Kamis, 04 Juni 2015

KRONOLOGIS SEJARAH PERJALANAN KITAB AL FATAWI, KITAB SEJARAH DAN SILSILAH JAYAKARTA

Bicara sejarah Jayakarta, seolah tidak habisnya, apalagi bila sumber yang kita dapati berasal dari sumber asli. Sumber asli yang dimaksud disini para keturunan Jayakarta.  Adapun jika melihat sumber yang ditulis oleh beberapa sejarawan kolonial belanda ataupun portugis, terus terang sampai saat ini kami belum merasa terpuaskan. Dengan posisi mereka yang merupakan bagian dari penjajah, tentu setiap tulisan yang mereka buat pasti ada unsur subyektifitasnya. Kami bukannya anti, namun untuk memakai data mereka 100 % rasanya perlu dipertimbangkan kembali. Kami yakin sikap Eropa sentris pada diri mereka pasti tertanam kuat. Oleh karena itu sejak beberapa tahun yang lalu kami secara marathon mencoba melacak dan mencari sumber sumber sejarah yang berasal dari bangsa sendiri, kami sangat percaya jika Jayakarta yang merupakan daerah penting bagi Indonesia menyimpan banyak sejarah aslinya, hanya saja tinggal kita yang harus mencarinya. Adanya data sejarah asli milik bangsa ini tentu nanti bisa mengimbangi dan juga bisa meluruskan penyimpangan-penyimpangan sejarah yang dilakukan ilmuwan-ilmuwan yang berasal dari Kaum Penjajah. Namun demikian kamipun tidak memaksa kepada fihak yang membaca tulisan ini untuk ikut alur pikiran kami, tapi satu hal, yang namanya kebenaran dan kejujuran dalam sebuah pengungkapan fakta dan data sejarah perlu ditegakkan.

Alhamdulillah selama proses pencarian kami mengenai data-data sejarah Jayakarta dan Betawi, kami banyak memperoleh kemudahan, Allah memudahkan langkah ini dalam mencari “harta karun” data sejarah Jayakarta.

Salah satu data sejarah Jayakarta yang cukup membuat kami takjub mengenai Jayakarta adalah ketika kami mendapati sebuah KITAB yang ditulis seorang ulama keturunan Jayakarta asli. Kenapa kami begitu takjub dengan kitab ini?, karena kitab ini ditulis dengan Bahasa Arab Melayu Gundul, kemudian hurup-hurup yang ditulis sangat rapi dan indah, serta urutan penulisannyapun ternyata sangat kronologis.  Dan yang juga lebih membuat kami kagum, data-data yang ada di kitab ini cukup lengkap mengenai sejarah perjuangan para Mujahidin Jayakarta serta adanya tentang penulisan ADAT ISTIADAT JAYAKARTA, IDIOLOGI JAYAKARTA, STRATEGI PERTAHANAN JAYAKARTA DAN JUGA PETA-PETA TENTANG WILAYAH JAYAKARTA DULU.

Jelas yang menulis kitab ini bukanlah orang sembarangan, tentu ia adalah ULAMA PLUS. Terus terang sejak dulu kami paling percaya kalau tulisan sejarah itu berasal dari ulama, sebab biasanya mereka para ulama yang mampu menguraikan sejarah dan juga  ilmu nasab (Ilmu yang mempelajari garis keturunan) selalu menjaga mata rantai keilmuan yang sambung menyambung dengan ulama ulama terdahulu. Biasanya disamping pengetahuannya mendalam tentang sejarah dan nasab mereka juga rata-rata mampu mengurai semua itu melalui tulisan atau tutur (lisan). Ulama-ulama yang seperti inilah yang biasanya paling ditakuti penjajah, karena penjajah tahu, ulama dengan tipe seperti ini tahu betul ‘URUSAN DAPUR” Penjajah. Tidak heran ulama-ulama seperti Syekh Nawawi Al Bantani, Mbah Kholil Bangkalan, KH Ahmad Syar’i Mertakusuma, KH Hasyim Asy’ari, KH Muhammad Dahlan, KH Noer Ali,dll sering diburu dan dicurigai oleh Penjajah. Khusus untuk KH Ahmad Syar’I Mertakusuma, beliau bahkan sepanjang hidupnya terus diburu Penjajah, KH Ahmad Syar’I bahkan pernah divonis hukuman mati berupa HUKUMAN GANTUNG DI KARAWANG tahun 1926 Masehi. Melalui tulisan beliaulah akhirnya sejarah KITAB AL FATAWI  bias kami tahu. Oleh karena untuk mengetahui bagaimana sebenarnya proses panjang perjalanan kitab AL FATAWI sampai kepada masa KH AHMAD SYARI MERTAKUSUMA itu, kam iakan menguraikan dari catatatan beliau dan juga yang berasal anak dan cucunya.

BIsmillahirrohmanirrahim…..

Orang yang pertama kali membuat KITAB AL FATAWI adalah KI MEONG TUNTU/DATUK MEONG TUNTU.

Siapakah beliau ini ?

Ki MEONG TUNTU adalah adik dari Raja Syah Khan Mahmud Majidilah. Adapun RAJA SYAH KHAN MAHMUD MAJIDILAH ini juga merupakan adik dari SULTAN KARIM MUKJI dari Kesultanan Pasai (didalam sejarah Aceh, Sultan Karim Mukji adalah SULTAN KE 11 DARI DINASTI BATAK GAYO DI KESULTANAN ARU BARUMUN). Artinya dari penjelasan ini KI MEONG TUNTU dan RAJA SYAH KHAN MAJIDILLAH merupakan keluarga besar dari KESULTANAN ARU BARUMUN yang dahulunya merupakan sebuah dinasti Islam yang cukup ternama di wilayah Pasai. Kenapa mereka yang dari Pasai bisa ada di Sunda Kelapa pada masa itu? Sebabnya adalah pada masa itu antara Pasai, Demak, dan Cirebon sudah menjalin hubungan komunikasi. Pasca Jatuhnya Pasai oleh Malaka, maka hubungan yang paling mudah ditempuh adalah Palembang dan Sunda Kelapa. Sultan Barumun yang ke X yang bernama  SULTAN ZULKIFLI MAJID telah melakukan hubungan silaturahim yang kuat dengan fihak Kerajaan Sunda Kelapa. Setelah beliau wafat hubungan itu diteruskan oleh putra penggantinya yang bernama  SULTAN KARIM MUKJI.

Sekalipun seorang muslim tetapi nama asli KI MEONG TUNTU tidak begitu dikenal. Sepertinya ini adalah sebuah kesengajaan dari diri beliau karena berbagai factor. KI MEONG TUNTU inilah  orang pertama membuat kitab sejarah dengan memakai huruf WESIG. Penulisan yang dilakukan beliau pada masa itu sudah memakai bahasa melayu dicampur dengan bahasa SUNDA BUHUN (semacam bahasanya orang RAWAYAN/BADUY di Pandeglang.
Setelah Ki Meong Tuntu tidak ada, posisi dan kedudukannya digantikan oleh DATUK SYAH SYARIF FADHILAH KHAN dengan gelar KERTAWIWEKA NEGARA TAHUN 1530 Masehi. Hurufnya  tetap memakai WESIG dan bahasanya Melayu campur bahasa KARO (Melayu asli dari Kesultanan Haru Barumun Pasai Samudra).

Kitab itu kemudian dikerjakan oleh Syah Fadhilah Khan sampai pada masanya Maulana Hasanuddin yang menjadi Pangeran Ratu yang pertama di Jayakarta,  Dikarenakan Maulana Hasanuddin menjadi Sultan Banten, maka kedudukan seorang MUSHONAF (Pencatat Sejarah) diserahkan kepada KI MAS WISESA ADIMERTA Pada tahun 1580 Masehi. MUSHONAF KI MAS WISESA ADIMERTA inipun belum lagi mempergunakan huruf Arab/AlQuran. Beliau telah memperkenalkan huru JAWA KUNO, oleh karena beliau tidak bisa menulis dengan hururf wesig, maka bahasa penulisan yang dibuat mempergunakan Bahasa Jawa Mataram (tidak memakai aliran O dan masih bersahaja seperti bahasa SUNDA BANYUMAS.

Setelah era Ki Mas Wisesa Adimerta  seluruh lembaran/catatan itu telah dikumpulkan oleh Pangeran Mertakusuma yang telah menjabat sebagai Pangeran Adiningrat yang 4 di Jayakarta. Naskah-naskah itu terdiri dari :
  1. Kulit Kerbau, kayu, tembikar (lempengan tanah liat yang dikeringkan) yang dibuat oleh Ki Meong Tuntu.
  2. Kulit Kerbau, Rotan, Kayu, dan Tulang-tulang Ikan, dibuat oleh Syah Fadhilah Khan
  3. Kulit Kerbau, Lontar, dan lempengan-lempengan tembaga, dibuat Ki Mas Wisesa Adimerta.
Oleh Pangeran Mertakusuma semua telah disalin kembali kedalam satu kitab besar yang diberi nama Kitab Al-Fatawi. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 7 Syawal 1036 Hijriah atau menurut  Bapak Parada Harahap (yang telah dimintakan keterangan oleh Ratu Bagus Abdul Majid Asmuni bin KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma, pada tahun 1930an) jatuh pada tahun 1626 Masehi. Namun Pangeran Mertakusuma tidak menjadi mushonif. Beliau hanya menyalin naskah lama.

Sebelumnya kedudukan pencatatan Sejarah dilakukan oleh Raden Suryakawisa Adimerta Jayakarta pada tahun 1611 s/d 1625 Masehi.

Pada tahun 1680 Masehi proses pencatatan kitab Al Fatawi dilakukan Ratu Bagus Haji Abbas Mertakusuma

Pada tahun 1840 Masehi pencatatan dilakukan kembali oleh Ratu Bagus Bahsin Mertakusuma

Tahun 1870 Masehi pencatatan dilanjutkan oleh Ratu Bagus Arbain Mertakusuma

Pada tahun 1890 Masehi pencatatan dilakukan oleh Ratu Bagus Abdul Wahab Mertakusuma

Pada tahun 1910 Masehi semua naskah disalin ulang kembali oleh KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma setelah belajar langsung huruf khot (kaligrafi) kepada Guru Mansur Sawah Lio, sekaligus Guru Mansurlah yang menganjurkan agar semua kitab Al-Fatawi lama disusun ulang kembali dengan menggunakan Arab Melayu. Pada tahun yang sama KH Ahmad Syar'i Mertakusuma juga melakukan perjalanan napak tilas para pejuang dan Mujahidin Jayakarta sekaligus kembali mengumpulkan punti punti Jayakarta yang menyebar di Jayakarta untuk bersatu melawan penjajah.

Penyalinan huruf latin dilakukan pada tahun 1935 Masehi oleh putra KH Ahmad Syar’i Mertakusuma yang bernama Ratu Bagus Abdul Madjid Mertakusuma. Sedangkan KH Ratu Bagus Ahmad Syar'i Mertakusuma hijrah ke Palembang dan berada didalam lindungan para pejuang Palembang dan disana dikenal dengan nama BABE BETAWI. Segala urusan adat istiadat Jayakarta diwakilkan oleh Ratu Bagus Abdul Majid Mertakusuma.

Tahun tanggal 8 Rajab 1373  Hijriah (12 Maret 1954 Masehi), Jumat Kliwon bertempat di Masjid Al Ghoni Kampung Tanah Tinggi Kayu Putih Pulo Gadung Jakarta Timur, pukul 13.30 siang hari bakda sholat Jumat dengan disaksikan oleh Keluarga Kerabat dan Ahli Waris Syuhada Mujahidin Betuwe Jayakarta serta disaksikan oleh kerabat-kerabat Jayakarta yang datang dari wilayah Jabodetabek, Palembang, Garut, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kitab Al Fatawi yang asli diwariskan oleh salah satu cucu KH Ahmad Syar’i Mertakusuma yang bernama Babe Gunawan Mertakusuma.

Tahun 1968 Masehi Kitab Al Fatawi sempat diberikan ke Museum Jakarta, dan beberapa materi kitab Al Fatawi telah dikutif oleh  Drs. Sucipto dan Drs. Uka Candrasasmita untuk melengkapi  buku biografi Pahlawan-Pahlawan di Jakarta dengan Daftar Pustaka tersebut “Dikutif Dari Silsilah Syar’i”.
Tahun 1968 Pangdam V Jayakarta Dalam Ulang Tahunnya yang ke XVIII membuat sejarah lengkap tentang Jakarta yang berisikan Silsilah Batavia, Silsilah Pangeran Jayakarta dan juga buku ini mengutif isi dari kitab Al-Fatawi yaitu pada Bab Silsilatul Syar’i.

Tahun 1970 Keluar sebuah tulisan tentang Pangeran Pangeran Jayakarta Keturunan Ario Jipang yang ditulis oleh Gunawan Semaun Mertakusuma  yang mengambil kutipan dari kitab Al-Fatawi dan terdapat dibuku KADO BUKU BESAR ADAT IBU KOTA RI KE 442 DAN 443 Jakarta saat itu.

Tahun 1970 kitab Al-Fatawi kemudian dikembalikan kepada Ratu Bagus Gunawan Semaun Mertakusuma Oleh salah satu fihak Museum Jakarta yang peduli terhadap Budaya dan Sejarah Jayakarta, dikembalikan kitab tersebut karena menurut yang mengembalikannya telah mendapatkan pelecehan oleh salah seorang Pejabat Museum Jakarta, hingga akhirnya membuat tetua adat Jayakarta marah. Selanjutnya kejadian pelecehan itu dilaporkan kepada Majelis Warga  di Masjid Kumpi Kuntara  Kampung Bambu Larangan Cengkareng Jakarta Barat hingga menyebabkan warga Jayakarta resah.

Pada tahun 1971 Radin Muhammad Nur Karim Nitikusuma sebagai perwakilan Al-Fatawi menghadiri upacara Sekatenan Yogyakarta, dan kitab Al-Fatawi itu diperlihatkan kepada kerabat-kerabat Ngadiningratan Jogyakarta.

Tahun 1972 khususnya pada bulan April, Radin Muhammad Nur Nitikusuma telah mendapatkan Surat Kekancingan Darah  Dalem Dari Keraton Jogyakarta Adiningrat No. 3675/Tanggal 15 April 1972, surat itu berbahasa Jawa dan bertuliskan huruf Jawa. Adapun alasan dengan diterbitkannya surat keputusan itu adalah karena semua isi yang termaktub didalam kitab Al Fatawi adalah sesuai dengan silsilah yang dimiliki oleh kerabat Keraton Yogyakarta dan Surakarta.

Pada tahun 1972, bulan Juni bertepatan dengan ulang tahun kota Jakarta yang ke 445, keluarga besar Kaum Betawi dari rumpun Pangeran Wijayakusuma telah mengadakan “Pameran Benda-Benda Adat Kaum Betawi” bertempat di rumah Haji Mustafa jalan Daan Mogot di Aula Kantor Kelurahah Jelambar Jakarta Barat. Adapun yang dipamerkan adalah :
  1. Semua Kitab Al-Fatawi
  2. Berbagai Jenis Senjata Adat (Keris Penta/Keris Pangeran yang asli)
  3. Pakaian-Pakaian Adat
  4. Tumbal-tumbal Kaum Betawi yang disimpan di rumah keluarga Kampung Bambu Larangan
  5. Figura-figura Silsilah Dan Panji-Panji Jayakarta
Hasil Pameran ini mendapatkan apresiasi masyarakat Betawi pada waktu itu dan rencananya akan disiarkan di TVRI, namun tiba-tiba TVRI tidak jadi menayangkan dengan alasan ada fihak-fihak yang tidak ingin ditayangkan acara tersebut.

Pada tahun 1973 bulan Juni Keluarga Besar Kaum Betawi di Palembang serta beberapa daerah Provinsi lainnya meminta kembali kitab Al-Fatawi.

Pada tahun 1975 kembali dilakukan penyalinan kedalam bahasa latin oleh cucu KH Ahmad Syar’i Mertakusuma yang bernama Ratu Bagus Semaun Mertakusuma (Babe Semaun).

Pada tahun 1986 muncul buku Wangsa Aria Jipang Di Jayakarta yang banyak mengutif dari Kitab Al Fatawi dan disusun oleh Gunawan Mertakusuma dan telah mendapat sambutan dari Wakil Gubernur Haji Benyamin Ramto SE dari para tetua adat Betawi seperti  Haji Muhammad Aseni, Haji Effendi Yusuf, Firman Muntaco, Drs Asmawi Manaf,  Wakil Ketua DPRD DKI saat itu H.W. Salamoen dan H.Hikmatullah dan beberapa sesepuh Betawi lainnya.

Tahun 1992 Masehi Kitab Al-Fatawi dijadikan bahan tesis dan juga tulisan artikel oleh Prof. Dr. Yasmin Shihab Budayawan Betawi.

Tahun 2013 saya bertemu dengan Prof. Dr. Yasmin Shihab di kediaman beliau di wilayah Otista Jakarta Timur untuk konfirmasi kitab Al-Fatawi kemudian, saya diarahkan untuk menuju ke perpustakaan Setu Babakan, namun sayang saya tidak menemukan kitab tersebut.

Pertengahan tahun 2014 saya mendatangi kediaman Al-Marhum Babe Gunawan di Joglo Jakarta Barat dan  bertemu dengan cicit KH Ahmad Syar’i Mertakusuma dan beberapa waktu kemudian  kami berhasil menemukan kitab tersebut.

Awal 2015 Makam Penyusun Kitab Al Fatawi, KH Ahmad Syar’i Mertakusuma ditemukan di Palembang oleh Ustad Muhammad Ihsan dari Kesultanan Palembang Darussalam, sekaligus juga menemukan anak bungsu ari KH Ahmad Syar’i Mertakusuma yang sudah sepuh.

SUMBER :

Gunawan Mertakusuma, Catatan Catatan Perjalanan Hidup Gunawan Semaun Mertakusuma, Jakarta : Al-Fatawi, 1981.
Gunawan Mertakusuma, Intisari Kitab Al-Fatawi, Jakarta : Al-Fatawi, 1981.
Gunawan Mertakusuma, Wangsa Aria Jipang Di Jayakarta, Jakarta: Agapress, 1986.
Yasmine Shihab, Bangsawan Betawi, Tantangan Bagi Orang Luar, Jakarta : Thesis PhD, 1994. (atau lihat di Kees Grijns, Jakarta Batavia Esai Sosio Kultural, Jakarta : KITLV, 2007).
Hasil Perjalanan Tim Madawis & Kesultanan Palembang Di Palembang Dalam Rangka Mencari Jejak Makam Penulis Kitab Al-Fatawi Tahun 2014.
Wawancara dengan Bang Yu, Bang Indra, Bang Daeng yang merupakan cicit KH Ahmad Syar’i Mertakusuma .
Wawancara Dengan Prof. Dr. Yasmin Shihab dikediaman Beliau di Otista Jakarta Timur pada bulan Maret 2014 bakda sholat Asar.