Rabu, 17 Agustus 2022

“SYARIF MEKKAH DAN HUBUNGANNYA DENGAN NUSANTARA”

 Disusun oleh : Iwan Mahmoed Al Fattah II

Sebelum kita melangkah lebih jauh lagi tentang perkembangan orang Arab yang ada di Nusantara, ada baiknya kita mencoba menengok kembali sejarah tentang bagaimana sebenarnya peta jaringan orang Arab dengan Nusantara setelah berkuasanya para Syarif Mekkah selama hampir kurang 700 tahun, ini penting untuk diungkap karena peran Syarif Mekkah tidaklah kecil dalam proses Islamisasi, sekalipun mereka tidak turun langsung namun melalui jaringan mereka, Islam akhirnya bisa berkembang pesat di beberapa wilayah Nusantara baik itu melalui melalui hubungan diplomatik maupun hubungan keagamaan.
Sejarah tentang para Syarif Mekkah memang jarang sekali dibahas dalam proses perkembangan Islam di Nusantara terutama bagaimana sebenarnya hubungan Syarif Mekkah dengan masyarakat Nusantara khususnya para ulama dan sultan-sultan yang ada pada masa itu. Ini penting diutarakan karena para Syarif Mekkah yang merupakan orang Arab asli itu ternyata mempunyai pengaruh yang cukup kuat dalam proses islamisasi yang terjadi di beberapa negara Islam tidak terkecuali di Nusantara. Sekalipun posisi mereka hanya sebagai ”penjaga” atau Gubernur kota Mekkah, namun pengaruh mereka di beberapa wilayah dunia khususnya dalam bidang ruhani tidak bisa dipungkiri. Tentu sebagai seorang pemimpin sebuah kota suci yang menjadi barometer umat Islam sedunia, keberadaan seorang Syarif Mekkah bukan hanya sekedar jabatan administrasi belaka, dibalik itu mereka juga dikenal sebagai keluarga yang banyak menghasilkan ulama-ulama besar. Seorang Syarif biasanya juga seorang ulama, sehingga tidak mengherankan jika mereka sangat peduli dengan perkembangan agama Islam di berbagai belahan dunia.
Sebagai sebuah wilayah yang sering didatangi banyak suku bangsa, tentu Syarif Mekkah sering berinteraksi dan mengetahui bagaimana kehidupan yang ada di luar Mekkah. Tidak mengherankan sebagai seorang pejabat berpengaruh, di kediamannya pasti banyak orang yang mengunjungi. Pada masa lalu, para sultan yang ada di Nusantara biasanya selalu berkunjung ke Mekkah guna mendapatkan “legalitas” atau “pengesahan” dirinya sebagai seorang pemimpin di negerinya, padahal idealnya mereka para sultan mendatangi Kesultanan Islam yang lebih besar seperti Turki Usmani, namun kenyataannya mereka lebih banyak memilih untuk menemui Syarif Mekkah. Turki Usmani sendiri sebagai wilayah pusat pemerintahan Islam yang membawahi Mekkah saat itu sangat memperhatikan betul bagaimana kedudukan para Syarif Mekkah tersebut, sehingga tidak mengherankan selama hampir 500 tahun hubungan mereka bisa berlangsung baik, tidak mengherankan, apapun kebijakan yang ditetapkan oleh Syarif Mekkah jarang sekali terdengar Turki Usmani mencampurinya.
Keberadaan Syarif Mekkah yang merupakan pemuka kaum Quraisy dan keturunan dari Rasulullah SAW semakin menambah dekatnya hubungan antara dirinya dengan orang-orang di Nusantara, apalagi diketahui bahwa banyak dari penyebar agama Islam yang ada di Nusantara juga merupakan keturunan dari Rasulullah SAW. Belum lagi hubungannya dengan keturunan Rasulullah SAW yang ada di Hadramaut, Persia, India dan negara-negara lainnya. Syarif Mekkah sendiri secara nasab adalah keturunan dari Sayyidina Hasan Ra.
Dalam sejarahnya para Syarif itu dinamakan Nizam Al-Asyraf (pemerintahan para Syarif) yaitu pemerintahan yang dipegang oleh keturunan dari Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib yang pertama kali ditegakkan oleh Ja’far ibn Muhammad bin Husain bin Muhammad Al-Sya’ir pada tahun 968 M. Dalam sejarahnya, Nizam Al-Ashraf berganti keturunan sebanyak empat kali, dimulai dari keturunan Ja’far ibn Muhamamd ibn al-Husayn, kemudian pindah kepada keturunan Sulayman al-Jun, lalu berganti lagi kepada keturunan Abu Hashim Muhammad ibn Ja’far, dan terakhir adalah keturunan Qatadah.
Sebagai Zuriat Rasulullah SAW yang bertanggung jawab menjaga Haramain yang suci, yaitu kota Mekkah dan Madinah, Syarif-Syarif Mekkah bukan saja diberikan hak otonomi oleh dinasti-dinasti (terutama setelah era Dinasti Bani Umayyah dan Bani Abbasiah) yang mengambil tanggung jawab sebagai pusat khilafah, justru dinasti-dinasti ini merasakan perlu mencurahkan khidmat dan menaungi Syarif-Syarif Mekkah sebagai satu amanah yang harus dipikul, contohnya dinasti-dinasti Fatimiyah, Ayyubiyah serta Turki Usmani yang memerintah hampir 6 abad lamanya itu semuanya mempunyai hubungan yang istimewa dengan Syarif-Syarif Mekkah. Syarif-Syarif Mekkah bukan saja dianggap sebagai pusat kerohanian ummat sedunia, bahkan mereka mempunyai hak tersendiri untuk memberi ijazah atau menobatkan pemerintahanan umat Islam. Ini berarti Syarif-Syarif Mekkah tidak memerlukan penyetujuan dari pusat khilafah untuk menobatkan seorang pemimpin pemerintahan, dinasti-dinasti yang nanti telah dinobatkan oleh mereka akan juga diakui oleh Khalifah ummat.
Keberadaan mereka sebagai pemimpin Mekkah sudah berlangsung sekitar 700 tahun sampai akhirnya pada tahun 1925 Masehi kekuasaan tersebut ditumbangkan oleh Ibnu Saud, hingga mereka harus hijrah dari negerinya sendiri ke wilayah Yordania yang merupakan daerah yang sangat miskin dan gersang.
Kecintaan dan dekatnya hubungan Syarif Mekkah dengan bangsa ini tidaklah bisa dinafikan. Pada masa lalu orang akan bangga kalau bisa berdekatan dengan para Syarif Mekkah karena kedudukan mereka yang terhormat, disisi lain para Syarif Mekkah dikenal sangat peduli akan perkembangan agama Islam juga kondisi ummat. Di Mekkah dan Madinah banyak sekali ulama kita yang diperhatikan. Sebagai bukti di Masjidil Haram ulama-ulama besar kita diperkenankan untuk mengajar. Dalam hal sosial kemasyarakatan para Syarif Mekkah ini dikenal sebagai pemimpin yang merakyat. Saat menjelang jatuhnya Syarif Mekkah terakhir, keluarga besar buyut saya yang pada masa itu menetap di Mekkah pernah diberikan sangu untuk kembali pulang ke Jawi saat Mekkah dilanda peperangan dan kekacauan. Sampai saat ini cerita tersebut masih terngiang-ngiang di ingatan saya. Menurut ibu saya, Syarif Mekkah yang terakhir itu sangat mengkhawatirkan sekali keselamatan orang-orang Indonesia yang saat itu lebih dikenal dengan sebutan orang-orang Jawi.
Pemukiman-pemukiman untuk masyarakat kita (saat itu disebut Al-Jawi) juga diberikan. Abad-abad ke 17 s/d 19 telah banyak ulama kita yang mengajar bahkan berhasil memberikan pengaruh yang tidak kecil, diantara mereka bahkan telah dianggap sebagai ulama internasional, tersebutlah misalnya nama Syekh Nawawi bin Umar Al-Bantani (Banten), Syekh Mahfudz At-Termasi (Tremas Pacitan), Syekh Muhtaram Banyumas (Jawa Tengah), Syekh Bakir Banyumas (Jawa Tengah), Syekh Asy’ari Bawean (Jawa Timur), dan Syekh Abdul Hamid Kudus (Jawa Tengah) , dll. Nama lain yang tidak kalah tenarnya yaitu Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Ia adalah ulama pertama asal Nusantara yang diangkat oleh penguasa Haramain untuk menjabat sebagai imam dan khatib di Mesjidil Haram. Dalam dunia Tarekat muncul sosok Syekh Ahmad Khotib Sambas. Menurut Zamakhsyari Dhofier, Syaikh Ahmad Khatib Sambas banyak melahirkan ulama-ulama di tanah Jawa yang kemudian menyebarkan ajaran Islam di Indonesia dan Malaysia. Dari Bogor Jawa Barat juga menyumbangkan putra terbaiknya dengan munculnya nama Syekh Muhtar ibn Tharid Al-Bughuri serta muridnya bernama Syekh Muhammad Ahyad bin Muhammad Idris bin Abu Bakar bin Tubagus Mustofa Al-Bakri Al-Bughuri. Syekh Muhammad Ahyad di Mekkah memimpin majlis zikir, sedangkan di masjid Nabawi beliau mengajar. Nama Syekh Ahyad bahkan sangat harum di kalangan ulama Mekkah dan Madinah. Nama terakhir yang tidak lagi berada di masa Syarif Mekkah namun juga tidak kalah bersinarnya dengan ulama terdahulu adalah Syekh Yasin Al-Padani. Tentu tidak akan mungkin bisa beliau-beliau itu mengajar tanpa restu para Syarif Mekkah. Adanya restu dan izin membuktikan jika Syarif Mekkah dan ulama kita telah terjalin hubungan yang harmonis.
Menurut Hamka, bahwasanya dahulu seorang Syarif Mekah telah mengutus seorang bernama Syech Ismail agar datang ke Samudera Pasai dan singgah di Malabar (Mu’tabar) serta menemui Sultan Muhammad untuk menyebarkan agama Islam di daerah tersebut. Selain itu seorang Syarif dari Mekah bernama Abdullah Araf juga telah datang ke Aceh untuk menyebarkan Islam di sana. Dalam pola hubungan antara Mekkah dengan Aceh, pada tahun 974 Hijriah atau tahun 1566 Masehi dilaporkan ada lima kapal dari Kesultanan Asyi (Aceh) yang berlabuh di Bandar pelabuhan Jeddah. UIkhuwah yang terjalin antara Aceh dan kekhilafahan Islam membuat Aceh mendapat mandat sebutan Serambi Mekkah..
Dalam perkembangan selanjutnya menurut Nurul Dzaimah yang telah mengutif pendapat beberapa ahli, bahwa gelar-gelar Sultan di Indonesia pada umumnya adalah pemberian penguasa Mekah sebagai tanda penghargaan kepada para penguasa-penguasa muslim, terutama jika penguasa tersebut berjasa dalam menegakkan dan menyebarkan ajaran Islam.
Disamping adanya hubungan diplomatik bangsa Indonesia dengan penguasa Haramain. Masih ada lagi hubungan yang bersifat keagamaan. Dinyatakan bahwa sultan Aceh mendapat kehormatan besar dari Mekah dan menerima hadiah stempel mas Bayt al Haram. Stempel mas tersebut diberikan sebagai tanda penghormatan, karena Sultan Aceh tersebut seorang Darwisy Sufi yang baik dan beriman. Surat-surat, hadiah dan gelar-gelar yang diberikan oleh pemerintah Mekah sejak abad ke- 12 sampai abad ke-17 dipandang oleh penguasa muslim Nusantara umumnya memiliki aura kesucian yang bersumber dari tempat yang paling suci dalam tradisi Islam.
Pada tahun 1625 - 1651 M salah seorang Sultan Banten yang berkuasa, Sultan (Abd Qadir) pernah mengirimkan misi diplomatik ke tanah suci Mekah. Dan dari hasil misi tersebut penguasa Mekah memberikan gelar Sultan dan juga memberikan hadiah yang diyakini berupa “bendera dan pakaian Nabi”. Semua pemberian Syarif Haramain tersebut setiap bulan Maulid diarak pada prosesi peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Banten. Selain Sultan Abdul Qodir, salah satu bangsawan Mataram yaitu Pangeran Rangsang Penguasa Mataram pada tahuun 1641 M menerima gelar Sultan Abdullah Maulana Matarani dari Syarif Mekkah.
Ayzumardi Azra menambahkan, abad XVII dan XVIII merupakan salah satu masa paling dinamis dalam sejarah sosial-intelektual kaum muslim. Dimana, sumber dinamika Islam dalam abad ke-17 dan ke-18 adalah jaringan ulama, yang terutama berpusat di Makkah dan Madinah. Posisi penting kedua kota suci ini, khususnya dalam kaitan dengan ibadah haji, yang menciptakan jaringan keilmuan dan menghasilkan wacana ilmiah yang unik. Dan kemudian melahirkan pula kesadaran ulama dalam jaringan untuk memperbaharui dan merevitalisasi ajaran-ajaran Islam dengan tema rekonstruksi sosial moral masyarakat muslim yang pada akhirnya menimbulkan hubungan-hubungan ekstensif dalam jaringan ulama dan melahirkan ekspresi semangat pembaharuan di banyak bagian dunia muslim.
Begitu banyak ulama Melayu yang menunaikan ibadah haji dan tinggal di dua kota suci (Haramayn) selama beberapa tahun dalam rangka memperdalam pengetahuan mereka tentang Islam, sehingga terdapat perkampungan khusus yang diberi nama “Perkampungan Melayu”, yang disediakan untuk menampung mereka. Peran perkampungan Melayu dalam mempererat ukhuwah Islamiyah diantara masyarakat Jawa tidak bisa diremehkan.
Selain tersebut diatas dengan tumbuhnya pesantren, surau, dan dayah, ulama tetap memiliki fondasi institusionalnya yang kemudian memberikan otoritas keagamaan. Hal ini selanjutnya didukung dengan intensifnya komunitas Jawi, yang menghubungkan ulama Nusantara dengan Timur Tengah. Komunitas Jawi berkontribusi besar dalam membuat Makkah pada akhir abad ke-19 menjadi pusat kehidupan keagamaan di Hindia Timur (Indonesia).
Pada kesimpulannya Mekkah yang merupakan kota suci umat Islam sedunia memegang peranan kunci dalam mengembangkan peradaban melalui ilmu-ilmu keislaman yang dibawa para ulama ataupun dainya. Dan itu tidak terlepas dari peran aktif Syarif Mekkah yang notabenenya mempunyai faham keislaman yang sama dengan faham keislaman yang ada di Nusantara. Akhir abad ke 19 adalah puncak dari kesemua itu sebelum berakhirnya kekuasaan Syarif Mekkah yang nanti digantikan oleh pemerintahan Abdul Aziz bin Saud yang hingga kini masih bertahan. Sejak tumbangnya Syarif Mekkah secara perlahan hubungan atau relasi Mekkah dengan masyarakat Nusantara mengalami perubahan yang cukup mencolok. Warna keislaman Mekkah dan Madinah dibawah pemerintahan Ibnu Saud lebih dominan bermazhab Hambali sedangkan Nusantara sendiri umumnya bermazhabkan Syafi’i. Namun demikian secara hubungan diplomatik terutama pasca kemerdekaan antara Mekkah dan Indonesia berlangsung sangat baik. Pada era kekinian bahkan jamaah haji Indonesia mendapatkan porsi yang besar bila dibandingkan dengan negara-negara lain, ini menunjukkan Arab Saudi mempunyai itikad baik dalam menjalankan hubungan bilateral.