Senin, 23 Februari 2015

GURU MANSUR SAWAH LIO, PAKUNYA ULAMA BETAWI DAN HUBUNGANNYA DENGAN PENULIS KITAB AL FATAWI

Jayakarta……………….

Daerah yang kaya akan nilai-nilai Islam. Dinegeri ini Islam telah bediri dengan tegak dan terhormat sejak dahulu, puncak dari kejayaaan Islam adalah dengan direbutnya pelabuhan Sunda Kelapa di tahun 1527 Masehi dari tangan Kerajaan Pajajaran melalui salah satu jenderal perangnya yang legendaris dari Kesultanan Demak yaitu As-Sayyid Fathullah/Fattahillah bin Maulana Mahdar Ibrahim bin Maulana Abdul Ghofur bin Sultan Barokat Zaenul Alam. Setelah  berhasil menguasai Pelabuhan Sunda Kelapa, Fattahillah juga berhasil mematahkan ambisi Portugis yang akan menguasai pelabuhan penting ini. Paska direbutnya pelabuhan Sunda Kelapa  berdirilah PEMERINTAHAN HIKMAH JUMHURIYAH yang bernama JAYAKARTA. Maka sejak itulah kejayaan Islam mulai menggema  dibumi yang didirikan oleh para pejuang, ulama dan syuhada Islam ini. Sejak masa itulah mulai banyak bermunculan ulama-ulama yang berpengaruh di negeri Jayakarta. Di kemudian hari dari sebuah negeri di Jayakarta ini, muncullah  nama yang juga tidak kalah populernya dengan Jayakarta  yaitu Betawi. Jika Jayakarta adalah nama sebuah wilayah dan pemerintahan maka Betawi lebih identik dengan nama suku.

Kehidupan masyarakat Betawi yang berada dinegeri Jayakarta sejak dahulu terkenal sebagai sebagai masyarakat yang religius. Kesederhanaan dan kesahajaan mereka sangat selaras dengan nilai-nilai agama Islam yang mereka anut. Kehidupan masyarakat Betawi yang agamis itu sendiri tidak lepas dari peran serta para ulama-ulama terdahulu. Ulama dan masyarakat Betawi bagaikan dua sisi mata uang yang saling melekat. Kehidupan masyarakat Betawi yang  religius bahkan pernah membuat kagum seorang ulama besar Indonesia yaitu HAMKA (Haji Abdul Malikbin Abdul Karim Amrullah). Di matanya masyarakat Betawi sangat khas dan tinggi kadar keislamannya.

Ulama dimata masyarakat Betawi sangatlah terhormat dan dicintai. Kedudukan mereka seolah tidak bisa tergantikan dengan posisi jabatan masyarakat yang lain. Sehingga dalam perkembangan sejarah Islam di Betawi,  satu demi satu ulama bermunculan dan memberikan pengaruh yang tidak sedikit. Pada  setiap kemunculannya para ulama Betawi selalu memberikan sumbangsih yang tidak sedikit dalam memajukan perkembangan agama Islam di bumi Jayakarta ini. Bagi masyarakat Betawi tentu sebagian mereka  pernah mendengar nama-nama seperti seperti :

Datuk Ibrahim Al Magribi dari Condet Jakarta Timur, Sayyid Husein bin Abu Bakar Alaidrus Luar Batang Jakarta Utara, Syekh Junaid Al Batawi dari Pekojan Jakarta Barat, Syekh Mujtaba dari Kampung Mester/Kampung Melayu Jakarta Timur (sepupu Syekh JunaidAl Batawi), Al Habib Bahsin Jamalullail dari Mangga Dua Jakarta Pusat, Syekh Abdullah Al Masri, Datuk Qidam dari Kayu Putih Tanah Tinggi Jakarta Tmur, Syekh Abdullah Ghoni dari Kayu Putih Tanah Tinggi Pulo Mas Jakarta Timur, Al Habib Usman bin Yahya Mufti Betawi, Habib Umar bin Hoed Al Attas Pasar Minggu Jakarta Selatan, Guru Mughni Kuningan Jakarta Selatan, Guru Syariun dari Mampang Prapatan Jakarta Selatan, Guru Alif dari Duren Tiga Jakarta Selatan, Guru Amin dari Kalibata Pulo Jakarta Selatan, Guru Zaenuddin (Guru Ending) dari Kalibata Pulo Jakarta Selatan, Syekh Abdurrahman binAbdullahAl Batawi (kakek dari Abuya KH Rusdi Ali dari Kampung Melayu Jakarta Selatan), Haji Abdurrahman Abdullah Penghulu Betawi/Qodhi Betawi tempo dulu, Guru Marzuki Klender Jakarta Selatan, Guru Majid Pekojan Jakarta Barat, Guru Kholid Gondangdia Jakarta Pusat, Guru Mahmud Romli, KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma dari Kampung Bambu Larangan Cengkareng Jakata Barat, Muallim Tabrani dari Paseban Jakarta Pusat, Al Habib Ali Kwitang Jakara Pusat, Al Habib Ali Bungur Jakarta Pusat, Habib Salim Jindan Otista Jakarta Timur, Sayyidul Walid  Abdurrahman bin Ahmad Assegaf dari Bukit Duri Jakarta Selatan, Al Habib Muhammad bin Ahmad Al Haddad Al Hawi Jakarta Timur, Al Habib Muhsin bin Muhammad Al Attas Al Hawi Jakarta Timur, Al Habib Kuncung Pasar Minggu-Kalibata Jakarta Selatan, Al Habib Abdullah bin Husein Syami Al Attas dari Batu Ceper Jakarta Pusat, Al Habib Abdullah bin Salim Al Attas (Kakek Habib Hud Al Attas Kebun Nanas Jakarta Timur), Al Habib Salim Bin Toha Al Haddad Gang Damai Pasar Minggu, Al Habib Abbas Alaidrus Rawa Bokor Jakarta Barat, Habib Novel bin Jindan, Habib Syekh Bin Ali Al Jufri, Al Habib MuhammadAl Baqir Al Attas Kebun Nanas, Habib Husein Al Attas Gang Buluh, Habib Abdul Qodir Al Haddad Al Hawi, Al Habib Muhammad bin Sholeh Al Attas, Habib Husein bin Umar bin Hud Al Attas Gang 100 Tanjung Barat Jakarta Selatan, KH Diahudin Abdul Khoir Bukit Duri Jakarta Selatan, KH Abdullah Syafi’i Bukit Duri Jakarta Selatan, KH Tohir Rohili Attahiriah Jakarta Selatan, KH Najihun Duri Kosambi Cengkareng Jakarta Barat, KH Fathullah Harun (hijrah ke Malaysia), KH Zayadi Muhajir (Azziyadah) Klender Jakarta Timur, KH Nur Ali (Ponpes Attakwa) Bekasi Ujung Harapan, KH. Mukhtar Thabrani Macan Bekasi, KH. Muhajirin Amsar Addari Macan Bekasi, KH Asmawi Madali dari Harapan Jaya Bekasi, KH Muhammad Sasi Cililitan Jakarta Timur (Pejuang 45), KH Hasbiyallah Klender (Al Wathoniyah), KH Sibro Malisi Kuningan Ponpes Darussaa’dah Jakarta Selatan, KH Ashari bin Mualim Hamim Pondok Melati Hankam Pondok Gede, KH Hasyim Adnan dari Utan Kayu Jakarta Timur, Mualim Abdul Hadi Cipinang Cibembem Jakarta Timur, Muallim H Gayar, Guru Naim Cipete Jakarta Selatan, Mualim Yunus Bukit Duri Jakarta Selatan, Muallim Muhammad Ali dari Rawa Belong Jakarta Barat, KH Damanhuri dari Paseban Jakarta Pusat, Muallim KH Syafi’i Hadzami dari Jakarta Selatan, DR. KH Nahrowi Abdussalam, KH Abdussalam (Masjid Al Bahri Jembatan Bypass) Jakarta Timur, KH Ahmad Junaidi (Guru Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf bukit duri) dari Menteng Dalam Jakarta Pusat, KH Abdul Rozaq Khaidir Mampang Prapatan Jakarta Selatan, Muallim Bakri dari Citayam, KH Asmuni Marzuki dari Cipinang Jakarta Timur, KH Fudoli El Muhir (Pendiri FBR), H Darip Klender Jakarta Timur, Haji Naipin dari Kampung Kiapang Kebon PalaTenabang Jakarta Pusat, Haji Juhri Gondangdia Jakarta Pusat dan masih lagi  ribuan ulama betawi lain yang tidak bisa sayas ebutkan satu persatu, nama diatas hanya sebagian saja yang saya ketahui.

Sedangkan yang masih hidup yang saya ketahui dan kebetulan beberapa orang dari beliau pernah sayat emui diantaranya adalah :

KH Murtadho bin Syekh Abdullah Ghoni Kayu Putih Utara (sudah sangat sepuh), KH Maulana Kamal Yusufdari Paseban Jakarta Pusat, KH Syaifuddin Amsir Jakarta Timur, KH AbdurrahmanNawi Al Awwabin Depok, KH Musfik Amrullah, KH Abdurrasyid Abdullah Syafi’i dari Assyafi’iyah, KH Kazruni Ishak dari Mampang Prapatan Jakarta Selatan, KH Hasbullah bin Guru Amin Jambul Kalibata Jakarta Selatan, KH  Abdul Hamid Husein Gang Haji Samali Pejaten Pasar Minggu, KH Syukur Ya’kub dari Komplek Dapur Susu Fatmawati Jakarta Selatan, KH Dr. Lutfi (cicit Guru Mugni) Kuningan, KH Ahmad Shodri AlWathoniyah Cakung Jakarta Timur, KH Abdul Hayyin Naim Pondok Labu Jakarta Selatan, KH Yunus Sasi dari Cililitan, Habib Abdurrahman bin Muhammad Al Habsyi Kwitang, Habib Syekh bin Abdurrahman Al Attas Asem Baris Raya Tebet Jakarta Selatan, Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf Tebet Jakarta Selatan, Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf Bukit Duri, Habib Muhammad bin Abdurrahman Assegaf Ceger Jakarta Timur, Habib Alwi bin Abdurrahman Assegaf Bukit Duri, Habib Hamid Al Kaff Pondok Ranggon,  Habib Mahdi Al Attas ( Mantu Habib Husein Gang Buluh), Habib Umar Petamburan (ayah Habib Salim Selon), Habib Riziq Shihab (Imam Besar FPI), Habib Hud bin Muhammad Baqir AlAttas, Ustadzah Tuti Alawiyah, Ustadzah Suryani Tahir,  Ustadzah Dr. Faizah Sibro Malisi, KH Fachurrozi Ishak Macan Podium. Belum lagi ulama-ulama yang bukan orang Betawit api lama menetap di Betawi seperti KH Idham Kholid, Hamka, KH Sirajudin Abbas,  Gus Dur, dan masih banyak yang lainnya.

Mempelajari sejarah ulama betawi memang bagaikan mengarungi samudra lautan ilmu, kita tidak akan habis-habisnya mendapati fakta dan data dari sejarah kehidupan mereka.

Dalam sejarah ulama di Betawi, disamping banyak nama ulama  yang telah saya sebut diatas, ada rupanya salah satu nama yang cukup mentereng di Betawi, beliau adalah Guru Mansur. Lengkapnya beliau bernama KH Muhammad Mansur bin Imam Abdul Hamid bi Imam Muhammad Damiri bin Imam Habib bin Radin Abdul Mukhit bin Pangeran Cakrajaya NItikusuma IV. Dalam penggelaran seorang ahli agama di Betawi, pada masa lalu gelar yang sering dipakai adalah GURU. Seorang bila sudah dipanggil dengan gelar Guru, itu setingkat dengan Kyai Haji pada masa sekarang. Bahkan kedudukan GURU pada masa lalu seperti seorang GURU BESAR pada dunia perguruan tinggi, lagi pula gelarGURU lebih ketara Kebetawiannya. Sampai pada masa tahun 1960an pemakaian gelar GURU masih bertahan, namun memasuki tahun tahun 1970an sampai sekarang gelar GURU untuk ulama Betawi sudah tidak pernah terdengar lagi. Pada saat ini untuk menggelari seorang ulama di Betawi gelar Kyai Haji atau KH lebih banyak digunakan.

Adapun mengenai biografi Guru Mansur yang saya peroleh dari beberapa buku sejarah ulama Betawi dituliskan sebagai berikut:

Beliau lahir pada tahun 1878  dan wafat pada tahun 1967 Masehi. Pada tahun 1894, Guru Mansur berangkat ke Mekkah ketika berusia 16 tahun bersama ibunya. Sebelum berangkat ke Makkah Guru Mansur mendapat didikan pertama kali dari orang tuanya yang merupakan ulama. Beliau sangat taat terhadap orang tuanya. Sejak mulai belajar telah tampak hasrat dan keinginan yang keras untuk mengaji ilmu sebanyak banyaknya, maka kemudian ia mendatangi sendiri beberapa orang guru antara lain kakaknya sendiri seperti Haji Imam Mahbub,  Imam Tabrani, dan Imam Mujtaba Mester (Syekh Mujtaba Al Batawi).

Semasa mudanya beliau sangat tertarik dengan ilmu Hisab. Pada umur 16 tahun tepatnya tahun 1894 M beliau pergi bersama ibunya ke Mekkah untuk menunaikan rukun Islam yang ke lima. Beliau tinggal di Mekkah selama 4 tahun untuk menuntut ilmu. Beliau berguru kepada :

1.Guru Mukhtar
2.Guru Muhyiddin
3.Syekh Muhammad Hayyath
4.Sayyid Muhammad Hamid
5.Syekh Said Yamani
6.Syekh Umar Al-Hadromy
7.Syekh Ali Al-Mukri
8.Syekh Muhtar Atharid Al Bogori
9.Syekh Umar Bajunaid Al Hadrami
10.Syekh Ali Al-Maliki
11.Tuan Guru Umar Sumbawa (guru terakhirnya ini pernah mengangkat beliau sebagai sekretaris pribadi karena dianggap cakap dan rapih serta tertib tulisannya).

Dalam menuntut ilmu Guru Mansur dikenal sebagai orang yang sangat mementingkanSilsilah Intelektual (Isnadul Masyayikh).

Ilmu yang dipelajari Guru Mansur merupakan ilmu standar dunia islam pada masa itu, referensinya juga standar. Beliau mendalami Ilmu Al Quran dengan memperoleh mandat untuk mengajarkan tiga jenis Qiraat yaitu Qiraat Hafs, Warasy dan Abi Amr. Beliau juga mendalami Ilmu Fiqih, Ushulul Fiqih, Tafsir Qur’an, Hadist dan Ilmu Hisab yang merupakan spesialisasinya.

Setelah mukim selama 4 tahun, Guru Mansur kemudian kembali ke tanah air dengan terlebih dahulu singgah di Aden (Yaman), Benggala, Kalkuta, Burma,India, Malaya (Malaysia) dan Singapura. Sekembalinya di kampung halamannya, Guru Mansur mulai membantu ayahnya mengajar di madrasah Kampung Sawah Lio Jembatan Lima. Sejak tahun 1907, beliau mengajar di Jamiatul Khair, Kampung Tenabang. Di sinilah beliau mulai mengenal tokoh-tokoh Islam seperti Syekh Ahmad Syurkati dan KH Ahmad Dahlan yang juga anggota perkumpulan Jamiatul Khair.

Tentu dengan  diterimanya beliau mengajar di Jamiatul Khair menandakan tingginya kualitas ilmu agama yang beliau miliki. Jamiatul Khair yang didirikan oleh para Sayyid Hadramaut yang berada di Betawi adalah merupakan pioneer lembaga pendidikan. Tidak mudah untuk bisa mengajar di Jamiatul Khair, karena kebanyakan pengajar di Jamiatul Khair adalah mereka yang pernah mengajar di Mekkah ataupun Mesir dan juga beberapa Negara timur tengah lain. Kebetulan Guru Mansur masuk kualifasi sebagai seorang pengajar di lembaga  pendidikan di Betawi ini. Disamping mengajar beliau juga menjadi penasehat dalam organisasi Ijtimatul Khoiriyah.

Beliau juga merupakan salah satu ulama yang cukup disegani diseantero Betawi pada masa itu. Biografinya sendiri sudah banyak yang menuliskannya, sehingga untuk mencari data tentang Guru Mansur tidaklah sulit. Guru Mansur sendiri adalah termasuk generasi ulama yang cukup senior dibumi Jayakarta ini. Beliau seangkatan dengan Guru Marzuki, Guru Mughni, Guru Majid Pekojan, Guru Kholid, Habib Ali Kwitang, Habib Ali Bungur,Habib Salim Jindan dan beberapa ulama Betawi lainnya yang kiranya berada dijajaran senior. Keberadaan Guru Mansur sendiri telah banyak memberikan pengaruh pada masyarakat Betawi pada masa itu. Sehingga tidak heran pada masanya, nama beliau ini cukup harum dikalangan ulama dan juga masyarakat Betawi, dan kelak salah satu tetesan darahnya juga berhasil berkiprah dalam dunia dakwah diNusantara ini yaitu Ustadz Yusuf Mansur, “macan” biasanya memang selalu melahirkan“macan”.

Salah satu kemampuan Guru Mansur yang cukup terkenal adalah kemampuan akan ilmu Falaknya. Penetapan waktu awal menjelang bulan Ramadhan atau Idul Fitri di kota Jakarta biasanya merujuk kepada pendapat beliau. Salah satu karya beliau yang berkaitan dengan Ilmu Falak adalah Kitab SULLAMUNNAYYIRAIN yang ditulisnya pada tahun 1925 Masehi. Kitab ini disamping praktis dan mudah dipelajari, kitab ini  telah teruji selama puluhan tahun dan telah dipraktekkan oleh tokoh tokoh ulama dalam menentukan awal bulan Hijriah, Bahkan Guru Mansur telah menulis beberapa tulisan yang berkaitan dengan ilmu falak seperti :

1.Mizartul I’tidal
2.Khulashotul Jadawil
3.Diroyatul Ulum Wamanzhorootinnujum
4.Wasiilatthulllaab
5.Hadza Majmuu’ Khomsu Roasail Fi Amalisshaum Wal Fitri Bihisabissuhur awil Ahillah Aw Rukyatul Hilal
6.Dawairul Falakiyah
7.Taudihul Adillah Fi Shihhatisshaum Wal Fitr
8.Tazkirotunnafiah Fi Shihatutisshaum Wal Fitr
9.Rubu’l Mujayyab
10.Kaifiyyatu Amalil ijtima, Khusuf wal Khusuf.

Disamping ilmu Falak beliau juga mumpuni pada  ilmu-ilmu agama Islam yang lain (sudah dijabarkan diatas). Beliau sendiri adalah seorang penulis produktif dan seorang pemikir yang cerdas, berbagai karyanya telah banyak lahir dan selalu dijadikan rujukan banyak orang. Guru Mansur sendiri sepertinya memang dilahirkan untukmenjadi seorang ulama besar. Beliau mempunyai kecerdasan luar biasa dalam menyerap ilmu pengetahuan agama, khususnya saat berada di Mekkah. Saya sendiri banyak mengetahui sejarah Guru Mansur dari beberapa tulisan-tulisan yang bertebaran dan ditulis oleh beberapa budayawan dan sejarawan Betawi. Berawal dari tulisan-tulisan tersebut saya termotivasi untuk ikut berkiprah dan memperkaya Khazanah sejarah Betawi ini, terutama dari sejarah para ulamanya.Jika sebagian orang sudah banyak menuliskan sejarah beliau secara umum, maka dalam penelitian kali ini saya akan memfokuskan pada sisi silsilah dari seorang Guru Mansur. Kenapa saya fokus pada sisi penulisan ini? Karena dengan kita mengetahui silsilah seorang tokoh justru nanti kita akan tahu secara utuh siapa tokoh tersebut. Meneliti Silsilah atau Nasab (Garis Keturunan Langsung daril aki-laki) sering memecahkan kebuntuan seseorang dalam mempelajari biografi seorang tokoh. Sepengalaman saya jika kita masuk pada penelitian nasab seseorang, maka mau tidak mau kita akan banyak bertemu dengan kajian-kajianpada ilmu lain. Tidak jarang ketika saya meneliti nasab seseorang tokoh, akhirnya saya harus ikut-ikutan mempelajari semua yang berkaitan dengan tokoh tersebut,saya harus mempelajari Arkeologinya, Sejarahnya, Politiknya, Antropologinya ,Geografinya, Sosiologinya, Idiologinya. Tidak jarang juga saya jadi harus membaca tentang Militer, intelijen, Seni, Tehnik, Kedokteran, Perekonomian,Filsafat, Psikologi, DNA, Pendidikan, Bahasa, dan bidang-bidang pengetahuan lainnya yang tentu berkaitan dengan tokoh tersebut, bahkan gara-gara saya meneliti seorang tokoh mau tidak mau sayapun pernah harus  memperdalam kembali ilmu navigasi, pemetaan, sosiologi pedesaan yang pernah saya dapati saat di Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Wanadri Bandung demi untuk mempelajari diaspora keluarga besar tokoh tersebut dalam melakukan perjalanan. Pada intinya Ilmu Nasab memang tidak melulu membicarakan garis keturunan semata, dan inilah yang menjadi kekuatan ilmu tersebut. Dengan ilmu ini kita akan kaya akan pengetahuan yang universal.

Seperti biasanya, dalam mengambil sebuah sumber, saya selalu berusaha mendapatkan data yang paling dekat dengan tokoh yang akan saya teliti. Oleh karena itu maka sayapun berusaha mencari siapa kiranya yang saat ini mewarisi perjuangan dari Guru Mansur ini. Sekalipun dibeberapa buku sudah cukup jelas, namun tidak Afdhol rasanya jika saya tidak bertemu dengan sumber primer yang berkaitan dengan Guru Mansur. Akhirnya belum lama ini saya bisa bertemu dengan salah seorang cucu Guru Mansur yang bernama KH Fattahillah. Dari beliaulah saya banyak mendapatkan informasi tentang Guru Mansur.

Dalam dua kali wawancara saya dengan cucu Guru Mansur dikediaman beliau di Kampung Sawah Lio Jembatan Lima Jakarta Barat. Saya banyak mendapatkan informasi yang berharga tentang biografi seorang Guru Mansur. Rumah yang ditempati KH Fattahillah sendiri adalah milik Guru Mansur. Rumah ini satu-satunya rumah tua dan masih bertahan dengan baik ditengah gempuran dan kepungan rumah-rumah dari etnis lain (saat ini daerah sawah lio jembatan lima banyak dihuni etnis china). Dahulunya lingkungan disekitar Guru Mansur adalah kawasan Betawi dan sarat dengan kehidupan Islam.  Namun kini keadaan berbalik, banyak masyarakat Betawi yang asli sudah pindah ketempat lain, sehingga semakin kesini lingkungan sawah lio sudah “berubah wajah”. Mudah-mudahan Keluarga Besar Guru Mansur masih bisa bertahan ditengah kondisi tersebut.

Sisi lain yang juga tidak kalah menarik yang akan saya angkat dalam penelitian kali ini adalah tentang hubungan Guru Mansur dengan keluarga besar Jayakarta. Saya tertarik pada sisi ini, karena dalam beberapa tulisan yang dibuat oleh keluarga besar keturunan asli Jayakarta seperti yang terdapat pada Kitab Al Fatawi, Kitab Wangsa Aria Jipang Jayakarta dan beberapa sumber lain, menyebutkan bahwa Guru Mansur ini merupakan keturunan asli Jayakarta. Untuk membuktikan tulisan tersebut, maka sayapun segera “blusukan” menemui keturunan beliau tadi yang kiranya masih eksis meneruskan tongkat estafet dakwah Islamiah. Tentu keturunan Guru Mansur lebih mengetahui siapa sesungguhnya beliau itu ketimbang orang lain, apalagi yang saya ketahui, cucu Guru Mansur  ini sangat perhatian sekali dengan Sejarah Islam dan tokoh-tokoh Jayakartanya. KH Fattahillah sendiri leluhur dari ayahnya berasal dari Rawa Belong Jakarta Barat. Nah begitu beliau menyebut nama Rawa Belong, saya justru jadi tertarik, karena Rawa Belong merupakan salah satu basis perjuangan dari Mujahidin Jayakarta yang diantaranya adalah Pendekar Pituan Pitulung (Pitung). Tidak mungkin rasanya seorang GURU MANSUR mengambil mantu dari Rawa Belong tanpa melihat bibit bobot dan bebet. Karena pada masa lalu biasanya seorang ulama dalam mengambil mantu selalu melihat siapa leluhur dari calon mantu itu. KH Fattahillah sendiri mengakui, pada masa hidupnya GURU MANSUR mempunyai banyak murid dari Rawa Belong. Bahkan menurut beliau banyak murid-murid Guru Mansur yang dari Rawa Belong sering menginap ditempat Guru Mansur karena kemalaman dan juga karena ada keperluan lain. Menurut beberapa sahabat saya dari Rawa Belong, mereka juga sering mendengar bahwa kakek-kakek mereka itu dulunya pernah belajar kepada Guru Mansur.

Salah satu cerita yang juga tidak kalah menariknya tentang Guru Mansur adalah tentang perjuangannya dalam menegakka namar ma’ruf nahi mungkar. Jika melihat beberapa biografi beliau, terutama yang berhubungan dengan perjuangan beliau dalam menghadapi Belanda, kelihatan sekali jika watak beliau itu tidak jauh berbeda dengan watak-watak para Mujahidin Jayakarta seperti Para Pendekar Pituan Pitulung (Pitung) dan Juga Para Dedengkot Gerakan Ki DALANG. Ciri khas keras, tegas dan tidak kenal kompromi dalam menghadapi penjajah kafir ini betul-betul ketara pada sosok GURU MANSUR.

Menurut KH Fattahillah sendiri, orangtua dan kakek Guru Mansur sendiri wataknya lembut dan komunikatif. Ayah dan kakek Guru Mansur sendiri terkenal sebagai ulama yang tawadhu. Keluarga Besar yang satu ini memang pada masa itu terkenal sebagai keluarga santri dan terkenal religius.

Namun demikian, memang pada dasarnya watak asli, biar disimpan seperti apapun kalau memang harus muncul ya keluar juga, kekerasan dan ketegasan beliau suatu saat meledak juga, terutama ketika berhadapan dengan Penjajah Kafir Belanda. Guru Mansur bahkan merupakan ulama yang terkenal militan dalam melawan penjajah belanda, di Masjid Al Mansur Sawah Lio, masjid yang didirikan para leluhurnya, beliau bahkan dengan gagah berani mengibarkan bendera merah putih diatas menara Masjid, padahal saat itu Belanda ingin berkuasa kembali ditahun 1948. Butuh nyali macan untuk berani mengibarkan bendera merah putih ditengah suasana yang menegangkan. Disisi lain Belanda juga berfikir dengan siapa mereka berhadapan kali ini, kalau Guru Mansur ditangkap atau dibunuh justru akan bisa menciptakan revolusi pada masyarakat Betawi, karena beliau ini disamping militant juga sangat karismatik dihadapan masyarakat Betawi dan juga dikalangan ulama Jakarta, Jawa maupun daerah-daerah lain. Kelas beliau ini sebenarnya memang sudah bukan kelas lokal tapi beliau ini kelasnya nasional, karena kepakaran ilmunya. Sikap militant Guru Mansur ini bahkan beliau tularkan kepada murid-muridnya dan juga pada masyarakat Betawi pada umumnya. Perkataan beliau yang terkenal bahkan kemudian diabadikan untuk sebuah ormas Betawi yang bernama Forum Betawi Rempug yaitu “BETAWI REMPUGLAH!”. Beliau mengumandangkan kata-kata itu agar masyarakat Betawi bersatu dalam melawan penjajahan Belanda. Nama rempug sendiri menurut pendiri FBR mengambil dari perkatan Guru Mansur.

Kisah lain yang tidak kalah menariknya ketika beliau menuntut agar hari Jum’at dinyatakan sebagai hari libur bagi umat Islam, terlihat sekali dari beliau ini agar syariat Islam bisa kembali berdiri tegak dibumi Jayakarta. Bahkan pada tahun 1925 M tatkala masjid Cikini yaitu Masjid Al Makmur di Jalan Raden Saleh hendak dibongkar dan pembongkaran ini disetujui oleh Raad Agama (pengadilan agama) Guru Mansur melancarkan protes keras sehingga akhirnya pembongkaran masjid tersebut berhasil dibatalkan. Sepertinya Belanda dan juga fihak Pengadilan Agama berfikir ulang untuk menghadapi ulama yang keras dan tegas ini.

Pernah juga ketika pada tahun 1948 tatkala kota Jakarta berada dalam kekuasaan agresi Belanda yang kedua, Guru Mansur sering berurusan dengan  Hoofd Bureau kepolisian di Gambir Jakarta Pusat karena berani memasang bendera merah putih di menara masjid Kampung Sawah seperti yang sudah saya uraikan diatas. Meskipun di bawah ancaman senjata Penjajah kafir beserta antek anteknya, Guru Mansur tetap mempertahankan Sang Saka Merah Putih untuk terus berkibar di menara masjid Al Mansur Sawah Lio, inilah sebuah peristiwa di Jakarta yang patut kita kenang, ditengah agresi Belanda yang membabi buta, ada seorang ulama yang berani dan “nekat” melawan kezaliman ala Firaun tersebut.

Beliau Guru Mansur bahkan pernah dibujuk para antek-antek Penjajah Kafir Belanda agar mengubah sikapnya yang keras tersebut terhadap Belanda, beliau dibujuk dan diminta agar menuruti saja dengan apa yang akan dikehendaki oleh Penjajah Kafir Belanda, tidak tanggung-tanggung, beliau ditawari setumpuk uang yang menggiurkan, namun rayuan tersebut jelas ditolak mentah-mentah oleh Guru Mansur. Dengan suara tegas dan lantang,Guru Mansur menjawab, “Islam tidak mau ditindas, saya enggak mau ngelonin kebatilan”. Watak anti Belanda beliau ini betul-betul wajib kita kenang. Bagi keluarga besar Jayakarta mereka yang senang “menghamba” kepada penjajah Belanda, sering dijuluki dengan gelar orang-orang “BATAVIEREN”. Terus terang saya sangat kagum dengan konsistensi sikap beliau terhadap Penjajah Kafir Belanda. Dalam catatan KH Fattahillah Guru Mansur memang  orang yang tegas dan mempunyai disiplin yang tinggi, disamping itu sepanjang hayatnya beliau selalu menjaga sholat berjamaah di Masjid Al Mansur, sehingga beliau selalu berwasiat  kepada murid-muridnya bahwa keridhoannya berada dalam masjid.

Guru Mansur adalah pendidik yang teliti dan tegas, setiap selesai sholat subuh beliau mengajarkan santri santrinya, cara beliau mengajar, beliau menyerahkan tanggung jawab pengajaran kepada santri senior untuk mengajarkan yang lebih yunior, kemudian beliau periksa langsung hasil pengajaran kepada santri yunior itu, apabila ada kekurangan atau tidak hafal, beliau menanyakan siapa yang mengajar, maka yang akan menerima sangsi pukulan rotan adalah yang mengajarnya. Setelah mengajar biasanya beliau minta dibacakan beberapa surat kabar kepada santrinya atau setelah makan malam, beliau memanggil santrinya untuk berdialog dan menanggapi berita-berita yang terjadi baik dalam maupun luar negeri. Adapun santri-santri beliau berasal dari Jawa Barat, Lampung, Madura, Kalimantan. Dalam memberikan pelajaran kepada santri-santrinya tidak pernah dihentikan walaupun dalam keadaan apapun. Setiap Jumat pagi beliau membuka pengajian umum, pada masa itu banyak berdatangan kaum muslimin dari berbagai daerah dan tingkatan sosial masyarakat, dari kyai, ustadz dan awam. Di Majlisnya beliau sering membahas berbagai masalah dan memberikan pelajaran tafsir dan hadist. Pada masa Revolusi sedang berkecamuk di Tanah air tidak sedikit jasa dan pengorbanan Guru Mansur, karena kepada beliaulah tempat orang meminta fatwa dan bekal dalam menghadapi perjuangan kemerdekaan, bahkan rumah, pesantren dan masjidnya pernah dijadikan markas para pejuang.

Jalinan komunikasi dan sillaturahim juga beliau lakukan dengan tokoh-tokoh seperti HOS Cokroaminoto (Keturunan Raden FattahAzmatkhan), KH Ahmad Dahlan (Keturunan Sunan Giri Azmatkhan), KH Hasyim Asy’ari (Keturunan Jaka Tingkir Azmatkhan), KH Mas Mansur, Syekh Ahmad Surkati (PendiriAl Irsyad) dll. Sehingga kelahiran organisasi Islam yang ada di Indonesia tidak lepas dari andil Guru Mansur baik itu lewat pikiran dan pendapatnya,tidak heran pribadi Guru Mansur dikenal dan dihargai oleh semua lapisan masyarakat Islam Indonesia. Beliau bahkan pernah menjabat sebagai Rais Aam Nahdatul Ulama Cabang Betawi ketika masa KH Hasyim Asy’ari (Kakek Gus Dur).

Terus terang saat membaca kisah-kisah ini, saya sangat takjub, sikap kerasnya itu mengingatkan saya akan seorang tokoh betawi yang dicari-cari Belanda yaitu KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma. KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma sendiri terkenal keras dan tegas terhadap Penjajah Belanda, haram hukumnya bagi beliau dan keluarga besar Jayakarta bekerjasama dengan Belanda dalam bentuk apapun. Kekerasan kedua tokoh ini banyak kemiripannya, sehingga mengundang saya untuk meneliti, apakah kedua tokoh mempunyai hubungan?

Dari penelitian yang saya lakukan tentang Nasab dari Guru Mansur, memang ditemukan fakta jika Guru Mansur merupakan keturunan asli Jayakarta. Leluhur Guru Mansur adalah Mujahidin Jayakarta. Salah satu leluhurnya yang cukup menonjol adalah Pangeran Cakrajaya Adiningrat. 

Pangeran Cakrajaya naik menjadi Pangeran Adiningrat setelah sebelumnya Pejabat Adiningrat yang terdahulu wafat. Nama gelar Pangeran Cakrajaya itu sendiri adalah Pangeran Cakrajaya Nitikusuma IV. Pangeran Cakrajaya adalah tokoh berpengaruh di Jayakarta pada masa itu. Beliau merupakan Panglima Perang Mujahidin Jayakarta. Pangeran Cakrajaya sendiri mempunyai banyak jaringan di Kesultanan Mataram pada masa itu, bolak-balik beliau ini dari Mataram dan Jayakarta untuk mengadakan konsolidasi dalam rangka perjuangan jihad fisabillah di bumi Jayakarta. Pangeran Cakrajaya sendiri di mataram sempat menjabat sebagai Tumenggung disalah satu wilayah Mataram. Hubungan Jayakarta dan Mataram pada masa Pangeran Cakrajaya sangatlah baik, sehingga tidak heran diwilayah tempat tinggal Pangeran Cakrajaya, khususnya Kampung Pekojan dan Sawan Lio dahulunya banyak dihuni oleh para keturunan Mataram dan Juga Jayakarta. Namun untuk masa sekarang sudah banyak dari mereka yang hijrah keberbagai wilayah Jabodetabek.

Pangeran Cakrajaya Nitikusuma IV inilah yang kelak menurunkan Guru Mansur termasuk juga Syekh Junaid Al Batawi, bahkan Syekh Mujtaba Al Batawi yang juga merupakan ulama besar di Mekkah dan Betawi dan hidupnya bersamaan dengan  masa Syekh Junaid Al Batawi menurut KH Fattahillah juga masih satu rumpun nasab.

Pangeran Cakrajaya Nitikusuma IV sendiri berdasarkan data yang saya pelajari adalah merupakan Pangeran Adiningrat Jayakarta yang ke 8. Pangeran Adiningrat di Jayakarta setingkat dengan Sultan atau Raja di beberapa wilayah, hanya saja karena Jayakarta sebuah daerah yang sering bergejolak baik secara politik, sejarah ataupun militer, maka keberadaan para Pangeran Adiningrat ini selalu dirahasiakan keberadaanya. Pusat dan lokasi pemerintahannya juga dirahasiakan. Khusus mengenai Pangeran Cakrajaya ini, posisi beliau sangatlah unik, karena beliau menetap disebuah wilayah yang justru berdekatan dengan pusat kekuasaan pemerintahan penjajah. Bisa dibayangkan bagaimana bahayanya posisi beliau itu. Saya sendiri berfikir, bisa saja beliau menetap ditempat itu untuk mencari sebanyak-banyaknya celah kelemahan dari fihak penjajah serta memperbanyak informasi tentang penjajah untuk kemudian diteruskan kepada para Mujahidin Jayakarta dan juga Mujahidin Kesultanan Mataram. Lagipula dalam sebuah strategi milter terkadang musuh yang berada dekat di jantung kekuasaan musuhnya sering tidak diduga.

Walaupun demikian pada akhirnya Pangeran Cakrajaya Nitikusuma IV akhirnya gugur syahid dalam perjuangannya dan kemudian akhirnya beliau dikuburkan dihalaman Masjid Al Mansur Kampung Sawah Lio Jakarta Barat. Setelah gugurnya Pangeran Cakrajaya ini strategi perjuangan, khususnya diwilayah Pekojan mulai dirubah, sudah tentu dengan gugurnya Pangeran Cakrajaya Nitukusuma IV mengakibatkan kecurigaan fihak Belanda terhadap wilayah Pekojan. Sudah tentu sedikit banyak data tentang Pekojan termasuk keluarga besar Pangeran Cakrajaya Nitikusuma IV mulai tercium dan inilah yang kemudian disikapi secara seksama oleh keluarga besar keturunan Pangeran Cakrajaya Nitikusuma IV.

Paska wafatnya Pangeran Cakrajaya Nitikusuma IV ini strategi perjuangan keluarga besar Jayakarta dirubah, khusus untuk wilayah Pekojan dan sekitarnya, strategi perjuangannya difokuskan pada bidang pendidikan agama. Pekojan dijadikan kawasan pendidikan yang seolah-olah jauh dari politik dan perlawanan. Sedangkan keluarga besar Nitikusuma yang berada di luar Pekojan seperti daerah Rawa Belong, Kayu Putih Tanah Tinggi, Jelambar, Cengkareng Bambu Larangan, Angke, dan daerah-daerah lain tetap difokuskan pada perang gerilya. Sengaja bidang pendidikan agama ini dikuatkan agar Belanda tidak terlalu curiga, mereka tahunya bahwa Pekojan dan sekitarnya hanya merupakan tempat ngaji biasa. Bahkan untuk mengelabuhi Belanda, salah seorang anak dari Pangeran Cakrajaya yang bernama Raden Abdul Muhit diangkat menjadi Kapiten di wilayah Pekojan. Kapiten sendiri semacam kepala kampung atau kepala suku pada koloni-koloni Penjajah. Mereka semua bertugas mengkoordinir masyarakatnya. Dengan menjadi Kapiten ini pada akhirnya keluarga besar Raden Abdul Muhit tidak lagi dicurigai oleh Belanda karena dianggap loyal, padahal dengan beliau menjadi Kapiten, justru telah memudahkan semua akses dan informasi yang beliau dapat untuk kemudian diberikan dan disikapi oleh keluarga besar Pejuang Jayakarta. Kapiten Abdul Muhit ini sepertinya mengikuti jejak Kapiten Jongker yang pura-pura menurut tapi ternyata diam-diam melakukan perlawanan. Memang terkesan agak riskan dan bertabrakan dengan konsep perjuangan keluarga besar Jayakarta yang sama sekali selalu ingin memutus mata rantai hubungan dengan penjajah. Namun untuk kali ini sepertinya keluarga besar Jayakarta yang ada Pekojan harus berfikir matang dan bijak kembali, bagaimana caranya agar perjuangan didaerah Pekojan ini bisa bertahan tanpa harus dicurigai terus menerus oleh Belanda sebab posisi dan keberadaan mereka sangat dekat dengan pusat kekuasaan.

Dan itu terbukti, dengan memakai cara seperti ini, Pekojan kemudian menjadi ramai dengan kegiatan-kegiatan keagamaan, banyak ulama-ulama besar berdatangan ke Pekojan seperti Syekh Arsad Al Banjari, Syekh Nawawi Al Bantani, Sayyid Usman Bin Yahya, Habib Hamzah Al Attas, dll. Dan itu tercatat didalam sejarah Guru Mansur, Masjid-masjid bersejarah bahkan banyak yang berdiri didaerah Pekojan seperti Masjid Al Munawir Pekojan, Langgar Tinggidi Pekojan, Masjid Al Mansur Pekojan. Pada masa lalu luas daerah Pekojan tidak seperti sekarang, menurut KH Fattahillah, Sawah Lio juga termasuk Pekojan. Strategi cerdas leluhur Guru Mansur benar-benar tepat, bahkan pada masa Kapiten Abdul Muhit banyak jamaah haji yang bisa berangkat atas rekomendasi beliau,termasuk cucu beliau yang bernama Syekh Junaid Al Batawi, bahkan Syekh Nawawi Al Bantani sebelum berangkat ke Mekkah beliau ke Pekojan dulu untuk bertemu keluarga besar Syekh Junaid Al Batawi. Posisi Pekojan yang dekat dengan pusat kekuasaan, jelas menguntungkan, apalagi lalu lintas utama adalah Kapal Laut yang lokasinya di pelabuhan Sunda Kelapa dan itu berdekatan dengan Pekojan.Tentu untuk memasuki pelabuhan Sunda Kelapa yang dijaga Belanda tidak mudah, mereka akan diperiksa tentang tujuan perjalanannya. Namun dengan adanya rekomendasi dari Kapiten Abdul Muhit banyaklah jamaah haji yang saat itu bisa berangkat.

Disinilah menurut saya  kecerdasan politik keluarga besar Guru Mansur. Dengan cara seperti ini tanpa dicurigai dan dideteksi Belanda mereka akhirnya mampu menjalin hubungan dan jaringan komunikasi dengan ulama Mekkah dan Madinah, tentu dengan adanya jaringan seperti ini telah mampu merubah pola fikir masyakarat Nusantara saat itu, terutama mereka yang dari Jayakarta yang sedang melaksanakan ibadah haji. Pada masa itu untuk naik haji tidaklah semudah seperti sekarang. Diperlukan sebuah rekomendasi dan jaminan seorang yang berpengaruh untuk keberangkatan haji. Keberangkatan haji bagi penjajah Belanda selalu dicurigai, karena biasanya setelah pulang haji, masyarakat Jayakarta semakin militan dan benci kepada penjajah, hal ini masuk akal karena selama mereka mukim atau melaksanakan haji di Mekkah, tidak bosan-bosannya ulama Mekkah yang berasal dari Nusantara selalu menanamkan Jihad Fisabilllah dalam melawan penjajahan yang dilakukan kafir Belanda maupun para penjajah dari bangsa lain. Belanda sendiri baru sadar betapa bahayanya pengaruh haji dalam pemerintahan mereka pada akhir akhir abad ke 19, sehingga pada masa akhir akhir abad ke 19  tersebut mereka kemudian mengutus Snouck Horgronje untuk mengetahui seberapa besar pengaruh haji terhadap militansi umat Islam di Nusantara termasuk Jayakarta.

Strategi politik keluarga Guru Mansur yang ada di Pekojan kemudian mulai bergeser ketika munculnya GURU MANSUR. Pada masa Guru Mansur, perlawanan beliau bersikap terbuka. Dan hebatnya perjuangan beliau ini juga didukung oleh masyarakat Betawi pada masa itu.

Berkaca dari sikap perjuangan, karya-karya, serta idiologi yang beliau miliki itu maka pada akhirnya kita harus tahu, siapa sebenarnya leluhur utama atau leluhur yang paling terkenal dari Guru Mansur ini? Sebab bukan tidak mungkin ada darah tokoh besar yang mengalir pada diri ulama yang karismatik ini. Faktor nasab bagi saya adalah hal yang tidak boleh dianggap remeh, orang boleh saja menganggap remeh terhadap hal yang satu ini, namun kalau kita mau jujur terhadap dunia seperti ini, buktinya sampai sekarang Inggris, Belanda, Amerika Serikat dan lebih khusus lagi bangsa  Yahudi masih kuat menjaga tradisi silsilah yang mereka miliki, silahkan anda pelajari garis silsilah Presiden AS. Sampai sekarang semua Presiden AS saling sambung menyambung dalam geneologinya itu, artinya buat mereka silsilah adalah hal yang penting dalam kehidupan mereka, bahkan di Negara Amerika Serikat sendiri ada sebuah perpustakaan silsilah terbesar didunia. Bagi bangsa arab garis keturunan adalah hal yang wajib dijaga, sampai sekarang kalau anda tanyakan nasab-nasab yang dimiliki orang arab, banyak dari mereka yang hafal diluar kepala, jangan ditanya bila itu berkaitan para nasabnya para Sayyid, sampai saat ini catatan nasab mereka begitu terpelihara bahkan ada lembaga nasab dimasing masing negara yang mereka tempati.

Dari data kitab Al Fatawi dan juga Wangsa Aria Jipang Jayakarta, serta Kitab Al Mausuuah LI Ansaabi Al Imam Al Husaini diketahui bahwa Pangeran Cakrajaya adalah keturunan Aria Jipang Jayakarta. Aria Jipang Jayakarta (As-Sayyid Husein) adalah anak Pangeran Sekar Seda Ing Lepen atau Raden Bagus Surawiyata atau Raden Kikin (As-Sayyid Ali) bin Raden Fattah atau Sayyid Hasan Azmatkhan Al Husaini atau Sultan Demak I. Keberadaan Aria Jipang di Jayakarta mungkin banyak yang belum tahu, namun jika mereka membaca secara utuh sejarah Fattahillah dan hubungannya dengan Kesultanan Demak, keberadaan Aria Jipang di Jayakarta bukanlah hal yang aneh, bahkan menurut saya wajib hukumnya beliau ada di Jayakarta, kenapa demikian? Karena direbutnya Pelabuhan Sunda Kelapa oleh Fattahillah, itu karena  berkat pemimpin tertinggi dalam operasi tersebut, yaitu  Sultan Trenggono atau SULTAN AHMAD ABDUL ARIFIN atau SAYYID ABDURRAHMAN AZMATKHAN dari Kesultanan Demak yang merupakan kerabat dekat Aria Jipang atau Aria Penangsang ini. Sosok Aria Penangsang atau Aria Jipang sendiri dalam sejarah Kesultanan Demak sering digambarkan negatif, terutama kalau anda baca Buku Babad Tanah Jawi, sebuah buku yang isinya banyak menghancurkan karakter Walisongo dan juga Raden Fattah. Padahal sejatinya Aria Penangsang adalah seorang yang handal dalam bidang militer, handal dalam bidang pemerintahan bahkan ahli dalam bidang beladiri, beliau juga sangat agamis (beliau bahkan seorang Mursyid pada sebuahThariqoh), beliau juga hafal qur’an. Sejarah buruk tentang Aria Jipang atau Aria Penangsang patutlah dicurigai siapa penulis Babad Tanah Jawi ini. Sebab dalam sejarahnya Aria Jipang justru hidupnya banyak berdakwah, bahkan keturunannyapun banyak yang menjadi ulama dan juga pejuang-pejuang militan. Dari sisi kematiannya, beliau juga wafat dengan sangat  wajar (tidak terbunuh seperti cerita Babad Tanah Jawi) dalam usia lebih dari 100 tahun di Palembang (Ogan Ilir Indralaya) Sumatra Selatan.

Pada masa tahun 1527 M, saat direbutnya Pelabuhan Sunda Kelapa, posisi Kesultanan Demak sedang mencapai puncak kejayaannya, bahkan pada tahun ini pula Kesultanan Demak berhasil meruntuhkan Kerajaan Majapahit dibawah pimpinan Prabu Udara atau Brawijaya VII. Setelah direbutnya Sunda Kelapa dan tumbangnya Majapahit oleh Kesultanan Demak dengan jenderal perangnya Fattahillah, maka kemudian Sultan Trenggonopun mengutus orang-orang terbaiknya untuk membantu Fattahillah dalam mengembangkan kota Jayakarta yang baru, maka kemudian terpilihlah nama Aria Jipang atau Aria Penangsang. Terpilihnya Aria Penangsang atau Aria Jipang ke Jayakarta, karena track record beliau dikenal handal dalam bidang pemerintahan maupun militer, berapa kali terjadinya pertempuran antara Demak dan Majapahit, maka panglima perang yang sering tampil adalah Aria Penangsang ini seperti pada saat di Surabaya, Jipang, Gresik, Pasuruan, Blambangan dan juga beberapa daerah lainnya. Aria Penangsang sendiri adalah keponakan Sultan Trenggono, karena Sultan Trenggono adalah adik dari ayah Aria Penangsang. Adapun Fattahillah sendiri adalah adik ipar dari Sultan Trenggono, karena Fattahillah menikah dengan Ratu Mas Nyawa binti RadenFattah. Ratu Mas Nyawa ini satu bapak satu ibu dengan ayah Aria Penangsang yang bernama Raden Bagus Surawiyata yang kelak terkenal dengan gelar Pangeran Sekar Seda Ing Lepen. Disamping sebagai Paman Aria Penangsang, Fattahillah juga sekaligus sebagai mertua Aria Penangsang, karena anaknya telah dinikahi Aria Penangsang. Jadi dari keterangan ini bukanlah hal yang aneh jika keturunan Kesultanan Demak banyak terdapat di Jayakarta bahkan hingga saat ini. Dalam perkembangannya keturunan dari Aria Penangsang atau Aria Jipang banyak yang berkiprah dipemerintahan Jayakarta, mereka bahkan banyak yang menjadi pemimpin perlawanan dalam melawan penjajah kafir belanda.

Kesimpulannya  jika dilihat dari data di atas ini memang antara Guru Mansur, Syekh Junaid Al Batawi, Syekh Mujtaba Al Batawi dan KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma satu keturunan. KH Ratu Bagus Ahmad Syar’’i sendiri nasabnya berasal dari cabang lain, namun ujungnya tetap berasal dari Aria Jipang Jayakarta. Jika KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i itu memiliki Marga atau FAM MERTAKUSUMA, maka Guru Mansur, Syekh Junaid Al Batawi, Syekh Mujtaba Al Batawi memiliki marga atau FAM NITIKUSUMA. Perlu diketahui pemakaian nama marga pada keturunan Aria Jipang Jayakarta ini sudah lama terjadi. Marga ini fungsinya adalah untuk menyatukan tali silaturahim antar keturunan Aria Jipang Jayakarta. Marga yang digunakan ini bukan untuk gagah gagahan atau feodalisme. Marga-marga tersebut mempunyai arti dan makna filosofis yang mendalam dan menjaga orang yang memakainya untuk berhati-hati dalam bersikap dan berperilaku.

Didalam sejarah keluarga besar Guru Mansur sendiri memang jarang yang menggunakan nama FAM NITIKUSUMA, hal ini dilakukan agar keberadaan keluarga besar Jayakarta yang ada di Pekojan tidak terlacak, nama NITIKUSUMA, MERTAKUSUMA merupakan daftar hitam yang paling dicari oleh para penjajah belanda dengan intelnya yang berkeliaran, tentu cepat atau lambat jati diri nama tersebut akan mudah terlacak, justru kebanyakan keluarga besar Guru Mansur banyak yang menggunakan nama-nama gelar Al Batawi. Pemakaian gelar Al Batawi bahkan lebih familier dibandingkan dengan nama Fam Nitikusuma. Disamping itu nama-nama gelar ruhani sering dipakai oleh keluarga Guru Mansur seperti nama Imam. Saat itu nama Imam menunjukkan dirinya seorang ulama, khususnya pada kawasan Pekojan. Nama Imam ini muncul setelah era Kapitan Abdul Muhit yang merupakan leluhurnya Guru Mansur.  Disamping itu demi keamaan dan kepentingan politik  keluarga Guru Mansur yang ada di Pekojan menghindari pemakaian gelar-gelar bangsawan Jayakarta seperti yang digunakan saudara-saudara dan kerabatnya yang berada di Rawa Belong, Tanah Tinggi Kayu Putih Pulo Mas, Jelambar dan wilayah wilayah lainnya. Gelar-gelar seperti Ratu Bagus, Radin tidak mereka tonjolkan, pemakaian gelar bangsawan lebih banyak dipakai di Pekojan pada masa Pangeran Cakrajaya Nitikusuma IV.

Sekalipun keluarga besar Guru Mansur lebih menggunakan nama Al Batawi namun catatan nasab dan sejarah leluhurnya tetap tercatat dengan baik didalam kitab Al Fatawi maupun Kitab Wangsa Aria Jipang diJayakarta.  Hubungan persaudaraanpun masih terjalin dengan baik, terutama dengan keluarga Wangsa Aria Jipang yang berada di daerah Rawa Belong, Jelambar, Tanah Tinggi Kayu Putih Pulo Mas. Yang juga tidak kalah mengejutkan, ibudari Guru Mansur ternyata nasabnya juga bersambung kepada Keluarga besar Kesultanan Banten. Berdasarkan catatan yang disusun oleh KH Fattahillah ibu Guru Mansur adalah Syarifah Rofiah Binti Marghan bin Uyut Kunten sampai terus kepada Maulana Hasanuddin Banten. Ini menandakan jika ikatan kekerabatan antar keluarga besar Jayakarta, Banten dan Demak masih terus terjalin dengan baik.

Guru Mansur jelas merupakan trah asli Jayakarta, sehingga sudah tentu beliau mempunyai banyak keterkaitan, baik dari sisi nasab maupun perjuangan. Salah satu keterkaitan beliau dengan perjuangan Jayakarta adalah hubungan  beliau dengan KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma. Dalam biografi KH Ahmad Syar’i Mertakusuma yang ditulis oleh cucunya, hubungan antara Guru Mansur dengan penulis kitab Al Fatawi ini adalah Murid dan Guru. KH Ratu Bagus Ahmad Syar’I Mertakusuma ternyata pernah belajar dan mengaji langsung kepada Guru Mansur ditahun 1905 Masehi. Tidak itu saja, bahkan KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma ini diajarkan langsung oleh Guru Mansur tentang cara penulisan bahasa arab gundul dengan seni kaligrafi (Khot). Guru Mansur  sendiri memiliki tulisan arab yang cukup indah, beberapa tulisan beliau yang terdapat pada kitab kitab tua tempo dulu pernah saya lihat di kediaman KH Fattahillah, dan memang tulisan beliau rapi, indah dan bernilai seni tinggi. Tulisan beliau sangat rapi dan tertata, beberapa catatan pinggir di kitab-kitab beliau betul-betul mencerminkan bahwa beliau ini menguasai tehnik menulis arab yang tinggi. Pantaslah kiranya KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma belajar tulisan khot kepada Guru Mansur, apalagi dahulunya Guru Mansur memang sudah terkenal akan tulisannya yang rapi dan tertib sehingga akhirnya dijadikan sekretaris pribadi Tuan Umar Sumbawa saat di Mekkah.

Sekalipun usia mereka tidakterlalu jauh (Guru Mansur lebih tua dua tahun), namun Guru Mansur banyak memberikan masukan kepada KH Ahmad Syar’i Mertakusuma. Guru Mansurlah yang menganjurkan atau mengusulkan agar dokumentasi kitab Al Fatawi yang lama segera ditulis ulang dengan penulisan arab melayu, agar kedepannya kitab tersebut bisa dibaca oleh generasi selanjutnya. Sengaja dalam penulisan kitab Al Fatawi menggunakan arab melayu gundul, Karena pada masa itu, penulisan arab gundul melayu menjadi alternativ dari huruf latin yang lebih banyak digunakan oleh Belanda, bahkan beberapa ulama pada masa itu lebih senang menulis karyanya dengan tulisan arab melayu gundul ketimbang latin. Lagipula pada masa itu masih banyak ulama yang “alergi” menulis karyanya dengan tulisan latin, apalagi mereka yang lulusan dari Timur Tengah seperti Mekkah dan Mesir, akan sangat aneh jika mereka yang lulusan Mekkah menggunakan huruf latin. Kelebihan arab melayu gundul sendiri, tata bahasanya tidak serumit penulisan bahasa arab standard yang harus menggunakan gramar bahasa arab seperti adanya Nahwu dan Sharaf serta tata bahasa arab lainnya.  Sehingga bahasa yang digunakan pada masa itu adalah bahasa arab melayu gundul standard, karena itu  lebih mudah dibaca oleh kalangan santri dan juga sebagian masyarakat Islam termasuk Betawi, kondisi juga terjadi didaerah lain, seperti tulisan arab pegon (tulisan arab berbahasa jawa).
Adanya pengaruh ilmu tulis menulis bahasa arab (khot) dari Guru Mansur ini telah menjadikan kualitas tulisan KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i tidak jauh berbeda dengan gurunya. Kitab AlFatawi yang beliau susun cukup rapi. Bahkan dipinggir-pinggir kitab tersebut banyak ornament-ornamen seni gambar yang unik. Kelihatan sekali antara tulisan KH Ratu Bagus Ahmad Syar’I dengan Guru Mansur terlihat unik dan nyeni.

Adanya hubungan antara Guru Mansur dan KH Ratu Bagus Ahmad Syar’I Mertakusuma telah mengungkap fakta jika Guru Mansur telah memberikan andil dalam penyusunan kitab Al Fatawi. KH RATU BAGUS Ahmad Syar’i Mertakusuma memang yang menulis kitab tersebut, namun tokoh dibalik penulisan kitab Al Fatawi jelas adalah Guru Mansur yang juga merupakan kerabat dan keluarga besar dari KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma. Tentu sebagai ketua lembaga adat jayakarta pada masa itu, Guru Mansur berharap agar KH Ahmad Syar’i bisa kiranya  mengislamisasikan kembali Jayakarta lewat Kitab Al Fatawi. Sudah tentu digunakan kembali arab melayu pada penulisan kitab Al fatawi agar isi dan kandungan kitab Al Fatawi tidak disalah gunakan oleh fihak-fihak yang tidak bertanggung jawab, dengan menggunakan penulisan ini agar terlihat jelas  penulisnya asli atau palsu. Langkah KH Ahmad Syar’I Mertakusuma adalah sebuah langkah cerdas karena beliau langsung belajar kepada pakarnya tulisan arab yaitu Guru Mansur, saya sendiri yakin Guru Mansur mengajarkan ilmu ini secara total, karena tentu beliau tahu kedudukan seorang KH Ratu Bagus Ahmad Syar’I Mertakusuma di Jayakarta pada masa itu. Melalui cara seperti inilah akhirnya kItab Al Fatawi bisa terdokumentasikan dan bisa dibaca sebagian orang yang mengerti bahasa arab melayu gundul.

Jelaslah antara Guru Mansur dan KH Ratu Bagus Ahmad Syar’I Mertakusuma mempunyai ikatan hubungan yang kuat, baik dari sisi Silsilah Kekerabatan, Silsilah Keilmuan dan juga karakter. Guru Mansur bukan saja Guru, beliau juga sahabat bagi KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i, Guru Mansur juga motivator munculnya kitab Al Fatawi dalam bahasa arab. Keduanya seperti mempunyai banyak persamaan, dapat dikatakan bahwa keduanya nyaris sama dalam hal apapun, “LIKE TEACHER LIKE STUDENT” buat mereka, begitu bunyi perkataan yang sering saya dengar.

Pada akhirnya tulisan ini kemudian harus diakhiri…..

Guru Mansur pada tahun 1967 tepatnya tanggal 12 Mei atau 1 Shofar 1387 Jam 16.40 berpulang ke Rahmatullah. Dengan diiringi ribuan kaum muslimin beliau kemudian dimakamkan di Masjid A lMansur Sawah Lio Jembatan Lima berdekatan dengan para leluhurnya yang diantaranya Pangeran Cakrajaya Nitikusuma IV.

Ulama karismatik akhirnya kembalike haribaan Rabbnya…………….

Wallahu A’lam bisshowab….

Sumber:

Al-Allamah As-Sayyid BahruddinAzmatkhan & As-Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan, Al Mausu’uah Li Ansaabi AlImam Al Husaini, Penerbit Majelis Dakwah Walisongo Jakarta, Edisi II Vol 24,2014, Hal 188 (nasab Raden Fattah dan Aria Jipang).

Ahmad Fadli, 2011, Ulama Betawi (Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi Dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad ke 19 dan 20), Penerbit:Manhalun Nasyi-in Press Jakarta, Hal 107-112.

Iwan Mahmud Al Fattah, 2014, Fattahillah Mujahid Agung Pendiri KotaJakarta, Penerbit Majelis Dakwah Walisongo Jakarta.

Iwan Mahmud Al Fattah, 2005. Sejarah Aria Penangsang dan Desa Gunung Batu,Penerbit: Pribadi.

KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma, 1375 H/1954 M, Kitab Al Fatawi (Bab Silsilah Keluarga Besar Jayakarta), Penerbit Lembaga Keadatan Al Fatawi, Palembang,Hal 16 (Silsilah Keluarga Besar Nitikusuma).

KH Fattahillah Ahmadi, 2010, Metode Perhitungan Awal Bulan Qomariah (Sistem Sullamunniran KH Muhammad Mansur), Penerbit Lembaga Falakiah-Hisabiyah Al Mansuriyah Jakarta, Hal 1-3.

Ratu Bagus Gunawan Semaun Mertakusuma, 1986, Wangsa Aria Jipang Di Jayakarta, Penerbit Agapress Jakarta, Hal 38 (Biografi Singkat Pangeran Cakrajaya Nitikusuma).

Ratu Bagus Gunawan Semaun Mertakusuma, 1981, Intisari Al Fatawi & Catatan Perjalanan Hidup, Penerbit Al Fatawi Jakarta, Hal 4 ( Biografi KH Ahmad Syar’i Mertakusuma).

Ridwan Saidi, 1997, Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan, Dan Adat Istiadatnya, PT. Gunara Kata, Hal:200-206.

Wawancara :

KH Fattahillah Ahmadi, Wawancara pertama Tanggal 8 Desember 2013 di kediaman beliau, pukul 10.00 s/d 14.00, kampung sawah lio Jembatan Lima Jakarta Barat,  wawancara kedua Hari Minggu tanggal 7 Desember 2014, Madrasah Al Mansuriah Kampung Sawah Lio Jembatan Lima Jakarta Barat, Pukul 13.00 s/d 16.30.