Selasa, 26 Januari 2016

GELAR DATUK/DATO DALAM KHAZANAH SEJARAH JAYAKARTA

Bagi sebagian masyarakat Jakarta, untuk menghormati seorang tokoh biasanya pada nama tokoh tersebut selalu disematkan dengan sebuah gelar yang menandakan apa yang disandingkannya  tersebut sesuai dengan karakter dirinya.

Dahulu terutama pada awal-awal abad 20 jika ingin menyebut seorang ulama yang ilmunya dalam, di Jakarta selalu disematkan dengan  gelar GURU. 

Sampai tahun 60an gelar ini masih bertahan di sebagian masyarakat Jakarta. Sayangnya pada tahun 70an hingga sekarang, gelar GURU tergantikan dengan gelar KH (Kyai Haji). Padahal dengan pemakaian gelar GURU itu, Jakarta akan memiliki ciri khas gelar tersendiri dalam bidang keagamaan, dan ini adalah bagian kearifan loKal. Coba kita tengok di Sunda dimana ada Gelar Ajengan, di Aceh, Melayu Riau, Medan ada gelar Tengku, di Jawa ada gelar Kyai, di Lombokada Tuan Guru, di Sumatra Barat ada Buya, di Madura ada Bendara, di Sukawesi ada Tofanrita, di Kalimantan Selatan ada GURU (mirip dengan Jakarta) dan masih banyak lagi gelar-gelar keagamaan lokal yang ada di bumi Nusantara ini.

Diantara mereka yang pernah mendapatkan gelar di Jakarta  misalnya Guru Mansur, Guru Romli, Guru Mughni, Guru Majid, Guru Abdullah, Guru Mahmud, Guru Marzuki, Guru Amin, Guru Riun, Guru Junaidi, Guru Cit,  Guru Alif, Guru Ending,  dan masih banyak lagi ulama-ulama Jakarta yang memakai gelar seperti ini. Tentu gelar ini bukanlah gelar sembarangan mengingat mereka yang saya sebut ini pada masanya dikenal sebagai ulama yang karismatik dan dalam ilmunya. Gelar Guru memang menandakan kalausi pemilik ilmu diakui secara budaya berdasarkan keilmuannya. Namun demikian bergesernya gelar Guru menjadi Kyai Haji memang bukan merupakan kesalahan, karena setiap kebudayaan pasti akan mengalami perkembangan. Dulu mungkin masyarakat akrab dengan panggilan Guru namun seiring berjalan waktu, title Kyai Haji itu kemudian mengambil alih kedudukan spiritual ulama-ulama Jakarta, misalnya KH Abdullah Syafi’I, KH Thohir Rohili, KH Noer Ali, KH Zayadi Muhajir, KH Nahrowi Abdussalam, KH Syafi’I Hadzami, KH Abdurrozaq Khaidir, KH Fathullah Harun, KH Sasi, KH Zaenuddin MZ, dan masih banyak lagi.

Di samping gelar GURU di Jakarta ternyata ada satu gelar yang menarik untuk dikaji, yaitu gelar DATUK/atau DATO. Pada setiap budaya di Nusantara ini, terutama Melayu, Gelar Datuk/Datu/Dato memang memiliki makna yang berbeda pada setiap daerah seperti misalnya :

1.  Ayah atau kakek
2.  Yang Dituakan
3.  Yang dipertuan

Dalam konteks sejarah Jakarta, tentu menjadi sebuah kajian yang menarik ketika gelar tersebut muncul.

Dalam konteks sejarah keluarga besar Walisongo sendiri nama Datuk kita dapat lihat pada gelar Syekh Datuk Kahfi yang ada di Cirebon, memang beliau ini ayahnya banyak bertempat tinggal di Malaka.

Berdasarkan penelitian dan wawancara saya dengan orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan atau mereka yang mengetahui gelar ini. 

Ternyata gelar DATUK atau DATO ini diperuntukkan bagi ulama-ulama yang hidup pada era abad ke 17 – 19 Masehi. Pada wawancara saya dengan Abuya KH Rusdi Saleh (kakeknya adalah ulama besar Betawi Kampung Melayu yang pernah 11 tahun di Mekkah) di kediaman beliau Kampung Melayu Jakarta Selatan pada tahun 2013 lalu, beliau menegaskan kepada saya bahwa semua Ketua Masjid Al Atiq Kampung Melayu sejak tahun 1700san sampai akhir abad ke 19 Masehi adalah ulama-ulama yang mumpuni ilmunya. Ketua Masjid tidak boleh dijabat oleh yang bukan ulama. Dan gelar ketua masjid Al-Atiq adalah rata-rata adalah DATUK/DATO. Pengurus Masjid pertama bernama DATUK ABDUL MAJID yang merupakan ulama besar pada masanya, terutama pada kawasan Mester cornelis.

Untuk memperkuat jika gelar DATUK atau DATO ini bukan gelar sembarangan, pada tahun 2013 saya juga mengadakan wawancara dengan beberapa sesepuh yang tinggal di daerah Condet Jakarta Timur dimana disitu terdapat  makam ulama yang bernama DATUK IBRAHIM. Datuk Ibrahim ini ternyata keturunan Maulana Malik Ibrahim yang menyebarkan Islam di Condet dan sekitarnya. Beliau adalah ulama dan waliyullah yang kapasitas keilmuwannya sangat tinggi. Beberapa sesepuh seperti Haji Musa juga menegaskan jika gelar Datuk adalah gelar untuk ulama Jakarta pada masa lalu, dan mereka yang bergelar DATUK atau DATO ini bukanlah ulama sembarangan.

Masih belum puas saya juga berusaha mencari nama DATUK/DATO BiIRU yang ada di Rawa Bunga Jatinegara Jakarta Timur dan mempunyai hubungan dengan masyarakat Condet, ternyata beliau inipun seorang ulama yang Waliyullah, dinamakan BIRU karena beliau selalu memakai pakaian dan Jubah Biru.

Berdekatan dengan Condet yang berlokasi di Kelurahan Kramat Jati Jakarta Timur ada juga salah satu makam penyebar agama Islam yang bernama DATUK TONGGARA yang berasal dari Sulawesi. Besar kemungkinan beliau ini salah satu ulama dan pasukan perangnya Syekh Yusuf Makasar yang pernah singgah di Jayakarta untuk membantu perlawanan Sultan Banten dalam  menghadapi Penjajah.

Bergeser saya kearah Kayu Putih Utara Kecamatan Pulogadung Jakarta Timur saya juga menemukan makam seorang ulama Jakarta tempo dulu yang bernama DATUK QIDAM, beliau adalah pendiri pertama Pesantren Kayu Putih ,beliau merupakan kakek dari Syekh Abdul Ghoni atau Wan Gani yang merupakan mufti betawi pertama sebelum Sayyid Usman bin Yahya. Datuk Qidam disamping seorang Mujahidin Jayakarta dia juga merupakan ulama yang Waliyullah. Gelar Datuk disandangnya karena pengakuan ulama dan masyarakat pada masa itu.

Yang juga tidak kalah menarik adalah keberadaan seorang Ulama di daerah lubang buaya pondok gede  yang bernama DATUK BANJIR yang nama aslinya Pangeran Syarif bin Syekh Abdurrahman. Beliau dikenal sebagai ulama yang mempunyai banyak karomah dan pejuang pembela rakyat yang ditindas oleh penjajah. Menurut sebuah riwayat Datuk Banjir adalah orang yang membangun masjid Maulana Hasanudin di dekat PMI jalan MT Haryono, masjid yang sering disebut kubah hijau yang tiangnya tidak memakai tiang soko guru seperti masjid lainnya, kebetulan saya sudah berapa kali sholat dimasjid ini, dan menurut dari keluarga Kong Riun yang ada Tegal Parang Jakarta Selatan, memang masjid tersebut dibangun oleh Dzurriyah keturunan Maulana Hasanuddin Banten yang ada di Jayakarta.

Dan masih banyak lagi nama-nama Datuk yang belum saya datangi seperti DATUK GEONG, DATUK SIRRIN yang makamnya di samping SMA GLOBAL ISLAMIC SCHOOL CONDET atau juga KYAI LUKMANUL HAKIM yang bergelar DATUK di Kramat Kampung Pulo yang kini terancam digusur.  Dari beberapa riwayat dan konteks Sejarah Jayakarta jelaslah bahwa seorang DATUK/DATO itu adalah ulama yang karismatik dan dalam ilmunya. Rata-rata mereka juga banyak yang merupakan pejuang dan Mujahidin Jayakarta. Seorang yang bergelar DATUK atau DATO merupakan ulama yang mampu menjadi contoh bagi masyarakat baik perkataan maupun tingkah lakunya, karismanyapun biasanya cukup bisa dirasakan oleh masyarakat. Gelar DATUK atau DATO itu setara dengan ulama Jakarta yang karismatik pada masa awal abad 20 seperti para GURU yang sudah saya sebutkan terdahulu dan juga para Habaib seperti Habib Ali Kwitang, Habib Ali Bungur, Habib Salim Jindan, Habib Zain Alaidrus Krukut, Habib Muhsin bin Muhammad Al-Attas, Habib Kuncung, Habib Umar Bin Hud Al-Attas. Sayyidil Walid Alhabib Abdurrahman Assegaf Bukit Duri, dll.

Sumber :

Wawancara dengan Abuya KH Rusdi Saleh Kampung Melayu tahun 2013
Wawancara dengan para sesepuh Condet di Masjid Assa’dah tahun 2013
Wawancara dengan salah satu Dzurriyah Kong Riun di Tegal Parang tahun 2014
Penelitian sejarah makam penyebar Islam Jakarta secara mandiri, sejak tahun 1993 sampai dengan sekarang.