Selasa, 04 Agustus 2015

HIJRAHNYA PARA SYARIF HADRAMAUT KE INDIA LALU DARI SANA KE ASIA TENGGARA (Kesalahan Fatal Teori Gujarat)

Dalam tulisan kali ini, kami akan coba membahas tentang Sejarah Para Pendakwah Kita yang selama ini banyak ditulis secara salah kaprah  oleh sejarawan eropa. Para pendakwah sejati yang sebenarnya merupakan keturunan Alawiyyin itu telah lama ditulis secara sefihak dalam sejarahnya, oleh karena itu mudah-mudahan beberapa tulisan dibawah ini bisa mempercerah kita dalam mempelajari sejarah terdahulu tentang Pendakwah-pendakwah tangguh tersebut, khususnya yang berasal dari Keluarga Besar Alawiyyin yang diantaranya adalah Walisongo.

inilah sebagian tulisan yang telah kami rangkum .......

Hijrahnya para Syarif Hadramaut ke India  dan dari sana ke Asia Tenggara, merupakan sebab dari ketidakfahaman sebagian besar sejarawan khususnya  sejarawan eropa. Kesalahan mereka adalah bahwa mereka menganggap para da’i yang datang ke Asia Tenggara adalah dari India.

Sebagian mereka membandingkan dengan orang-orang terdahulu yang datang dari India, dimana mereka datang ke Indonesia  dengan membawa agama Hindu dan Budha, sebagaimana dikatakan oleh Brian May dalam bukunya tentang Indonesia bahwa agama Islam menyerupai agama Hindu karena ia darang Ke Indonesia dari India, menetap di sebagian Sumatra pada abad ke 13 Masehi sebelum berkembang ke berbagai pesolok Indonesia pada abad ke 15.

Da’i Muhammad  bin Abdurrahman bin Syahab ketika memberikan catatan atas kitab “Hadhir Al-Alam Al-Islam karya Amir Syakib Arsalan mengatakan : “Dari segi ini para sejarawan eropa menerangkan secara serampangan tentang para da’i yang ditangan mereka orang-orang Jawa masuk Islam. Satu ketika mereka mengatakan bahwa para da’i ini berasal dari Gujarat. Sedangkan pada kesempatan lain mereka mengatakan bahwa para da’i ini adalah orang-orang Persi. Dalam masalah ini mereka hanya berputar-putar dan tidak lepas dari kebodohan.”

Mereka berpendapat bahwa para da’i tersebut datang dari negeri-negeri itu tanpa mengetahui hakekat mereka yang sebenarnya. Sesungguhnya orang-orang Arab Hadramaut  dengan dipimpin oleh para Syarif Alawiyyin sering pulang pergi ke Malabar, Gujarat, Kalikut, dan negeri-negeri lain di India. Di sana mereka mempunyai pusat-pusat perdagangan dan keagamaan. Dan banyak orang Alawiyyin yang mempunyai asrama-asrama yang terbuka untuk para penuntut ilmu. Banyak juga kapal-kapal yang pergi dari pesisir Hadramaut menuju Malabar kemudian ke pesisir India di sebelah Timur.. Dari sana menuju Sumatra dan Aceh, kemudian ke Palembang lalu ke Jawa.

Kita dapat membantah pendapat orang-orang Eropa itu karena berbagai sebab yaitu :

Pertama, masalah hijrahnya para Syarif Hadramaut dan menetapnya mereka di India.

Para Syarif Hadramaut hijrah ke pesisir India dan menetap di sana pada abad ke X Masehi atau sebelu itu, seperti keluarga Bani Abdul Malik bin Alwi Ammul Faqih bin Muhammad Shohib Mirbath yang wafat pada tahun 613 Hijriah. Keturunannya tersebar di India dan mereka mempunyai keistimewaan dalam keberanian dan kekuatan. Mereka mendirikan kerajaan disana yang terkenal dengan nama “Azhamat Khan”.

Diantara yang hijrah ke India adalah seorang Alim, Syarif Abdullah bin Husein bin Muhammad Bafaqih ke kotan “Kanur” dan menikahi anak menteri Abdul Wahab dan menjadi pembantunya sampai ia wafat. Lalu ada nama Syarif Muhammad bin Abdullah Al-Aydrus yang terkenal di kota Ahmadabad dan Surat. Ia Hijrah atas permintaan kakeknya yang bernama Syarif Syeikh bin Abdullah Al-Aydrus. Ketika kakeknya tersebut wafat pada tahun 990 M menempati kedudukannya sampai pada tahun 1003 M ketika wafat di Surat.

Sultan Kharm berhubungan dengan Syarif Abubakar din Husein Al-Aydrus yang wafat di kerajaan Abad pada tahun 1048 M. Juga Raja Anbar berhubungan dengan Syarif Abubakar bin Husein bin Abdurrahman dari keluarga  Ahmad bin Al Faqih Muqaddam. Sultan Bijapur yaitu Sultan Mahmud Syah bin Sultan ‘Adil Syah juga berhubungan  dengan Syarif ini dan menjadikannya  teman khususnya. Syarif ini adalah orang-orang  yang pemurah kepada orang-orang yang datang kepadanya. Adapun Syarif Ali bin Alwi bin Muhammad Al-Haddad adalah seorang penasehat dari Raja Anbar yang juga berhubungan dengan Syarif Ja’far Ash-Shadiq bin Zainal Abidin Al-Aydrus (997 – 1064 M) di Kerajaan Abad. Syarif ini datang mengajar di daerah Deccan dan mengajar bahasa Persi dan menerjemahkan kitab “Al –Aqd Al-Nabawi” ke dalam bahasa tersebut. Sultan Burhan Nizham Syah  juga berhubungan dengannya. Mereka semua mempunyai kedudukan di sisi Sultan Haidarabad dan lainnya.

Al-Allamah Syarif Muhammad Al-Baqir bin Umar bin Aqil Bahasan Jamalullail pulang pergi ke India sampai wafat pada tahun 1076 M sesudah ia kembali ke Hadramaut di Kota Tarim.

Buku-buku biografi penuh dengan orang-orang hijrah ke berbagai daerah dan menetap di daerah-daerah itu. Sebagian keluarga-keluarga Arab itu telah melebur dalam masyarakat itu sedangkan yang lainnya masih dikenal di India dan Asia Tenggara. Diantara mereka adalah : Keluarga Al-Qodri, Al-Muthahar, Al-Haddad, Basyaiban, Khaneman, Al-Aydrus, bin Syahab, bin Syeikh Abubakar, As-Saqqaf, Bafaqih, Jamalullail, Al-Habsyi, Asy-Syatiri, Al-Baidh, Aidid, Al-Jufri. Keluarga ini semua adalah keturunan dari Imam Ahmad Al Muhajir Ahmad bin Isa.

Yang Kedua, sulitnya mengarungi lautan langsung dari Hadramaut ke Asia Tenggara tanpa melalui India.

Sungguh merupakan suatu hal yang sangat sulit jika  tidak mustahil mengarungi lautan langsung dari Hadramaut ke Asia Tenggara, khususnya karena kita mengetahui bahwa kapal-kapal yang digunakan pada masa itu adalah kapal-kapal perniagaan yang sederhana yang menuju ke India dan dari sana ke Asia Tenggara.

Bahkan kapal-kapal modern pada masa sekarangpun harus melalui beberapa pelabuhan India  untuk mengambil perbekalan bahan bakar, makanan, air, dan persiapan-persiapan lainnya sebelum menuju ke Asia Tenggara karena jarak dari Hadramaut ke Asia Tenggara sangat jauh.

Da’i Muhammad Abdurrahman bin Syahab mengatakan : “Yang dimaksudkan  adalah mungkin orang-orang Eropa yang mengatakan tentang hal ini telah mempunyai  persangkaan yang salah dikarenakan para da’i itu datang melalui jalan India”.

Hal tersebut diatas memang benar karena tidak seorangpun mengarungi lautan Hadramaut ke Jawa, melainkan mereka menuju ke sana melalui India. Dan disana  terdapat markas mereka, bahkan disana telah berdiri kerajaan-kerajaan dimana diantara para  pekerja yang mendirikannya adalah sebagian Syarif Hadramaut seperti Kerajaan Anbar.

Diantara penyebab timbulnya persangkaan yang salah dari sejarawan Eropa tersebut adalah pakaian yang dikenakan oleh orang-orang Alawiyyin mirip dengan  yang dikenakan oleh orang-orang Alawiyyin mirip dengan yang dikenakan oleh para ulama Persia. Dalam perkataan-perkataan mereka  terdapat prasangka yang keliru yang dapat diketahui oleh setiap pengamat.

Perlu disebutkan bahwa memang ulama-ulama Hadramaut mengenakan pakaian dan sorban hijau mirip dengan yang dikenakan oleh-oleh Persia. Keserupaan ini disebabkan karena keduanya berasal dari asal yang sama. Sesungguhnya yang mengenakan sorban hijau biasanya adalah para ahlul bait. Di sana (Persia/Iran) terdapat sebagian canang dari keturunan Imam Jakfar Ash-Shodiq. Sedangkan pada masa yang sama  terdapat cabang lain yang hijrah ke Hadramaut yaitu keturunan Imam Al Muhajir Ahmad bin Isa.

Yang Ketiga, Perbedaan Mazhab antara orang India Dan Syarif Hadramaut.

Seandainya kita kembali ke India, kita akan dapati diantara sejumlah besar  orang syiah dan firqoh-firqoh lainnya. Orang-orang sunnninya bermazhab Hanafi. Sedangkan para da’i yang  menyebarkan agama Islam di Asia Tenggara adalah bermazhab Syafi’i yang merupakan mazhab para Syarif Hadramaut. Adanya perbedaan ini adalah bukti terbaik bahwa mereka yang datang dari India atau melalui India dan menyebarkan agama Islam di Asia Tenggara adalah para Syarif Hadramaut yang menetap di India atau datang dari Hadramaut melalui jalur India.

Perlu kami jelaskan dari uraian diatas sampai point ketiga yang telah dikemukakan oleh Sayyid Muhammad Husein Al-Aydrus, yang dimaksud dengan da’i-dai yang datang dari  Hadramaut kemudian menetap di India lalu menyebarkan Islam ke Asia Tenggara kebanyakan adalah keturunan dari Sayyid Abdul Malik Azmatkhan. Beberapa cicit beliau telah menyebarkan Agama Islam khususnya wilayah-wilayah Nusantara Seperti Champa, Patani, Kelantan, Malaka, Sumatra, Kalimantan, Jawa, Sunda, Sulawesi, Mindanau Sulu, Tumasik (singapura) dan wilayah-wilayah lainnya, dan kemudian banyak juga keturunan dari Sayyid Abdul Malik Azmatkhan ini  menurunkan Kesultanan-Kesultanan Islam Nusantara dan juga Majelis Dakwah Walisongo. Keturunan Sayyid Abdul Malik Azmatkhan adalah gelombang pertama  Rombongan Alawiyyin yang masuk Ke Asia Tenggara. Merekalah yang selama ini sering dianggap datang dari Gujarat dan hanya merupakan pedagang biasa, padahal jika melihat keterangan diatas, sudah jelas mereka ini profesi utamanya adalah da’i dan bukan asli berasal dari India, dalam hal ini teori yang berkembang adalah Teori Gujarat (Teorinya Pijnapel yang kemudian dikembangkan oleh Snouck Horgronje).

Keluarga Besar Bani Abdul Malik Azmatkhan ini sudah masuk Asia Tenggara pertengahan abad ke 14 dan itu dimulai dari anak-anak dari Sultan Ahmad Syah Jalaluddin bin Amir Abdullah bin Abdul Malik Azmatkhan. Beberapa anak dari Sultan Ahmad Syah Jalaluddin telah memutuskan hijrah dan berdakwah ke Asia Tenggara, dan salah satu yang terkenal adalah Sayyid Husein Jamaluddin atau Syekh Jumadil Kubro I atau Syekh Maulana Jumadil Kubro Wajo. Beliaulah yang merupakan leluhur besar dari Kesultanan Azmatkhan Nusantara dan Walisongo. Hampir semua keturunan Walisongo dan Sultan-Sultan Nusantara kembali kepada beliau ini, sedangkan jalur Sunan Kalijaga dari jalur adik beliau yang bernama Sayyid Ali Nuruddin Syah. Di Asia Tenggara inilah lagi-lagi keluarga Alawiyyin ini mampu beradaptasi dan berakulturasi pada setiap tempat yang mereka datangi. Sepertinya mereka ini telah mengikuti jejaknya Imam Ahmad Al-Muhajir (Al-Muhajir Awwal) dan Sayyid Abdul Malik Azmatkhan (Al-Muhajir Tsani). Dakwah mereka sukses dan diterima masyarakat Nusantara tanpa harus melakukan peperangan.

Gelombang Pertama Alawiyyin yang masuk ke Nusantara ini kemudian disusul  oleh pula oleh Gelombang Alawiyyin yang datang pada abad ke 16 dan 17, yang salah satu kantong pemukimannya banyak terdapat di Palembang karena mendapatkan fasilitas dari Kesultanan Palembang Darussalam yang juga merupakan Kesultanan Azmatkhan. Sehingga tidaklah mengherankan jika hingga kini banyak terdapat puluhan ribu bahkan mungkin ratusan ribu Alawiyyin yang menetap dan tinggal di Palembang. Sekalipun di daerah lain juga terdapat Alawiyyin seperti misalnya Aceh, namun sepertinya Palembang merupakan daerah yang paling banyak Alawiyyinnya pada masa itu, sehingga tidaklah mengherankan jika pada Walisongo dan Kesultanan Demak, wilayah Palembang merupakan wilayah yang paling sering didatangi keluarga besar Alawiyyin.

Setelah itu pada pertengahan abad ke 19, Keluarga besar Alawiyyin secara gelombang besar-besaran menuju Asia Tenggara mengikuti jejak saudara-saudaranya yang lebih dulu menetap, khususnya Indonesia.Kedatangan Alawiyyin pada pertengahan abad ke 19 ini adalah puncak dari hijrah besar-besaran keluarga mereka, apalagi saat itu Terusan Suez telah dibuka sehingga mempercepat laju transportasi menuju Asia Tenggara. Sehingga sangat wajar jika penduduk Hadramaut, khususnya Bani Alawiyyin jadi berkurang, karena hijrah besar-besaran tersebut. Disamping itu pula keluarga lain yang non Alawiyyin juga melakukan hijrah secara besar-besaran bersamaan dengan rombongan Alawiyyin.

Tentu kedatangan Rombongan Alawiyyin setelah era Bani Abdul Malik Azmatkhan, adalah dikarenakan bahwa mereka sudah mendengar jika Nusantara itu sudah banyak Alawiyyin yang sukses dalam melakukan misi dakwah Islamiah, disamping juga tentu misi-misi yang lain seperti perdagangan, politik, kebudayaan, sosial, dll. Seperti biasa, sebelum melakukan hijrah, tentu Alawiyyin yang berada di negara-negara lain itu, sudah mempersiapkan diri dengan lebih dahulu  mendengar informasi yang berguna, dan salah satu informasi yang penting itu adalah,  ternyata Asia Tenggara pada da’inya  masih merupakan keturunan Alawiyyin.  Kesemuanya ini bisa kita temukan dalam catatan berbagai kitab yang menerangkan sejarah dan nasab keluarga besar Alawiyyin, seperti Al-Mausuuah Li Ansaabi Al Imam Al Husaini , Syamsu Dzahirah, Khikmatul Asyira, dll.

Hingga kini persaudaraan antara Alawiyyin Keturunan Bani Abdul Malik Azmatkhan (kebanyakan mereka banyak kyai-kyai dan ulama besar Nusantara) dan keluarga lain seperti Assegaf, Al-Attas, Al-Haddad, Al-Jufri, Jamalullail, Al-Haddar, Asy-Syatiri, Basyaiban, Bin Syekh Abubakar, Ba’abud, Bin Yahya, Musawwa, Al-Habsyi, Al-Aydrus, Bin Smith, dll berlangsung dengan baik.

Wallahu A’lam Bisshowab........

Sumber :

Dr. Muhammad Husein Al-Aydrus, Penyebaran Islam Di Asia Tenggara, Asyraf Hadramaut Dan Peranannnya, Jakarta : Penerbit Lentera, 1996, hlm 34 – 39
Iwan Mahmud Al-Fattah, Raden Fattah-Patriot Revolusioner, Pendiri Kesultanan Islam Pertama di Pulau Jawa (Bab Sejarah Walisongo),  Jakarta : Madawis-Ikrafa, 2015, hlm 369 - 371