Senin, 22 Juni 2015

MELURUSKAN PANDANGAN LANCE CASTLES YANG MENGATAKAN ETNIS BETAWI KETURUNAN BUDAK

Pendapat ini sebenarnya sudah lama saya dengar sejak masih kuliah dulu, terus terang kalau mendengar pendapat yang satu ini saya jadi geregetan sekali, kok bisa-bisanya ada orang yang katanya “ahli” dalam hal sejarah Jakarta mengatakan bahwa etnis Betawi itu Budak. Kalau  orang Betawi marah dengan adanya pernyataan ini, menurut saya itu sangat wajar, karena ini menyangkut harga diri dan kehormatan mereka. Lance Castle yang katanya Ahli dalam bidang Demografi Sejarah, dengan percaya dirinya mengatakan bahwa asal usul orang Betawi itu  berasal dari Indonesia Timur yang mayoritas bukan  Islam, padahal dalam kenyataannya etnis Betawi dapat kami katakan  100 % Islam!,  bahkan  sejak kecil dilingkungan saya ada pameo, bukanlah orang Betawi kalau dia non Islam. Lance Castle dalam teorinya telah melakukan sebuah proses identifikasi dengan metode pendekatan Demografi Sejarah yang keliru, karena dia lebih banyak terjebak dengan data dari catatan Pemerintah Kolonial Belanda saja, dan juga dia terlalu "pasrah"  pada sebuah sensus yang mundur kebelakang yang pernah dilakukan Pemerintah Penjajah Kolonial itu. Dari semua itu dengan penuh percaya dirinya dia mengatakan bahwa Betawi adalah keturunan budak.


Dalam tulisannya yang berjudul “The Ethnic Profile of Jakarta” dan pernah dimuat pada satu majalah Indonesia terbitan Cornell University bulan April 1967, dia mengatakan bahwa orang itu Betawi berasal dari budak-budak yang datang dari  berbagai daerah dengan cara didatangkan oleh fihak penjajah kolonial pada pertengahan abad ke-19. Castles berani berteori seperti ini karena telah mengutif  dari  catatan harian orang Belanda (daghregister) yang hidup di dalam kota benteng Batavia tahun 1673 M, juga dari catatan Raffles dalam bukunya “History of Java” tahun 1815, dan juga catatan kependudukan dari Encyclopaedia van Nederlansche Indie tahun 1893, dan juga ia telah memakai hasil sensus penduduk yang dilakukan kolonialis Hindia Belanda pada tahun 1930 Masehi. Dalam pandangan Castles, daerah Kali Besar yang berada dikawasan Jakarta Barat merupakan pusat dari asal-usul orang Betawi. Padahal daerah ini merupakan pusat pemerintahan Hindia Belanda.

Berkali-kali sebenarnya pendapat ini sudah banyak yang membantah, namun karena yang berbicara itu seorang Akademisi maka mungkin saja sampai sekarang masih banyak yang percaya jika apa yang dikatakannya itu benar, oleh karena itu maka untuk menjawab tulisan Castles ini mau tidak mau kitapun harus memberikan fakta sejarah yang ada yang menunjukkan jika Betawi khususnya penduduk Jayakarta itu bukan keturunan budak. Saya pribadi sebenarnya tidak 100 % anti terhadap data dari penjajah, namun sebagai anak bangsa jelas sayapun punya hak untuk memilah-milah mana data yang harus digunakan dan mana data yang harus diluruskan. Kalau saya ingin bersikap subyektif, bisa saja saya ingin membangkitkan asal-usul Castles ini, apa dia lupa jika leluhurnya tidak lebih baik dari orang Betawi? Apa dia lupa kalau Australia itu terbentuk dari adanya komunitas kriminal? Masih ingatkah dia dengan data ini : Bahwa Australia yang merupakan negeri persemakmuran itu berdiri berawal dari para bandit buangan, Narapidana Inggris yang diangkut ke benua tersebut pada 26 Januari 1788 Masehi. Awalnya sebanyak 1.500 bandit diangkut menggunakan 11 kapal tiba di Pelabuhan Sydney. Pengangkutan bandit baru berakhir pada 1868 M, dengan total bandit buangan mencapai 160.000 orang. Ada banyak tokoh bandit narapidana kerajaan Inggris yang dibuang ke Australia ini. Mereka kemudian hidup menetap di Australia, hingga beranak pinak di buminya suku Aborigin, itu. Sebagian dari para bandit ada yang menjadi tokoh politik, penegak hukum, dan beberapa lagi menjadi pengusaha sukses” Ah jika melihat fakta ini, akan lebih baik dia mengurusi leluhurnya saja, ketimbang membuat sebuah tulisan tentang sebuah daerah padahal dia tidak pernah tinggal lama didaerah tersebut dan hanya mengambil sumber yang tidak seimbang, apalagi sample yang dia ambil semua berasal dari penjajah murni tanpa ada studi banding dengan data lain.

Dalam pandangan Babe Gunawan Semaun Mertakusuma mengenai tentang istilah “budak” dalam khazanah sejarah Betawi dan terdapat dalam catatan perjalanan hidupnya, ketika beliau ditanya Bapak Saleh Effendi (Kadis Sospol Pemda DKI saat itu), mengapa dalam setiap lenong lenong (maksudnya sandiwara gambang kromong) selalu menampilkan adegan tukang kopi, warung dan sebagainya, sedangkan di daerah lain selalu penampilan-penampilan jongos? Babe Gunawan menjawab, “itulah tandanya Orang Betawi punya cara hidup kebanyakan sebagai “pedagang”. Pepatah Betawi mengatakan : “Lebi baek jadi kancil daripada jadi Gaje, lebi baek jadi Tuan Kecil daripade jadi kuli gede”. Falsafah dan skets masyarakat Betawi menunjukkan bahwa orang Betawi sejak jaman dahulu bukanlah budak. Jika di Batavia sejak zaman VOC sampai zaman Gemeente Batavia, ada “budak-budak”, maka itu bukanlah orang Betawi, sebab sejak zaman nenek moyang, orang  Betawi itu non kooperatif terhadap VOC dan Gemeente Batavia, demikian yang diungkap secara tegas oleh Babe Gunawan yang merupakan cucu dari KH Ahmad Syar’i Mertakusuma.

Kalau kita mau kritis mempelajari sejarah kota Jayakarta, justru kita akan banyak menemui fakta bahwa para Mujahidin Jayakarta lebih memilih terpinggirkan hidupnya daripada menjadi budaknya VOC, justru yang banyak membantu pemerintahan pemerintahan Belanda itu adalah fihak-fihak yang diuntungkan dalam hubungan dagang dengan mereka yang terdiri dari beberapa etnis-etnis luar tertentu, bahkan diantara mereka ada yang pernah diberi kedudukan sebagai “patner sejati”. Etnis luar yang bisa berbaur dan diterima masyarakat Betawi biasanya yang akidahnya sama, seperti mayoritas etnis Arab, Sebagian etnis India yang Islam, sebagian Etnis China yang muslim, sedangkan etnis-etnis eropa yang mayoritas agamanya nasrani justru  kurang begitu disukai oleh orang Betawi, lebih tidak disukai jika ada tuan tanah dari etnis tertentu menjadi jongos atau cukongnya penjajah kolonial.

Kalau dikatakan bahwa Teorinya  Castles mengutif kehidupan Benteng Batavia ditahun 1673 M, perlu diketahui bahwa mereka-mereka yang dijadikan “budak” oleh VOC pada masa itu, justru merupakan pendatang yang berasal dari luar Jayakarta, mereka itu sebenarnya bukan “budak” tapi orang-orang yang merdeka yang dibawa paksa oleh VOC untuk bekerja di benteng Batavia, sedangkan sebelum Kraton Jayakarta dibakar oleh sendiri oleh Mujahidin Jayakarta tahun 1619 Masehi, Kehidupan Kota Jayakarta sejak tahun 1527 Masehi berdaulat penuh dan merdeka. Jayakarta yang didirikan oleh Kesultanan Demak melalui Fattahillah tidak mengenal yang namanya Perbudakan, bahkan Sunda Kelapa sebelum beralih namanya menjadi Jayakarta tidak ada satupun riwayat yang menulis jika mereka menerapkan sistem perbudakan. Mereka yang dibawa oleh VOC untuk bekerja di benteng VOC itu sebenarnya juga terpaksa, jika kita baca sejarah Banda Naira yang ditulis oleh Des Alwi akan terlihat siapa saja yang dibawa oleh Jan Pieterzoon Coen itu. Mereka yang dipaksa menjadi budak justru banyak yang terdiri dari orang-orang Islam merdeka dan juga banyak mujahidin.

Setelah tahluk mereka dibawa ke Batavia, mereka dipaksa untuk bertempur dengan sesama Islam itu sendiri. Jadi kalau dikatakan Indonesia Timur saat itu bukan mayoritas Islam, ini justru lebih aneh lagi, karena pada saat itu Kesultanan Ternate, Tidore, Gowa, Buton, Bacan, mayoritas Islam, bahkan dinamakan Maluku karena wilayah ini banyak terdapat raja-raja Islam sehingga para pedagang Arab menyebutnya sebagai Jadzirah Al-Muluk.

Sepertinya Castles hanya melihat kondisi pada tahun 1967 saja. Indonesia Timur pada masa VOC masih kuat akar keislamannya. Jadi sudah jelas orang-orang yang berasal dari kesultanan yang kami sebut diatasa dan kemudian dibawa ke Batavia bukanlah budak. Dalam rombongan yang dibawa JP Coen bahkan juga ada beberapa tentara bayaran dari Jepang. Kalau yang dimaksud oleh Castles itu Indonesia Timur yang dimaksud adalah Maluku dan lebih khusus lagi itu adalahg Banda Naira, sudah jelas mereka itu bukan budak, bahkan banyak dari mereka yang merupakan orang-orang kaya. Banda Naira pada abad ke 16 adalah wilayah makmur dan hasil rempah-rempahnya, sehingga tidaklah aneh jika VOC tergiur dengan hasil bumi Banda Naira. JP Coen dalam usahanya menghabisi orang Banda Naira cukup mengerikan. Saya saja yang membaca sejarah Banda Naira jadi bergidik dengan caranya Coen dalam menyiksa lawan-lawannya itu.

Pada kurun waktu 1619 s/d 1722 justru di luar Benteng Batavia para penduduk Jayakarta yang sudah menyingkir melalui para mujahidinnya terus melakukan perlawanan, itu artinya penduduk Jayakarta asli tetap eksis dan terus melakukan perjuangan jihad fisabilillah.

Dalam kronologis perjuangan mujahidin Jayakarta, pada kurun waktu itu justru rakyat Jayakarta dan penguasanya terus bahu membahu untuk melakukan perjuangan jihad Fisabilillah terhadap penjajah kafir itu.

Pada Tahun 1630 – 1650 Masehi, seorang tokoh yang bernama Pangeran Wirantayuda yang berasal dari Wisma Pulo Rogo/Aria Jipang dan kemudian beliau wafat dan dimakamkan di Pasuruan  bahkan melakukan  perlawanan terhadap VOC di gugusan pulau Seribu, karena VOC mulai melakukan sistem blokade ekonomi, disamping itu beliau juga melatih prajurit dan bekerjasama  dengan untung Suropati.

Pada tahun 1650 – 1670 Masehi, Pangeran Mertakusuma yang dimakamkan di halaman Masjid Jami Angke memperkuat Kesultanan Banten dengan pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa dan juga memperkuat Armada Lautan membantu putranya sebagai panglima Armada Sultan Ageng Tirtayasa.
Pada tahu 1680 – 1722 Masehi Pangeran Nitikusuma I bersama Laskar Banten memperkuat Jayakarta di sepanjang Kali Angke Jakarta Barat, sedangkan Ratu Bagus Abbas Mertakusuma  mendirikan Front pertahanan di :
  1. Desa Mangga Dua
  2. Desa Patuakan/Tanah Sereal
  3. Di Jelambar/Kampung Gusti
  4. Di Gunung Sari/Sahari
Jadi jelas keberadaan dan eksistensi Mujahidin Jayakarta ini menunjukkan jika Jayakarta pada masa itu bukan negeri yang terbentuk dari bangsa budak! Mereka adalah orang-orang merdeka yang tidak pernah mau tunduk kepada VOC. Benteng Batavia yang memuat orang-orang yang dianggap budak itu tidaklah besar bila dibandingkan dengan penduduk Jayakarta yang berada diluar benteng Batavia. Kehidupan masyarakat yang berasal dari etnis lain justru dikonsentrasikan pada beberapa tempat dibawah koordinasi seorang Kapiten. Sehingga tidak heran bila kemudian pada masa itu timbul nama-nama Kampung yang berasal beberapa etnis. Sedangkan Penduduk asli Jayakarta kebanyakan lebih menutup diri dan terus berjuang untuk meruntuhkan penjajahan dari bumi Jayakarta, mereka terdapat di Angke, Jelambar, Slipi, Cengkareng, Rawa Sari,  Rawa Belong, Jatinegara Kaum, Kayu Putih Tanah Tinggi, Bekasi, Tangerang, Mangga Dua, dan beberapa wilayah lain yang saat itu masih berbentuk desa-desa terpencil. Adanya rakyat Jayakarta yang eksis dan bukan merupakan budak bahkan tertera jelas dalam kitab Al-Fatawi, dikitab ini jelas bahkan aturan dan adat istiadat masyarakat Jayakarta lama, sekalipun wilayah Kraton Jayakarta sudah menjadi benteng Batavia, namun ulama-ulama Betawinya tetap eksis membina rakyat yang tersebar di berbagai wilayah, dan rakyat Jayakarta itu bukanlah budak seperti yang dikemukakan Tuan Castles.

Teori kedua yang digunakan Castles adalah dengan memakai karya dari Raffles yaitu History Of Java tahun 1815 Masehi, kita harus mengetahui, sekalipun Raffles ini dianggap sebagai ilmuwan, namun dia adalah kepanjang tanganan dari pemerintah Kerajaan Inggris yang saat itu berhasil mengalahkan Belanda. Berapa kali Raffles ini turut campur dalam urusan Kesultanan Palembang dan Yogyakarta, sehingga pada sebagian bangsawan kesultanan tersebut Raffles dianggap tidak lebih dari seorang tirani.  Raffles memang orang yang berpandangan maju. Ia ingin memperbaiki tanah jajahan, termasuk ingin meningkatkan kemakmuran rakyat. Tetapi dalam pelaksanaan di lapangan menghadapi berbagai kendala. Raffles juga sulit melepaskan kultur sebagai penjajah. Kerja rodi, perbudakan dan juga monopoli masih juga dilaksanakan. Misalnya kerja rodi untuk pembuatan dan perbaikan jalan ataupun jembatan, dan melakukan monopoli garam, sehingga banyak rakyat yang menderita. Jika melihat fakta ini sudah tentu sudut pandangnya sebagai penjajah lebih tinggi daripada sisi keilmuwannya. Dan jangan lupa Raffles adalah murid sekaligus sahabat dari Dr.Leyden yang merupakan seorang Orientalis Hebat. Oleh karenanya jika dia Castles mengutif pernyataan History Of Java, maka patutlah ditinjau kembali pernyataannya itu, karena pada kenyataannya Raffles lebih dekat dengan dunia pertanahan, botani, Zoologi dan dia lebih banyak tinggal di bogor ketimbang di Betawi pada masa itu, sehingga dapat dikatakan Raffles tidak terlalu mengenal banyak etnis Betawi.

Bagaimana data yang Castles pakai di tahun 1893 Masehi, dan juga hasil sensus penduduk yang dilakukan kolonialis Hindia Belanda pada tahun 1930 Masehi ?

Sangat jelas pada masa tahun-tahun ini Jakarta menjadi pusat pergerakan beberapa pemuda asli Betawi, ditahun 1893 Masehi juga merupakan masa perjuangan para Pendekar Betawi dalam menghadapi tirani, sehingga semua data-data yang ada sudah pasti penuh dengan kepentingan yang subyektif dari penjajah. Jangan kira pada tahun 1893 s/d 1930 para di Betawi tidak ada perlawanan, jadi kalau ada data-data yang terkesan “sinis” terhadap etnis yang satu ini jelas itu adalah bagian kepentingan penjajah, sekalipun itu diungkap oleh mereka yang dianggap “ilmuwan” tetap saja patut dikritisi, apalagi  mereka itu menjadi bagian strategi penting penjajah untuk “mematikan” data-data sejarah yang dimiliki putra asli Keturunan Jayakarta.

Kesimpulannya etnis Betawi bukanlah keturunan budak, mereka itu sudah ada pada masa Sunda Kelapa dan kemudian diteruskan oleh Fattahillah dengan pemerintahan negeri Fathan Mubina atau Hikmah Jumhuriyah Jayakarta yang didalamnya penuh dengan ajaran-ajaran Islam hingga terus bertahan sampai kini.

Sumber :


Des Alwi, Sejarah Banda Naira, Malang; Pustaka Bayan, 2010.
Iwan Mahmud, Fattahillah Mujahid Agung Kota Jakarta, Jakarta : Madawis, 2014.
Mona Lohanda, Jabatan Inlandsche Kommandant di Batavia-Jakarta Batavia-Essai Sosio Kultural, KITLV Banana, 2007.
KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma, Al-Fatawi-Tarikh Jayakarta, Palembang : Al-Fatawi, 1910.
Ratu Bagus Gunawan Semaun Mertakusuma, Wangsa Aria Jipang Di Jayakarta, Jakarta: Agapress, 1986.
Ratu Bagus Gunawan Semaun Mertakusuma, Catatan Perjalanan Hidup Saya, Jakarta : Al-Fatawi, 1981.