Rabu, 17 Agustus 2022

“MAAF HAMKA KEPADA BUNG KARNO”

 Mereka adalah sosok yang dikenal penuh dedikasi berpikir dan berbuat tanpa pamrih untuk bangsa dan negara. Bung Karno banyak terlibat dalam pergerakan kemerdekaan melalui jalur politik dan diplomasi, sementara Buya Hamka adalah seorang ulama pejuang, yang berjuang melalui jalan dakwah. Buya hamka adalah salah satu tokoh yang berasal dari tanah Minang. Sama seperti Hatta yang merupakan Dwitunggal Ir. Soekarno, Buya Hamka juga merupakan salah seorang sahabat karib Soekarno. Persahabatan antara Soekarno dan Buya Hamka terjalin pada saat Buya Hamka mengunjungi Soekarno di tempat pengasingannya di Bengkulu tahun 1941.

Perseteruan diantara mereka nampaknya dimulai pada sidang tahun 1957, dimana Hamka menyampaikan pidato yang menolak gagasan Presiden Soekarno yang ingin menerapkan sistem Demokrasi Terpimpin. Gagasan demokrasi terpimpin seolah menjadi ”Mantra Sakti”, alat penindas oposisi bernama ideologi Nasionalisme-Agama-Komunisme (Nasakom). Soekarno dengan angkuh mulai menggali kuburan bagi lawan-lawan politiknya. Dewan Konstituante kemudian dibubarkan oleh Soekarno melalui Dekrit 5 Juli 1959. Soekarno kemudian juga membubarkan Masyumi dengan menyatakannya sebagai partai terlarang pada 1960.

Perseteruan antara Soekarno dengan Buya Hamka terus berlanjut. Pada Agustus 1960, dimana diterbitkannya majalah ”Panji Masyarakat” oleh K.H Fakih Usman dan Buya Hamka diterbitkannya sebagai corong dakwah Islam dibreidel, yang memuat karangan Muhammad Hatta dengan judul “Demokrasi Kita” yang mana tulisan tersebut berisikan tentang menolak terang-terangan tentang Demokrasi Terpimpin, hingga Soekarno merasa posisinya terancam. Puncaknya pada tahun 1964 - 1966, dengan tuduhan melanggar Undang-undang Anti-Subversif Pempres No. 11 yaitu tuduhan merencanakan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno. Selama masa penahanan Buya Hamka menjalani hari-hari yang cukup berat karena ia harus menjalani masa-masa interogasi yang berlangsung secara sepihak tanpa adanya pertimbangan keadilan. Hamka baru bebas setelah pemerintahan Soekarno digantikan oleh Soeharto, kemudian beliau kembali melakukan kegiatan seperti sebelum ditahan Soekarno.

Sekalipun hubungan mereka pernah memburuk namun ada suatu kejadian yang sangat mengharukan. Dalam kesaksian putra Hamka, pada tanggal 16 Juni 1970, tiba-tiba Hamka dihubungi oleh Mayjen Suryo, ajudan Presiden Soeharto. Pagi-pagi Pak Suryo telah datang ke rumah Hamka. Kehadiran Pak Suryo, yang ditemani oleh seseorang, ternyata membawa pesan dari keluarga Soekarno untuk Hamka. Pesan itu adalah pesan terakhir dari Soekarno untuk keluarganya dan dipenuhi Presiden Soeharto. Untuk itulah kemudian Presiden Soeharto mengutus Pak Suryo, ajudannya, menemui Hamka. Isi pesan Soekarno lalu disampaikan kepada Hamka. “Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam sholat jenazahku”. Demikian kurang lebih pesan Soekarno kepada keluarganya.

“Jadi beliau sudah wafat?” Hamka bertanya kepada Pak Suryo. “Iya Buya. Bapak Soekarno telah wafat di RSPAD, sekarang jenazahnya telah dibawa ke Wisma Yaso”, jawab Pak Suryo. Tanpa banyak berpanjang waktu lagi, Hamka langsung berangkat ke Wisma Yaso. Di wisma itu telah banyak pelayat berdatangan. Penjagaan sangat ketat. Di sana telah hadir pula melayat, Presiden Soeharto dan beberapa pejabat tinggi. Hamka dengan mantap menjadi Imam Sholat Jenazah Soekarno. Pesan terakhir mantan Presiden Pertama Republik Indonesia yang telah memenjarakannya, dengan ikhlas ditunaikan Hamka.

Akibat Hamka meluluskan pesan terakhir Soekarno, banyak teman-teman Hamka kemudian yang menyalahkan tindakan Hamka tersebut. Berbagai alasan mereka sampaikan kepada Hamka, baik langsung maupun tidak langsung. Ada yang mengatakan Soekarno itu munafik. Ia lebih dekat dengan golongan anti Tuhan dibandingkan dengan umat Islam. Ada juga yang mengingatkan Hamka dengan peristiwa masalalu ketika Hamka dipenjara.

“Apa Buya tidak dendam kepada Soekarno yang telah menahan Buya sekian lama di penjara?” Semua pandangan tersebut dijawab Hamka dengan lemah lembut. “Hanya Allah yang mengetahui seseorang itu munafik atau tidak. Yang jelas, sampai ajalnya, dia tetap seorang muslim. Kita wajib menyelenggarakan jenazahnya dengan baik. Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahu empat bulan saya ditahan, saya merasa semua itu merupakan anugrah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan Kitab Tafsir Al-Qur’an 30 Juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan itu, kata Hamka dengan santun.

“Ada lagi jasa besar Soekarno untuk umat Islam di Indonesia. Dua buah masjid. satu di Istana Negara, yaitu Masjid Baiturrahim, dan satunya lagi sebuah masjid yang terbesar di Asia Tenggara, yaitu Masjid Istiqlal. Mudah-mudahan jasanya dengan kedua masjid tersebut, dapat meringankan dosa Soekarno”, Hamka menambahkan penjelasannya.

Ada sebuah cerita menarik lain tentang kenapa Hamka yang diminta menjadi sholat Imam Jenazah. Awalnya adalah selesai memimpin sholat Isya di Al-Azhar tanggal 21 Juni 1970, Hamka kemudian kembali pulang karena mendapatkan pesan penting dari istrinya Siti Raham karena ada tamu penting yang ingin bertemu dengannya dan sudah menunggu dirumah. Orang itu adalah Drs. Kafrawi Ridwan utusan KH Muhammad Dahlan dan Mayor Jenderal Suryo Asisten Pribadi Presiden Soeharto. Kedatangan mereka ke rumah Hamka adalah atas perintah Presiden Soeharto untuk menjemput dirinya untuk menjadi Imam Sholat jenazah di wisma Yaso.

Malam itu juga ketiganya berangkat menuju Wisma Yaso. Setibanya disana sudah banyak orang berkumpul, nampaklah jenazah Bung Karno saat itu dengan wajah yang belum dibungkus kain kafan tampak sekali terlihat mulai membengkak, karena pengaruh obat-obatan penenang yang dia konsumsi selama lima tahun terakhir atau semenjak jabatan presidennya dicabut. Saat melihat jenazah Soekarno itulah tak terasa air mata mulai menetes, membuat orang-orang yang hadir di tempat itu terlihat kebingungan melihat sikap Hamka. Hamka terharu melihat jenazah Bung Karno, sekalipun dia pernah disakiti tapi Hamka tidak bisa membencinya. Biar bagaimanapun Bung Karno adalah orang yang pernah dekat dengannya. Bahkan Hamka sudah menganggapnya sebagai saudara tua, seorang kakak yang wajib dia hormati dengan tulus. Dalam keharuan itu Hamka kemudian memanjatkan doa-doa kepada Allah SWT. Agar Allah SWT membukakan pintu maaf dan ampunan atas semua kesalahan dan kekhilafan yang pernah dilakukan Bung Karno semasa hidupnya di dunia ini. Hamka kemudian melihat di sekeliling jenazah dan melihat ada yang menangis sampai terisak-isak.

Acara kemudian dibuka oleh KH Muhammad Dahlan dengan mengajak orang-orang bertahlil dan berdoa bersama setelah itu acara ditutup dengan sholat jenazah bersama dengan Buya Hamka sebagai imamnya. Hanya saja yang menjadi kebingungan Hamka, mengapa yang diminta untuk menjadi Imam sholat jenazah Bung Karno oleh Presiden Soeharto adalah dirinya ? berbulan-bulan lamanya sejak kematian Bung Karno, pertanyaan itu memenuhi pikirannya. Hingga akhirnya dia menemukan jawabannya dari Mayjend Suryo. Sekitar empat bulan setelah Bung Karno wafat, Hamka kembali bertemu dengan Asisten Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto itu. Dalam kesempatan itulah laki-laki besar dan kekar itu menceritakan jika Bung Karno, saat dalam sakratul maut, menyuruh salah seorang diantara keluarganya pergi ke Istana Negara untuk menemui Presiden Soeharto. Anggota keluarga yang ditunjuk oleh Bung Karno menemui Presiden Soeharto itu diminta menyampaikan pesan singkat, “Jika saya mati kelak, mohon kesediaan Hamka untuk menjadi Imam sholat jenazahku”.

Kehadiran Buya Hamka saat itu telah membuat haru Rahmawati Soekarnoputri. Dalam bukunya diceritakan, malam sebelum jenazah diberangkatkan ke Blitar di Wisma Yaso diselenggarakan tahlilan yang dipimpin oleh Buya Hamka. Dalam duka, Rahmawati sangat menghargai dan menghormati sikap Buya Hamka yang demikian berjiwa besar. Padahal Buya Hamka tidak sefaham dengan Soekarno secara politik. Namun rasa persahabatan itu tertanam dalam hati sanubarinya. Buya Hamka memberikan penghormatan terakhir kepada Bung Karno, sahabatnya. Inilah teladan jiwa besar yang nyata, ujar Rahmawati.

Dari kisah persahabatan Bung Karno dan Buya Hamka terutama terkait Hamka yang dipenjara dan permintaan Bung Karno untuk disholatkan, mengandung persahabatan sekaligus hikmah bagi penguasa. Salah seorang warganet ketika mengomentari cerita ini menulis bahwa keislaman Bung Karno jelas, hanya jalan politiknya yang salah. Yang lainnya menulis menulis, “Semoga ini menjadi pelajaran bagi penguasa Indonesia kapanpun”. Adapun seorang lainnya menulis, “Hamka, ulama yang belum tergantikan”.

Menurut Hamka, nasionalisme kita dibangun oleh Bung Karno. Dan, di dekat peti mati Bung Karno pula, Hamka berkata, “Dengan Ikhlas saya berkata di dekat matinya, “aku maafkan engkau saudaraku”. Dalam konteks cerita ini, menurut James R Rush, Hamka sedang membangun cerita bahwa Bung Karno telah membawa kita menjadi satu bangsa. Dia muslim dan setelah meninggal dia dimaafkan oleh umat Islam, salah satunya oleh Hamka sendiri. Di Sini terlihat bahwa kendati yang namanya pertemanan itu bisa pasang surut, tetapi berlapang dada dengan memaafkan teman seperjuangan adalah penting dan mulia.

DIKUTIF DARI BUKU : “Bung Karno Dalam Pusaran Islam”, disusun oleh : Iwan Mahmud Al-Fattah

Mungkin gambar 3 orang, orang berdiri dan teks yang menyatakan 'Hamka di depan peti mati Bung Karno (Sumberfot (Sumberfoto:Rachmawat Soekarno, Bapakku buku, him. 256)'