Senin, 20 Juni 2016

KAJIAN TAHLIL (Menyikapi Adanya Meme Tahlilan Yang Dikaitkan dengan Kanjeng Nabi dan Imam Syafi’i)

Daripada ribut dan berdebat, yuk lebih baik kita mengadakan sebuah kajian.....
Tulisan ini ada pembahasan sebelumnya...
Setelah kita membaca uraian sebelumnya mengenai amalan orang hidup yang bisa bermanfaat bagi si mayit, pembacaan Al-Qur’an di kuburan, ruh-ruh kaum muslimin, talqin dan lain sebagainya insya Allah jelas bagi pembaca bahwa amalan-amalan yang dikerjakan saudara-saudara kita itu mempunyai dalil dan akar yang kuat. Begitu juga dengan majlis dzikir tahlilan/yasinan yang sering kita lihat, dengar atau kita alami sendiri terutama di Indonesia. Didalam majlis ini dikumandangkan pembacaan bersama ayat Al-Qur’an dan berdo’a yang ditujukan untuk kita, kaum muslimin umumnya dan khususnya untuk saudara-saudara kita muslimin yang baru wafat atau yang telah lama wafat. Tahlilan boleh diamalkan baik secara bersama maupun per-orangan.
Hal yang sama ini dilakukan juga baik oleh ulama maupun orang awam di beberapa kawasan dunia umpamanya: Malaysia, Singapura, Yaman dan lain nya.
Memang berkumpul untuk membaca tahlilan ini tidak pernah diamalkan pada zamannya Rasulallah saw.. Itu memang bid’ah (rekayasa), tetapi bid’ah hasanah (rekayasa baik), karena sejalan dengan dalil-dalil hukum syara’ dan sejalan pula dengan kaidah-kaidah umum agama. Sifat rekayasa terletak pada bentuk berkumpulnya jama’ah(secara massal), bukan terletak pada bacaan yang dibaca pada majlis tersebut. Karena bacaan yang dibaca di sana banyak diriwayatkan dalam hadits Rasulallah saw. Tidak lain semuanya ini sebagai ijtihad para ulama-ulama pakar untuk mengumpulkan orang dan mengamalkan hal tersebut.
Bentuk atau cara bacaan Tahlilan/Yasinan yang dibaca di Indonesia, Malaysia, Singapura, Yaman Selatan ialah: Pertama-tama berdo’a dengan di-iringi niat untuk orang muslimin yang telah lama wafat dan baru wafat tersebut, kemudian disambung dengan bacaan surat Al-Fatihah, surat Yaasin, ayat Kursi (Al-Baqoroh :255) dan beberapa ayat lainnya dari Al-Qur’an, tahlil (Pengucapan Lailahaillallah), tasbih (Pengucapan subhanallah), sholawat Nabi saw. dan sebagainya. Setelah itu ditutup dengan do’a kepada Allah swt. agar pahala bacaan yang telah dibaca itudihadiahkan untuk orang orang yang telah wafat terutama dikhususkan untuk orang yang baru wafat itu, yang oleh karenanya berkumpulnya orang-orang ini untuk dia. Juga berdo'a pada Allah swt. agar dosa-dosa orang muslimin baik yang masih hidup maupun telah wafat diampuni oleh-Nya dan lain sebagainya. Nah, dalam hal ini apanya yang salah...? Allah swt. Maha Pengampun dan Dia telah berfirman akan mengabulkan do'a seseorang yang berdo'a pada-Nya !
Sedangkan mengenai makanan-makanan yang dihidangkan oleh sipembuat hajat itu bukan masalah pokok tahlilan ini, tidak lain hanya untuk meng- gembirakan dan menyemarakkan para hadirin sebagai amalan sedekah dan dan tidak ada paksaan ! Bila ada orang yang sampai hutanghutang untuk mengeluarkan jamuan yang mewah, ini bukan anjuran dari agama untuk berbuat demikian, setiap orang boleh mengamalkan menurut kemampuannya. Dengan adanya ini nanti dibuat alasan oleh golongan pengingkar untuk mengharamkan tahlilan dan makan disitu. Pengharaman dengan alasan seperti itu sebenarnya bukan alasan yang tepat karena Tahlilan tidak harus diharamkan atau ditutup karena penjamuan tersebut. Seperti halnya ada orang yang ziarah kubur beranggapan bahwa ahli kubur itu bisa merdeka memberi syafa’at pada orang tersebut tanpa izin Allah swt., keyakinan yang demikian ini dilarang oleh agama. Tapi ini tidak berarti kita harus mengharam kan atau menutup ziarah kuburkarena perbuatan perorangan tersebut. Karena ziarah kubur ini sejalan dengan hukum syari’at Islam !
Sekali lagi penjamuan tamu itu bukan suatu larangan, kewajiban dan paksaan, setiap orang boleh mengamalkan menurut kemampuannya, tidak ada hadits yang mengharamkan atau melarang keluarga mayyit untuk menjamu tamu orang-orang yang ta’ziah atau yang berkumpul untuk membaca do’a bersama untuk si mayyit..
Imam Syafi’i dalam kitabnya Al Umm mengatakan bahwa disunnahkan agar orang membuat makanan untuk keluarga mayyit sehingga dapat menyenang kan mereka, yang mana hal ini telah diriwayatkan dalam hadits bahwa Rasulallah saw. tatkala datang berita wafatnya Ja’far bersabda; ‘Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena telah datang kepada mereka urusan yang menyibukkan’ (Tartib Musnad Imam Syafi’i, pembahasan tentang sholat, bab ke 23 ‘Sholat jenazah dan hukum-hukumnya’ hadits nr. 602 jilid 1 hal. 216)
Tetapi riwayat itu bukan berarti keluarga si mayyit haram untuk mengeluar- kan jamuan kepada para tamu yang hadir. Begitu juga orang yang hadir tidak diharamkan untuk menyuap makanan yang disediakan oleh keluarga mayyit. Penjamuaan itu semua adalah sebagai amalan sedekah dan suka rela terserah pada keluarga mayyit. Rasulallah saw. sendiri setelah mengubur mayit pernah diundang makan oleh keluarga si mayyit dan beliau memakan nya.
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu dawud dan Baihaqi dari Ashim bin Kulaib dari ayah seorang sahabat Anshar, berkata: “Kami telah keluar menyertai Rasulallah saw. mengiringi jenazah, maka kulihat Rasulallah saw. berpesan kepada penggali kubur, kata beliau saw., ‘perluaslah arah kedua kakinya, perluaslah arah kepalanya’. Ketika beliau pulang ditemuilah orang yang mengundang dari pihak istrinya (istri mayyit), beliau pun memenuhi undangan itu dan kami menyertainya lalu dihidangkan makanan, maka beliau mengulurkan tangannya, kemudian hadirin mengulur- kan tangan mereka, lalu mereka makan, dan aku melihat Rasulallah saw. mengunyah suapan di mulutnya”.
Ada riwayat hadits dari Thawus al-Yamani seorang tabi`in terkemuka dari kalangan penduduk Yaman yang bertemu dengan para sahabat Nabi saw. yang menyatakan; ’bahwa orang-orang mati di fitnah atau di uji atau di soal dalam kubur-kubur mereka selama tujuh hari, maka mereka menyukai untuk di berikan makanan sebagai sedekah bagi pihak si mayit sepanjang waktu tersebut’. Hadits Thawus ini dikategorikan oleh para ulama kita sebagai mursal marfu’ yang sahih. Dinamakan mursal marfu’ karena riwayat ini hanya terhenti kepada Thawus tanpa di beritahu siapa perawinya dari kalangan sahabat dan seterusnya dari Rasulallah saw.. Tetapi walaupun demikian, hadits yang melibatkan perkara ghaib (keadaan di alam barzakh), tidak akan diketahui oleh seorang pun kalau tidak dari Rasulallah saw. (penerima wahyu Ilahi).
Para ulama dalam tiga madzhab (Hanafi, Maliki dan Hanbali) menyatakan bahwa hadits mursal marfu’ ini boleh dijadikan hujjah/dalil secara mutlak, sedangkan ulama madzhab Syafi`i menyatakan boleh dijadikan hujjah jika mempunyai penyokong (selain dari mursal Ibnu Mutsayyib). Dalam konteks hadits Thawus ini, ada dua riwayat penyokongnya yaitu hadits dari ‘Ubaid dan dari Mujahid.
Sebagaimana yang telah dibahas oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam ’al-Fatawa al-Kubra alFiqhiyyah’ jilid 2 mukasurat 30. Beliau ini ditanya dengan satu pertanyaan yang berhubungan dengan adanya pendapat ulama yang mengatakan bahwa orang mati itu difitnah/diuji atau disoal tujuh hari dalam kubur mereka, apa hadits ini mempunyai asal dari syari’at? Imam Ibnu Hajar menjawab; Bahwa pendapat tersebut mempunyai asal yang kokoh (ashlun ashilun) dalam syara’ di mana sejumlah ulama telah meriwayatkan; 1). Dari Thawus dengan sanad yang shahih, 2). Dari ‘Ubaid bin ‘Umair, dengan bersanad dalilnya dengan Ibnu ‘Abdul Bar, yang merupakan seorang yang lebih terkenal kedudukannya (maqamnya) dari kalangan tabi`in daripada Thawus, bahkan ada yang berkata dan menyatakan bahwa ‘Ubaid bin ‘Umair ini adalah seorang sahabat karena beliau dilahirkan dalam zaman Nabi s.a.w. dan hidup pada sebagian zaman Sayyidina ‘Umar di Makkah. 3). Dari Mujahid. Dan tiga riwayat ini adalahhadits mursal marfu’ karena masalah yang dikatakan itu (berkaitan dengan orang mati) adalah perkara ghaibyang tidak bisa diketahui melalui/secara akal. Apabila masalah semacam ini datangnya dari tabi`in maka ia dihukumkan mursal marfu’ kepada Rasulallah s.a.w. sebagaimana dijelaskan oleh para imam hadits; ’Hadits Mursal adalah boleh dijadikan hujjah menurut tiga imam (Hanafi, Maliki dan Hanbali) dan juga di sisi kita (yakni Syafi`i) apabila ia (hadits ini) disokong oleh riwayat lain. Dan Mursal Thawus telah disokong dengan dua(riwayat) mursal yang lain (yaitu Mursal ‘Ubaid dan Mursal Mujahid), bahkan jika kita berpendapat bahwa ‘Ubaid itu seorang sahabat niscaya bersambungan riwayat nya dengan junjungan Nabi saw.’.
Selanjutnya Imam Ibnu Hajar menyatakan bahwa telah sah riwayat daripada Thawus, ’merekamenyukai/memustahabkan untuk diberi makan bagi pihak si mati selama waktu tujuh hari tersebut’. Imam Ibnu Hajar menyatakan bahwa ’mereka’ di sini (dalam kalimat hadits itu--pen) mempunyai dua pengertian di sisi ahli hadits dan ushul. Pengertian pertama ialah ’mereka’ adalah ’umat pada zaman Nabi saw. di mana mereka melakukannya dengan diketahui dan di persetujui oleh Nabi saw.’. Pengertian kedua mengenai ’mereka’ berarti ’para sahabat saja tanpa dilanjutkan kepada Nabi saw.’. (yakni hanya di lakukan oleh para sahabat saja)”.
Imam as-Sayuthi juga telah membahas masalah ini dengan panjang lebar dalam kitabnya ’al-Hawi lil Fatawi’ jilid 2 dalam bab ’Thulu’ ats-Tsarayaa bi idhzhaari maa kaana khafayaa’, di mana antara lain yang dikemukakan pada halaman 194 ialah: ”Sesungguhnya sunnat memberi makan tujuh hari, telah sampai kepadaku (yakni Imam as-Sayuthi) bahwasanya amalan ini selalu diamalkan sehingga sekarang (yakni zaman Imam as-Sayuthi) di Makkah dan Madinah. Maka dzahirnya amalan ini tidak pernah ditinggalkan sejak masa para sahabat sehingga sekarang, dan generasi yang datang kemudian telah mengambilnya dari generasi terdahulu sehingga ke generasi awal Islam lagi (ash-shadrul awwal). Dan aku telah melihat kitab-kitab sejarah sewaktu mem- bicarakan biografi para imam, banyak menyebut: ’dan telah berhenti/berdiri manusia atas kuburnya selama tujuh hari di mana mereka membacakan al-Quran’ ”.
Telah dikemukakan juga oleh al-Hafidz al-Kabir Abul Qasim Ibnu ‘Asaakir dalam kitabnya yang berjudul ’Tabyiin Kadzibil Muftari fi ma nusiba ilal Imam Abil Hasan al-’Asy’ariy ’ bahwa dia telah mendengar asy-Syaikh al-Faqih Abul Fath NashrUllah bin Muhammad bin ‘Abdul Qawi al-Mashishi berkata: ”Telah wafat asy-Syaikh Nashr bin Ibrahim al-Maqdisi pada hari Selasa 9 Muharram tahun 490 H di Damsyik. Kami telah berdiri/berhenti/berada dikuburnya selama tujuh malam, membaca al-Qur’an pada setiap malam duapuluh kali khatam”.
Ibnu Taimiyyah pernah ditanyai mengenai (hadits): “Bertahlil 70,000 kali dan dihadiahkan (pahalanya) kepada orang mati, agar menjadi kebebasan bagi si mayit dari api neraka, adakah hadits tersebut shohih atau tidak? Dan apabila bertahlil seseorang dan dihadiahkan (pahalanya) kepada orang mati apakah pahalanya sampai kepada si mati atau tidak” ? Maka dijawab (oleh Ibnu Taimiyyah): ‘Apabila seseorang bertahlil dengan yang demikian 70,000 atau kurang atau lebih dan dihadiahkan (pahalanya) kepada si mati, Allah menjadikannya bermanfaat baginya dengan yang sedemikian itu. Dan hadits tersebut tidaklah shohih dan tidak juga dhoif. Allahlah yang Maha Mengetahui (majmu’ al-fatawa jilid 24 hal.324).
Dengan demikian amalan pembacaan alqur’an dan shodaqah pemberian makanan yang dihadiahkan kepada si mayit itu telah dikenal sejak zamannya para salaf sholeh. Bahkan Imam arRafi`i menyatakan bahwa amalan inimasyhur di kalangan para sahabat tanpa diingkari. Amalan memberi makan atau sedekah kematian selama tujuh hari mempunyai nash yang kokoh dan merupakan amalan yang di anjurkan oleh generasi pertama Islam. Begitu juga pembacaan alqur’an sudah pasti mendapat pahala bagi siapa yang membaca- nya dan banyak para ulama pakar yang menyatakan sampai pahalanya kepada si mayit bila si pembaca meniatkan pahala bacaannya itu dihadiahkan kepada si mayit itu.
Bentuk atau cara pengamalan itu terserah kepada keluarga si mayyit, hanya yang perlu diperhatikan disini adalah amalan memberi makanan atau itu sebagai amalan suka rela dan niat sebagai amalan shodaqah untuk si mayit. Dengan demikian amalan tersebut mustahab/baik dan akan sampai pahalanya kepada si mayit. Tetapi bila keluarga si mayit mengamalkannya dengan terpaksa atau dengan alasan hanya menurut adat istiadat setempat maka amalan ini menurut sebagian ulama menjadi makruh hukumnya.
Lebih jauh lagi, golongan pengingkar majlis tahlilan ada yang mengatakan bahwa membaca Tahlilan/Yasinan dirumah si mayyit yang baru wafat, diadopsi oleh para Da'i terdahulu dari upacara kepercayaan Animisme, agama Budha dan Hindu. Menurut kepercayaan Animesme ruh-ruh keluarga yang wafat akan datang kerumahnya masing-masing setelah pada hari 1-3-7 dan seterusnya, dan ruh-ruh ini mengharap sajian-sajian dari keluarganya, bila tidak mereka akan marah dan lain-lain. Setelah mereka masuk Islam, akidah yang sama tersebut masih dijalankan golongan ini (repot untuk dihilangkannya). Maka para Da’i penyebar pertama Islam di Indonesia termasuk wali songo merubah keyakinan mereka dan memasukkan ajaran-ajaran dzikir untuk orang yang telah wafat itu. Jadi para Da’i/ahli dakwah ini tidak merubah adat mereka ini tapi memberi wejangan agar mereka berkumpul tersebut membaca dzikir pada Allah swt. dan berdo’a untuk si mayat, sedangkan sajian-sajian tersebut tidak ditujukan pada ruh mayat tapi diberikan para hadirin sebagai sedekah/penghormatan untuk tamu !
Penafsiran golongan ini bahwa majlis tahlilan sebagai adopsi dari Hindu yang tidak beragama Islam dan mempunyai banyak Tuhan dan sebagainya ini ialah pemikiran yang tidak benar serta dangkal sekali ! Penulis sejarah seperti ini adalah penulis yang hanya mengarang-ngarang saja dan anti majlis dzikir. Pengarang ini tanpa memperhatikan tulisan atau ucapannya sehingga dia telah menyamakan kaum muslimintermasuk ulama pakar maupun orang awam yang ikut bercengkerama pada majlis tahlilan ini dengan orang-orang kafir Hindu yang tidak bertauhid. Hati hatilah !!
Sejarah mencatat juga bahwa penyebar Islam yang pertama kali ke Indonesia dari Gujarat, Cina, Persia dan Iraq dimulai pada permulaan abad ke-12 M (jadi sebelum wali songo). Di negara penyebar-penyebar Islam (para Da’i) yang pertama kali di Indonesia ini sudah sering diadakan majlis dzikir dan peringatan-peringatan keagamaan diantaranya peringatan hari lahir dan wafatnya Nabi saw. (silahkan baca bab maulidin Nabi saw. dalam buku ini), peringatan kelahiran dan kewafatan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib kwa, peringatan kelahiran dan kewafatan Sayyidah Fatimah Az-Zahra putri Muhammad saw. dan lain sebagainya, walaupun cara mereka mengadakan peringatan-peringatan tersebut tidak persis atau sama dengan kita di Indonesia, tapi inti dan maknanya samamemperingati, menghadiah- kan pahala bacaan dan mendo’akan orangorang yang telah wafat.
Semuanya ini (majlis dzikir, hadiah pahala amalan dan lain sebagainya) telah diterangkan dalam hadits Rasulallah saw. dan wejangan para ulama pakar dari semua madzhab Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Imam Ahmad beberapa ratus tahun sebelum para Da’i datang ke Indonesia, antara lain yang telah kami kemukakan tadi dan kami akan kemukakan berikut nanti. (baca keterangan halaman selanjutnya mengenai hadiah pahala dan lain sebagainya)
Hal yang sama sering diamalkan juga oleh kaum muslimin dari berbagai madzhab: Madzhab Hanafi, Maliki, Syafii dan sebagainya diseluruh dunia, yang mana pengikut madzhab-madzhab ini sudah ada dimulai pertengahan abad ke 8 M atau sekitar tahun 100 Hijriah yaitu mulai zamannya Imam Ja’far Shodiq ( 80-148 H/ 699-765 M) bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husin bin Ali bin Abi Thalib kw., yang mana Imam Hanafi, Imam Malik ra pernah berguru pada Imam Ja’far ini.
Tidak lain mengumpulkan orang untuk peringatan keagamaan ini dan berkumpulnya orang-orang untuk membaca tahlilan adalah hasil ijtihad yang baik dari para ulama pakar, yang semuanya ini tidak keluar dari garis yang telah ditentukan oleh syari’at. Amalan ini mereka teruskan dan jalankan di negara kita yang mana sampai detik ini diamalkan oleh sebagian besar kaum muslimin di Indonesia.
Malah sekarang bisa kita lihat bukan hanya di negara kita saja, tetapi peringatan-peringatan Maulidin Nabi saw. dan kumpulan majlis dzikir ini sudah menyebar serta dilaksanakan oleh sebagian besar kaum muslimin diseluruh dunia dari berbagai madzhab (Hanafi, Maliki, Syafii, dan lain-lain) diantaranya: Malaysia, Indonesia, Mesir, Irak, Iran, Afrika, Turki, Yemen, Marokko, negara Saudi Arabia, Pakistan dan sebagainya.
Sedangkan cara pengamalan majlis tahlilan ini berbeda-beda tapi inti dan maknanya sama yaitu pembacaan doá dan penghadiahan pahala bacaan ini kepada orang yang telah wafat. Ada yang mengamalkannya sendirian/perorangan saja dan ada yang mengamalkan dengan mengumpulkan orang banyak untuk berdo'a bersama yang ditujukan untuk si mayyit. Bertambah banyak orang yang berdo'a kepada Allah swt. sudah tentu bertambah baik dan lebih besar syafa'at yang diterima untuk si mayyit itu .
Didalam Islam kita dibolehkan serta dianjurkan untuk berdakwah dengan cara apapun selama cara tersebut tidak keluar dari garis-garis syariat akidah Islam. Dengan demikian para Da’i merubah keyakinan orang-orang Hindu yang salah kepada yang benar yang sesuai dengan syari’at Islam. Dakwah mereka ini sangat hebat sekali mudah diterima dan dipraktekan oleh orang-orang yang fanatik dengan agama dan adatnya sehingga yang tadinya di Jawa 85 % beragama Hindu menjadi 85% beragama Islam mereka memeluk agama yang bertauhid satu !
Berdzikir pada Allah swt. itu boleh diamalkan setiap detik, menit, hari, bulan dan lain-lain lebih sering lebih baik. Dakwah yang bisa merubah adat buruk suatu kaum kepada adat yang sejalan dengan syari'at Islam sertaber- nafaskan tauhid adalah dakwah yang sangat baik sekali. Dengan demikian kaum itu akan kembali kejalan yang benar yang diridhoi Allah swt. Jadi para Da'i waktu itu bukannya mengadopsi adat-adat hindu sebagai mana pandangan golongan pengingkar tetapi mengajari pengikut adat Hindu ini kepada jalan yang benar yang dibolehkan oleh syari'at Islam. Dalam hal ini apanya yang salah....?
Umpama saja, kita tolerans dan benarkan sejarah yang ditulis oleh golongan pengingkar ini mengenai majlis tahlilan tersebut, sekali lagi umpamanya diketemukan sejarah yang benar/authentik dari zamannya para Da'i ke Indonesia yaitu meneruskan adat Hindu ini dengan mengarahkan kepada amalan-amalan dzikir/tahlilan yang ditujukan untuk yang hadir dan si mayit apanya yang salah dalam hal ini ? Para Da'i merubah dan mengarahkan adat Hindu yang keliru ini yang mempercayai akan marahnya ruh kerabat-kerabat mereka yang baru wafat bila tidak diberi sajian-sajian kepada si mayyit ini selama 1-3-7 hari kepada adat yang dibolehkan dan sejalan dengan syari'at Islam. Dengan demikian adat-adat hindu yang masih dilakukan oleh orang-orang yang baru memeluk agama Islam/muallaf ini, diteruskan dengan bacaan-bacaan dzikir serta do'ado'a pada Allah swt. yang bisa bermanfaat baik untuk si mayyit khususnya maupun untuk orang yang masih hidup. Sedangkan sajian-sajian yang biasanya oleh kaum Hindu disajikan kepada ruh si mayyit, dirubah oleh para Da'i untuk disajikan kepada para kerabat mereka atau kepada para hadirin yang ada disitu.
Sedangkan waktu pelaksanaan berdzikir dan berdo'a kepada Allah swt. untuk si mayyit selama 1- 3-7 hari atau lebih banyak hari lagi, ini semua boleh diamalkan. Karena didalam syari'at Islam tidak ada larangan setiap waktu untuk berdzikir dan berdo'a kepada Allah swt. yang ditujukan baik untuk orang yang masih hidup maupun yang sudah wafat. Malah sebaliknya banyak riwayatriwayat Ilahi dan hadits Rasulallah saw. yang menganjurkan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk berdzikir dan berdo'a setiap saat, lebih banyak waktu yang digunakan untuk berdzikir dan berdo'a itu malah lebih baik!!
Sekali lagi bahwa para Da'i waktu itu bukannya mengadopsi adat-adat hindu sebagaimana pandangan golongan pengingkar tetapi mengajari pengikut adat Hindu ini kepada jalan yang benar yang dibolehkan oleh syari'at Islam. Dua kata-kata mengadopsi dan mengajari itu mempunyai arti yang berbeda!
Jika pikiran golongan pengingkar yang telah dikemukakan dituruti, beranikah mereka ini menuduh puasa sunnah ‘Asyura (10 Muharram) yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. dan beliau anjurkan kepada para sahabatnya sebagai perbuatan meniru-niru orang Yahudi atau sebagai adopsi dari kaum ini? Karena puasa sunnah ‘Asyura dianjurkan oleh Rasulallah saw. setelah beliau melihat kaum Yahudi di Madinah puasa pada hari 10 Muharram tersebut. Beliau saw. bertanya kepada kaum Yahudi mengapa mereka ini ber puasa pada hari itu ? Mereka menjawab; Pada hari ini Allah swt. menyelamat kan nabi mereka dan menenggelamkan musuh mereka. Kemudian Nabi saw. menjawab: Kami lebih berhak memperingati Musa daripada kalian! (Nahnu aula bi muusaa minkum).
Begitu juga Nabi saw. pernah ditanya mengenai puasa sunnah setiap hari Senin, beliau saw. menjawab; ‘Pada hari itu aku dilahirkan dan pada hari itu juga (Allah swt.) menurunkan wahyu kepadaku’. Mengapa golongan pengingkar ini tidak menuduh puasa sunnah hari Senin yang dilakukan Nabi saw. untuk memperingati hari kelahiran beliau dan menghormati turunnya wahyu yang pertama, sebagai perbuatan meniru-niru golongan Kristen yang memperingati hari kelahiran Yesus ?
Wahai golongan pengingkar, janganlah kalian selalu mencari-cari alasan untuk melarang orang tahlilan dengan memasukkan macam-macam riwayat atau sejarah yang mana semuanya ini tidak ada sangkut pautnya dengan larangan agama untuk membaca tahlilan/yasinan dan hanya menambah dosa kalian saja !! Jadi selama ini yang mengatakan menurut ceritera bahwa tahlilan, yasinan adalah warisan atau adopsi dari kepercayaan Animesme, Hindu atau Budha adalah tidak benar! Ini hanya sekedar Dongengan Belaka yang diada-adakan oleh mereka yang anti majlis dzikir.
Mereka juga mengatakan seperti biasanya amalan-amalan tersebut adalah Bid’ah, Syirk dan sebagainya karena tidak pernah dilakukan atau di anjurkan oleh Rasulallah saw., para sahabat atau tabi'in, dan bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah sambil mengambil dalil hanya dari beberapa bagian al-Qur’andan Sunnah yang sepaham dengan pikiran mereka dan meninggalkan serta melupakan dari surat-surat Al-Qur’an dan Sunnah yang lainnya. Mereka lebih mengartikan Bid’ah secara tekstual (bahasa) daripada secara Syari’at. (Baca keterangan mengenai Bid'ah).
Ingatlah saudara-saudaraku, mereka ini berkumpul untuk berdzikir pada Allah swt. dengan niat dan tujuan untuk mendekatkan diri kepada-Nya yang mana dzikir ini sudah pasti mendapat pahala karena banyak ayat ilahi dan hadits Rasulallah saw. mengenai pahala bacaan-bacaan dzikir (tahmid, sholawat, takbir, tahlil dan lain-lain) yang dibaca dimajlis-majlis tersebut (rujuklah pahala baca Al-Qur’an dan sebagainya dibuku ini). Bila golongan yang tidak senang amalan tersebut serta ingin menyerukan yang baik dan melarang yang munkar/jelek, laranglah dan nasehatilah secara baik pada orang-orang yang melanggar agama yang pelanggaran tersebut sudah di sepakatioleh seluruh ulama madzhab Sunnah tentang haramnya (pelacuran, peminum alkohol dan lain-lain). Janganlah selalu menteror, mensesatkan atau mengharamkan majlis dzikir, tawassul, tabarruk dan sebagainya yang semuanya masih mempunyai dalil.
Dan janganlah mudah mengafirkan golongan muslimin yang berdosa tersebut selama mereka masihmentauhidkan Allah swt. dan mengakui kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya. Camkanlah hadits Rasulallah saw. yang mengecam orang yang menuduh muslimin sebagai kafir, fasiq, munafik karena hanya amal perbuatan mereka tersebut !
Bila golongan pengingkar ini tidak mau mengamalkan tawassul, tabarruk, ziarah kubur, kumpulan majlis dzikir dan sebagainya, disebabkan mengikuti wejangan ulama-ulama mereka yang melarang hal tersebut, silahkan dan itu adalah urusan mereka sendiri dan tidak ada kaum muslimin lainnya yang mencela, mensesatkan mereka ataumerasa rugi dalam hal ini, karena semuanya itu amalan sunnah bukan wajib. Tapi janganlah, karena keegoisan dan kefanatikannya pada wejangan ulamanya sendiri, menyuruh dan mewajibkan muslimin seluruh dunia untuk tidak melaksanakan tawassul, tabarruk, kumpulan dzikir bersama dan sebagainya, sampai-sampai berani mengkafirkan, menghalalkan darahnya, mensesatkan dan memunkarkan mereka karena mengamalkan hal-hal tersebut.
Orang-orang yang mengamal kan kebaikan ini sebagai amalan tambahannya serta tidak ada diantara mereka yang mensyariatkan atau mewajibkan amalanamalan tersebut. Pikiran mereka seperti itu juga akan dibodohkan oleh muslimin, karena banyak wejangan ulamaulama pakar yang berkaitan dengan amalan-amalan diatas serta mereka ini ikut bercengkerama didalam majlis-majlis tersebut! Bagi non-muslim akan lebih mempunyai bukti atas kelemahan muslimin dan mereka akan berpikiran bahwa agama Islam adalah agama yang suka mencela, tidak toleransi, dengan sesama agamanya saja mereka mensesatkan atau menghalalkan darahnya apalagi dengan kita yang non-muslim !
Perselisihan/perbedaan dalam hal tersebut seharusnya diselesaikan secara baik oleh sesama ulama-ulama Islam, sehingga bisa mewujudkan persatuan dan kesatuan ummat Islam.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa perbedaan pendapat setiap manusia atau golongan itu selalu ada, tetapi bukan untuk diperuncing atau di pertajam. Setiap golongan muslimin berdalil pada Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw., tetapi berbeda cara penafsiran dan penguraiannya. Alang- kah baiknya kalau sesama muslim satu sama lain tidak mengkafirkan, men- sesatkan pada orang yang senang mengamalkan amalan-amalan sunnah yang baik itu ! Begitupun juga kita harus saling toleransi baik antara muslimin sesamanya maupun antara muslimin dan non-muslimin (yang tidak memerangi kita). Dengan demikian keharmonisan hidup akan terlaksana dengan baik.
Telah dikemukakan juga bahwa kita dibolehkan mengeritik, mensalahkan akidah atau keyakinan suatu golongan muslimin yang sudah jelas dan tegas dilarang oleh agama umpamanya; menyembah berhala, mengatakan bahwa Nabi Muhammad sebagai anak Allah swt., menyerupakan/tasybih Allah swt. dengan makhluk-Nya, tidak mempercayai adanya Malaikat, menghalalkan makan babi, main judi, membolehkan orang meninggalkan sholat wajib dengan sengaja dan sebagainya, ini semua sudah jelas bertentangan dengan ajaran syariat Islam. Semoga kita semua diberi Taufiq oleh Allah swt. Amin
Sumber Tulisan :
A.Shihabuddin. Inilah Ahli Sunnah Wal Jama’ah, Yogyakarta : Annalafiyah Press, 2010, Hlm 191 - 199