Ada pertanyaan yang ditujukan kepada kami. apa akidah yang dianut oleh Keluarga Besar Alawiyyin atau katakanlah Keluarga Besar Walisongo?
Pertanyaan ini sudah beberapa kali dilontarkan kepada kami, dan dari beberapa pertanyaan itu terus terang kami belum bisa menjawab sebelum kami mendapatkan beberapa sumber yang kiranya bisa mempertegas akidah apa yang kiranya dianut Walisongo yang merupakan salah satu bagian keluarga Alawiyyin.
Jika kami amati, memang cukup mengherankan, kenapa akhir-akhir sekarang sering muncul pertanyaan-pertanyaan seperti ini?
Adanya pertanyaan adalah merupakan hal yang wajar mengingat dekatnya hubungan bangsa ini dengan keluarga besar Alawiyyin, khususnya rumpun keluarga besar Walisongo., Memang jika kami amati beberapa tahun ini, sepertinya ada kecenderungan dari beberapa fihak untuk mempromosikan beberapa ajaran atau akidah yang dirasa bertolak belakang dengan akidah yang dianut secara umum dari bangsa ini. Sayangnya dari sekian penelitian dan juga dibuktikan dengan kitab-kitab yang jadi rujukan ulama mereka, akidah yang dibawa tersebut banyak terdapat kejanggalan-kejanggalan yang menurut hemat kami sangat tidak sesuai dengan ajaran yang kami anut sejak dari masa leluhur kami yang terdahulu hingga yang sekarang ini. Bahkan yang juga tidak kalah mengagetkan, kami, kami bahkan pernah mendapati seseorang yang mengatakan langsung bahwa ajaran-ajaran Walisongo yang selama ini telah ratusan tahun dianut bangsa ini dikatakan berasal dari akidah tersebut. Tentu saja kami sangat terkejut dengan adanya statement tersebut, karena setahu kami Walisongo itu jauh dari anggapan tersebut. Berdasarkan ajaran dan beberapa literatur yang kami baca dan pelajari, setahu kami, Walisongo dan juga beberapa Kesultanan Nusantara itu ajarannya adalah murni Ahlussunnah Wal Jama’ah. Beberapa Ulama dan keturunan Walisongo juga banyak yang kami temui masih setia dengan akidah ini.
Dalam tulisan ini kami sengaja tidak menulis atau menyebut akidah yang bertentangan tersebut, bukan berarti kami ini takut, kami ingin berdakwah melalui tulisan dengan memakai strategi dan cara seperti ini, tidak perlu menyebut nama, tapi sebut saja perilakunya dan itu kami rasa lebih cocok, tanpa kami harus sebut pun semua juga sudah faham siapa yang kami maksud itu, kami lebih senang untuk memilih sasaran pribadi-pribadi yang sudah mendalami dan mengikuti akidah tersebut, ini semua rasa cinta kami kepada mereka. Insya Allah niat kami kepada mereka semata-mata karena nilai kasih sayang sebagai hamba Allah. Tidak perlu kami menyebut nama akidahnya, cukup kita sebut perilaku-perilaku yang tidak selaras dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah, itu sudah merupakan sebuah indikator dari akidah yang mereka anut. Kami masih berharap mereka bisa terketuk dan terbuka hatinya untuk kembali kepada akidah leluhurnya yang sejati. Pendekatan yang rasanya pas untuk mereka adalah dengan mengetuk hati mereka tanpa harus menghujat dan merendahkan mereka, karena pada dasarnya mereka itu jika sentuh hatinya Insya Allah lambat laun akan terbuka.
Dalam tulisan kami ini tentu yang akan kami ketengahkan adalah tentang Keberadaan Akidah Walisongo, Kesultanan Ahlul Bait Nusantara dan juga khususnya Keluarga Besar Bani Alawi (Alawiyyin) yang datang secara besar-besaran pada pada abad 19 atau 20 ke Nusantara. Mereka semua ini adalah keturunan dari Imam Ahmad Al-Muhajir. Imam Ahmad Al-Muhajir adalah leluhur puncak dari seluruh Alawiyyin seluruh dunia termasuk Walisongo. Dari beliaulah ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah berkembang hingga sampai masa Walisongo dan Kesultanan-Kesultanan Islam Nusantara. Beliau awalnya tinggal di Basrah Irak namun kemudian hijrah ke Hadramaut. Salah satu alasan beliau hijrah adalah untuk menyelamatkan keturunan beliau dari adanya pengaruh “akidah” yang dikembangkan oleh satu golongan di Irak namun akidah mereka sangat bertolak belakang dengan akidah yang dianut keluarga besar Imam Ahmad Al-Muhajir. Berkat langkah hebat dari Imam Ahmad Al-Muhajir yang hijrah ke Hadramaut inilah akidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah selamat dan kemudian terus dianut oleh keluarga besar Bani Alawi yang merupakan keturunan beliau. Akidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah bahkan juga dianut oleh banyak Kesultanan Islam Nusantara, lebih khusus lagi Walisongo.
Satu hal yang perlu kita ketahui bahwa Kesultanan Demak dengan Sultannya yang bernama Raden Fattah juga memiliki akidah yang sama dengan anggota Walisongo pada umumnya, yaitu Ahlussunnah Wal Jama'ah dengan mazhab Imam Syafi’i. Sengaja kami menyebut Kesultanan Demak karena Kesultanan ini adalah Khilafah Islamiah pertama di Tanah Jawa yang menganut Ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah. Pendapat kami ini juga selaras dengan apa yang dikemukakan oleh KH Sirajudin Abbas (2010:339) bahwa :
1.Seluruh Wali-wali yang sembilan adalah penganut faham Ahlussunnah Wal Jama’ah.
2.Kerajaan Islam Demak menganut faham Sunni dan bermazhabkan Syafi’i
Menurut beliau periode Walisongo sampai kepada Kerajaan Demak yang terjadi sekitar abad XIV dan XVI ini sama dengan tahun-tahun kekuasaan Sultan Pasai dan Sultan Malaka yang beragama Islam bermazhab Syafi’i.
Dalam catatan Ibnu Assayuthi Arrifa’i (2012:18) para Walisongo adalah Ulama yang mengajarkan agama Islam yang berdasarkan Mazhab Syafi’i berhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah. Oleh sebab itu maka sebagian besar ummat Islam Indonesia adalah penganut Mazhab Syafi’i seperti yang pernah diajarkan wali tersebut. Dan ini kemudian diteruskan oleh para ulama yang mendirikan pondok pesantren yang sebagian besar terdapat di Pulau Jawa.
Syaikh Imam Muhammad Ali Al Khird dalam buku yang ditulis oleh As-Sayyid Al Faqih Zain bin Sumait (2011:135) juga mengatakan bahwa Ahlussunnah Wal Jamaah berkaitan dengan terhadap Ahlul Bait, Sahabat dan Tabi’in dengan keyakinan yang seharusnya, seperti mencintai, bersikap rela hati dan berkasih sayang terhadap mereka, karena masing-masing dari mereka memiliki syafaat dan wibawa dihadapan Allah SWT baik didunia maupun diakhirat sesuai tingkat keutamaan masing-masing, sebab orang besar akan mendapatkan kemuliaan berdasarkan kemuliaan keluarga.
Ahlusunnah Wal Jama’ah adalah ajaran yang dianut oleh keluarga besar Alawiyyin yang salah satunya adalah Keluarga besar Walisongo dan Kesultanan Demak. Ajaran yang berasal dari leluhur mereka yang bernama Al-Imam Ahmad Al-Muhajir adalah ajaran utama Keluarga Besar Alawiyyin yang sekarang ini, mereka lebih banyak dikenal dengan panggilan Habib atau Syarifah, khususnya yang berada di Nusantara ini. Dari Imam Ahmad Al Muhajir ini kelak akan banyak menurunkan jutaan Alawiyyin yang sering juga disebut Bani Alawi. Kenapa keturunan beliau dinamakan Alawiyyin atau Bani Alawi ini? Karena dari salah satu cucunya yang bernama Imam Alwi Al-Mubtakir bin Imam Ubaidhillah Shohibul Aradh kelak akan banyak menurunkan para Sayyid atau Syarifah yang menyebar ke seluruh dunia, termasuk Walisongo, dan mereka itu sering disebut sebagai Keluarga Besar Alawiyyin atau Bani Alawi. Menurut Idrus Alwi Al Mahsyur (2010:102) sebutan Alawi hanya digunakan untuk keturunan Imam Alwi bin Imam Ubaidhillah dengan menggunakan Bani Alawi atau Aal Alawi. Jika kedatangan para Habaib yang kita kenal sekarang ini banyak berlangsung pada pertengahan abad ke 19 dan 20, maka Walisongo jauh lebih awal, yaitu abad 14 dan 15. Sehingga kelak keberadaan Keturunan Keluarga Besar Walisongo sudah lebih dahulu melakukan asimilasi dan akulturasi dengan budaya dan keturunan dari bangsa ini, sehingga gaya hidup dan wajah merekapun sudah menjadi bagian dari bangsa kita.
Bagaimana tentang keberadaan Nasab (Garis keturunan) Alawiyyin atau Bani Alawi ini ?. Yang jelas Garis Keturunan mereka sudah banyak yang mengakui, kitab-kitab nasab yang tersebar di seluruh dunia sudah banyak yang menyebut Klan yang satu ini. Dalam catatan As-Syekh As-Sayyid Bahruddin Azmatkhan (2014) yang disusun dalam kitab Al Mausuuah Li Ansaabi Al Imam Al Husaini, bahkan keberadaan Nasab Keluarga Besar Alawiyyin tercatat dengan rapi. Sayyid Bahruddin sendiri mengambil sanad keilmuwan nasabnya dari ayahnya yang bernama Sayyid Abdurrozak, begitupula Sayyid Abdurrozaq mengambil sanad dari ayahnya terus sampai kepada Sunan Kudus sampai kemudian kepada Sayyid Abdul Malik sampai kemudian ke Imam Ahmad Al-Muhajir hingga sampai kepada Rasulullah SAW.
Pada masa Imam Ahmad Al-Muhajir sendiri, menurut Fairuz Khoirul Anam (2010:34) beliau sudah membukukan nasab keluarganya hingga sampai pada Rasulullah SAW. Di Basrah Irak bahkan nasab Imam Ahmad Al Muhajir sangat terkenal. bahkan untuk memperkuat nasab beliau, beberapa kerabat beliau datang ke Madinah, Mekkah, Irak untuk mengambil kesaksian 100 ulama besar yang terkenal baik akhlaknya serta mengetahui sejarah nasab beliau, sehingga dengan adanya kesaksian 100 ulama dari beberapa wilayah ini, nasab beliau tidak ada lagi yang meragukan. Kebiasaan mencatat garis keturunan keluarga besar Alawiyyin sampai saat ini masih diteruskan oleh anak keturunannya, termasuk Walisongo. Sama seperti keluarga besarnya yang ada di Hadramaut (secara lengkap kami pernah menulis tema yang satu ini di blog kami yang sudah hilang, pada tahun 2013). Keturunan Walisongo juga rajin mencatat anak keturunannya. Diantara sekian ulama yang rajin mencatat semua keturunan Walisongo dan juga keturunan-keturunan Kesultanan Nusantara (termasuk Kesultanan Demak, Banten, Cirebon, Palembang, Sukapura Tasik Malaya, dll) adalah Sayyid Bahruddin bin Sayyid Abdurrozaq yang merupakan keturunan Sunan Kudus Azmatkhan.
Al-Imam Ahmad Al Muhajir sendiri menurut Fairuz Khoirul Anam (2010:109) adalah pengikut Mazhab Imam Syafi’I, bahkan berkat jasa beliau dan muridnya lah sebelum abad 7 hijriah berakhir, mazhab selain Ahlussunnah Wal Jama’ah telah musnah dari Hadramaut Yaman. Menurut HMH Al Hamid Al Husaini (1999:51) pada masa itu setelah kedatangan Imam Ahmad Al Muhajir Negeri Hadramaut menjadi tempat pemancaran cahaya Islam ke Timur dan Barat, bahkan Imam Ahmad Al-Muhajir berhasil menundukkan kaum Khawarij dengan dalil dan argumentasi. Pada akhirnya habislah pengaruh Khawarij di Hadramaut. Penduduk negeri itu kemudian dapat menerima dengan baik dan sadar akidah Ahlussunnah Wal Jama'ah dan menganut Mazhab Imam Muhammad bin Idris As-Syafi"i. Jadi tidak benar jika ada anggapan beliau memiliki akidah lain. Ini sengaja kami kemukakan, karena kami pernah mendapati pada buku Thariqoh Menuju Kebahagiaan yang merupakan terjemahan Kitab dari Sayyid Abdullah bin Alwi Al Haddad yang berjudul “Risalatul Muawanah”dan yang ditulis Muhammad Al-Baqir (1989: 18) dimana dalam Kata pengantar tentang Alawiyyin bahwa Al-Imam Ahmad Al-Muhajir dituliskan ada “kecenderungan menganut” kepada ajaran akidah yang bukan Ahlussunnah Wal Jamaah tersebut, bahkan Penulis ini mengatakan ada “kesesuaian” antara Ahlusunnah Wal Jama’ah dengan akidah tersebut seperti diperbolehkanya dalam membangun makam-makam Waliyullah dan Syuhada, disamping itu pada halaman 19 bahkan sangat jelas sekali jika sang penulis mengangkat tema yang sudah lama menjadi pertentangan antara Sunni dan akidah ini, dan puncak dari semua ini ketika di halaman 64 yang menuliskan tentang hadist yang berkaitan tentang tentang sebuah Hari raya yang mereka yakini, padahal bagi Ahlussunnah Wal Jama'ah interpretasi hadist tersebut tidak berkolerasi dengan konteks yang dimaksud pada saat itu. Tentu saja kami sangat terkejut mendapati tulisan ini, walaupun tulisan ini diselipkan secara halus bahkan beberapa tulisan itu seolah-olah dibantahnya sendiri, namun karena buku ini sudah menyebut nama akidah selain sunni yang jelas dianut oleh Imam Ahmad Al-Muhajir, jelas hal ini membuat kami terkejut, jelas ini adalah sebuah strategi promosi akidah yang sangat super halus, kami sampai harus berkali-kali membaca dan memastikan kalau ini memang ada dan jelas, dan ternyata memang misi mengenalkan akidah secara halus benar-benar ada. Padahal Al Imam Ahmad Al-Muhajir itu hijrah dari Basrah Irak menuju Hadramaut justru untuk menghindari berbagai fitnah yang berkaitan dengan akidah tersebut. Sebagai seorang Sunni, saat itu beliau banyak melihat terjadi penyimpangan-penyimpangan yang mengatasnamakan Ahlul Bait (Keluarga Nabi) yang dilakukan beberapa kaum. Disamping itu beliau melihat telah terjadi banyak kezaliman yang dilakukan beberapa penguasa terhadap keberadaan keluarga besar beliau yang merupakan Keturunan Nabi Muhammad SAW.
Keluarga Besar atau Bani Alawiyyin yang tersebar diseluruh dunia, jelas mengikuti Mazhab para leluhurnya yang diantaranya IMAM AHMAD AL MUHAJIR. Dan ini sampai sekarang anak cucunya masih setia mengikutinya, kecuali beberapa sebagian kecil saja mereka yang mengikuti mazhab atau akidah lain. Yang jelas didalam ajaran Alawiyyin selalu mengedepankan dakwah dengan mengedepankan Akhlakul Karimah, dakwah mereka santun, pendekatan mereka selalu mengedepankan kasih sayang.
Dalam tulisan Nur Amin Fattah (1997:17) salah satu ayat yang sering dijadikan patokan untuk berdakwah Walisongo adalah Surat An-Nahl Ayat 125 yang lebih mengedepankan hikmah dan Suri Tauladan yang baik. Sisi lain yang juga mendukung ayat ini, bahwa kebanyakan Kaum Alawiyyin ini mengikuti Thariqoh Alawiyyah, dan tahukah kita apakah Thariqoh Alawiyyah itu? Menurut Sayyid Novel Alaidrus (2006:170) yang memberikan gambaran sangat jelas, bahwa Thariqoh Alawiyyah adalah prinsip-prinsip yang diajarkan Imam Al-Ghazali secara dzohir (Perilaku), sedangkan batinnya dihiasi dengan ajaran-ajaran Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili (zikir-zikir). Dari perpaduan dua ajaran ini muncullah ajaran Thariqoh Alawiyyah yang lebih banyak menerapkan Akhlak dan zikir yang kemudian diaplikasikan dalam dunia dakwah dengan mengambil surat An-Nahl Ayat 125 itu. Kedua ulama yang disebut oleh Sayyid Novel Alaidrus adalah Ulama Sunni, dan kedua-duanya adalah ulama-ulama yang menjadi rujukan para ulama keturunan Alawiyyin termasuk Walisongo. Sampai saat ini ajaran Imam Ghazali dan Imam Abu Hasan Asy-Syadzali sangat banyak penganutnya. Setahu kami memang kedua ulama besar ini ajarannya memang sangat menentramkan hati, jauh dari caci maki, dengki, hasud, dan sangat menghindari yang namanya sikap kemunafikan.
Jadi bila kita dapati ada beberapa orang keturunan Alawiyyin yang mempunyai perilaku yang tidak baik atau memiliki akidah yang tidak sesuai dengan Akidahnya Keluarga Besar Imam Ahmad Al-Muhajir, seperti misalnya berani mengkritik leluhurnya yang sudah mati-matian menyebarkan Islam di negeri ini, jelas ini adalah sesuatu yang janggal, atau dengan tega mencaci-maki para Sahabat Nabi Muhammad SAW seperti Sayyidina Abu Bakar RA, padahal salah satu leluhur Imam Ahmad Al-Muhajir yaitu Al-Imam Jakfar Asshoddiq ibunya keturunan Sayyidina Abu Bakar RA dan ini dipertegas dengan adanya tulisah HMH Al Hamid Al Husaini (1985:1) yang menulis nasab ibu Al-Imam Jakfar yaitu: Ummu Qosim/Qaribah/Fatimah binti Al Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar Siddiq RA, sangat tidak mungkin jika Imam Jakfar Asshodiq atau yang mengagumi beliau, menghina nasab ibunya sendiri, jelas ini sangat aneh. Yang juga sering kami dapati, bagaimana mungkin ada Alawiyyin yang meninggikan Sayyidina Ali KWA dengan menjatuhkan atau menghina Sahabat Abu Bakar RA, Sayyidina Umar bin Khattab RA, Sayyidina Usman bin Affan RA, padahal anak-anak Sayyidina Ali KWA Juga ada yang memakai nama ketiga sahabat tersebut, jelas ini adalah sebuah ironi sejarah. Bagaimana mungkin mereka juga berani menghina Ummu Mukminin Sayyidatuna Aisyah, padahal Imam Ali Zaenal Abidin bin Husein RA anaknya ada yang bernama Aisyah, bahkan ada juga yang bernama Umar, Abdurrahman. Alangkah janggalnya mereka menghina Sayyidina Umar bin Khattab padahal Sayyidina Hasan bin Ali anaknya juga ada yang bernama Umar, begitu juga Imam Hasan Mutsanna bin Sayyidina Hasan RA yang memberi nama anaknya Abu Bakar tetapi kenapa Sayyidina Abu Bakar RA dihujat ? Atau bagaimana mungkin mengatasnamakan Keluarga Nabi tapi perbuatannya tidak sesuai dengan Akhlaknya Keluarga Nabi Muhammad SAW, dan juga perilakunya tidak sesuai dengan Aturan Allah dan Rasul-Nya yang telah disusun oleh ulama-ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah yang memegang teguh kesanadan. Semua keturunan Sayyidina Ali KWA justru sangat mencintai sahabat, dan ini dibuktikan dengan banyaknya nama sahabat yang dipakai untuk keturunan mereka seperti yang terdapat dalam tulisan Sayyid Syekh Hasan Al Husaini (2013) ulama muda keturunan Ahlul Bait Kelahiran Mekkah.
Disamping masalah akidah ini, yang juga cukup membuat kami risau adalah ketika ada segelintir Alawiyyin ataupun personil umum yang perilaku dakwahnya sering memakai cara-cara kekerasan baik dari segi fisik maupun pemikiran (bahkan terkesan adanya “penjajahan” pemikiran), dikarenakan sebuah kepercayaan yang dia anut secara sempit. Jalan kekerasan dalam berdakwah ini mirip dengan apa yang pernah dilakukan oleh kaum khawarij pada masa lalu. Di mata kaum khawarij, apabila ada segolongan yang tidak sesuai dengan pemahaman mereka, maka mereka yang tidak sesuai itu bisa dihadapi dengan cara kekerasan fisik ataupun pemikiran, kadang mereka yang tidak sesuai itu dihukumi sebagai fihak yang dituduh kafir, musyrik, bid’ah, dll.
Tentu sebagai Alawiyyin yang merupakan keturunan Imam Ahmad Al-Muhajir bisa memberikan contoh yang positif kepada umat, tunjukkan bahwa sesungguhnya dia adalah keturunan Rasulullah SAW yang harusnya menjadi Suri Tauladan dalam bertindak dan bertutur kata dalam kehidupan.
Bisakah dibayangkan jika ada putra-putri Alawiyyin terjerumus dengan akhlak yang seperti yang telah kami jelaskan diatas ini, Jika itu terjadi maka berarti Alawiyyin tersebut telah menodai perjuangan Al-Imam Ahmad Al Muhajir. Sadar atau tidak sadar mereka itu telah ikut serta meremehkan peran leluhurnya yang telah berjuang mati-matian dalam mempertahankan Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang sangat mencintai para Shahabat dan juga Keluarganya Nabi Muhammad SAW dengan kecintaan karena Allah dan Rasul-Nya. Seorang Alawiyyin yang mengetahui sejarah leluhurnya, dari mulai dirinya sampai kepada Al-Imam Ahmad Al Muhajir, tentu akan mengetahui akidah apa yang harus mereka anut. Seorang Alawiyyin yang faham akan sejarah Imam Ahmad Al-Muhajir tentu akan melakukan dakwah dengan Akhlak, jauh dari kekerasan dan jauh dari perilaku yang sering menyalah-nyalahkan secara “pongah” akidah Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah. Dalam hal ilmu nasab, seorang Alawiyyin sejati juga harus bisa menahan dirinya untuk tidak mudah berbicara tanpa didasari ilmu dan akhlak, alangkah anehnya jika ada Alawiyyin bicara tentang ilmu nasab tapi didalamnya lebih banyak fitnah, caci maki, hasud, dengki baik kepada sesama muslim atau saudara Alawiyinnya sendiri.
Berkaitan dengan Keluarga Besar Alawiyyin terutama keluarga besar Walisongo dan juga beberapa Kesultanan Ahlul Bait Nusantara, Sampai saat ini kami ingin mengatakan secara tegas bahwa Walisongo termasuk adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah, akidah yang sama dianut oleh saudaranya yang ada di Hadramaut Yaman dan juga beberapa negara yang banyak dihuni oleh keluarga Alawiyyin lainnya. Akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah warisan dari Imam Ahmad Al-Muhajir yang merupakan leluhur puncak Alawiyyin seluruh dunia. Bagi mereka yang merasa keluarga besar Alawiyyin sudah seharusnya mempelajari sejarah dari tokoh besar dari keturunan Rasulullah SAW ini.
Semoga akidah yang sudah dianut oleh keluarga besar Walisongo dan Alawiyyin ini bisa dipertahankan sampai hari kiamat baik bagi keturunannya maupun bagi umat Islam seluruh dunia.
Wallahu A’lam Bisshowab……………
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, KH Surajuddin, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i, Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru, Cetakan ke 17, 2010.
Al-Baqir, Muhammad, Thariqah Menuju Kebahagiaan, Pengantar Tentang Kaum Alawiyyin, Bandung: Penerbit Mizan, 1989.
Al Fattah, Iwan Mahmud, Hadramaut dan Hijrahnya keluarga Besar Walisongo, Jakarta: Penerbit Ikrafa & Madawis, 2014.
Al Husaini, Syaikh Hasan, Hasan & Husain-The Untold Stories, Penerbit Pustaka Imam Syafi’i, 2013.
Al Husaini, HMH Al Hamid, Sejarah Hidup Imam Jakfar Ash-Shoddiq, Semarang; Penerbit Toha Putra, 1985.
Al Husaini, HMH Al Hamid, Al Imam Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad, Riwayat, Pemikiran, Nasihat dan Tarekatnya, Bandung: Penerbit Hidayah, 1999.
Al Mahsyur, Sejarah dan Silislah & Gelar Keturunan Nabi Muhammad SAW DI Indonesia , Singapura, Malaysia, Timur Tengah, India dan Afrika, Jakarta: Penerbit Saraz Publishing, 2010.
Anam, Fairuz Khoirul, Al Imam Al Muhajir Ahmad Bin Isa, Leluhur Walisongo dan Habaib Di Indonesia, Malang: Penerbit Darkah Media, 2010.
Al-Idrus, Novel bin Muhammad, Jalan Lurus - Sekilas Pandang Tarekat Bani Alawi, Sukakarta:Penerbit Taman Ilmu, 2006.
Azmatkhan, As-Syekh As-Sayyid Bahruddin , Al Mausuuah Li Ansaabi Al Imam Al Husaini, Jakarta: Penerbit Madawis, Edisi II Vol 24, 2014.
Arrifa’i, Ibnu Assayuthi, Hubungan Antara Syaikhona Kholil Bangkalan & NU-Mengenang & Menghayati Perjuangan Sang Inspirator, Lirboyo: Penerbit Al Haula Press, 2012.
Fattah, Nur Amin, Metode Dakwah Walisongo, Pekalongan: Penerbit CV Bahagia, 1997.
Sumaith, Allamah Al Faqih Al Habib Zain Bin (alih bahasa Rijalul Khairat Team), Akidah Keluarga Nabi, Bekasi: Pustaka Al Khairat, 2011.