Tulisan ini saya kutif dari buku yang saya tulis “FATTAHILLAH MUJAHID AGUNG KOTA JAYAKARTA”
Beberapa tahun ini dalam beberapa tulisan mengenai sejarah Jakarta, ada sebuah fenomena yang mengejutkan, dimana salah seorang budayawan yang bernama Drs.Ridwan Saidi mempermasalahkan tentang munculnya tanggal 22 Juni sebagai hari lahirnya kota Jakarta. Kami sendiri pada awalnya tidak mempermasalahkan hal tersebut, karena tanggal itu memang perlu dikaji ulang kembali, apalagi harus kami akui beliau ini memang sangat konsen terhadap tanah tumpah darahnya itu, Engkong Ridwan ini juga kami anggap sebagai orangtua yang cukup berjasa dalam mempertahankan eksistensi Budaya Betawi, kamipun banyak mengoleksi buku-buku yang beliau tulis seperti Profil Orang Betawi, Babad Tanah Betawi, Orang Betawi Dan Modernisasi Jakarta, dan beberapa lagi yang saya lupa. Namun yang membuat kami terkejut adalah ketika beliau secara berani menggugat eksistensi tokoh Fattahillah yang merupakan pendiri dari Kota Jakarta. Dengan bahasanya yang menurut kami sangat tidak bijak, beliau seringkali melontarkan berbagai pernyataan yang menyakitkan tentang sosok Fattahillah dan itu pernah kami saksikan dan kami dengar sendiri pada bulan April 2015 pada saat seminar sejarah di UIN Syahid.
Pokok masalah yang sering diungkap Drs. Ridwan Saidi adalah tentang sepak terjang Fattahillah dalam mengambil alih wilayah Sunda Kelapa. Hanya yang mungkin membuat miris kami, sikapnya terhadap Fattahillah betul-betul sangat subyektif sekali. Di berbagai forum dengan entengnya beliau mengatakan bahwa Fattahillah adalah pembunuh orang Betawi. Sesuatu yang menurut kami perlu dikaji ulang kembali kebenarannya.
Drs. Ridwan Saidi sering mengatakan bahwa Fatahillah itu datang ke Jakarta bukan menyelamatkan Betawi tapi justru merampok dan menjajah Betawi! Benarkah ini keluar dari pernyataan dari seorang sejarawan yang beberapa tahun lalu diberi penghargaan sebagai Sejarawan Dan Budayawan Betawi oleh Universitas Kebangsaan Malaysia.
Mengenai cerita tentang Fattahililah yang katanya membunuh 3000 orang Betawi/kalapa, dari mana asal cerita itu ? dari cerita rakyat yang mana? dari sumber penduduk asli bogor mana yang mengatakan jika perang antara Fatahillah dengan Portugis jadi perang antara Betawi dan Fatahillah?
Terjadinya perang antara Fatahillah dengan Portugis di Sunda Kelapa, itu karena Fatahillah justru akan menyelamatkan Sunda Kelapa dari permainan politik licik Portugis dengan pihak penguasa Pajajaran. Fatahillah datang untuk menyelamatkan, bukan melakukan aneksasi atau mencaplok seperti dalam tulisan Ridwan Saidi (2002:66).
Dalam latar belakang adanya peristiwa tersebut, Sagimun (1988:44) menulis bahwa pada tanggal 21 Agustus 1522 Masehi telah terjadi perjanjian “persahabatan” dan perjanjian itu termaktub dalam sebuah batu besar yang disebut batu PADRAO. Menurut Ridwan Saidi, dalam perjanjian itu ada tulisan latin dan tulisan Arab dengan Khot yang indah. Menurut kami ini tidaklah aneh, karena pemakaian tulisan bahasa arab saat itu memang sudah biasa dilakukan daerah daerah yang berada pada kekuasaan Kesultanan Islam. Huruf Latin sendiri muncul dari bersamaan dengan timbulnya penjajahan terhadap daerah daerah Timur, diantaranya pulau-pulau Timur Jauh. Penjajah tidak mampu menjadikan huruf-huruf yang dibawa dari Barat sebagai hurup ganti huruf Arab kecuali setelah seperempat abad pertama dari abad 20. Pada masa lalu pemakaian huruf arab memang sudah tersebar luas, apalagi pada masa itu banyak peradaban Islam yang telah tersebar luas diberbagai negara termasuk Indonesia. Pada saat di Indonesia Hurup Arab memiliki banyak nama, disumatra dinamakan huruf Melayu, di Malaysia disebut huruf Jawi, dan di Jawa dinamakan Huruf Pegon dan huruf arab. Karena bahasa memiliki kedudukan yang tinggi, maka kitab-kitab biasanya ditulis dengan bahasa dan huruf arab. Bahkan mata uang Dinar Dirham yang digunakan Walisongo isinya tulisan bahasa Arab. Koin-koin uang pada Majapahit bahkan menggunakan Bahasa Arab. Pemakaian bahasa dan tulisan Bahasa Arab memang pada lalu sangat menginternasional. Hal Tersebut terus berlangsung hingga masa penjajahan. Pemerintah Belanda bahkan tidak berani menghapuskan huruf arab dengan kekuatan atau paksaan, bahkan mata uang yang beredar didaerah jajahannya, yaitu Hindia Belanda, diatasnya tertulis huruf Arab dengan tulisan yang indah. Jadi tulisan yang berisi perjanjian dibatu yang dinamakan Padrao itu tidaklah aneh dan istimewa. Isi perjanjian itu sendiri dalam tulisan Sulasman (2008) berbunyi :
1.Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Sunda Kelapa.
2.Untuk kapal Portugis yang datang, akan diberi muatan lada kemudian harus ditukar oleh pihak Portugis dengan barang-barang yang dibutuhkan oleh Pajajaran.
3.Pada saat benteng mulai di bangun, pihak Pajajaran akan menyerahkan 1000 Karung lada tiap tahun, dan harus ditukar dengan keperluan Pajajaran sebanyak 351 Kwintal.
Terlepas apa maksud dan isi selanjutnya perjanjian terselubung itu, Portugis memang dalam setiap penjajahannya selalu meninggalkan sebuah tanda agar nanti kelak mereka diingat. Tim ISDN (1997:164) menulis bahwa Padrao ini merupakan gagasan D. Jao II sebagai pengumuman kepada dunia atas penemuan dan pemilikan daerah-daerah baru oleh Portugal atau Portugis ini. Artinya keberadaan Padrao memang sudah dipersiapkan untuk setiap tempat yang akan mereka jajah. Dan bentuk Padrao ini adalah tinggi 2, 5 meter, berat setengah ton dan mempunyai kapiteel (bagian atas dari sebuah tiang) yang dimahkotai oleh sebuah SALIB. Selain dibatu Padrao ini ternyata lambang Salib ini juga banyak digunakan pada kapal kapal laut Portugis pada masa itu, dan itu juga sudah kami buktikan dengan melihat di Musium Sejarah Jakarta dimana terdapat replika kapal-kapal laut Portugis yang layarnya banyak terdapat lambang-lambang salib berwarna merah. Menurut Marzdedeq (2005:294) pada abad ke XVI Masehi terkenallah kapal-kapal Spanyol dan Portugis yang bergambar Salib pada layarnya. Pertama sebagai tanda bahwa pelayaran itu membawa tugas suci Yesus Kristus dan kedua mereka juga percaya bahwa lambang-lambang Salib itu dapat mengusir hantu dilaut.
Dalam batu Padrao, lambang Kerajaan Portugal dipahatkan pada salah satu kapiteel. Juga dipahatkan dua buah tulisan, satu bahasa Portugis dan yang lain lain dalam bahasa Latin, yang menyebutkan nama Raja Portugal yang sedang memerintah, tahun penemuan, dan pemimpin yang mendirikannya. Peninggalan Batu Padrao terdapat di Museum Nasional dan itu adalah asli. Kami sendiri sudah pernah kesana pada hari Sabtu tanggal 28 September 2013, namun ternyata saat itu gedung Musium Nasional sedang direnovasi sehingga kami sangat kecewa sekali, namun sesampainya di Musium Sejarah Jakarta di Kota Lama, kami justru melihat replika Batu Padrao ini, paling tidak ini bisa membuat kami tahu bagaimana sebenarnya bentuk batu Padrao ini sebenarnya. Pada Batu Padrao terdapat tulisan dan simbol bola dunia Raja Manuel dari Portugis yang berarti Portugal adalah “Tuan dari segala dunia”. Prasasti ini merupakan tanda perjanjian perdagangan antara Kerajaan Sunda Pajajaran, sebagai penguasa pelabuhan Sunda Kelapa, dan armada Portugis. Bertanggal 21 Agustus 1522 Masehi, tulisannya menggunakan aksara Gotik dan berbahasa Portugis. Perjanjian ini dibuat oleh utusan dagang Portugis dari Malaka yang dipimpin Enrique Leme dan membawa barang-barang untuk “Raja Samian” (maksudnya Sanghyang, yaitu Sang Hyang Surawisesa, raja Sunda 1521-1535 Masehi). Batu Padrao ini menurut Tim Penyusun Musium Sejarah Jakarta (2012:60) ditemukan di sudut antara Jalan Cengkeh dan Jalan Nelayan Timur (dulu Prinsen Straat dan Groene Straat), Jakarta Kota tahun 1819 Masehi, tempat ini mungkin merupakan Kota Jakarta Lama.
Menurut Sayyid Alwi Al Haddad (2001:125), setelah peperangan yang dahsyat antara Malaka dan Portugis tahun 1511 Masehi, pemimpin Portugis yang bernama Alfonso L’Buquerque berpidato dihadapan pasukannya dengan mengatakan : “Jika kita mampu mengusir orang-orang arab dari negeri ini berarti kita benar-benar telah menunaikan ibadah kepada ALLAH karena ajaran ajaran Muhammad akan padam selama lamanya, saya yakin jika kita dapat menguasai daerah ini, maka Makkah dan Mesir akan menjadi daerah yang kering, sepi dari para penduduk”. Perhatikan isi dari Pidato ini! sudah jelas jika kedatangan Portugis ke Nusantara, salah satunya misi keagamaan. Pernyataan diatas ini bahkan lebih lengkapnya sudah masuk dalam buku Ensiklopedia Sejarah Islam yang disusun oleh Tim Riset Dan Studi Islam Mesir (2013:375-376) dimana isi dari Alfonso L’Buquerque ini berbunyi “Hal pertama yang kita lakukan adalah pengabdian yang agung kepada Tuhan jika kita ingin mengusir kaum muslimin dari negeri ini (Malaka) ini dan memadamkan api Kelompok Muhammad agar selamanya tidak muncul lagi. Sungguh aku sangat antusias untuk meraih hasil itu. Jika kita bisa meraihnya maka kaum Muslimin akan meninggalkan seluruh Hindustan bagi kita. Sebagian besar Umat Islam, bahkan mungkin semuanya, mencari nafkah dengan berdagang di negeri (Malaka) ini. Merekapun menjadi kaya raya. Adalah Malaka Pusat perdagangan utama mereka. Dari sini mereka memindahkan segala rempah-rempah dan bahan-bahan obat setiap tahun kenegeri mereka tanpa bisa kita cegah. Apabila kita bisa menghalangi mereka dari pasar tua (Malaka) ini maka tidak ada satu pelabuhan atau stasiunpun yang cocok di seluruh kawasan ini untuk melanjutkan perdagangan mereka. Kutegaskan kepada kalian bahwa jika kita bisa merebut Malaka dari tangan mereka maka Cairo akan runtuh. Dan pada akhirnya Makkah akan runtuh, Setelah itu, Venesia harus mengirim para pedagangnya ke Portugis apabila ia hendak membeli rempah-rempah “
Hal lain yang kurang difahami oleh banyak orang, bahwa dalam sejarah Portugal atau Portugis ini, mereka itu memang bertujuan meruntuhkan pelayaran Arab kemudian meruntuhkannya sehingga akhirnya Baratlah yang menjadi penguasanya. Kenapa mereka berusaha meruntuhkan pelayaran Arab yang memang sejak dulu terkenal sebagai pelaut tangguh, itu karena tujuan pelayaran dalam dunia arab kebanyakan didominasi untuk penyebaran dakwah Islam melalui jalur perdagangan, diplomatik, politik dan lain-lain. Dan salah satu pelaut-pelaut yang terkenal tangguh adalah keluarga besar Alawiyyin yang berasal dari Hadramaut. Penyerangan ke Malaka tentu juga sudah dipelajari Portugis. Saat itu memang yang berkuasa adalah keluarga besar Azmatkhan yang notabenenya adalah Alawiyyin yang leluhurnya dari Hadramaut. Penyerangan Portugis pada para pelaut-pelaut Islam bahkan sudah lebih dulu dilakukan pada awal abad ke 10 hijriah. Armada-armada Portugis mengarungi laut-laut dari pantai India sampai ke pantai-pantai Afrika, terus kepantai-pantai Hadramaut, demikian menurut Sayyid Alwi Al Haddad (2001:158).
Laut-laut yang dilewati oleh Armada Portugis adalah tempat lalu lalangnya orang Hadramaut. Kapal-kapal Hadramaut dan Al Mahrah seringkali berpapasan dengan kapal-kapal Portugis sehingga terjadi peperangan dahsyat antara mereka. Artinya keberadaan Portugis untuk meruntuhkan Islam yang dibawah oleh Arab Hadramaut dalam hal ini kaum Alawiyyin memang sudah direncanakan dengan matang. Dan salah satu target utama mereka adalah Nusantara yang memang banyak Arab Hadramautnya terutama kalangan Alawiyyin yang kebetulan saat itu didominasi keluarga besar Azmatkhan.
Sadarkah Pajajaran dengan adanya perjanjian ini? Sadarkah Pajajaran akan arti sebuah Batu Padrao??? Ah, kami pikir Pajajaran juga pasti tahulah adanya Simbiosa Mutualisme(kerjasama yang saling menguntungkan) ini. Batu yang dinamakan Padrao ini adalah misiPENJAJAHAN!!!. Portugis adalah musuh besarnya Kesultanan Islam, sejak dulu bahwa Kerajaan Katolik Portugis selalu berperang melawan orang-orang Islam yang pada masa itu menguasai Afrika bagian Utara, benua Amerika, dan Asia dan ini memang sesuai dengan misi mereka Gold, Glory, Gospel, artinya emas, kejayaan dan penyebaran Injil.Adanya perjanjian licik dengan dalih perdagangan menyebabkan Raja Pajajaran pada masa itu tidak mengizinkan orang Islam masuk kepelabuhan Sunda Kelapa, kalaupun ada, hanya beberapa saja yang diizinkan. Sikap ini juga pernah diterapkan Prabu Anggalarang yang tidak mengizinkan Syekh Quro untuk menyebarkan agama Islam, sehingga akhirnya Syekh Quro kembali ke Champa, siapa bilang Syekh Quro dilindungi ? awalnya justru beliau terusir dari Karawang, sehingga beberapa tahun baru bisa kembali lagi, itupun beliau dilindungi karena murid beliau sudah menjadi istri Prabu Siliwangi, Iwan Mahmud (2013).
Adanya perjanjian antara Pajajaran dan Portugis tentu sangat mengancam eksistensi Dakwah Islamiah, apalagi sejarah panjang dan sejarah kelam dari kerajaan Portugis sudah diketahui Walisongo. Keluarga Walisongo itu cukup faham dan tahu persis siapa sebenarnya Portugis ini. Walisongo adalah ulama yang juga mengerti dunia politik, ketatanegaraan, hukum, sejarah, budaya, perdagangan, dll. Jadi begitu Portugis masuk Sunda Kelapa, sudah tentu ini niat bangsa ini sudah diketahui keluarga besar Walisongo.
Isi dari perjanjian diatas itu adalah bahwa orang Portugis dizinkan untuk membuat benteng dipelabuhan Sunda Kelapa. Apakah anda tahu fungsi benteng yang berada dipinggir pantai bagi penjajah? Oh sangat penting dan vital!. Modus pertama mereka memang membuat benteng untuk perdagangan, namun lama-kelamaan benteng itu akan digunakan sebagai kekuatan militer penuh untuk menghabisi musuhnya dari dalam, dan ini terbukti dibeberapa wilayah, seperti Malaka, Ternate, dan negara-negara jajahan mereka. Dengan kedok perdagangan mereka membuat strategi dengan cara membuat benteng, dan hal ini juga sama dengan Belanda yang berkedok sebagai lembaga perdagangan, padahal misinya tidak jauh berbeda dengan kerajaan Portugis. Menurut Adeng, dkk (1997:23) bahwa Perjanjian antara Portugis dengan Pajajaran yang saat itu rajanya bernama Prabu Sangyang Ratu Sunda itu masing masing punya kepentingan, yang satu (Pajajaran) merasa terancam dari orang orang Islam, terutama dari orang orang Banten, dan yang satu (Portugis) lagi membutuhkan lada untuk kepentingan mereka.
Kami fikir kekhawatiran keluarga besar Walisongo, mulai dari Cirebon, Banten, Demak itu wajar, mengingat Portugis ini memang terkenal licik, kalau sampai Sunda Kelapa jatuh ketangan mereka, sudah pasti nasibnya tidak jauh berbeda dengan Malaka yang akhirnya dunia perdagangannya mundur, karena ulah Portugis yang kapitalis, materiastis dan lintah darat. Adanya penguasaan bandar niaga memang saat itu sangat strategis untuk dikuasai secara dunia maritim, politik, ekonomi, komunikasi, agama dan juga sektor-sektor lain. Menurut Mursidi (2007) bahwa Basis kekuasaan Imperium Portugis ini terletak pada :
1. Penguasaan akan tempat-tempat strategis untuk perdagangan seperti: Goa, Malaka, Ternate dan Macao.
2. Portugis mengandalkan kecepatan gerak kapal-kapalnya yang berbadan langsing dan dilengkapi dengan alat Meriam sebagai senjata andalannya.
3. Perlu dipertimbangkan bahwa rute pelayaran perdagangan yang dikuasai oleh Portugis itu belum ramai dan jaraknya amat panjang serta sangat didominasi oleh peran angin musim yang bertiup dua kali setahun dengan arah yang berlawanan.
Adanya kekuatan diatas tentu membuat Portugis bisa berjaya dalam hal wilayah dan perlengkapan-persenjataan, nah berkaca dari kegagalan penyerangan Demak ke Malaka, maka sudah tentu Kesultanan Demak dan kawan kawannya itu tidak akan mengulangi lagi kegagalan itu. Direbutnya Bandar Niaga Sunda Kelapa bukan berarti niat dari penyerbuan itu adalah harta dan kekuasaan (politik), namun semata mata itu jihad karena Allah, masa-masa ini adalah masa kritis, karena Islam berhadapan dengan kerajaan-kerajaan Eropa yang memang saat itu sangat membenci Islam sampai keakar-akarnya. Harus difahami kondisi saat itu, Eropa baru saja keluar dari “kegelapan”. Dan setelah itu mereka merasa paling hebat, mereka menunjukkan dirinya dalam bentuk penjajahan kalaupun ada pendapat seperti Edi S Ekajaya (2004:28) yang mengatakan bahwa masalah keagamaan sering ditunggangi kepentingan kekuasaan (politik) seperti yang terjadi pada konflik Banten (1526) dan Kalapa (1527) namun diakhir pernyataannya, ia juga menulis karena itu menyangkut keamanan dan keselamatan negara. Faktor politik memang jelas ada, namun politik yang seperti apa dulu ? Apakah kehidupan politik saat itu sama seperti sekarang? Apakah politik pada masa itu menjadikan halal jadi haram, yang haram jadi halal, apakah politik pada masa itu memakai prinsip “tidak ada kawan sejati, tidak ada musuh yang abadi”, apakah politik saat itu idiologi “terselubungnya” wajib berbohong?, apakah saat itu wajah politik Walisongo ala Machiaveli? Keluarga Besar Walisongo adalah keluarga yang mengerti dan faham bahkan mempraktikkan kehidupan politik, namun politik yang mereka terapkan tidak hanya untuk kekuasaan semata, politik mereka adalah politik cerdas, santun dan beretika, politik mereka adalah politik untuk kepentingan rakyat bukan golongan. Sekalipun mereka mampu menjalankan peran sebagai politikus, namun mereka tetap lebih konsen dalam bidang Dakwah Islamiah, politik hanya salah satu cara strategi dalam berdakwah. Cara-cara lain masih banyak yang Walisongo terapkan. Kebetulan saja, pada saat terjadi penyerbuan itu Fatahillah yang menjadi panglima yang notabenenya anggota Walisongo periode ke 4. Kita harus tahu bahwa keluarga besar Walisongo multi talent, Sunan Kudus, beliau disamping Alim, beliau adalah Panglima Militer Kesultanan Demak, Budayawan, Ahli Fiqih, Ahli Nasab, Politikus, ahli tata negara, dll. Sunan Gunung Jati, disamping sebagai Sultan Cirebon, juga ahli tatanegara, budayawan, politikus, dll. Dua wali ini hanya perwakilan dari wali-wali yang lain.
Mengenai penyerangan ke Sunda kelapa, itu justru karena hasil analisis Fatahillah yang terbilang cerdas. Pengalaman adalah guru terbaik pada diri Fatahillah, pada penyerangan tahun 1511 dan 1521 Masehi yang dilakukan oleh Kesultanan Demak dibawah pimpinan Patih Unus 2 (menantu Raden Fattah), penyerangan ini mengalami kegagalan karena kurang modernnya persenjataan Kesultanan Demak serta penghianatan beberapa oknum, saat itu Fatahillah juga ikut terlibat, namun setelah Patih Unus 2 meninggal Syahid di tahun 1521 dan Tentara Demak mengalami kekalahan, Fatahillah memilih mundur dan kembali ke Demak dan Cirebon. Namun pada penyerangan pada tahun 1527 Fatahillah berhasil merebut Sunda Kelapa karena sudah mengetahui titik lemah Portugis. Portugis yang saat itu lengah memang tidak menyangka jika mereka akan kalah, karena mereka merasa sudah percaya diri bahwa Sunda Kelapa akan jadi milik mereka, apalagi mereka merasa sudah melakukan perjanjian dengan Kerajaan Pajajaran, namun Fatahillah dengan gabungan pasukan dari Demak, Banten dan Cirebon berhasil memotong jalur masuk Armada Portugis yang tidak menyadari jika Sunda Kelapa sudah berhasil terlebih dahulu dikuasai oleh pasukan Islam, sehingga pada saat pasukan Portugis masuk ke Sunda Kelapa, maka pasukan Islam langsung menghalau dan mengusir mereka. Pasukan Portugis tentu syok, karena kedatangan mereka sudah terlebih dahulu “dipotong” oleh Pasukan Islam. Terjadilah peperangan yang cukup sengit diperairan Teluk Sunda Kelapa itu yang mengakibatkan kekalahan Pasukan Portugis dibawah pimpinan Fransesco De Sa. Mau tidak mau Pasukan Portugis akhirnya kembali ke Malaka dengan rasa malu karena gagal mengusai Pelabuhan Sunda Kelapa.
Sumbangsih Fatahillah ini sebenarnya tidak hanya pada peristiwa tahun 1527 ini saja, menurut Tubagus Rafiudin (2006:23) Fatahillah juga berjasa dalam menyebarkan agama Islam dan juga penahlukan penahlukan wilayah kekuasan demi dakwah Islamiah, seperti :
- Membantu Kesultanan Demak tahun 1500 Masehi
- Menyebarkan Islami didaerah Karawang tahun 1520 Masehi
- Menahlukkan Sumedang dan Sebagian Karawang, Banten Girang, tahun 1524 Masehi
- Merebut Banten dari Kerajaan Pakuan Pajajaran tahun 1526 Masehi.
Direbutnya Banten Girang ini juga semata-mata karena penguasanya Pucuk Umun (yang dibela oleh Ridwan Saidi) telah berkolaborasi dengan Portugis. Pertanyaannya apakah perebutan wilayah Banten Girang ini sebegitu seramnya sehingga Ridwan juga sinis pada periode ini, padahal pada penakhlukan ini pihak Cirebon yaitu Sunan Gunung Jati, Sultan Trenggono (Demak) ikut andil dalam penahlukkan wilayah ini. Perkara Pucuk Umun adalah mertua Sunan Gunung Jati, itu adalah urusan lain, hubungan mertua menantu tetaplah dijaga, namun bila sudah menyangkut urusan Negara apalagi berkaitan penyimpangan politik yang berhubungan dengan Islam, ya siapapun harus tegas, apalagi Portugis niat menjajah semata-mata bukan hanya berdagang tapi misi misionaris, tentu hal ini harus diwaspadai, lagipula apakah memang benar penahlukkan itu disertai tindakan tindakan anarkis dari pihak Fatahillah? Toh kenyataannya banyak pasukan Banten Girang yang dia libatkan dalam penahlukan Sunda Kelapa. Setiap Penahlukkan biasanya didahului dengan seruan baik-baik, namun apabila seruan itu tidak ditanggapi dengan baik, maka peperangan adalah jalan terakhir, itupun dilakukan dengan kondisi terpaksa. Lagipula jatuhnya Banten Girang kepada Tentara Gabungan Islam, karena adanya bantuan Ki Jongjo, salah seorang petinggi kota yang menjadi mualaf dan memihak kepada pasukan Islam, Claude Guillot (2008:20). Kami fikir direbutnya Banten adalah hal yang wajar, karena Banten saat itu juga merupakan kota yang sangat penting bagi kerajaan Pajajaran, menguasai Banten akan lebih mudah nantinya menguasai Sunda Kelapa.
- Merebut Sunda Kelapa dengan tentara Gabungan Cirebon Dan Demak tahun 1527 Masehi.
- Menahlukan Kerajaan Galuh tahun 1530 Masehi.
- Melakukan Penahlukan Ke Jawa Timur bersama Sultan Trenggono tahun 1546 Masehi.
- Mewakili Sunan Gunung Jati dengan melakukan Dakwah diwilayah Pajajaran sampai dengan daerah Ciamis dan Bandung.
Adapun Kronologis penyerbuan Fatahillah ke Sunda Kelapa seperti yang diceritakan Oleh Ahmad Fadli (dalam Edi S Ekajati, 2010:43) adalah sebagai berikut:
Setelah menguasai Banten pada tahun 1526, pasukan gabungan Cirebon, Demak, dan Banten dengan panji MERAH PUTIH GULA KELAPA yang dianggap sakti dan panji Islam Macan Ali dibawah Kepempinan Fatahillah yang dibantu Pangeran Cirebon, Dipati Suramenggala dan Dipati Cangkuang dari Garut, Fatahillah berhasil menahlukan Bandar Sundar Kelapa pada tanggal “22 Juni 1527” (tanggal yang menjadi masalah ...) dengan 1452 prajurit dan mengusir orang Portugis dari sana. Dengan persetujuan Sultan Trenggono dan penguasa Cirebon Sunan Gunung Jati, Fatahillah diangkat menjadi Bupati pertama Sunda Kelapa. Keterangan Ahmad Fadli ini malah lebih jujur ketimbang Ridwan, Bukunya ini telah menjawab dan memberikan gambaran bagaimana sebenarnya sosok Fatahillah dimata para intelektual muda Betawi, kecuali mungkin hanya Engkong kita yang satu ini.
Pajajaran sendiri dari hari kehari merasa terancam dengan hegemoni Demak dan Cirebon yang secara terus menerus meluaskan pengaruh Keislamannya dan disamping itu Demak dan Cirebon merupakan Kesultanan Islam Ahlulbait yang saat itu sedang memasuki masa-masa emas.
Apakah cerita pembunuhan 3000 orang Betawi itu yang selama ini diklaim Ridwan Saidi itu, asli riwayat Betawi ? apakah riwayat 3000 orang itu berasal dari Naskah Wangsakerta seperti yang pernah dia katakan atau mungkin dari naskah lain? Naskah apakah itu? Apa Benar Motif Fatahillah itu menyerang Sunda Kelapa untuk menjajah dan merampok tanah Betawi?
Ridwan Saidi harus tahu, tentang naskah ini (atau memang dia sebenarnya tahu?) Naskah Wangsakerta, sampai saat ini naskah ini masih polemik yang berkepanjangan, banyak ahli ahli sejarah yang tidak percaya dengan naskah yang satu ini. Nina L Lubis (2002:20–26) menyatakan bahwa Naskah Wangsakerta itu setelah diadakan pengujian melalui kertas naskahnya pada tahun 1988, ternyata naskah ini berasal dari kertas yang baru berumur 100 tahun, padahal katanya naskah ini telah disusun abad ke 17, jadi ada selisih waktu 200 tahun!, bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Pesisiran (Jawa Kuno). Menurut Nina naskah ini sangat lengkap karena juga berisi informasi Pra Sejarah. “Kitab Wangsakerta”bahkan memiliki daftar pustaka yang sangat lengkap, hampir 1500 daftar pustaka, lengkapnya daftar pustaka ini membuat Nina malah heran, sebagai pakar sejarah yang tangguh, karena dari S 1 s/d S 3 nya sejarah, semua sejarah dan desertasinya juga kajian sejarah, sangat wajar Nina mempertanyakan naskah ini. Bagaimana mungkin pada masa abad ke 17 ada buku begitu lengkap, bahkan tercipta dari sebuah seminar, padahal pengawasan Penjajah saat itu sangat ketat, kenapa peristiwa sejarah sepenting itu tidak tercatat dalam sejarah Cirebon?. Adapun tentang kerajaan Salakanegara yang menurut Ridwan Saidi merupakan Kerajaan yang berhubungan Betawi, justru malah kata Nina, bahwa sampai saat ini tidak ada sumber pembanding yang berkaitan dengan informasi Salakanegara itu. Asal usul naskah ini juga dipertanyakan, karena sampai saat Nina bertanya, tidak ada jawaban darimana asal naskah itu berada, maka menurut Nina Informasi Wangsakerta itu sangat lemah dan jelas secara akademis naskah ini dinilai rendah. Akhirnya Nina sendiri mengatakan jika Naskah Wangsakerta ini tidak bisa dijadikan sebagai SUMBER SEJARAH!, namun untuk dijadikan obyek kajian filologi tetap sah. Pendapat ini juga sesuai dengan pendapatnya Prof. Dr. Ricklefs, Dr Hasan Muarif Ambary, Drs. Bukhori dan RP Soeyono (Arkeolog Senior UI), Prof Dr. Hadi Subadio, Prof. Dr. Budi Santoso dalam jurnal yang nina buat itu. Bahkan beberapa tokoh juga tidak ketinggalan menyatakan bahwa naskah ini adalah palsu, diantaranya :
1. Drs. Suwendi Montana, ketua tim penyidik Arkenas yang mengatakan “Naskah-naskah itu palsu,”
2. Bukhari arkeolog senior dalam catatanya mengatakan mengatakan jika naskah hampir sama dengan desertasinya De Casparis (sejarawan belanda), dalam banyak hal Kitab Wangsakerta itu sejalan dengan teori-teori De Casparis. Bahkan lebih aneh lagi kekeliruan yang dilakukan De Casparis sama dengan Naskah Wangsakerta!!!! Aneh…………
3. Prof Sukmono, Ahli Sejarah Arkenas dan guru besar UI yang mengatakan “Berat mengatakan jika naskah ini asli, ini skandal ilmiah”.
Jadi jelas jika Naskah Wangsakerta dijadikan Sebagai Sumber sejarah, itu tidak sah, kalau Ridwan Saidi masih keukeuh memakai naskah ini patut dipertanyakan motifnya, apakah dia juga tidak tahu bahwa sosok Pangeran Wangsakerta yang katanya merupakan pencetus naskah ini justru keturunan Kesultanan Cirebon, mungkinkah anak cucu dari Sunan Gunung Jati membuat naskah yang isinya menjelek jelekkan salah satu leluhurnya sendiri ??? itupun kalau seandainya ada (kita andaikan ada...) dan sekali lagi kalau memang ada dan muncul ide dari Pangeran Wangsakerta membuat naskah ini betapa memalukannya kwalitas seorang Wangsakerta, sebagai keturunan Sunan Gunung Jati yang notabenenya Keluarga Besar Azmatkhan (Walisongo), rasanya cukup aneh bila ia membuat naskah-naskah yang bertolak belakang dengan sejarah kakeknya yaitu sejarah Islam. Kami justru malah curiga jika nama Wangsakerta ini dijual namanya oleh oknum pemalsu sejarah. Mental keluarga besar Walisongo bukan mental yang mudah memanipulasi sejarah, yang ada sejarah mereka malah banyak yang didistorsikan, karena bagi keluarga Walisongo dalam menuliskan sebuah sejarah maka syaratnya sangat berat, terutama penguasaan pada ilmu nasab, ilmu genealogi, silsilah, ketiga faktor inilah yang kadang sering tidak dianggap sejarawan, padahal sekelas Nina Lubis saja dalam Jurnalnya di UGM mencantumkan silsilah sebagai sumber sejarah.
Sumber :
Iwan Mahmud Al Fattah, Fattahillah Mujahid Agung Pendiri Kota Jayakarta, Jakarta : Madawis, 2014.