Ada adab dan etika ketika menulis tentang sejarah, silsilah, nasab. Kalau didasari dengan kedengkian dan kebencian, cepat atau lambat maka apa yang tertulis secara tidak sadar akan muncul dan akan dirasakan bagi mereka yang membacanya, terlepas apakah itu ilmiah atau tidak, maka sudah sepatutnya bagi mereka yang menulis 3 kata tersebut hendaklah berhati-hati, bila memang tidak menguasai, lebih baik belajar serta memperbanyak literasi agar bisa lebih terbuka dan bijak. Sumber tidak hanya berkutat pada tulisan, namun juga bisa melalui pemegang sanad riwayat 3 hal tersebut. Caranya bagaimana ? ya belajar dan terus belajar tanpa batas usia..
Menulis Sejarah Islam Berdasarkan Fakta & Data, Cp 08179803186, FB : Iwan Mahmoed Al Fattah II & III
Senin, 11 September 2023
ADAD DAN ETIKA MENULIS SEJARAH, NASAB DAN SILSILAH
Saya dulu pernah menulis tentang seorang tokoh, saya berusaha obyektif, saya fikir saya sudah obyektif, ternyata masih ada saja yang terselip sampai saya harus melakukan istigfar minta ampun kepada Allah agar tulisan itu tidak menjadi dosa jariah. Sekalipun tokoh tersebut kontroversi dalam sejarah Islam, tetap saja kehati-hatian dalam melakukan penafsiran sejarah saya lakukan, itu saja ternyata masih ada yang lolos...
Dalam hal silsilah dan nasab yang kini banyak diributkan orang-orang apalagi setelah munculnya friksi - friksi antar sesama zuriah, itu tidak lain dikarenakan semua orang bebas berbicara dan berpendapat, kita sendiri bisa apa untuk mencegahnya ? Apalagi ini adalah eranya kebebasan karena didukung medsos. Kebebasan medsos nampaknya dimanfaatkan oleh setiap orang, hasilnya ? ya tergantung bisa positif bisa juga negatif.
Terkadang saya berfikir dan merenung, orang sekelas Gus Dur, Gus Baha, Cak Nun, HRS, Habib Umar bin Hafidz, dll saja masih banyak yang mencercanya di media sosial, apalagi sekelas recehan seperti saya. Tokoh-tokoh tersebut kenyang sekali mendapat "bullyan" dari mereka yang sudah merasa lebih baik dan merasa ilmunya tinggi karena sumber ilmu sudah bisa mudah diperoleh melalui internet..
Lebih ironis, mereka yang telah belajar puluhan tahun di pesantren-pesantren tiba-tiba diajari oleh mereka yang baru faham satu atau dua dalil karena difasilitasi media sosial...Seolah media sosial sudah menjadi "Guru Sejati" untuk semua ilmu termasuk dalam ilmu sejarah, silsilah dan nasab ketimbang bertemu langsung dengan seorang guru nyata. Seolah nilai kebenaran dipegang oleh media sosial. Dunia medsos seolah menjadi sumber informasi yang paling shohih dan tak terbantahkan..
Semua ini terjadi karena malasnya kita berliterasi, malasnya berkarya, malas melakukan riset, lebih senang terjebak dan sibuk pada perdebatan-perdebatan yang menghabiskan banyak waktu, lebih sibuk mencari cari kelemahan dan gemar menyalah-nyalahkan sambil membenarkan dirinya sendiri. lebih senang menghabiskan quota untuk kejahilan daripada menghasilkan ilmu yang bermanfaat.