Senin, 22 Juni 2015

GURU GHANI, WALIYULLAH BESAR BETAWI, GURU PENULIS KITAB AL-FATAWI, BELANDAPUN SEGAN DENGAN KARISMANYA,

Syekh Abdul Ghani namanya......


Beliau adalah salah satu ulama Besar Betawi yang justru jarang diangkat namanya, pada masa lalu kebesaran namanya sangat diakui oleh ulama-ulama besar betawi pada masanya, dari mulai Habib Usman bin Yahya, Habib Ali Kwitang, Habib Ali Bungur, Guru Marzuki, Guru Mansur Sawah Lio, KH Idham Kholid dan Wapres Adam Malik bahkan mengetahui kebesaran nama beliau melalui hubungan mereka dengan anak-anak Syekh Abdul Ghani, keberadaan beliau dapat kami katakan merupakan salah satu Paku Ulama bersama dengan beberapa ulama karismatik Betawi lain, Insya Allah ulama-ulama karismatik Betawi yang pada masanya  pasti mengenal beliau, juga tidak lupa murid sekaligus keponakannya, siapa lagi kalau bukan KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma. Bagi masyarakat Betawi Asli yang usianya 75 tahun dan tinggal di kawasan Pulo Gadung Jakarta Timur, Insya Allah mengenal nama Besar ulama yang karismatik ini. Bahkan menurut salah satu keterangan cicitnya, Habib Husein bin Umar bin Hud Al-Attas dari tanah 100 Tanjung Barat pernah mengatakan bahwa Syekh Abdul Ghani adalah seorang Wali Besar pada masanya. Salah seorang Dosen di Al-Azhar juga pernah sangat kagum dan juga mengatakan bahwa Ilmu Syekh Abdul Ghani itu sangat tinggi dan dalam ketika mengetahui salah seorang mahasiswanya yang berasal dari Indonesia mendatangi salah satu anak Syekh Abdul Ghani untuk membuat sebuah tulisan mengenai Tafsir Bismillahirrahmanirrahim, dan sang mahasiswa AL Azhara itu dalam membuat tafsir bismillah bersandarkan sanad dari Syekh Abdul Ghani yang dipegang oleh salah satu anaknya.Sehingga akhirnya orang tersebut berhasil meraih gelar Lc nya. Pernah pula KH Idham Kholid mencari sebuah doa dari Al-Fatehah yang ada sanadnya, setelah sekian lama mencari justru beliau mendapatkan informasi di Mekkah bila salah satu pemegang sanad doa tersebut ada di Jakarta, KH Idham Kholid sangat terkejut, dan akhirnya kemudian bertemu dengan salah satu anak Syekh Abdul Ghani dan kemudian akhirnya berhasil mendapat ijazah sanad doa tersebut, serta masih banyak lagi kelebihan beliau.

Syekh Abdul Ghani atau Wan Ghani atau Pangeran Abdullah Ghoni adalah cucu seorang Ulama Besar Betawi Kayu Putih Tanah Tinggi Jakarta Timur (kini daerah tersebut menjadi Pacuan Kuda Pulo Mas) yang bernama Datuk Kidam. Ayahnya bernama Pangeran Abdullah Syafi'i yang juga merupakan seorang ulama. Datuk Kidam sendiri adalah orang pertama yang mendirikan Pondok Pesantren di Kayu Putih Tanah Tinggi (kini sudah tiada). Datuk Kidam ini juga sama alilmnya dengan Syekh Abdul Ghani. Pada masa itu atau pertengahan abad 19 daerah Kayu Putih Tanah Tinggi terkenal dengan hasil buminya yang makmur, sehingga banyak orang menyebutnya sebagai sebuah KAMPUNG INDAH NEGERI DONGENG karena begitu suburnya hasil bumi di sana.

Syekh Abdul Ghani sendiri menurut cicitnya lahir tahun 1800 dan wafat tahun 1933 Masehi. Dan dalam hidupnya beliau terkenal sebagai waliyullah yang penuh dengan karomah-karomah besar (sudah pernah saya tulis kisah karomah beliau).

Kayu Putih Tanah Tinggi disamping sebagai sebuah daerah yang makmur, ternyata didalamnya banyak menyimpan sebuah aktifitas yang jarang diketahui penjajah kolonial. Di Dalamnya ternyata banyak terdapat para pejuang-pejuang Jayakarta serta ulama-ulama yang karismatik yang dikagumi masyarakat Betawi saat itu seperti Syekh Abdul Ghani ini. Para Mujahidin Jayakarta dan juga para Jawara sering sekali mendatangi ulama karismatik ini untuk meminta doanya, termasuk misalnya Haji Darip dari klender, yang merupakan salah satu pendekar Betawi yang "keras kepala" dimata penjajah belanda dan  berasal dari kawasan Klender Jakarta Timur.

Tidak diketahui pernah dimana Syekh Abdul Ghani ini belajar dan siapa saja gurunya, hanya berdasarkan uraian anaknya dan juga cicitnya, Syekh Abdul Ghani ini pernah belajar di Aceh dan kemungkinan besar juga pernah belajar di Mekkah karena beliau sempat berapa kali naik haji dan tidak langsung pulang ke Indonesia. Medan  dakwahnya ternyata tidak hanya di Betawi, beliau juga sering berkeliling Nusantara seperti Aceh, Sumatra Utara, Palembang,  Jawa Barat , Jawa Tengah, Jawa Timur, dll.  Sekalipun beliau sering berkeliling Nusantara dan juga pernah belajar di Aceh dan juga beberapa daerah lain, kepribadian beliau ini sangat tertutup sekali. Beliau tipikal ulama yang mastur. Kehidupan dunianya betul-betul sudah dibuang jauh, beliau lebih banyak mendalami dunia makrifat, dapat dikatakan pola kehidupan beliau ini Zuhud dan wara. Syekh Abdul Ghani betul-betul bukan tipikal ulama dunia, beliau ini hidupnya seperti Uwaish Al-Qorni, di dunia jarang dikenal orang namun ketika wafat ribuan orang tumpah ruah mendatangi jasadnya.

Begitu tertutupnya jati diri Syekh Abdul Ghani, nasabnyapun sengaja beliau simpan, sehingga tidak banyak orang yang mengetahuinya kecuali orang-orang terdekatnya saja seperti anak dan juga muridnya yaitu KH Ahmad Syar’i Mertakusuma. Maqom beliau ini sudah bukan membicarakan  nasab, namun beliau lebih senang bicara tentang makrifatullah, dimata beliau membicarakan nasab dikhawatirkan akan menciptakan rasa sombong kepada anak cucunya, beliau lebih menekankan akhlak dan ilmu. Sehingga tidaklah mengherankan jika sampai saat ini nasab asli beliau hingga kepada Rasulullah SAW tidak banyak yang tahu, termasuk mungkin cucu-cucunya, padahal sejatinya beliau adalah seorang Sayyid, namun itulah Syekh Abdul Ghani, beliau sudah terlalu dalam untuk "tenggelam" dalam dunia makrifatnya, sehingga buat beliau nasab cukup disimpan dan biarlah orang lain yang tahu sendiri tanpa harus beliau membuka diri siapa beliau sesungguhnya.

Dimata Kyai Ahmad Syar’i Mertakusuma, Syekh Abdul Ghani ini bukanlah orang biasa dan bisa dikatakan beliau ini orang yang berjasa pada hidup KH Ahmad Syar’i Mertakusuma. Pada saat KH Ahmad Syar’i mendapatkan tekanan dari Belanda dan pengkhianatan dari oknum bangsa sendiri, Syekh Abdul Ghani inilah yang menyuruh Beliau untuk mengembara dan hijrah untuk belajar dan memperkuat jaringan perjuangan dengan berangkat Ke Aceh, Malaysia, Medan, Palembang dan daerah-daerah lain. Bahkan Syekh Abdul Ghani mewanti wanti kepada KH Ahmad Syar’i agar segera bersiap-siap menghadapi perubahan zaman pada masa itu, terutama pada ajaran Islam yang mulai banyak ditinggalkan sebagian kaum Betawi, oleh karena itu KH Ahmad Syar’i diwanti-wanti untuk terus berjuang dalam menegakkan kehormatan Islam di tanah Betawi, sayangnya KH Ahmad Syar’i akhirnya wafat di Palembang.

Syekh Abdul Ghoni memang mastur (tersembunyi) namun kisah beliau yang penuh dengan karomah sampai saat ini masih terus dikenang masyarakat Kayu Putih. Riwayatnya memang jarang yang menulis, termasuk anak cucunya, mungkin mereka merasa segan untuk menulis riwayat datuknya tersebut, namun bagi saya dengan mengucap “Bismillah” riwayat Syekh Abdul Ghani sudah saatnya  harus diketahui khalayak ramai, karena beliau adalah ulama Besar yang wajib kita kenang jasanya, khususnya bagi Kaum Betawi di Jayakarta.

Makam Syekh Abdul Ghani sampai saat ini jarang yang mengetahui, karena memang sejak dahulu Syekh Abdul Ghani atau Wan Ghani atau Guru ini tidak senang akan popularitas, sehingga beliau berpesan agar makam beliau tidak dikultuskan. Masjid Al Ghani yang mengambil namanya sampai sekarang masih kokoh, sekalipun bukan ditempat yang aslinya, karena tempat aslinya telah digusur oleh pemerintahan Ali Sadikin di tahun 1971 sehingga menjadi Pacuan Kuda dan saat ini sebagian besar sudah menjadi apartemen, sehingga akhirnya banyak menyebabkan makam-makam para Syuhada Jayakarta dibongkar dan dipindah ketempat sekarang yaitu daerah Kayu Putih Utara Jakarta Timur, termasuk juga makam beliau!. Namun tanah tempat dibongkarnya masjid serta makam-makam para syuhada tersebut sampai saat ini tidak bisa dibangun apapun dan saya sudah melihat tanah tersebut yang sampai saat ini entah siapa yang memilikinya. Sepertinya tanah tersebut menjadi saksi bisu bahwa disitu pernah hidup ulama besar Betawi yang Penjajah Belanda saja sangat segan dan tidak pernah berani mengutak atik kehidupan seorang Syekh Abdul Ghani. Tidak heran jika pada masa itu banyak para pejuang Jayakarta yang berlindung di bawah lindungan  ulama mastur Betawi ini.

Syekh Abdul Ghani/Wan Gani/Guru Gani/Pangeran Abdullah Ghoni wafat di tahun 1933 setelah sebelumnya beberapa saat sempat bertemu secara rahasia dengan KH Ahmad Syar’i Mertakusuma dan banyak memberikan nasehat dan juga petuah petuah penting. Beliau wafat dalam keadaan mengagumkan, setelah berzikir sesaat, beliau wafat dengan tenang dan ternyata setelah  tidak lama wafat, jasadnya sangat harum semerbak, sehingga banyak orang merasa  tanda tanya dari mana asal bau harum tersebut,  bahkan seorang dokter sampai harus menciumnya tubuh beliau karena ingin mengetahui keharuman tubuhnya. Ribuan orang berdatangan ketempat beliau dan berebut untuk mengambil barokah dari jasad beliau. Orang yang memandikan beliau adalah Habib Ali Kwitang sampai kepada proses penyolatannya. Ulama-ulama besar Betawi lain berkumpul dikediaman beliau Tanah Tinggi Kayu Putih dan silih berganti menyolati beliau. Begitu membludaknya jamaah pada waktu itu hingga beberapa peralatan pribadi beliau hilang karena banyaknya orang ingin memiliki beberapa peninggalan beliau.

Salah satu anak beliau saat ini masih hidup bernama KH Murtadho berusia 91 tahun. Dari beliaulah kami banyak mendapatkan riwayat tentang Syekh Abdul Ghani.

Syekh Abdul Ghani sudah lama wafat namun kebesaran beliau sebagai Waliyullah masih terus dikenang oleh mereka yang mencintai ulama ditanah Betawi, tanah yang diberkahi oleh Allah karena bertaburan para Waliyullah khususnya Syekh Abdul Ghani ini.

Semoga kebesaran seorang Syekh Abdul Ghani  menjadi uswah bagi kita semua...amin......

Sumber :

Wawancara Langsung dengan KH Murtadho bin Guru Mahmud Syekh Abdul Ghani di Masjid Al Ghoni Kayu Putih, tanggal 14 Juni 2015 di Masjid Al Ghoni.
Wawancara Langsung  dengan Ustadz Rozaq, cucu KH Murtadho bin Syekh Abdul Ghani, tanggal 6 Juni 2015 Via Telpon.