Kamis, 26 Februari 2015

PEMBERONTAKAN "KI DALANG" OLEH KAUM BETAWI SETELAH ERA PENDEKAR PITUNG, PERLAWANANAN "TERKERAS" MUJAHIDIN JAYAKARTA

Tidak banyak yang tahu jika pasca gerakan perlawanan para pendekar Pituan Pitulung (Pitung) di Betawi telah terjadi lagi perlawanan. Hanya saja pada sebagian orang terutama di wilayah Jakarta Barat, Tangerang dan sekitarnya cerita tersebut masih dianggap cerita rakyat belaka, padahal kenyataannya cerita itu benar adanya karena telah tercatat didalam kitab Al Fatawi dan juga Wangsa Aria Jipang, bahkan penulis kitab Al Fatawi adalah tokoh kunci dalam pemberontakan yang sangat keras itu. Saya sendiri dulu pernah mendengar cerita itu di wilayah  JAKARTA BARAT. Saya fikir dulunya cerita itu hanyalah cerita rakyat biasa, namun setelah saya menemukan kitab Al Fatawi dan Kitab Wangsa Aria Jipang saya jadi terkejut, karena cerita yang  beredar itu benar adanya, apalagi cerita ini ditulis langsung oleh tokoh kuncinya sendiri yang juga merupakan ulama ahli sejarah dan ahli silsilah Jayakarta. Keterkejutan saya makin besar  tatkala saya mendapati pada peristiwa tersebut  nama-nama Pahlawan Betawi seperti ENTONG GENDUT dari CONDET KRAMAT JATI JAKARTA TIMUR. ENTONG GENDUT sendiri namanya cukup harum pada masyarakat CONDET, sayangnya cerita beliau itu masih diliputi misteri terutama tentang kematiannya, namun setelah saya menemukan data tertulis tentang beliau, saya jadi tahu bahwa beliaupun ternyata salah satu pejuang  Jayakarta.

Adapun pasca gugurnya Radin Muhammad Ali bin Radin Syamsirin Nitikusuma yang merupakan dedengkot perlawananan Pendekar Pituan Pitulung (Pitung) di tahun 1903, ulah Penjajah kafir Belanda semakin keras dan kejam terhadap pribumi, mereka terus menerus berbuat zholim kepada rakyat Jayakarta, ironisnya sikap itu justru didukung oleh sebagian oknum bangsa ini yang sebagian saat itu menjadi tuan tanah bagi penjajah kafir.  Pajak mereka naikan secara fihak, hasil pertanian banyak yang mereka rampas, penjajah kafir dan antek anteknya seolah tidak mendapatkan lawan setelah redupnya perlawanan Pitung pasca wafatnya Radin Muhammad Ali Nitikusuma. Kematian Radin Muhammad Ali Nitikusuma tentu sangat mengguncang keluarga besar keturunan Jayakarta, terutama para sesepuh dan Majelis Keadatan Jayakarta, karena mereka sebenarnya sangat berharap bila Gerakan Pendekar Pituan Pitulung  (PITUNG) yang dikomandoi oleh Radin Muhammad Ali Nitikusuma itu  bisa menang melawan penjajah kafir. Namun takdir menentukan lain, pada tahun 1903 Masehi, Radin Muhammad Ali akhirnya syahid tertembak di tangan penjajah kafir setelah mendapat “bocoran” dari salah seorang pengkhianat bangsa ini, disamping beliau Ratu Bagus Roji’ih (Ji’ih)  juga syahid tertembak.

Periode tahun 1903 merupakan tahun terkelam dalam sejarah perjuangan rakyat Jayakarta setelah gugurnya BUNGA BETAWI yaitu RADIN MUHAMMAD ALI NITIKUSUMA. Namun demikian gugurnya Radin Muhammad Ali Nitikusuma ini tidaklah menyusutkan semangat perjuangan Kaum Betawi di bumi Jayakarta. Kaum Betawi dibawah pimpinan MAJELIS KEADATAN AL FATAWI dan pelaksanaannya  itu diberikan kepada organisasi PKKB (PERHIMPUNAN KETURUKUNAN KAUM BETAWI) telah mendirikan organisasi PEMBERONTAKAN yang diberi nama KI DALANG.

Jika dimasanya Pendekar Pituan Pitulung (Pitung) pemimpinnya terdiri dari Tujuh orang, maka pada zaman KI DALANG terdiri dari tiga orang yaitu :
  1. KI SEMAUN  yang berpusat  di Teluk Naga Kampung Melayu Tangerang (dahulu masuk Jayakarta, kini masuk wilayah Provinsi Banten). Ki Semaun ini juga mempunyai banyak nama samaran.
  2. KI SYAR’I (KH. AHMAD SYAR’I MERTAKUSUMA) yang berpusat  di Kampung Larangan Cengkareng Jakarta Barat.
  3. KI ABDUL KARIM DAIM (ABDUL KARIM NITIKUSUMA) yang berpusat di KAMPUNG DURI GANG JAMBLANG.
Pemberontakan KI DALANG (asalnya dari istilah DALLA yang artinya PENUNJUK, PEMBIMBING ataupun PEMBINA), dimulai pada Bulan Maulud 1332 Hijriah atau bersamaan dengan bulan Maret 1914 Masehi. Konsep dasar perjuangan ini tidak jauh berbeda dengan gerakan Pendekar Pituan Pitulung (PITUNG) yaitu JIHAD FISABILLAH. Gerakan perjuangan KI DALANG ingin agar  nilai-nilai ajaran Islam yang mulai tergerus karena ulah penjajah kafir belanda kembali jaya di bumi Jayakarta.

Dengan diletuskannya pemberontakan pada bulan Maret itu, telah dapat menggagalkan aktivitas  PARTAI KOMUNIS yang pada masa itu mulai muncul, mereka komunis  saat itu juga sedang mencari dukungan kepada KAUM BURUH di S.S Kereta Api yang akan dimulai di Tangerang. Mereka sangaja mencoba mempengaruhi rakyat setempat terutama kaum buruh, sebab jika rakyat  yang ada di KAUM BURUH KERETA API sudah bisa dipengaruhi, maka itu berarti perjuangan KAUM PUNTI/ASLI bangsa Nusantara akan lumpuh. Runtuhnya perjuangan Kaum Punti/Asli Nusantara sangatlah diharapkan oleh mereka. Faktor ini akhirnya menjadi kekhawatiran para pejuang KI DALANG dengan alasan :
  1. Kekuatan Sosial Politik Boedi Oetomo yang sedang merintis kebangsaan universal Nusantara di Kalangan Ningrat Solo dan Yogya akan lumpuh, Kelumpuhan ini tentu sangat diharapkan oleh Tuan Horgronye dan Van Der Plash, terutama sejak Gubernur Jenderal J.B Van Heutsz, A.W.F. Idenburg dan sampai pada zaman itu, G.J. J.P van Limburg Stirui (1904, 1916 – 1921). PKI akan menjadikan Kaum Ningrat Jawa sebagai titik bidik yang serius. Jika Kaum Ningrat Jawa itu telah kehilangan pedoman hidup mereka karena telah dilanda rakyat yang anti PEJUANG di kawasan itu, maka dengan mudah RUMPUN KEADATAN dikawasan lainnya juga menjadi lumpuh.
  2. Kekuatan Sosiap Politik BOEDI OETOMO Cabang WILTERVREDEN yang paling banyak dipengaruhi oleh Mujahidin Kaum Betawi yang Islami. Jika PKI pada zaman itu telah mempunyai pengaruh yang kuat, makar rakyat tidak ada lagi yang suka beribadah menurut ajaran Islam, Karenanya maka “Jiwa-Dendam”  kepada Penjajah Belanda akan sirna dan Jika Jayakarta lumpuh, maka akan lumpuh seluruh jiwa berkorban JIHAD AL WATHON NUSANTARA. JAYAKARTA yang berada di LUMBUNG kekuasaan Penjajah Kafir tentu akan menjadi sorotan fihak lawan maupun kawan.
Perlu diketahui bahwa pusat PKI sebetulnya ada di Negeri Belanda dan berkiblat pada negara Russia pada masa itu. Sebelumnya pada tahun 1913 Masehi, seorang  tokoh pemuka dari Tangerang (kini masuk Provinsi Banten) yang bernama Haji Sapi’in dari desa Sukasari yang juga menjadi buruh S.S telah memberitahukan kepada DEWAN PEMANGKU KEADATAN JAYAKARTA, bahwa buruh S.S akan mengadakan pemogokan besar besaran. Sehingga Haji Sapi’in dan DEWAN PEMANGKU KEADATAN JAYAKARTA yang dipimpin KH AHMAD SYAR’I mewanti wanti  agar semua waspada, jangan sampai masyarakat di Jawa Barat dan Jayakarta (termasuk didalamnya  ada lingkungan Batavia dan Weltervreden) terjerumus kedalam kancah gerakan itu, sebab didalamnya sudah terdapat orang-orang PKI yang berpusat di Semarang Jawa Tengah.

Kekuatan Pribumi selanjutnya dipercayakan kepada KH AHMAD SYAR’I MERTAKUSUMA dengan mendirikan organisasi KI DALANG. Gerakan KI DALANG tujuan utamanya adalah membersihkan buruh S.S di Tangerang supaya tidak menjadi anggota PKI dan berada dalam GERAKAN KI DALANG untuk melakukan perlawanan bersenjata terhadap pemerintah Belanda. Dalam pergerakan ini sebenarnya tampuk kepemimpinan berada dalam diri seorang SULTAN ACEH yang dibuang Pemerintah Belanda di Jakarta dan bertempat di Kampung Tanah Tinggi Kayu Putih (kini sudah tidak ada dan telah menjadi PULO MAS PACUAN KUDA JAKARTA TIMUR), beliau Sultan Aceh itu bernama Muhammad Daud (makam beliau ada TPU UTAN KAYU RAWA MANGUN JAKARTA TIMUR) hanya saja keberadaan dan peran serta beliau dirahasiakan. Kelak dari hubungan KH AHMAD SYAR’I dan Sultan Aceh Muhammad Daud, ketika berhijrah ke Sumatra KH AHMAD SYAR’I  juga menghubungi kerabat kerabat Muhammad Daud di Aceh.

PKI telah mendahului aksinya, mengaku sebagai pemimpin pemogokan Buruh S.S, padahal ditahun 1914 Gerakan Ki Dalang baru akan merencanakan perlawanan besar besaran, bukan saja di kawasan Jayakarta, tapi juga wilayah-wilayah lain. PKI yang dibantu oleh salah seorang pejabatnya yang bernama SNOFFLIET, telah bekerjasama dengan pemerintah Belanda. Gerakan mereka terkenal dengan “PENGURAGAN PEMBERONTAKAN DI BATAVIA DANG TANGERANG”. Semua penduduk laki laki dan perempuan telah ditangkapi. Senjata senjata dari mulai Pisau, golok dan terutama keris serta tombak telah disita. Perlawanan besar-besaranpun akhirnya terjadi  di Tangerang dan Kampung Mangga Dua (Jakarta) dibawah pimpinan pimpinan Ratu Bagus Muhammad Said bin Ratu Bagus Jayakelana Jayakarta.

Pemberontakan KI DALANG menggunakan sistem gerilya, dimulai dengan melakukan provokasi di tahun 1914 dan berakhir pada tahun 1924. Pada masa 10 tahun ini perlawanan bawah tanah terus dilakukan secara gencar, keras dilakukan,  mereka yang merupakan antek-antek penjajah diperingati secara keras agar sadar, bila tidak sadar dan masih mau mengikuti penjajah maka para pejuang KI DALANG tidak segan-segan untuk “menghajar” mereka.

Puncak dari pemberontakan KI DALANG terjadi pada tahun 1924, dimana sebagian  besar pemimpinnya telah tertangkap, setelah para pemimpin perjuangan Jayakarta ini tertangkap maka perjuangan ”bawah tanah” terus dilanjutkan dan dilakukan dengan cara mengadakan kontak dengan SYAH MUHAMMAD HUSNI (MUHAMMAD HUSNI THAMRIN).
Adapun terhentinya pemberontakan KI DALANG disebabkan:
  1. Ki Semaun telah gugur di Kota Tangerang (Provinsi Banten)
  2. Ki Dalang telah dinyatakan juga tidak ada lagi.
  3. Ki Syar’i telah ditangkap bersama :
    1. Radin Abdul Karim bin Daim Nitikusuma
    2. Entong Geger dari Jati Padang Pasar Minggu Jakarta Selatan
    3. Entong Gendut dari Kampung Condet Jakarta Timur yang bergerak di wilayah Tanjung Barat.
Keempat orang terakhir pemimpin Mujahid Jayakarta itu telah dibuang dan dihukum ke Jambi Sumatra. Selanjutnya Ki Syar’i (KH AHMAD SYAR’I MERTAKUSUMA) berhasil melarikan diri dan kembali ke JAWA. Radin Abdul Karim Daim Nitikusuma dipindahkan di Tanjung Pinang Riau, kemudian tidak lama terdengar kabar  beliau wafat pada tahun 1940 di RUMAH SAKIT SUNGAI LIAT. Entong Geger dan Entong Gendut juga gugur Syahid di rumah tahanan/Penjara di Jambi Sumatra. Ki Syar’i sendiri kemudian melarikan diri ke Bandung Jawa Barat, kemudian beliau tertangkap kembali oleh P.I.D (Badan Intelijen Belanda pada saat itu) dan kemudian dijatuhi HUKUMAN MATI berupa HUKUMAN GANTUNG, tapi sebelum pelaksanaan hukuman gantung itu, beliau kembali berhasil melarikan diri dan menuju ke MEDAN SUMATRA UTARA. Dari Medan secara diam-diam beliau hijrah lagi ke Palembang Sumatra Selatan pada tahun 1926. Keluarganya yang masih berada di Jayakarta juga secara diam-diam dibawa ke Palembang.

Pemberontakan KI DALANG jelas bukan pemberontakan kecil dan main-main, terbukti para pemimpinnya setelah tertangkap tidak langsung dieksekusi, mereka justru “dibuang” terlebih dahulu oleh fihak penjajah kedaerah lain. Biasanya ketika ada tokoh yang dibuang karena berani melawan penjajah, tokoh tersebut adalah  “orang besar”. Jelas Pemberontakan KI DALANG merupakan perlawanan “terkeras” dari para Mujahidin Kaum Betawi saat itu. Pemberontakan ini juga telah menjadi “horor” yang mengerikan bagi para TUAN TANAH yang selama ini telah berbuat zalim kepada rakyat, Sebagian Tuan Tanah yang menjadi “centeng” atau antek-antek penjajah sangat ketakutan dengan adanya pemberontakan ini. Para pemimpin pemberontakan KI DALANG memang tidak memberi ampun kepada pengkhianat dan “perusak” bangsa ini. TUAN TANAH atau PEJABAT yang sikapnya  masih berfihak kepada Penjajah Belanda, tidak segan-segan mereka peringati secara keras, apabila peringatan ini tidak diindahkan, para pejuang KI DALANG tidak segan-segan untuk menghabisi para “centeng-centeng” penjajah kafir itu.  Para Tuan Tanah baik itu mereka Tuan Tanah dari Eropa, China, Arab menjadi was-was terhadap gerakan ini, karena para pejuang KI DALANG tidak pandang bulu dalam menumpas kezaliman yang dilakukan TUAN TANAH tersebut. PARA TUAN TANAH ini memang menjadi target utama dari pejuang KI DALANG. Sikap mereka yang sombong dan semena-mena kepada para petani dan rakyat kecillah yang membuat Pejuang KI DALANG GERAM. Dengan seenaknya TUAN TANAH ini menaikkan pajak tanaman dan tanah kepada rakyat kecil, terutama petani dan itu didukung oleh Penjajah Kafir Belanda. Rupanya sejak dahulu antara “TUAN TANAH” dan PENGUASA sudah terjadi hubungan SIMBIOSA MUTUALISME. TUAN TANAH & PENJAJAH rupanya kompak untuk menindas rakyat! Dan inilah yang membuat perjuangan KI DALANG MAKIN MEMBARA!.

Pemberontakan KI DALANG jelas merupakan “reinkarnasi” gerakan Pendekar Pituan Pitulung (Pitung) yang juga sama-sama keras dan tegas. Kedua-duanya punya moto yang sama yaitu “JIHAD FISABILLAH”. Tidak ada kamusnya dalam perjuangan KI DALANG Maupun PITUNG ini bekerjasama dengan Belanda dalam bentuk dan alasan apapun (sekalipun itu perundingan/diplomasi). Bagi Gerakan PITUNG dan KI DALANG, siapapun yang bekerjasama dengan penjajah (sekalipun dia adalah ulama) itu adalah musuh mereka. Bagi gerakan PITUNG dan KI DALANG lebih baik mereka berperang ketimbang berunding, karena sejarah sudah membuktikan bahwa Belanda adalah bangsa yang licik dan kejam, oleh sebab itu bagi dedengkot gerakan KI DALANG dan juga PITUNG, berunding dengan belanda HARAM HUKUMNYA. Oleh karena itu jelas Pemberontakan PITUNG dan KI DALANG musuh besar bagi Penjajah Kafir Belanda karena sikapnya yang keras dan tidak kenal kompromi. Mereka dijadikan musuh besar Belanda, karena perlawanan mereka terjadi di pusat pemerintahan mereka di batavia (nama yang tidak pernah diakui oleh keluarga besar JAYAKARTA).

Secara garis keturunan memang jika dilihat watak dari para pejuang Pitung ataupun Ki Dalang tidaklah terlalu berbeda dengan keberanian para leluhur mereka dalam menghadapi para penjajah kafir, dari mulai perlawanan Portugis sampai Belanda, para leluhur Pejuang Ki Dalang dan Pitung juga sangat keras sikapnya, dari mulai Fattahillah, Aria Jipang Jayakarta sampai kepada masa KH Ahmad Syar'i watak mereka memang seperti itu, keras dan tegas terhadap penjajah kafir! Fattahillah, Aria Jipang Jayakarta dan para Pangeran Jayakarta lainnya memang mewarisi darah perlawanan. Aria Jipang adalah cucu Raden Fattah Azmatkhan dari Kesultanan/Kekhalifahan Islam demak Bintoro, Raden Fattah terkenal karena berhasil mendirikan kekhalifahan pertama di pulau Jawa, Aria Jipang terkenal sebagai sosok yang keras dan tegas dalam penerapan Syariah Islam lurus tapi juga sangat menjunjung tinggi adat istiadat setempat. Fattahillah adalah anak MUFTI KESULTANAN PASAI DI ACEH. Bersama dengan keluarga besar Majelis Dakwah Walisongo mereka bahu membahu mengusri penjajah kafir. Bersama-sama mereka membangun kota JAYAKARTA dengan nilai-nilai yang sesuai dengan adat istiadat yang ada. Keturunan kedua tokoh itu keturunan perlawanan, leluhur mereka yang berasal dari keluarga besar AZMATKHAN AL HUSAINI adalah rumpun keluarga yang penuh dengan liku liku perjuangan, dan itu kemudian akhirnya diwarisi oleh para pejuang KI DALANG dan PITUNG.

Pemberontakan “TERKERAS” dari para MUJAHIDIN JAYAKARTA ini jelas menunjukkan jika Jayakarta tidaklah mudah untuk ditahlukkan. Jayakarta yang penduduknya disebut KAUM BETAWI adalah KAUM yang tidak mudah untuk ditaklukan oleh para penguasa, dan ini adalah warisan para pejuang-pejuang terdahulu, terutama para pejuang Islam seperti FATTAHILLAH. Ya ORANG BETAWI adalah ISLAM! Sehingga sampai kapanpun BETAWI tidak akan pernah tunduk kepada penjajah kafir. Sekalipun para pemimpin gerakan KI DALANG syahid, tapi semangat perlawanan jihad terus dilakukan.

SUMBER :

- Kitab Nasab Al Mausu'ah Li Ansaabi Al Imam Al Husaini, Al Allamah Sayyid Bahruddin Azmatkhan & Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan, Penerbit Majelis Dakwah Walisongo Jakarta, Edisi ke II, Volume ke 24,Tahun 2014.
- Kitab Al Fatawi, KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma (Gusti Khalifah Bendahara VII/Mufti Lembaga Keadatan Jayakarta, Penerbit Majelis Keadatan Jayakarta Al Fatawi, Penulisan terakhir tahun 1954 Masehi.
- Wangsa Aria Jipang Jayakarta, Ratu Bagus D Gunawan Mertakusuma (Gusti Khalifah Bendahara VIII), Penerbit Agrapress Jakarta. 1984 Masehi.
- Inti Sari Al Fatawi, Ratu Bagus D Gunawan Mertakusuma (Gusti Khalifah Bendahara VIII), Penerbit Al Fatawi Jakarta, 1983 Masehi.