini cukup tenang apalagi di dekat makam itu ada pohon sawo yang rindang. Uniknya keberadaan makam ini sudah sering saya lewati tapi saya baru sadar kalau tempat makam yang sering saya lewati itu ada makam Waliyullah. Makam yang tidak jauh dari sungai Ciliwung ini berada di jalan Gardu Jembatan III Balekambang Condet Jakarta Timur.
Condet memang banyak menyimpan rahasia sejarah, pantas saja banyak para ulama dan Habaib hijrah ke daerah ini, karena ternyata di daerah ini banyak dimakamkan Waliyullah. Keberadaan mereka jauh lebih awal sebelum datangnya para kaum Alawiyyin dan Hadarim yang saat ini banyak mewarnai wajah wilayah ini.
Al Fatehah untuk Datuk Raiman..

MAKAM TUA DI CONDET MILIK KI TUA/KI BALUNG TUNGGAL, (PRA SEJARAHKAH ???), (Mastur yang seolah "tekunci")

Setelah tulisan tentang Pangeran Astawana berlalu, edisi kali ini saya akan mencoba untuk menulis kembali tentang seorang tokoh yang sampai saat ini keberadaannya masih menjadi teka-teki dalam sejarah Condet itu sendiri.
Pembahasan kali ini adalah tentang keberadaan salah satu makam yang dianggap paling tua di wilayah Condet yaitu makam Ki Tua. Selain orang Condet yang menyebutnya sebagai makam Ki Tua, ada juga yang menyebutnya sebagai makam Ki Balung Tunggal. Disebut Ki Tua karena beliau dianggap sesepuh masyarakat Condet pada masa lalu, ada juga yang berpendapat, karena beliau ini adalah orang yang pertama berdiam di wilayah sekitar Condet. Keterangan lain yang juga tidak kalah menarik mengenai nama lainnya yaitu Ki Balung Tunggal. Ada yang mengatakan bahwa bahwa Ki Tua atau Ki Balung Tunggal adalah seorang pelarian yang menyamar karena dikejar-kejar Penjajah, sedangkan nama aslinya adalah Sya’ban. Sebagai seorang “buronan’ sudah tentu sosoknya selalu berganti-ganti nama.
Dari beberapa tempat lain yang saya ketahui nama Ki Balung Tunggal entah mengapa, ternyata juga ditemukan. Pada beberapa makam yang berada di wilayah Jawa Barat, nama Ki Balung Tunggal juga terdapat di Gunung Sanggabuana Karawang, Limbangan Garut, Sangkajaya Sumedang dan Bogor Barat. Di Daerah Bogor Barat bahkan nama Ki Balung Tunggal menjadi tempat wisata ziarah. Dan semua rata-rata nama Ki Balung Tunggal adalah sosok yang waskita.
Sampai saat ini jika saya pelajari tentang sejarah Condet, keberadaan makam Ki Tua atau Ki Balung Tunggal ini masih dianggap oleh sebagian masyarakat di Condet sebagai makam yang paling tua didaerah tersebut. Sebenarnya selain Ki Tua atau Ki Balung Tunggal ada juga beberapa makam tua seperti makam Datuk Ibrahim, Datuk Jiin, Datuk Kudul, Datuk Geong, Datuk Raiman, Datuk Maliki, Datuk Safar, Datuk Merrah dan Datuk Tonggara di Kramat Jati, namun berhubung tentang sosok Ki Tua/ Ki Balung Tunggal sudah sering dianggap sebagai makam yang paling tua, maka itu telah membuat saya tertarik untuk mengkaji sosok seperti ini.
Beberapa pendapat yang pernah saya baca mengatakan, bahwa Ki Tua/Ki Balung Tunggal adalah sosok manusia yang hidup pada masa pra sejarah. Adanya pendapat seperti ini dikarenakan dari beberapa penemuan arkeolog yang pernah melakukan penelitian di wilayah Condet khususnya di sekitar kali Ciliwung beberapa puluh tahun yang lalu, telah ada diketemukan beberapa benda-benda atau alat-alat kehidupan yang berasal dari masa pra sejarah , dan beberapa lokasinya tidak jauh dari lokasi makam Ki Tua/Ki Balung Tunggal. Sehingga akhirnya muncullah sebuah hipotesa bahwa Ki Tua/ Ki Balung Tunggal berasal dari masa Pra Sejarah.
Benarkah demikian ?
Secara pribadi saya meragukan teori yang mengatakan bahwa Ki Tua atau Ki Balung Tunggal hidup pada masa pra sejarah, karena kondisi makam di sekitar beliau tidak di dapati makam-makam yang sejenis, seharusnya paling tidak satu atau dua bisa ditemukan hal yang sejenis. Makam-makam yang berpola sama seperti Ki Tua atau Ki Balung Tunggal ini bisa kita temukan di beberapa daerah Jawa Barat, dan makam-makam dengan batu kali yang tersusun mengitari makam itu lebih banyak muncul setelah setelah pra sejarah. Kebanyakan makam-makam seperti ini justru makamnya para ulama yang mastur, bisa di lihat pada daerah Limbangan Garut atau Sukapura Tasikmalaya, namun kalau Condet dikatakan sebagai sebuah daerah yang dahulunya pernah ada sebuah peradaban pada masa pra sejarah, saya sepakat karena beberapa arkeolog seperti Ali Akbar dari UI yang tergabung dengan MARI (Masyarakat Arkeologi Indonesia) sudah membuktikan dengan adanya beberapa situs yang ditemukan. Kalau sosok Ki Tua atau Ki Balung Tunggal ini kisahnya dikatakan berasal dari “Kitab Wangsakerta” saya justru malah mempertanyakan hal ini, karena beberapa pendapat para ahli sejarah dari Universitas Pajajaran seperti Prof. Dr. Nina Lubis telah menyatakan bahwa kitab Wangsakerta itu tidak layak dijadikan sumber rujukan, karena di dalamnya banyak kejanggalan-kejanggalan dalam metodologi ilmu sejarah. Beberapa Guru Besar Unpad bahkan mengatakan kalau Kitab Wangsakerta adalah skandal sejarah.
Saya lebih setuju jika Condet dikatakan sebagai wilayah yang berperadaban di pesisir Ciliwung, dikarenakan ada beberapa bukti yang telah ditemukan oleh Arkeolog Ali Akbar dan rekannya. Bagi saya adanya peradaban di sekitar sungai Ciliwung khususnya Condet bukanlah hal yang aneh, karena jalur komunikasi dan kehidupan masyarakat pada masa lalu adalah perairan. Kalau kita melihat kontur tanah Condet, maka kita akan faham kenapa Condet itu pernah punya kehidupan yang semarak pada pada masa lampau. Tanahnya subur, airnya mengalir deras, ketinggian air sungai sulit untuk mencapai ke atas mengingat Condet berada pada dataran tinggi. Sekalipun saat ini tanah Condet sudah padat karena pemukiman namun kesan tua sebagai sebuah daerah tidak bisa dihilangkan begitu saja.
Kembali kepada Ki Tua atau Ki Balung Tunggal…
Jika memang Ki Tua atau Ki Balung Tunggal ini tidak hidup pada masa pra sejarah, maka kapankah masa kehidupan beliau ini?
Sebuah keterangan menarik saya dengar dari sahabat saya yang bekerja di Condet, dia mendapatkan informasi ini dari salah seorang temannya yang senang akan wisata ziarah. Menurut teman yang akrab dipanggil dengan sebutan Bang Mukhlis, berdasarkan informasi yang dia peroleh, Ki Tua atau Ki Balung Tunggal ini merupakan penasehat dari Pangeran Astawana. Status social beliau sebagai seorang Penasehat telah menunjukkan bahwa Ki Tua atau Ki Balung Tunggal adalah orang yang sangat penting kedudukannya dalam kehidupan Pangeran Astawana. Keterangan yang diberikan kepada saya ini semakin menarik dikarenakan makam Pangeran Astawana dan Ki Balung Tunggal itu saling berdekatan. Jika Pangeran Astawana berada di tanah yang agak tinggi, maka makam Ki Balung berada di bawahnya.
Keterangan Bang Mukhlis ini tentu menjadi menarik buat saya, karena dengan demikian kita bisa mengambil benang merah kapan beliau ini hidup. Kalau Ki Tua atau Ki Balung Tunggal ini hidup pada masa Pangeran Astawana maka sudah jelas dia beragama Islam dan hidup pada abad akhir 17 atau awal abad 18. Artinya Ki Tua ini satu masa dengan Datuk Tonggara dan Datuk Ibrahim. Kedua-duanya adalah penyebar agama Islam di wilayah Condet dan Kramat Jati. Jika Ki Tua ini dianggap sebagai orang diburu oleh penjajah sehingga nama aslinya menjadi “samar’ itu adalah hal yang wajar, apalagi status kedudukan dia adalah penasehat. Kita juga harus tahu Penjajah VOC itu tidak segan-segan untuk terus memburu para Mujahid Jayakarta kemanapun mereka bersembunyi sehingga pada masa lalu banyak dari para mujahid itu menyembunyikan atau menyamarkan namanya, termasuk Ki Tua ini, apalagi sejak dahulu berdasarkan kitab Al-Fatawi Condet adalah salah satu basis perlawanan para Mujahid terhadap penjajah VOC dan penjajah-penjajah selanjutnya.
Keterangan ini akan semakin mendekati korelasi hubungan tatkala saya dapati bahwa anak dari Ki Tua atau Balung Tunggal bernama Datuk Imut yang makamnya berada persis depan pagar pemakaman Kober Balekambang. Gelar Datuk sudah menunjukkan kalau beliau ini adalah seorang ahli dalam bidang agama dan juga sekaligus merupakan sesepuh. Ketiga tokoh tersebut makamnya saling berdekatan, sehingga dapat disimpulkan kalau mereka ini adalah sosok-sosok yang saling berhubungan. Dalam tradisi pemakaman tempo dulu, orang yang dimakamkan berdekatan, biasanya orang-orang yang mempunyai hubungan yang cukup dekat, baik itu melalui nasab, kekerabatan, pekerjaan, jabatan, dll. Intinya mereka itu bukanlah orang jauh, baik itu ditinjau dari masa ataupun kronologis sejarah.
Hal lain yang juga tidak kalah menariknya, ketika saya mengamati makam Ki Tua atau Ki Balung Tunggal, saya melihat bahwa arah makam ini seperti menghadap ke Kiblat, sekalipun susunan batu kali itu tidak menunjukkan mana kepala mana kaki, namun ketika saya melihat arah makam beliau yang menghadap ke kali Ciliwung, ujungnya ternyata terlihat seperti menyerong ke kanan, artinya itu seperti menghadap kiblat persis. Artinya Ki Tua atau Ki Balung Tunggal ini adalah muslim sejati.
Ada sebuah cerita dari kawan saya itu tentang keajaiban makam ini, pada tahun 2007 saat banjir besar melanda Jakarta, wilayah Condet adalah salah satu daerah yang terkena imbasnya, banjir datang cukup besar dengan debit air yang luar biasa derasnya. Anehnya setelah banjir surut, batu-batu yang tersusun di sekitar pusara atau makam Ki Tua atau Ki Balung Tunggal tidak ada satupun yang berpindah atau bergeser, padahal saat itu banjir sangat besar dan deras, dan disekitar beliau banyak batu yang berserakan, jangankan batu-batu ukuran kecil, jembatan yang begitu kerasnya saja hancur, rumah-rumah saja banyak yang tegerus, tanah saja banyak yang longsor, namun untuk makam Ki Tua atau Ki Balung Tunggal, tidak satupun batunya bergerak dan bergeser, seolah makam tersebut tidak terjadi apa-apa.
Begitulah tentang sosok Ki Tua atau ki Balung Tunggal …
Apapun interpretasi sejarah tentang diri Ki Tua atau Ki Balung Tunggal, keberadaan makamnya telah menunjukkan kalau daerah Condet adalah sebuah wilayah sejarah yang penting bagi Jakarta. Keberadaan makam beliau, Pangeran Astawana jelas merupakan bentuk peninggalan sejarah yang nyata yang wajib kita pelihara sampai seterusnya…
Al Fatehah untuk Ki Tua/Ki Balung Tunggal/Ki Sya’ban….