Rabu, 17 Agustus 2022

“SEJARAH ORANG ARAB HADRAMAUT YAMAN BESERTA AKIDAH, MAZHAB DAN TAREKATNYA DI NUSANTARA”

Dari beberapa sumber yang kami pelajari, ternyata bangsa Arab yang banyak bertebaran di wilayah Asia Tenggara lebih khusus lagi Indonesia, banyak didominasi dari imigran yang berasal dari Yaman terutama wilayah Hadramaut, sehingga tidaklah mengherankan jika ingin membicarakan Arab yang ada di negeri ini maka kita akan lebih dekat dengan Arab Hadramaut Yaman. Sedangkan kalau kita melihat orang Arab yang banyak bertebaran pada masa sekarang ini terutama di beberapa tempat tertentu di Jakarta dan wilayah lain di Nusantara, mereka adalah Arab-arab yang berasal dari negara Saudi, Bahrain, Libanon, Qatar, Oman, Irak dan beberapa negara Timur Tengah lainnya dan itu jumlahnya juga tidak terlalu banyak seperti Arab Yaman yang ada sekarang ini. Ada juga mereka yang berasal dari Iran ataupun Pakistan, Afganistan tapi sering dianggap sebagai orang Arab. Harus diakui sampai saat ini orang Arab yang non Yaman memang sangat jarang terdapat di Indonesia.

Pada masa lalu selain imigran Arab Yaman, ada juga mereka yang berasal dari Makkah, Madinah, Irak atau negeri Timur lainnya, sayangnya informasi sejarah tentang Arab yang non Yaman ini tidaklah sebesar imigran Yaman Hadramaut, sehingga masuk akal jika dikatakan akar sejarah yang paling kuat tentang hubungan Arab dengan Nusantara adalah dengan banyaknya orang Arab Yaman terutama wilayah Hadramaut. Hingga saat ini imigran Arab yang berasal dari Hadramaut Yaman ini masih terus berkembang dengan pesat di berbagai daerah dan wilayah Indonesia. Beberapa cabang keluarga yang berasal dari Hadramaut bahkan lebih banyak berkembang pesat di wilayah-wilayah Nusantara.

Keberadaan imigran Arab Hadramaut nantinya akan banyak menentukan wajah keislaman yang ada di Nusantara khususnya Indonesia yang berbasiskan Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja). Karena seperti diketahui bahwa Yaman adalah negeri yang didominasi faham Ahlussunnah Wal Jamaah, kecuali di sebagian Yaman Utara yang mengikuti faham Syiah Zaidiyah.

Perlu kiranya hal ini kami sampaikan karena faham ini nantinya akan seiring sejalan dengan perkembangan sejarah masuknya agama Islam di Indonesia sejak masa awal sampai pada fase hijrahnya orang Arab Hadramaut pada abad ke 19. Faham Ahlussunnah Wal Jamaah sangat identik dan lekat dengan orang-orang Arab Hadramaut. Sejak masa hijrahnya Imam Ahmad Al-Muhajir dari Irak ke Hadramaut kemudian dilanjutkan oleh hijrahnya Sayyid Abdul Malik bin Alwi Ammul Faqih bin Muhammad Shohib Mirbad dan Alawiyyin lainnya ke India, wajah Ahlusunah Wal Jamaah masih terus melekat. Langkah mereka ini juga kemudian dilanjutkan dengan hijrahnya salah seorang seorang cicit Sayyid Abdul Malik yaitu Maulana Husein Jamaluddin Jumadil Kubro ke wilayah Asia Tenggara. Langkah itu tidak berhenti sampai disitu saja, gelombang Alawiyyin abad ke 19 dan ke 20 juga meneruskannya, ini terbukti karena sampai sekarang faham Aswaja masih terus menerus menyebar dan mampu bertahan dengan baik serta bisa diterima dengan lapang dada ditengah masyarakat. Melalui faham inilah para ulamanya bisa melakukan adaptasi, akulturasi dan asimilasi dengan masyarakat pribumi di Nusantara.

Dalam catatan Ibnu Assayuthi Arrifa’i para walisongo yang merupakan cabang dari keluarga Alawiyyin adalah ulama yang mengajarkan agama Islam yang berdasarkan Mazhab Syafi’i berhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah. Oleh sebab itu maka sebagian besar ummat Islam Indonesia adalah penganut Mazhab Syafi’i seperti yang pernah diajarkan wali tersebut. Dan ini kemudian diteruskan oleh para ulama yang mendirikan pondok pesantren yang sebagian besar terdapat di pulau Jawa.

Selaras dengan apa yang dikemukakan Ibnu Assayuthi Arrifa’i salah satu ulama kenamaan Indonesia yang gigih dalam memperjuangkan faham aswaja yaitu KH Sirajudin Abbas juga mencatat hal yang serupa yaitu :

1. Seluruh wali-wali yang sembilan adalah penganut faham Ahlussunnah Wal Jama’ah.

2. Kerajaan Islam Demak menganut faham Sunni dan bermazhabkan Syafi’i.

Menurut KH Sirajudin Abbas periode walisongo sampai kepada Kerajaan Demak yang terjadi sekitar abad XIV dan XVI ini sama dengan tahun-tahun kekuasaan Sultan Pasai dan Sultan Malaka yang beragama Islam bermazhab Syafi’i.

Secara sejarah, mazhab yang dianut habaib yang banyak berasal dari Arab Hadramaut, nantinya akan memberikan pengaruh yang besar terhadap bangsa ini adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Artinya terdapat kesamaan dalam faham aliran yang ada di Nusantara. Menurut hasil kajian Ahmad Haydar Baharun menyimpulkan bahwa adanya dan kesamaan antara Nusantara dengan kaum Alawiyyin Hadramaut adalah sebagai berikut :

1. Fiqih Hadramaut adalah fiqih Syafi’iyah yang merupakan mazhab yang dikembangkan oleh Al-Imam Muhammad Idris As-Syafii yang dibawa oleh para ulama habaib yang berasal dari Hadrmaut ke Nusantara sejak ratusan tahun ketika mereka menyebarkan agama Islam.
2. Awal mula Alawiyyin, yakini Al-Imam Muhajir Ahmad bin Isa ra, adalah Alawi atau sayyid pertama yang membawa mazhab Syafi’i ke Hadramaut dan menyebarkan kepada penduduk setempat serta sebagai mazhab ”permanen” bagi anak cucunya di kemudian hari.
3. Fiqih Hadramaut ini memiliki perbedaan kecil dalam praktek dibanding Fiqih Syafi’iyah yang berkembang di kalangan penganut Mazhab Syafi’i pada umumnya.
4. Fiqih Hadramaut adalah Fiqih Syafi’i plus, yaitu hakekatnya adalah fiqih dari Mazhab Syafi’i juga yang dalam bidang furu’ “diperkaya” dengan tradisi para ulama Hadramaut yang memiliki kapasitas keilmuan setara dengan para mujtahid itu.

Walaupun nanti ada sedikit “pergeseran” faham yang terjadi pada beberapa keturunan Arab Hadramaut baik yang berasal dari Alawiyyin maupun non Alawiyyin terutama pada era 90an hingga sekarang, itu dikarenakan ada dari mereka yang belajar di negara seperti Arab Saudi, Iran bahkan di Eropa yang kemudian ajaran atau pemikiran yang mereka peroleh dari negara-negara tersebut dicoba untuk “ditawarkan” atau “dipromosikan” baik kepada keluarga mereka sendiri ataupun umat lain yang bukan dari orang Arab. Arab Saudi dan Iran (Persia) memang negeri dengan wajah keislaman yang cukup panjang, oleh karena itu sangat wajar jika sampai sekarang masih diminati oleh kalangan Arab Indonesia terutama pada era kekinian dimana wajah Islamnya memiliki “ciri tersendiri”. Selain itu banyak juga putra-putri keturunan Arab Yaman yang juga belajar di beberapa perguruan tinggi dalam maupun luar negeri yang wajah Islamnya sudah cukup moderat.
Beberapa tahun ini beberapa Rubath (sejenis pondok pesantren) yang ada di Yaman Hadramaut seperti Darul Mustofa milik Al-HabibUmar bin Hafidz bin Syekh Abu Bakar mulai banyak didatangi keturunan Arab Yaman yang ada di Indonesia. Selain di Yaman di Mekkah khususnya di Mahad Abuya Muhammad bin Alwi Al-Maliki juga menjadi pusat ilmu pengetahuan yang sering didatangi kalangan Arab keturunan baik itu dari Alawiyyin maupun non Alawiyyin. Tidak ketinggalan pula ditempatnya Syekh Yasin Al-Padani Mekkah yang nanti banyak menghasilkan ulama-ulama besar.
Selain faham aswaja, dunia tarekat juga tidak lepas dari kehidupan kaum Hadrami khususnya Alawiyyin. Salah satu tarekat yang mereka anut adalah Tarekat Alawiyah. Dan dalam perkembangannya di Indonesia sekarang, Tarekat Alawiyah adalah 1 dari 45 tarekat yang mu’tabarah.
Tarekat ‘Alawiyah atau tarekat Bani ‘Alawi adalah sebuah metode, sistem atau cara tertentu yang digunakan Bani ‘Alawi dalam perjalanannya menuju Allah Ta’ala. Tarekat ini mereka warisi warisi dari leluhurnya yang tiada lain adalah anak cucu Nabi Muhammad SAW.
Secara lahiriah Tarekat Bani ‘Alawi adalah ilmu dan amal, sedangkan secara batinniah ia merupakan sebuah kesungguhan dalam menghadapkan diri kepada Allah Ta’ala dengan melakukan segala hal yang diridhoi-Nya dengan cara yang diridhai-Nya pula. Tarekat atau Thariqoh ini membimbing seseorang untuk menyandang semua akhlak luhur dan mulia serta menjauhi semua sifat hina dan tercela. Tujuan thariqah ini tiada lain untuk mencapai kedekatan dengan Allah dan memperoleh fath.
Dalam pandangan Habib Alwi bin Thohir Al-Haddad yang berdasarkan pandangan beberapa gurunya, Thariqoh Alawiyah secara lahiriah ialah Ghazaliyah yang tidak meninggalkan amal-amal syariat sedangkan secara batin ialah Syadziliyah yang tidak semata-mata menyandarkan pada amal dan tidak menjalani melainkan dengan didasari raja’ dan juga syauq.
Secara umum jika dilihat akar sejarahnya, khususnya wajah keislaman Yaman, utamanya wilayah Hadramaut memang “kurang begitu dekat” dengan wajah keislaman negara lain. Wajah keislaman Yaman Hadramaut nampaknya memang lebih cocok dengan wilayah Nusantara dalam hal ini Indonesia. Ini tidaklah mengherankan karena para penyebar awal agama Islam di Indonesia leluhurnya berasal dari Tarim Hadramaut termasuk walisongo yang merupakan keturunan dari Imam Abdul Malik Al Azmatkhan bin Alwi Ammul Faqih bin Muhammad Shohib Mirbad.
Penduduk Yaman dalam sejarahnya memiliki kontribusi yang besar dalam perjalanan dan perkembangan Islam. Mereka berbondong-bondong masuk Islam secara suka rela. Mereka juga dikenal ramah dan memiliki hati yang lembut, perasaannya sangat berkasih sayang, keimanan selalu memenuhi relung jiwa mereka, tidak suka bermusuhan dan tidak suka berprasangka buruk. Sifat ini diakui oleh Rasulullah SAW yang berkata, “Datang kepada kalian penduduk Yaman, mereka lebih ramah perasaannya dan lebih lembut hatinya, keimanan ada dalam penduduk Yaman dan hikmah ada di penduduk Yaman (HR Bukhari)”. Karena sifat keramahan itulah maka negeri Yaman seringkali diperebutkan oleh berbagai kekuasaan pemerintahan. Tidaklah mengherankan jika negeri ini nantinya akan menjadi salah satu mercusuar berkibarnya Islam di dunia termasuk nanti dengan hijrahnya sebagian besar penduduk Hadramut ke negeri ini.
Keberadaan sejarah panjang Yaman ini tentu menjadi semakin menarik untuk dikaji apalagi setelah banyak penduduknya yang sudah sekian ratus tahun menetap disana kemudian memilih untuk melakukan hijrah besar-besaran secara bergelombang ke Indonesia. Merupakan hal yang luar biasa dari wilayah yang jauh tapi mereka mau bersusah payah datang ke Nusantara, padahal jarak tempuh Yaman dan Nusantara, bukanlah pendek, apalagi mereka harus melewati lautan yang kadang tidak ramah dalam dunia pelayaran.
Sumber : Buku "Kiprah Orang Arab di Nusantara"