Senin, 22 Juni 2015

FATTAHILLAH DAN TANGGAL "22 JUNI 1527", BAGIAN II - (MENJAWAB FITNAH PERISTIWA JATUHNYA SUNDA KELAPA)

LANJUTAN BAGIAN I.......


Tulisan ini adalah kutipan buku saya “ Fattahillah Mujahid Agung Pendiri Kota Jayakarta”

Kalau memang benar Fatahillah membunuh 3000 orang Islam dan membunuh “Wak Item” yang katanya muslim, maka Fatahillah tidaklah pantas masuk Majelis Dakwah Walisongo karena Majelis Dakwah Walisongo dakwahnya santun, damai dan cerdas. Tidak ada satupun dalam sejarah Walisongo dakwahnya dengan melalui kekerasan apalagi sampai “mengganyang” saudaranya sendiri, tidak mungkin ini semua dilakukan keluarga besar Azmatkhan yang Ahlulbait. Islam yang disebarkan Walisongo itu damai dan fleksibel, kalau tidak menerima, ya tidak dipaksa, dan perlu diketahui, jika Islam berperang itu motifnya adalah jihad dijalan Allah, bukan karena tergiur akan potensi ekonomi Sunda Kelapa seperti tuduhan Ridwan Saidi, rendah sekali jika motifnya jika hanya itu. Motif yang utama adalah sudah jelas untuk menyelamatkan Islam dari pemusnahan bangsa yang satu itu yaitu Portugis. Menurut Prof. Dr. Didin Saefudin  (Dalam Fahri & Bahtiar, 2009:276), bahwa salah satu yang mempercepat proses penyebaran Islam di Indonesia adalah faktor kelenturan (fleksibilitas) ajaran Islam  dan ini sudah dijalankan sejak lama oleh Walisongo termasuk Fattahillah dalam dakwah Islamiahnya. Jadi rasanya aneh dan tidak masuk akal Fatahillah yang juga anggota Walisongo periode ke empat melakukan “pembantaian” kepada orang-orang Betawi yang ada pada saat itu. Dalam sejarah dakwah keluarga besar Alawiyyin, tidak ada satupun dari mereka yang melakukan paksaan atau kekerasan dalam menyebarkan Islam. Peristiwa ini betul-betul aneh bila memang ada, dan tidak mungkin para anggota Walisongo periode keempat atau kelima berdiam diri saja, tidak mungkin  mereka tidak bergerak begitu mendengar Fatahillah menjadi “monster” pada masyakat setempat pada masa itu, apalagi jumlahnya cukup membuat bulu kuduk bergidik. Kejam sekali kalau begitu Fatahillah ini, tapi anehnya, sebagai seorang yang katanya “pembunuh” seperti tuduhan Ridwan Saidi, seharusnya Fatahillah ini sudah “dibuang” oleh para wali dan Sultan-sultan Azmatkhan lainnya, sudah tentu  Fatahillah tidak akan pernah diizinkan untuk dimakamkan satu tempat bahkan berdampingan dengan Sunan Gunung Jati.  Namun ini justru malah lain ceritanya, Fatahillah malah mendapat kehormatan dengan dimakamkan secara berdekatan dengan Sunan Gunung Jati, padahal ia hanyalah merupakan mantu. Posisi makam yang dekat menunjukkan berdekatan dengan Fatahillah menunjukkan bahwa Fatahillah telah mendapat tempat khusus dimata Sunan Gunung Jati. Disamping itu Fattahillah juga dijadikan menantu Raden Fattah dan juga salah seorang tokoh Islam di Lampung. Kronologis penyerangan  ke Sunda Kelapa itu sendiri sebenarnya bukan untuk menjajah, tapi justru untuk menyelamatkan harkat dan martabat bangsa ini.

Penguasaan Fatahillah terhadap Sunda Kelapa ini sama persis motifnya dengan penyerangan Demak ke Malaka yang musuh utamanya juga Portugis, dan saat penyerangan itu pasukan Demak dipimpin oleh Patih Unus 2  (mantu Raden Fattah). Penyerangan kepada Sunda Kelapa bukan berarti penyerangan bumi hangus dan tumpas kelor seperti yang dikatakan Ridwan Saidi katakan. Fatahillah memang Panglima Perang dibeberapa Kesultanan  seperti Kesultanan Cirebon dan Demak, namun jangan lupa dia juga ulama dan mendapat didikan darinya ayahnya yang merupakan Mufti Kesultanan Pasai.  Nama Fatahillah cukup harum diberbagai Kesultanan Islam. Kemas Tiar (2012) menulis bahwa ayah Fatahillah ini adalah Mufti Kesultanan Pasai yang terkenal sangat alim dan menguasai ilmu-ilmu agama antara lain, Ilmu Alat  (Nahwu, Shorof dan Balaghoh), Fiqih, Usul Fiqih, Tafsir, Hadits dan juga Tassawuf, sehingga Maulana Mahdar Ibrahim ini juga diberi gelar Sayyid Kamil. Maulana Mahdar Ibrahim Azmatkhan ini, merupakan keponakan Maulana Malik Ibrahim bila ditinjau dari sisi nasabnya. Maulana Mahdar Ibrahim juga dikenal sebagai penerjemah kitam “Daroil Mazlum” karya Muhammad Ishak, Ulama Makkah, penerjemahan ini atas permintaan Sultan Mahmud Syah dari kesultanan Malaka.
Sebagai anak yang terlahir di lingkungan Kesultanan Pasai, Fatahillah memperoleh pendidikan kemiliteran terutama kemiliteran laut, hal ini sesuai dengan kedudukan Kesultanan Pasai yang letaknya tidak jauh dari Selat Malaka yang merupakan jalur strategis yang menghubungkan dua pusat perdagangan yakni China dan India.

Namun demikian, sebagai anak dari Ulama besar, Fatahillah juga memperoleh pendidikan ilmu-ilmu agama yang mumpuni sehingga dari kedua jenis ilmu ini (kemiliteran dan agama) kelak menempatkannya dalam kedudukan yang terhormat. Bekal ilmu kemiliteran menempatkan dirinya sebagai Panglima Tertinggi   pasukan gabungan tiga kerajaan, sedangkan bekal ilmu agama mendudukkannya sebagai anggota Walisongo generasi ke IV bersama-sama dengan Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, Raden Fattah, Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Drajad dan Sunan Kalijogo, demikian seperti yang ditulis KH Muhammad Dahlan (1979).

Jadi sekalipun dia seorang militer, namun dia juga ulama, hal ini juga persis sama dengan Sunan Kudus Azmatkhan. Kalau  dia membunuh orang Islam sendiri sudah pasti Majelis Dakwah Walisongo akan menindaknya dengan tegas, apalagi Sultan Trenggono yang merupakan Sultan Islam pada itu terkenal tegas terhadap kezaliman, dan sudah pasti dia bisa diusir dari Kesultanan Demak dan Cirebon, namun kenyataannya paska perebutan bandar niaga Sunda Kelapa Sosok Fatahillah dimata beberapa Kesultanan Islam malah terhormat dan begitu melegenda, kecuali dimata Portugis. Begitu terhormatnya sosok Fatahillah, makamnya saja bisa berdekatan dengan Sunan Gunung Jati, padahal dia hanyalah mantu. Dengan posisi makam yang berdekatan dengan Ulama sekaliber Sunan Gunung Jati, kita sudah bisa menebak bagaimana tingkat kedekatan Fatahillah dengan Sunan Gunung Jati baik secara ruhani maupun Nasab.

Tingkat Ruhani dan Nasab seorang Fatahillah jelas tidak perlu diragukan lagi apalagi dia pernah menimba ilmu di Kota Suci Makkah. Menurut PS Sulendraningrat (1975:31) Fatahillah saat di Makkah disamping menunaikan Ibadah Haji dan menimba Ilmu, dia juga bermaksud meminta dukungan dari pihak Makkah dan Baghdad untuk mengusir Bala tentara Portugis di Aceh (Saat Aceh jatuh kepada penjajah Portugis). Mengingat tidak tersedianya kapal-kapal dan perlengkapan alat alat perang dari Makkah dan Baghdad, dan karena terlalu jauhnya, maka Fatahillah akhirnya memutuskan menuju Cirebon dan Demak yang sedang mencapai puncak  kejayaan. Di Demak beliau menjabat sebagai Jenderal Pertama pada tentara Demak. Beliau lebih memutuskan hijrah ke Demak dan Cirebon karena kondisi Aceh saat itu memang sedang dalam cengkraman Portugis. Namun demikian pada saat Aceh belum jatuh ketangan Portugis, Kesultanan Pasai adalah sebuah Negara Islam yang cukup dihormati. Kesultanan Pasai yang merupakan “KawahCandradimukanya beliau dalam menuntut ilmu agama. Saat  beliau masih remaja Kesultanan Pasai memang terkenal sebagai salah satu wilayah peradaban Islam Di Nusantara. Kesultanan Pasai adalah sebuah Kesultanan yang cukup berjaya, bahkan nama Kesultanan Pasai ini masuk dalam catatan Rihlahnya Ibnu Batutah. Kesultanan Pasai pada masa itu memang sangat mengundang minat banyak orang untuk belajar agama Islam disana. Beberapa Anggota Walisongo bahkan banyak yang menimba dan mengajar ilmu disana, seperti Maulana Ishak, Sunan Giri dan Sunan Bonang. Keluarga Besar Azmatkhan pada saat itu banyak yang menetap di Pasai ini termasuk Fatahillah dan ayahnya Maulana Mahdar Ibrahim Patakan. Hubungan Kesultanan ini dengan Kesultanan lain juga di Nusantara tidak kalah mesranya. Kesultanan Pasai sebelum jatuh ketangan Portugis saat itu memang menjadi salah satu bandar niaga yang cukup besar besar dikawasan Asia Tengah. Kesultanan Pasai ini bahkan bisa menahan gempuran Pasukan Majapahit yang akan menganeksasi Pasai menjadi wilayahnya. Keberadaan Kesultanan yang satu ini dahulunya memang sempat berjaya dan dikagumi beberapa manca negara sebelum  akhirnya jatuh ditangan penjajah kafir Portugis.

Kesultanan Pasai tentu memiliki arti bagi Fatahillah, sebagai orang yang cukup dekat dengan wilayah ini, apalagi ayahnya seorang Mufti Kesultanan, maka sudah tentu pendidikan agama Fatahillah tidak perlu diragukan kadarnya. Pasai  menurut Tim ISDN (Dalam Uka Tjandrasasmita, 1997:29), memiliki pengaruh dalam proses dakwah Islamiah Di Jayakarta dan Banten, dengan salah  satu tokohnya adalah Fadhillah Khan yang berasal dari Pasai. Jelas, dari pernyataan ini, Fatahillah adalah figur penting dalam proses dakwah Islamiah di Tanah Jayakarta dan Banten, khususnya ketika beliau menetap di Jayakarta, bahkan menurut Uka Tjandrasasmita (2000:39) bahwa Kota pelabuhan Sunda Kelapa  menjadi kota pelabuhan muslim baru pada sekitar tahun 1527 Masehi berkat direbutnya kota itu oleh Fatahillah atas perintah Sultan Demak (Sultan Trenggono Azmatkhan) dan Sunan Gunung Jati Azmatkhan. Artinya dengan terbentuknya  kota pelabuhan muslim baru, tentu nanti dalam aturan main pelabuhan, perekonomian, dan kehidupan lain akan berlandaskan Syariat Islam ketimbang aturan Portugis yang mencekik, lintah darat dan menindas rakyat.

Beliau tidaklah mengajarkan kekerasan apalagi sampai menjajah dan merampok, jelas beliau ini masuk ke Jayakarta karena Dakwah Islamiah seperti kebiasaan keluarga besar Walisongo. Dalam sejarah yang kami pelajari tentang Metode Dakwah Walisongo, tidak ada satupun dakwah Walisongo melakukan pendekatan dengan peperangan langsung. Peperangan dilakukan untuk pertahanan diri dan untuk mempertahankan serta menyelamatkan agama Islam yang berfaham Ahlussunah Wal Jama’ah dari ekspansi keyakinan lain yang dilakukan dengan cara paksaan dan menindas kepecayaan rakyat yang sudah mantap, khususnya agama Islam. Tidak ada Walisongo mengajarkan kekerasan dan fitnah, yang ada justru keluarga besar Walisongo sering difitnah dalam sejarahnya, mulai dari Raden Fattah, Syekh Siti Jenar, Sunan Kalijaga, dan sekarang Fatahillah!. Aneh...Orang yang berjasa dalam penyebaran agama Islam, justru digambarkan sebagai sosok yang nista dengan dikatakan sebagai pembunuh dan perampok tanah Betawi!.

Gambaran buruk tentang sosok Fatahillah ini ternyata bila kami pelajari bukan hanya dilakukan oleh Ridwan Saidi saja, tapi juga berasal dari penulis sejarah Portugis seperti Joao de Barros dan Diogo do Couto, hal itu diperjelas dalam beberapa tulisan mereka. Sosok penulis sejarah dari Portugis banyak kami dapati diberbagai buku buku sejarah Islam Nusantara. Menurut Claude Guillot  (Dalam Joao de Barros d Diogo do Couto 2008:33) Fatahillah atau Falatehan adalah orang Islam yang telah merebut kota Calapa (Kalapa)/Sunda Kelapa, dan dia adalah orang RENDAHAN yang berasal dari Pasai (lihat kalimat rendahan!). Tidak hanya itu saja dalam tulisan mereka Fatahillah dianggap sebagai PENGKHIANAT karena melarang pembangunan benteng yang sudah disetujui Kerajaan Pajajaran dengan alasan perdagangan. Kenapa Fatahillah merebut Bandar Sunda Kelapa yang saat itu hampir dikuasai Portugis?, karena Fatahillah, Sunan Gunung Jati dan Keluarga Besar Walisongo tahu bahwa motif Portugis datang ke Sunda Kelapa, motifnya bukan berdagang semata, namun untuk menjajah bangsa ini dari semua sektor, Malaka  pada tahun 1511 Masehi sudah mereka rebut, sehingga jalur perdagangan kaum muslim  kacau dan hancur karena monopoli mereka. Jalur Transportasi laut yang strategis yang sering digunakan pelayar muslim mereka blokade dan mereka atur sesuai dengan keserakahan mereka, sehingga distibusi perdagangan Internasional menjadi kacau karena adanya para lintah darat ini. Akibatnya para penguasa Kesultanan-kesultanan yang ada di Nusantara membuat bandar niaga tandingan seperti Banten, Ternate Tidore, Cirebon, Demak, dan Sunda Kelapa. Begitu merajelanya Portugis, akhirnya membuat Kesultanan Demak pada tahun 1518 Masehi menyerang Portugis di Malaka, namun Kesultanan Demak mengalami kekalahan karena kalah dalam hal tehnologi persenjataan dan perkapalan. Kekalahan Kesultanan Demak tentu kedepannya menjadi evaluasi penting bagi keluarga besar Demak, Cirebon, Banten. Persiapan senjata dalam melawan Portugis memang perlu dimatangkan. Kekalahan di Malaka adalah murni karena adanya ketidak seimbangan peralatan perang antara Demak dan Portugis. Kalau ada tuduhan kalahnya Demak karena adanya penghianatan orang Jawa terhadap pasukan gabungan Demak dengan Malaka, seperti yang pernah diutarakan salah seorang dari negeri seberang dibeberapa forum dunia maya, maka itu adalah fitnah terhadap pasukan Demak yang notabenenya banyak berasal dari Jawa. Tidak benar tuduhan tersebut!. Pasukan Demak itu sudah siap lahir batin bertempur melawan Portugis, tidak sepicik itu mereka mau berkhianat kepada sesama muslim, apalagi pemimpin mereka adalah seorang panglima perang yang berwibawa yaitu Patih Unus 2 dan juga Fatahillah. Jadi sekali lagi itu tidak benar.

Yang juga tidak kalah mengejutkan, dan menurut kami aneh adalah tulisan dari Jean Gelma Taylor (2009:1), Jean menulis  bahwa saat pimpinan armada Belanda Cornelis De Houtman sampai di Jacatra/Jayakarta pada tanggal 13 November 1596, kota tersebut masih berupa pelabuhan kecil yang terletak dimuara sungai Ciliwung disebelah barat Laut Jawa. Sunda Kelapa yang telah menjadi Pelabuhan Muslim yang terkenal di berbagai mancanegara, dia katakan pelabuhan kecil, artinya keberadaan Sunda Kelapa tidaklah begitu penting karena dia hanya “pelabuhan” kecil. Padahal dalam Buku Sejarah Pelabuhan yang berjudul “ 25 Pelabuhan Strategis di Indonesia-Pelabuhan Tanjung Priok  nama Fatahillah cukup jelas ditulis,  Informasi 25 Pelabuhan Internasional, Pelabuhan Tanjung Priuk (2006). Sejarah dan Hirarki Peran Dan Status Pelabuhan.

Sumber :

Iwan Mahmud Al Fattah, Fattahillah Mujahid Agung Pendiri Kota Jayakrta, Jakarta: Madawis, 2014.