Selasa, 04 Agustus 2015

Fatwa Tegas Tentang Ayah & Bunda Nabi Muhammad Adalah Mukmin Dan Masuk Surga

Tulisan ini adalah sebuah jawaban terhadap fitnah dari kaum Zionis,Atheis, dan oknum-oknum yang mempropagandakan bahwa kedua orangtua nabi Muhammad adalah masuk neraka.

Oleh:

As-Sayyid ShohibulFaroji Azmatkhan Al-Hafizh

Fatwa ini didukung oleh beberapa tulisan Ulama dan Mufti, di antaranya:

1. Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Kitab Masa­likulHunafa’ Fi Hayati Abawayyil Musthafa.
2. Al-Qadhi Abu Bakar Al-Arabi, Kitab Tafsir Ayatul Ahkam
3. Sayyid Muhammad Abdullah Al-Jurdani, Kitab Fathul ‘Allambi Syarhi Mursyidil Anam
4. Sayyid Ishaq Azuz Al-Hasani Al-Makki, Kitab Al-HujajAl-Waadhihaat Fii Najaat Al-Abawain Wa Al-Ajdaad Wa Al-Ummahaat
5. Prof.Dr. Wahbah Zuhaili, Kitab Tafsir Al-Munir

Bab 1 Pendahuluan

Seorang mukmin sangat meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabiterakhir, nabi yang me­miliki kemuliaan dan derajat yang ter­tinggi, baik dilangit maupun di bumi. Kemuliaannya dinyatakan oleh Allah SWT dengan firman-Nyayang artinya, “Dan sesungguhnya Engkau (ya Muham­­mad) benar-benarberada di atas akhlaq yang agung.” (QS Al-Qalam: 4).

Jika yang kecil (hamba) menyifati sesuatu de­ngan “agung”, yang MahaBesar (ALLAH) belum tentu menganggapnya agung. Tetapi jika Allah, YangMahabesar menyifati sesua­tu dengan kata “agung”, tidak dapat ter­bayangkanbetapa besar keagungan­nya. Dan sudah tentu, makhluk yang agung tidak mungkinkeluar kecuali dari rahim yang agung pula.

BAB 2 Kemuliaan Nasab Nabi Muhammad

Kemuliaan Nabi Muhammad SAW mencakup segala hal, termasuk nasab­nya (keturunannya).Beliaulah manusia yang paling baik nasabnya secara mut­lak. Nasab beliau beradadi puncak ke­muliaan. Musuh-musuh beliau pun mem­beri pengakuan atas haltersebut.

Nabi SAW pernah menjelaskan bah­wa nasabnya (keturunannya), yakni ayah,kakek, dan seterusnya, adalah orang-orang suci dan orang-orang pilih­an. Dalamsebuah riwayat At-Tirmidzi dari Abbas bin Abdul Muthalib, beliau mengatakan, “AkuMuhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib. Sesung­guhnya Allah telah menciptakanmakh­luk, maka Dia telah menjadikan aku da­lam sebaik-baik bagian mereka;kemudi­an Dia menjadikan mereka dua bagian, maka Dia menjadikan aku dalamsebaik-baik bagian mereka, kemudian Dia men­jadikan mereka beberapa kabilah,maka Dia menjadikan aku dalam sebaik-baik ka­bilah mereka; kemudian Dia menjadi­kanmereka beberapa keluarga, maka Dia menjadikan aku dalam sebaik-baik keluargadan sebaik-baik diri di antara mereka.”

Dalam hadits lain beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telahmemilih Ismail dari (di antara) anak Ibrahim, dan Dia telah memilih keturunanKinanah dari keturunan Ismail, dan Dia telah me­milih Quraisy dari keturunanKinanah, dan Dia telah memilih Bani Hasyim dari keturunan Quraisy, dan Diatelah memi­lih aku dari Bani Hasyim.”

Dari hadits-hadits di atas jelaslah, beliau adalah keturunan orang-orangpi­lihan, dan beliau adalah keturunan Nabi Ismail, putra Nabi Ibrahim.
Ayah Nabi SAW, yang bernama Ab­dullah bin Abdul Muthalib, wafat tatkalaNabi SAW berada dalam kandungan ibundanya. Sedangkan ibunda Nabi SAW, AminahAz-Zuhriyah, wafat tatkala Nabi SAW berusia 6 tahun.

Ayah-bunda Nabi termasuk pendu­duk Makkah yang tergolong ahlul fatrah,maksudnya orang-orang yang hidup di Makkah pada zaman sebelum diutusnya seorangutusan Allah. Dalam kaitan de­ngan mereka, adalah sebelum diutusnya NabiMuhammad SAW. Karena itu, tidak ada ancaman siksa sedikit pun bagi kaum yangbelum masuk Islam saat itu, ka­rena ajaran Islam memang belum di­turunkan olehAllah kepada umat ma­nusia.

Selain termasuk ahlul fatrah, mereka bukan tergolong para penyembah ber­hala,orang-orang yang suka berjudi, mi­num minuman keras, berzina, dan per­buatanhina lainnya. Mereka berdua hi­dup sebagai masyarakat yang terhormat danberperangai baik, apalagi orangtua mereka, Abdul Muthalib, adalah pembe­sar utamakota Makkah yang bertugas menjaga kemashlahatan Ka‘bah dan suku Quraisy.

Ayah-bunda Rasulullah SAW adalah orang-orang yang selamat dan tidak ter­pengaruholeh keyakinan Jahiliyyah, mes­kipun keduanya orang-orang yang hidup dalam masa fatrah.Demikian juga moyang beliau hingga Nabi Adam AS, tidak seorang pun dari merekayang ter­golong kafir dan musyrik. 

Sebagaimana ditegaskan dalam kitab Fathul‘Allam bi Syarhi Mursyidil Anam, karya Sayyid Muhammad AbdullahAl-Jurdani, bahwa Rasulullah bersabda, “Aku selalu berpin­dah dariiga-iga yang suci dan rahim-rahim yang bersih.”

Rasulullah adalah semulia-mulia makh­luk. Beliau selalu berada dalam ke­muliaandi sisi Allah SWT, sedangkan ke­muliaan dan kekufuran jelas tidak mung­kinberkumpul.

Di dalam kitab tersebut juga disebut­kan sebuah hadits dari‘Urwah dari Aisyah RA yang mene­gaskan bahwa ayah dan bunda Rasulullah SAW dihi­dup­kankembali oleh Allah, lalu kedua­nya ber­iman kepada ajaran Ra­sulullah SAW,kemudian keduanya dimatikan kem­bali oleh Allah SWT.

Dengan keterangan-keterangan di atas dan berbagai keterangan lain, kaummuslimin meyakini bahwa ayah bunda Nabi adalah orang-orang suci, orang-orangpilihan, orang-orang yang dise­lamatkan dari kemusyrikan dan ke­ku­fur­an sertaperilaku-peri­laku buruk kaum Ja­hiliyah. Sehingga, tem­pat mereka kelak adalahdi dalam surga. Itulah keyakinan kita berdasarkan dalil-dalil dan keterang­an-keteranganyang kuat yang kita da­patkan dari para ulama terpercaya.

Bab 3 Kelemahan Hadits Yang Menyebut Kedua Orang Tua Nabi Masuk Neraka

Tetapi ada segolongan kaum mus­limin yang punya pandangan lain. Me­rekaberpendapat bahwa ayah-bunda Nabi tidak tergolong penghuni surga, me­lainkansebaliknya. Mereka menda­sar­kan pendapatnya itu pada hadits yang menyebutkanbahwa Rasulullah mengatakan ayahnya berada di neraka, dan hadits lain yangmenyatakan bahwa beliau tidak diizinkan untuk memintakan ampunan buat ibunya.

Hadits yang pertama adalah hadits riwayat Imam Muslim dari Hammad, bah­wasanyaseorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, di manakeberadaan ayahku?”

Rasulullah menjawab, “Dia di neraka.”

Maka ketika orang tersebut hendak beranjak, Rasulullah memanggilnya se­rayaberkata, “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka.”

Sedangkan hadits yang lainnya me­nyebutkan, “Aku meminta izin kepadaTuhanku untuk memintakan ampunan buat ibuku, namun Dia tidak meng­izin­kan Aku.Aku meminta izin untuk men­ziarahi kuburnya, Aku pun diizinkan.” (HR Muslim).

Berdasarkan hadits-hadits di atas, mereka berani mengatakan bahwaayah-bunda Nabi SAW bukanlah penghuni surga sebagaimana keyakinan kita.

Agar tidak membuat kebimbangan dalam hati kita dan karena ini menyang­kutmanusia dan makhluk teragung yang paling kita cintai, marilah kita simak uraianberikut.

Imam Suyuthi menerangkan, Ham­mad, perawi hadits di atas, diragukan olehpara ahli hadits, dan hanya diri­wayat­kan oleh Muslim. Padahal, banyak riwayatlain yang lebih kuat darinya, se­perti riwayat Ma‘mar dari Anas, Al-Bai­haqidari Sa‘ad bin Abi Waqqash, “Se­sungguhnya seorang a‘rabi berkata ke­padaRasulullah SAW, “Di mana ayahku?’
Rasulullah SAW menjawab, ‘Dia di neraka.’

Si a‘rabi pun bertanya kembali, ‘Di mana ayahmu?’

Rasulullah pun menjawab, ‘Sekira­nya kamu melewati kuburan orang kafir,berilah kabar gembira dengan neraka’.”

Riwayat di atas tanpa menyebutkan ayah Nabi berada di neraka. Ma‘mar danAl-Baihaqi disepakati oleh ahli hadits lebih kuat dari Hammad, sehingga ri­wayatMa‘mar dan Al-Baihaqi harus didahulukan daripada riwayat Hammad.

Seandainya pun hadits Hammad di atas diterima, menurut para ulamaAhlussunnah wal Jama’ah ada beberapa pentakwilan. Antara lain,

Pertama, saat Nabi SAW menjawab pertanyaan orang itu adalah sebelumturunnya firman Allah ayat 15 surah Al-Isra’, yang telah dise­butkan di atas.Jadi setelah ayat ini turun, keterangan Nabi SAW kepada si pena­nya itu pundinasakhkan (di­ha­puskan).
Kedua, neraka yang dimaksud oleh Nabi SAW adalah neraka dingin pemberija­minan kesela­mat­an (artinya, ya surga), karena ayah Nabi dan ayah sipenanya termasuk ahlul fatrah.

Yang penting juga untuk kita ingat ada­lah bukti-bukti yang menunjukkanke­suci­an orangtua Nabi dan sete­rusnya ke atas. Dalam se­buah haditsdikatakan, “Aku (Muhammad saw) selalu berpindah dari sulbi-sulbilaki-laki yang suci menuju ra­him-rahim perempuan yang suci pula.” Je­lassekali, Rasulullah SAW menyata­kan bahwa kakek dan nenek moyang be­liauada­lah orang-orang yang suci, bu­kan orang-orang musyrik, karena orang-orangmusyrik dinyatakan najis dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman yang arti­nya,“Hai orang-orang yang beriman, se­sungguh­nya orang-orang yang musyrik itunajis.” (QS At-Tawbah: 28). Nama ayah Nabi pun Abdullah, cukup mem­buktikanbahwa beliau ber­iman ke­pada Allah, bukan penyembah berhala.

Pernyataan beliau di atas berarti bah­wa semua sesepuh beliau, mulaidari ayah-bundanya sampai Adam dan Hawa, tidak ada seorang pun dari mereka yangkafir (mengingkari Allah). Sebab yang dapat disebut “orang suci” hanyalah orangyang beriman. Sungguh indah be­berapa bait syair yang ditulis oleh se­mentara ulama:

Kupastikan keimanan mereka mulai dari AdamHingga ayah beliau yangterdekat dan muliaPara ibu beliau pun seperti merekaDalilnya adalah nashAl-Kitab dan sunnahUngkapan beliau perihal kaum SajidinBanyak riwayat bersanad­kanbeliau tentang merekaBeliau berpindah-pindah dari sajid ke sajid lainnyaMerekasemua manusia-manusia ter­baik dalam zamannya

Di atas telah disebut­kan hadits Nabi yang diri­wa­yatkan Imam Muslimdan Imam Tirmidzi yang mereka shahihkan, yaitu hadits dari Watsilah bin Asqa’RA bahwa Rasulullah SAW bersab­da, “Se­sung­guhnya Allah telah memilihIsmail dari (di antara) anak Ibrahim, dan Dia te­lah memilih keturunan Kinanahdari ke­turunan Ismail, dan Dia telah memilih Quraisy dari keturunan Kinanah,dan Dia telah memilih Bani Hasyim dari keturun­an Quraisy, dan Dia telahmemilih aku dari Bani Hasyim.”Berdasarkan hadits ini, Ibn Taimiyahmengatakan, “Hadits di atas menunjukkan bahwa Ismail dan turunan­nyaadalah orang-orang pilihan dari ke­turunan Ibrahim.”

Imam Al-Baihaqi meriwayatkan dalam kitabnya, Dalail An-Nubuwwah, dariAnas, disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Aku adalah Muham­madbin Abdillah bin Abdil Mutthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilabbin Murrah bin Ka`ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr binKinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma`ad bin`Adnan. Dan tidaklah terpisah go­longan manusia kecuali Allah telah men­jadikanaku dalam yang terbaik dari dua golongan tersebut. Maka aku dilahirkan darikedua orangtuaku dan tidak menge­naiku sesuatu pun dari kebejatan Jahi­liyah.Dan aku lahir dari pernikahan dan ti­daklah aku lahir dari perzinaan dari mu­laiNabi Adam sampai pada ayah-ibuku. Maka aku adalah yang terbaik dari kalian darisisi nasab dan orangtua.”

Masih banyak lagi hadits lain yang menjelaskan ihwal orangtua-orangtuaNabi SAW bahwa mereka adalah pilihan Allah SWT. Tidakkah Anda membacakalimat “Sesungguhnya Allah memilih”. Apakah Allah akan memilih orang kafir se­dangkandi sana ada orang yang ber­iman? Apakah Allah memilih penduduk neraka jika disana ada penduduk surga?

Yang juga kita yakini dan disepakati oleh berbagai keterangan, keduaorang­tua Nabi termasuk ahlul fatrah, orang yang hidup di masa fatrah, yaknisuatu masa ketika terjadi kekosongan nubuw­wah (kenabian) dan risalah(kerasulan). Semenjak Nabi Isa AS hingga diutusnya nabi berikutnya, yakni nabikita SAW, terpaut jarak waktu yang panjang. Umat manusia hidup tanpa adanyarisalah ke­nabian. Para ulama mengatakan, manu­sia yang hidup di masa fatrahini tidak dimintai pertanggungjawaban. Mereka mendasarkan pendapatnya padafirman Allah SWT yang artinya, “Dan tidaklah Kami mengadzab (suatu kaum) hinggaKami mengutus seorang rasul.” (QS Al-Isra’: 15).

Dari ayat itu, orang-orang yang hidup sebelum Nabi Muhammad SAW diutus,mereka adalah ahlul fatrah, yang tidak diadzab atas perbuatannya.Karena sebagai bentuk keadilan Allah adalah hanya mengadzab suatu kaum setelahjelas risalah datang kepada mereka namun tidak diindahkan.
Dari ayat itu pula dapat dipahami bahwa keluarga Nabi SAW sebelum diri­nyadiangkat menjadi nabi dan rasul ada­lah ahlul fatrah, dan karenaitu mereka tidak diadzab dan tidak digolongkan sebagai orang-orang musyrik ataukafir.

Inilah sikap yang adil, lantaran se­cara nalar tentu kita tidak bisamenerima bila seseorang dimasukkan ke dalam neraka padahal tidak ada seorangnabi pun yang mengajarkan agama kepada mereka. Bagaimana Allah, Yang Maha­adil,sampai tega menghukum orang yang tidak tahu apa-apa? Pendapat ini dikemukakanoleh banyak ulama, di an­taranya Al-Imam As-Suyuthi.

Berkaitan dengan hadits tentang ibunda Nabi di atas, kalau kita pahamisekilas memang ada kesan bahwa ibunda Nabi SAW itu tidak masuk surga. Sebabpermintaan Rasulullah SAW un­tuk memintakan ampunan atasnya tidak dikabulkanAllah SWT. Namun kesimpulan itu ditolak oleh para ulama. Mereka menolak bilahadits itu disimpulkan dengan cara demikian. Kalau Allah SWT tidak memperkenan­kanRasulullah SAW memintakan am­pun­an untuk ibundanya, tidak berarti ibun­danyabukan mukmin. Sebagai­mana ketika Rasulullah SAW tidak men­shalati jenazah yangmasih punya utang, sama sekali tidak menunjukkan bahwa jenazah itu mati dalamkeadaan kafir.

Adapun larangan Allah SWT untuk memintakan ampunan orang kafir ada­lahsemata-mata karena orang itu sudah diajak masuk Islam namun tetap mem­bangkangdan akhirnya tidak sempat ma­suk Islam dan mati dalam keadaan kafir. Sedangkankedua orangtua Nabi SAW sama sekali belum pernah mem­bang­kang atau mengingkaridakwah. Se­bab mereka ditakdirkan Allah SWT untuk hidup sebelum masa turunnyawahyu.

Ayah-bunda Nabi juga orang-orang yang suci yang tidak ternodai oleh per­buatan-perbuatankeji orang-orang Ja­hiliyah. Dan Nabi SAW dalam berbagai haditsnya menyatakanke­banggaannya (bukan keta­kaburan) terhadap ketu­run­an­nya sebagaimana di­sebutkandi atas. Dalam ha­dits yang lain beliau ber­sabda, “Aku adalah nabiyang tidak berdusta. Aku ada­lah putra Abdul Mutha­lib.” (Sha­hihAl-Bukhari dan Shahih Muslim). Mengenai Abdul Muthalib,kenyataan­nya, ia termasuk ahlul fat­rah. Dan tidak mungkin beliau mem­banggakanAbdul Muthalib jika ia se­orang kafir, sebab hal itu tidak diperkenankan.

Tampak jelas sekali bahwa tidak mungkin orangtua Nabi adalah orang-orangkafir atau musyrik. Sedangkan Nabi SAW telah membanggakan nasab keduaorangtuanya sebagai nasab yang terbaik. Demikian juga ucapan Nabi SAW kepadaSa‘ad bin Abi Waqqash pada Perang Uhud ketika beliau melihat seorang kafirmembakar seorang mus­lim, Rasulullah SAW bersabda kepada Sa‘ad, “Panahlah dia,jaminan kesela­mat­anmu adalah ayah dan ibuku!”

Maka Sa‘ad berkata dengan gem­bira, “Rasulullah SAW mengumpulkan akudengan nama ayah dan ibunya!” (HR Al-Bukhari, bab Manaqib Zubair bin Awam, babManaqib Sa‘ad bin Abi Waqqash).

Bab 4. Nabi Muhammad lahir Dari Rahim Wanita yang Suci

Bagaimana mungkin Sa‘ad berbaha­gia disatukan dengan orangtua Rasul­ullahjika keduanya orang-orang musy­rik? Secara logika kita dapat mengata­kan,mungkinkah nabi umat Islam, nabi ter­mulia, lahir dari rahim perempuan musyrik,padahal Nabi Isa AS lahir dari rahim wanita yang suci? Banyak wanita yangberiman melahirkan anak-anak yang tidak memiliki keistimewaan, se­dangkanRasululluh keistimewaannya diakui di dunia, langit maupun bumi. Mungkinkah ialahir dari perempuan musyrik. Sungguh tidak mungkin!

Banyak keterangan yang dapat kita jadikan pegangan demi menguatkankeyakinan kita ini.Nabi SAW bersabda, “Aku berdoa memohon kepada Tuhan­ku,agar tidak ada satu pun keluargaku yang masuk neraka, maka doaku dika­bul­kan.”(Hadits riwayat Abu Sa`id Abdul Malik bin Abi Utsman, disebutkan dalamkitab Dzakhairul `Uqba, karya Al-Hafizh MuhibbuddinAth-Thabari).Sedangkan yang dimaksud keluarga Nabi SAW (ahlulbayt), menurut para jumhur ulama, adalah para istri Nabi SAW dan ahlul kisa(Sayi­dina Ali, Sayidatina Fathimah, Sayidina Hasan, dan Sayidina Husain). Jikapara istri, anak, menantu Nabi SAW dikate­gori­kan sebagai keluarga Nabi SAW,bagai­mana dengan ayah-bunda Nabi SAW? Tentu beliau berdua tergolong keluargaNabi, yang dijamin masuk surga.

Mungkin Anda akan bertanya, jika orangtua-orangtua Nabi, mulai dari ayah­nya,kakeknya, dan seterusnya, semua­nya orang-orang pilihan, orang-orang suci, danorang-orang yang beriman ke­pada Allah, bagaimana dengan Azar, yang disebutkandalam Al-Qur’an seba­gai ayahanda Nabi Ibrahim namun tak mau beriman kepadanya?

“Ayah” Nabi Ibrahim AS yang dise­but dalam Al-Qur’an sesungguhnya ada­lahpaman beliau. Di dalam Al-Quran ter­dapat beberapa lafazh ab (ayah)diguna­kan untuk menyebut amm (paman).Demikianlah menurutImam As-Suyuthi yang dikemukakannya dalam risalah-risalahnya yang terkenal.

Di antaranya Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an yang artinya, “Adakahkalian hadir ketika Ya`qub menjelang ajal­nya. Ketika itu ia bertanya kepadaanak-anaknya, ‘Apa yang hendak kalian sembah sepeninggalku?’

Mereka menjawab, ‘Kami hendak menyembah Tuhan-Mu dan Tuhan ayah-ayahmu(para orangtuamu), Ibrahim, Ismail, dan Ishaq…” (QS Al-Baqarah: 133).

Yang jelas, Ismail AS bukan ayah Ya‘qub AS, melainkan pamannya. Di dalamAl-Qur’an juga terdapat sebuah ayat yang menerangkan, Ibrahim AS dilarangmemohonkan ampunan bagi ayahnya, setelah diketahui bagaimana sikap ayahnyaketika ia mendengar tindakan Ibrahim AS menghancurkan berhala-berhala.Berkaitan dengan itu Allah berfirman yang artinya,“Tidak pa­tut bagiseorang nabi dan orang-orang ber­iman memohonkan ampunan (kepa­da Allah) bagiorang-orang musyrik…” (QS At-Tawbah: 113).

Di kemudian hari setelah Nabi Ibra­him AS menyelesaikan pembangunanKa‘bah pada akhir hidupnya, beliau ber­doa yang artinya, “Ya Allah,ampunilah aku dan kedua orangtuaku.” (QS Ibra­him: 41). Jika larangan istighfarpada ayat tersebut pertama ditujukan kepada ayah Nabi Ibrahim yang sebenarnya,ten­tu beliau tetap tidak boleh memohon­kan ampunan lagi setelah dilarang!

Bagaimana dengan riwayat bahwa Nabi SAW menangis di pusara ibunya danhadits tersebut dikatakan sebagai asbabun nuzul dari ayat 113 dari surahAt-Tawbah yang artinya, “Tiadalah se­pa­tutnya bagi nabi dan orang-orangyang beriman memintakan ampun (ke­pada Allah) bagi orang-orang musyrik, walau­punorang-orang musyrik itu ada­lah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi merekabahwasanya orang-orang musyrik itu ada­lah penghuni neraka Ja­hanam”?

Riwayat itu dinilai dhaif oleh pakar hadits Adz-Dzahabi, karena dalamren­teten perawinya terdapat nama Ayyub, yang berstatus lemah. Pakar tafsir Dr.Wahbah Az-Zuhail mengomentari ulama yang menyatakan hadits tersebut seba­gaisebab turunnya ayat 113 QS At-Tawbah, dengan komentar bahwa itu jauh darifakta, sebab orangtua Rasul hidup di masa fatrah, sehingga tidak te­pat haditstentang tangisan Nabi SAW di pusara ibunya sebagai sebab turun­nya ayattersebut (lihat Tafsir Al-Munir, juz 6, hlm. 64).

Dan banyak lagi hadits yang senada dengan itu, namun dengan redaksi yangberbeda, seperti yang diriwayatkan, Ahmad, Muslim, Abu Dawud dari jalur AbuHurairah.

Hadits tersebut tidak dapat dijadikan dalil kemusyrikan ibunda Nabi SAWkarena alasan-alasan berikut.

Pertama, hadits tersebut secara man­thuq (tekstual) tidakmenyebut keka­firan atau kemusyrikan ibu Nabi secara tegas dan jelas, sehinggasuatu tindakan ceroboh kalau dengan ketidakjelasan man­thuq hadits tersebutlangsung me­nyatakan kemusyrikan ibunda Nabi SAW.

Kedua, hadits-hadits yang menyata­kan bahwa kejadian Rasulullah mena­ngis dikuburan ibunya di kota Makkah, menurut Ibnu Sa‘ad, adalah salah, sebab makamibu Nabi bukan di Makkah, me­lainkan di Abwa (suatu wilayah yang ma­sih masukkota Madinah).

Ketiga, hadits-hadits tersebut, terma­suk hadits mengenai ayahanda Nabi se­ba­gaimanadisebutkan di atas, dibatal­kan (mansukh) oleh surah Al-Isra’ ayat 15yang telah disebutkan. Karena me­reka, ayah dan ibunda Nabi SAW, hidup sebelumada risalah nubuwwah. Karena itu mereka termasuk ahlul fatrah yangterbebas dari syari’at Rasulullah SAW.

Keempat, khusus hadits riwayat Mus­lim tentang ayahanda Nabi, yang di­maksud“ayahku” dalam hadis tersebut ada­lah paman. Karena, di dalam Al-Qur’an, seringkali, ketika ada kataabun (ayah), yang dimaksudadalah `ammun (paman), jadi bukan orangtua kandung.

Dan untuk penyebutan orangtua kan­dung, biasanya Al-Qur’an menggunakankata walid,sebagaimana firman Allah yang artinya, “Ya Tuhankami, ampunilah aku dan ibu-bapakku....” (QS Ibrahim 41).

Kelima, hadits-hadits tersebut ber­ten­tangan dengan nash hadits lain se­pertiyang disebutkan di atas bahwa Nabi SAW lahir dari nasab yang suci.

Keenam, dikatakan oleh Al-Qadhi Abu Bakar Al-A‘rabiy bahwa orang yang mengatakanorangtua Nabi SAW di ne­raka, mereka dilaknat oleh Allah SWT, sebagaimanaFirman-Nya yang artinya, “Se­sungguhnya orang-orang yang me­nyakiti Allah danRasul-Nya, Allah akan melaknat mereka di dunia dan akhirat, dan disiapkan bagimereka adzab yang menghinakan.” (QS Al-Ahzab: 57). Berkata QadhiAbu Bakar, “Tidak ada hal yang lebih menyakiti Nabi SAW selain di­katakan bahwaayahnya atau orang­tuanya berada di neraka.” Demikian di­katakan As-Suyuthidalam kitab Masa­likul Hunafa’ Fi Hayati Abawayyil Musthafa.

Bab 5 Kesimpulan/ Penutup

Demikian pendapat ulama bahwa orangtua Nabi SAW bukan orang-orangmusyrik, karena wafat sebelum kebang­kitan risalah dan menjadi ahli fatrah, dantak ada pula nash yang menjelaskan me­reka sebagai penyembah berhala. Di antaraulama yang berpendapat bahwa orangtua Nabi bukan musyrik adalah Al-ImamAsy-Syafi‘i dan para ulama besar Syafi‘i dan madzhab-madzhab lainnya, sepertiAl-Hafizh Al-Muhaddits Al- Imam Al-Qurthubi, Al-Hafizh Al-Imam As-Sakhawi,Al-Hafizh Al-Muhaddits Al-Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi yang mengarangsebuah buku khusus tentang keselamatan ayah-bunda Nabi SAW, Al-Hafizh Al-ImamIbn Syahin, Al-Hafizh Al-Imam Abubakar Al-Bagh­dadi, Al-Hafizh Al-ImamAth-Thabari, Al-Hafizh Al-Imam Ad-Dara­quth­ni, dan masih banyak lagi yanglainnya.

Syaikh Al-Qhadhi, salah seorang imam dari Madzhab Malikiyyah, pernahditanya ihwal bahwa orangtua Nabi SAW berada di neraka. Maka ia menjawab, “Mal`un (terlaknatorang itu), karena Allah SWT berfirman yang artinya, ‘Se­sungguhnya orang-orangyang menya­kiti Allah dan Rasul-Nya, Allah melaknat mereka di dunia dan diakhirat, dan menyiapkan untuk mereka adzab yang hina’.” (QS Al-Ahzab: 57).Adakah yang lebih menyakiti hati Rasulullah SAW dari mengatakan bahwa orangtuaRasulullah SAW berada di neraka?

Arti bebas dari scan kitab yang berwarna kuning: “Ibnu Taimiyahmengatakan bahwa sebelum mengkafirkan seseorang dengan nyata-nyata syaratnyaharus telah ditegakkannya hujjah [sampainya hujjah], dan itu menjadi dasarucapan-ucapannya dalam sebagian yang telah dihukumi kafir, “Tetapi sebagianmanusia yang bodoh [tidak mengetahui] beberapa hukum karena terhalangkebodohannya, maka tidak boleh seseorang menghukumi kafir sehingga tegaknyahujjah [sampainya hujjah] padanya dari arah sampainya risalah kenabian. Sebagaimanafirman Allah Ta’ala: (Dan tidaklah kami mengadzab mereka, sehingga kamimengutus kepadanya seorang Rasul) {QS. Al-Isra’: 15} [Majmu’ Fatawa jus 11 hal.406]” “Syeikh Hamid bin Nashir bin Ma’mar seorang ulama pendakwah murid dariMuhammad bin Abdul Wahhab berkata, “Semua orang yang sudah sampai kepadanyaAl-Qur’an dan dakwah [risalah/diutusnya] Rasul, maka telah ditegakkan hujjahkepadanya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: (…supaya dengannya aku memberiperingatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Qur’an (kepadanya)).{QS. Al-An’am: 19).” Dan pada hal. 54 Syeikh Ishaq bin Abdurrahman An-Najdberkata, “Dan yang dimaksud: tegaknya hujjah adalah sebab telah diutusnyaRasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sampainya Al-Qur’an [kepadanya],siapa saja yang mendengar dakwah Rasulullah dan telah sampainya Al-Qur’ankepadanya, maka telah ditegakkannya hujjah [hukum]. Dan inilah yang dimaksudoleh ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.