Selasa, 08 September 2020

MENGENAL PEMBUNUH KHALIFAH ALI RA, ABDURRAHMAN BIN MULJAM AL MURADI AL HIMYARI, “SI MANUSIA PALING CELAKA”

(Seri Sejarah Keluarga Nabi Muhammad SAW)

Oleh : Iwan Mahmoed Al Fattah

Sosok yang akan kita bicarakan disini sebenarnya sudah banyak yang menulisnya, namun demikian tak ada salahnya jika sejarahnya kembali kita ulas dengan tujuan untuk menjadikannya sebagai pelajaran sejarah yang berharga, mengingat ditangannya telah syahid salah seorang Khalifah ke 4 yang juga menantu dari Nabi Muhammad SAW yaitu Sayyidina Ali bin Abi Thalib Ra. Beliau adalah sosok yang dikenal sangat dekat dengan Rasulullah SAW dan banyak dicintai dan dihormati para sahabat termasuk mereka-mereka yang tidak sependapat dengannya.

Pada saat terbunuhnya Khalifah Ali bin Thalib Ra, beliau tinggal di kota Kufah. Kufah sendiri adalah kora utama yang ada di Irak saat itu. Kota ini menjadi  istimewa karena menjadi tempat tinggal para sahabat Nabi, para tabi’in dan ulama soleh. Kufah ini menurut catatan Ibnu Batutah dalam rihlahnya banyak berkaitan dengan Nabi-nabi terdahulu seperti Nabi Ibrahim AS,  Nabi Nuh AS, Nabi Idris AS.  Kelak setelah kematian Khalifah Ali Ra. Anak dan cucunya akan dimakamkan di kota ini seperti Muslim bin Aqil bin bin Abi Thalib  serta cucunya yang bernama Atikah dan Sakinah. Di kota inilah menjadi saksi bisu sejarah telah terjadi sebuah tragedy pembunuhan yang dilakukan seorang manusia paling celaka terhadap manusia mulia kecintaan Rasulullah SAW…dan pembunuh keji itu bernama Abdurrahman bin Muljam Al Murodi Al Himyari.

Abdurrahman bin Muljam Al Murodi Al Himyari sendiri dahulunya dikenal sebagai sosok yang baik, beliau dalam kehidupan awal keislamannya bahkan pernah dipercaya oleh Khalifah Umar bin Khattab Ra untuk mengajarkan Al Qur’an di masjid. Dia juga pernah belajar kepada sahabat Nabi yang bernama Muadz bin Jabal Ra. Dia sendiri pada awalnya pernah merasakan hidup jahiliiah. Ibnu Muljam baru mampu berhijrah di masa Khalifah Umar bin Khattab Ra. Dalam riwayat kehidupannya Abdurrahman bin Muljam ini bahkan pernah dikirim ke Mesir untuk membantu Gubernur Amr bin Al ‘Ash Ra dalam mengajarkan Al-Qur’an. Ibnu Muljam bahkan pernah diberi gelar Al Muqri karena keahliannya membaca Al-Qur’an. Di masa itu sosoknya selain dikenal baik, dia juga dikenal gemar beribadah, rajin berpuasa, rutin melakukan sholat malam. Khalifah Umar bin Khattab Ra bahkan dalam suratnya yang ditujukan kepada Amr  bin Al Ash Ra mengatakan bahwa sosok Abdurrahman bin Muljam adalah pribadi yang soleh dan  meminta agar Amru bin Ash Ra memuliakannya.

Dengan adanya gambaran dari Khalifah Umar bin Khattab Ra, kita bisa menilai bahwa sosok yang nantinya menjadi pembunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib Ra ini paling tidak latar belakangnya adalah orang baik. Ini tentu merupakan hal sangat mengejutkan, betapa orang yang dahulunya soleh dan hidup pada masa Sahabat Nabi tiba-tiba bisa berubah 180 derajat menjadi sosok yang mengerikan. Kemana bacaan Al-Qur’annya yang selama ini dia ajarkan ke orang banyak ? Apakah ibadah yang selama ini dilakukan tidak membekas sedikitpun sehingga dia bisa berubah total seperti itu ?

Dari beberapa sumber yang saya pelajari, nampaknya perubahan karakter seorang Abdurrahman bin Muljam terjadi ketika dia mulai bergaul dengan orang-orang khawarij di wilayah Mesir saat itu. Saat itu faham Khawarij muncul setelah timbulnya peristiwa Tahkim (Arbitrase)  antara fihak Khalifah Ali Ra dan fihak Muawiyah Ra. Tadinya Abdurrahman bin Muljam berada di fihak Khalifah Ali bin Abi Thalib Ra, namun sejak dia mulai terjangkiti pemahaman yang sempit dari orang-orang khawarij, maka sejak itu berubahlah karakternya yang tadinya sholeh menjadi jahat. Sepertinya sosok Abdurrahman bin Muljam ini tidak seperti para sahabat – sahabat yang pernah mendapat didikan langsung dari Nabi Muhammad SAW. Dalam sejarahnya sendiri sepertinya Abdurrahman bin Muljam tidak mendapat didikan langsung dari Nabi Muhammad SAW mengingat dia baru berhijrah di masa Umar bin Khattab, sehingga sudah dapat dipastikan kualitas keislaman dan keislamannya tidak sebanding dengan para sahabat Nabi Muhammad SAW yang lainnya. Kesholehan dia sepertinya tidak ditopang dengan pengetahuan agamanya, ia mungkin seorang sekedar pandai membaca Al-Qur’an namun untuk mampu menyelami lebih dalam seperti para sahabat Nabi Muhammad SAW, sehingga bacaan Al-Qur’an yang dia miliki hanya sebatas kerongkongan saja. Boleh jadi pula dia ini belum mencapai tahap penghafal  Al-Qur’an yang sesungguhnya seperti halnya para sahabat Nabi. Untuk menjadi seorang penghafal Al Qur’an di masa Nabi dan Sahabat itu terdiri dari orang-orang yang terbaik seperti Abu Musa Al Asyari Ra, Abu Darda Ra, Zait bin Tsabit Ra,  Abdullah bin Mas’ud Ra, Usman bin Affan Ra, Ali bin Abi Thalib Ra, Ubai bin Kaab, dll. Sedangkan untuk Abdurrahman bin Muljam  terus terang kami pribadi sangsi kalau dia merupakan penghafal Al-Qur’an seperti halnya para sahabat yang telah kami sebutkan tersebut. Tidak menutup kemungkinan dia baru sebagian kecil menguasai dan menghafal isi Al-Qur’an, namun karena kesolehannya saat itu sangat menonjol maka bukan hal yang aneh kalau dia kemudian dipercaya Khalifah Umar bin Khattab Ra untuk mengajarkan Al-Qur’an sesuai dengan kemampuan dengan pemahaman yang dia miliki…

Hubungannya dengan khawarij memang cukup mengagetkan, namun kenyataannya itu memang terjadi. Sejak pertama kali kemunculannya, faham Khawarij memang cukup mengkhawatirkan persatuan ummat. Langkah Sayyidina Ali Ra untuk menyelesaikan sengketa dengan Muawiyah bin Abi Sofyan Ra justru dipandang salah oleh kaum ini, oleh karena itu mereka yang tidak setuju dengan adanya Tahkim kemudian memisahkan diri dari kelompok Khalifah Ali Ra. Slogan yang sering diucapkan kaum Khawarij adalah “LĀ HUKM ILLĀ LI ALLĀH”, tidak ada keputusan kecuali keputusan Allah. Slogan inilah yang nantinya diucapkan oleh Abdurrahman bin Muljam saat membunuh Khalifah Ali Ra. Kaum khawarij berkesimpulan Khalifah Ali Ra dan Muawiyah Ra adalah fihak-fihak yang berdosa (sebuah penilaian yang sangat tidak pantas apalagi ditujukan kepada sahabat Nabi Muhammad SAW). Khawarij juga berpandangan bahwa hanya golongan merekalah yang benar, sementara yang lain adalah salah dan wajib diperangi. Kebencian yang begitu mendalam nampaknya lebih ditujukan kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib Ra, dan anehnya setiap kejahatan politik  yang dilakukan fihak Syam  oleh khawarij dipikulkan pertanggungjawabnya ke pundak Khalifah Ali Ra. Orang-orang khawarij  terus berkampanye dan berpropaganda bahwa Khalifah Ali Ra telah murtad dan menjadi kafir. Khalifah Ali bin Abi Thalib Ra harus dilawan demi tegaknya hukum Allah, menurut mereka. Di mana-mana mereka tidak bosan meneriakan slogan “TIADA HUKUM SELAIN HUKUM ALLAH”.

Ath-Thabari salah seorang penulis sejarah Islam mencatat bahwa sebab munculnya khawarij dan alasan berpisahnya mereka dari pasukan Ali adalah karena dangkalnya pengetahuan mereka tentang hakikat permasalahan, juga tentang makna ayat Al-Qur’an, serta minimnya ilmu fikih dan pengetahuan mereka terhadap ajaran pokok syariat dan agama. Dari penjelasan Ath-Thabari ini akhirnya kita berkesimpulan bahwa betapa berbahayanya faham yang satu ini pada waktu itu.

Berbagai cara dan cara sebenarnya sudah dilakukan Khalifah Ali Ra untuk menyadarkan kaum ini.  Namun jerih payah Khalifah Ali Ra nampaknya tidak membawa hasil apapun juga hingga akhirnya beliau pun bersikap tegas kepada kaum yang menyimpang ini. Kaum khawarij sendiri bertahan sikapnya dengan tetap keras kepala dan menumpahkan semua kesalahan kepada Khalifah Ali Ra. Dalam suatu dialog yang terjadi antara Khalifah Ali Ra dan kaum khawarij, mereka tanpa tedeng aling menyatakan  terus terang pendiriannya sebagai berikut: “…kami bukanlah dari golongan kalian dan bukan pula dari orang-orang yang menghendaki keduniaan seperti yang kalian inginkan. Hai Ali, jika engkau mau mengakui dengan sadar bahwa engkau sekarang telah menjadi kafir, kemudian engkau bersedia bertaubat sebagaimana kami telah bertaubat, barulah kami sudi untuk bersatu lagi denganmu untuk menghadapi musuhmu. Kalau tidak, tidak ada jalan lain kecuali pedang.

Kaum khawarij  memang pada akhirnya tidak pernah mau berdiam diri dan tidak pernah mau bertukar pikiran untuk mencari kebenaran, bahkan terus menerus menantang dan mengancam hendak melancarkan serangan bersenjata. Setiap orang yang tidak sefaham dengan mereka dan diketahui bersimpati kepada Khalifah Ali  Ra mereka bunuh dan mereka aniaya. Mereka menetapkan hukum sendiri, bahwa setiap  orang yang tidak sependapat dengan mereka, halal ditumpahkan darahnya dan dirampas segala miliknya.

Cara berpikir khawarij yang serba sempit ini dapat dilihat dalam surat yang ditulis Ali ibn Abi Thalib; “jelaskan kepada kami, alasan apa yang menyebabkan kalian menghalalkan untuk memerangi kami dan membelot dari jamaah. Mempersenjatai bekas hamba sahaya kalian dan menyerang orang-orang dengan memenggal kepada mereka ? Sesungguhnya perbuatan ini adalah kerugian yang sangat nyata. Demi Allah, seandainya kalian membunuh seekor ayam atas dasar semua ini, pastilah dosanya sangat besar di sisi Allah, maka bagaimana dengan membunuh nyawa manusia yang diharamkan oleh Allah.”

Perlu diketahui, kaum khawarij ini kebanyakan dari orang-orang Arab Badui yang hidup di padang pasir dan keadaan yang serba keras, membuat mereka bersifat sederhana dalam alam pikiran, keras dalam pendirian, berani dalam bertindak, dan mandiri. Mereka berpandangan sempit, fanatik, kurang toleran terhadap perbedaan, tidak terbuka karena kurang berilmu pengetahuan. Akibatnya rawan akan terjadinya pengelompokan baru. Mereka mudah menuduh kafir atau musrik terhadap siapa saja yang tidak mengikuti mereka. Kafir atau musyrik dengan sendirinya halal darahnya untuk dialirkan. Ajaran-ajaran Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist, mereka artikan menurut lafadnya dan harus dilaksanakan sepenuhnya. Oleh karena itu iman dan paham mereka merupakan iman dan paham mereka yang sederhana dalam pemikiran. Sikap fanatik ini membuat mereka tidak mentolerir penyimpangan terhadap ajaran Islam menurut paham mereka, walaupun hanya penyimpangan dalam bentuk kecil.

Sejarah membuktikan bahwa kaum khawarij ini termasuk orang-orang yang membenci Imam Ali Ra secara berlebih-lebihan, mereka tidak hanya memusuhi dan memerangi saja, tetapi  bahkan mengkafir-kafirkannya kemudian berkomplot  membunuhnya. Kebencian mereka yang sangat berlebih-lebihan  itu membawa  mereka kepada jalan yang tidak benar, sebagaimana yang dicanangkan oleh sabda Rasulullah SAW, setiap muslim yang tidak sefaham dengan mereka dipandang sebagai kafir dan mereka halalkan darah dan harta bendanya.

Pemikiran-pemikiran dari Khawarij ini nantinya sangat berpengaruh kuat terhadap Abdurrahman bin Muljam untuk membunuh Sayyidina Ali Ra sebagai khalifah saat itu. Keinginan Abdurrahman bin Muljam untuk cepat membunuh Sayyidina Ali Ra bahkan semakin menguat manakala dia bertemu dengan seorang perempuan cantik yang bernama Qitham binti Asy-Syajnah di Kufah (Irak) yang ternyata juga seorang khawarij sejati. Qitham binti Asy-Syajnah memberikan beberapa syarat kepada Ibnu Muljam untuk bisa menikahinya, salah satunya adalah dengan membunuh Khalifah Ali Ra. Syarat yang diajukan ini justru seperti pucuk dicinta ulam pun tiba. Qitham binti asy-Syajnah memberi syarat tersebut karena dia dendam kepada Khalifah Ali Ra dan pengikutnya yang telah banyak membunuh kerabatnya dalam perang Nahrawan. Perang Nahrawan sendiri adalah perang  yang bertujuan untuk menumpas habis kaum khawarij yang telah memberontak dan selalu melakukan adu domba dan provokasi setelah adanya Tahkim. Dengan lantang mereka selalu berkata: “Tidak boleh ada hukum kecuali hukum Allah.”adanya pemahaman yang sempit ini kemudian dijawab oleh Sayyidina Ali Ra dengan perkataan: Perkataan yang benar, tetapi ditujukan untuk kebathilan.”

 

Pertemuannya dengan wanita cantik yang berhati kejam semakin menambah semangat Ibnu Muljam untuk segera menghabisi Khalifah Ali Ra. Semua kesolehannya telah berubah menjadi sifat iblis, pergaulannya yang salah, ambisinya yang begitu besar, pemahamannya yang sempit terhadap Islam, serta adanya godaan wanita semakin membuat Abdurrahman bin Muljam betul-betul menjadi gelap mata, dia lupa kalau dulu Khalifah Umar bin Khattab pernah memujinya, dia lupa sahabat Amr bin Ash Ra dulu pernah menjadikanya seorang mulia karena kedekatannya dengan Al-Qur’an. Hilang semua itu akibat kebodohannya karena bergaul dan berdekat-dekatan dengan kaum khawarij. Intelektual dan pemikirannya tidak berhasil untuk menolak faham ini..kesholehannya seolah tidak berdaya menghadapi pemikiran-pemikiran yang disodorkan oleh kaum khawarij ini.

 

Sosok yang dulu rumahnya pernah dekat dengan  salah satu otak pembunuhan Khalifah Ustman bin Affan yang  bernama Abdurrahman bin Udais Al-Balawi ini akhirnya melaksanakan misi jahatnya setelah didesak oleh perempuan impiannya.

 

Rencana pembunuhan terhadap Sayyidina Ali Ra pada dasarnya merupakan misi besar dari kaum khawarij. Misi pembunuhan itu tidak saja ditujukan kepada Imam Ali Ra namun juga kepada Muawiyah bin Abi Sufyan Ra, Gubernur Amr bin Ash Ra yang dipandang sebagai biang keladi perpecahan ummat.  Untuk rencana pembunuhan terhadap Imam Ali Ra mereka pandang sebagai tindakan pembalasan atas terbunuhnya  kawan-kawan mereka di masa lalu. 

 

Untuk melaksanakan pembunuhan terhadap tiga tokoh tersebut maka  terpilihlah nama Abdurrahman bin Muljam Al-Muradi Al-Himyari yang ditugaskan membunuh Imam Ali Ra. Untuk membunuh Muawiyah Ra mereka menugaskan seorang Bani Tamim bernama  Al-Hajjaj bin Abdullah Ash-Sharimy. Sedangkan untuk membunuh Amr bin Ash Ra mereka menugaskan ‘Amr bin Bakr orang dari Bani Tamim juga.  Mereka menentukan waktu  pelaksanaan  rencana tersebut secara serentak, yaitu menjelang tanggal 17 Ramadhan tahun 40 Hijriah. Selama menunggu waktu yang telah ditentukan mereka tinggal di Makkah. Selesai berumroh, pada bulan Rajab mereka berpisah, masing-masing menuju tempat tujuan. Pada waktu yang telah ditentukan ternyata Al-Hajjaj Ash Sharimy tidak berhasil membunuh Muawiyah Ra karena kebetulan beliau sedang memakai baju besi sebagaimana kebiasaannya ketika keluar meninggalkan rumah. Ia hanya luka-luka tapi tidak membahayakan jiwanya. Al Hajjaj kemudian tertangkap kemudian dibunuh. Untuk Amr bin Bakr, ternyata ia juga gagal membunuh Amr bin Ash Ra karena ketika itu Amr tidak keluar rumah karena sedang sakit. Untuk mengimami sholat jamaah Amr bin Ash Ra kemudian menugaskan pengawalnya  yang bernama Kharijah bin Huzaifah Al Adwy. Kharijah inilah yang akhirnya terbunuh. Amr bin Bakr kemudian ditangkap lalu dibunuh oleh Amr bin Ash Ra.

 

Bagaimana dengan Abdurrahman bin Muljam ?

 

Pada malam tanggal 17 Ramadan 40 Hijriah, dibulan yang mulia, rencana Ibnu Muljan beserta dua orang kawannya  untuk membunuh Khalifah Ali Ra akhirnya dijalankan.  Menjelang subuh seperti kebiasaan Khalifah Ali Ra, beliau selalu membangunkan orang-orang untuk sholat berjamaah. Di jalan yang biasa Khalifah Ali Ra lalui ini sudah lama mengintai  Ibnu Muljam dan dua 2 orang kawannya.  Setelah bertemu, Abdurrahman bin Muljam kemudian  menebas tengkuk Khalifah Ali Ra yang sudah terjatuh setelah sebelumnya  ditebas oleh komplotan Ibnu Muljam.  Darah pun membanjiri tengkuk dari khalifah yang mulia ini. Sambil menebas tengkuk Khalifah Ali Ra dengan pedang yang sudah diberi racun mematikan, Abdurrahman bin Muljam berteriak ”TIDAK ADA HUKUM KECUALI MILIK ALLAH, BUKAN MILIKMU ATAU SAHABAT-SAHABATMU !!!”  setelah mengeluarkan perkataan ini Ibnu Muljam  membaca Al-Qur’an “DAN DIANTARA MANUSIA  ADA YANG MENJUAL JIWANYA MENCARI KERIDHOAAN ALLAH  DAN ALLAH  MAHA LEMBUT KEPADA HAMBA-HAMBANYA…” Khalifah Ali Ra pun sempat menjawab dan berseru, “KALIAN AKAN MENDAPAT HUKUM ALLAH…”

 

Perbuatan yang dilakukan oleh Abdurrahman bin Maljan dkk, jelas sangat menggemparkan para sahabat yang akan melakukan sholat. Anak-anak Khalifah Ali Ra seperti Sayyidina Hasan ra,  Ummu Kalsum RA sangat marah terhadap sosok yang kini sudah berubah menjadi monster pembunuh. Betapapun demikian Khalifah Ali walaupun dalam keadaan kritis tetap melarang anak-anaknya untuk memperlakukan Abdurrahman bin Muljam di luar  batas kemanusiaan, Khalifah Ali Ra melarang anak-anaknya menyiksa sosok pembunuh berdarah dingin itu, bahkan beliau memberi pesan agar Ibnu Muljam diberi makan dan minum dan ditawan dengan baik. Menurut beliau Jangankan manusia, kepada anjing liar saja hal tersebut tidak boleh dilakukan. Perkataan dan nasehat Khalifah Ali Ra ini yang nantinya menyebabkan Abdurrahman bin Muljam dihukum mati dengan cara yang sesuai dengan syariat Islam. Ini penting diungkap karena beberapa sumber tulisan menulis Abdurrahman bin Muljam digambarkan dibunuh dengan dengan cara yang kejam dan tidak manusiawi, jelas ini sangat bertentangan dengan pesan dan wasiat dari Khalifah Ali Ra. Tidak mumgkin kekejaman dihadapi dengan kekejaman karena itu bertentangan dengan hukum Islam juga bertentangan dengan sifat para sahabat. Beberapa tulisan bahkan menyebut adanya pencungkilan mata, ada pemotongan lidah, ada pemutilasian bahkan ada pembakaran jasad dirinya. Jelas ini tulisan yang patut dipertanyakan kebenarannya.

 

Pada tanggal 21 Ramadan 40 Hijriah Khalifah Ali bin Abi Thalib ra setelah 3 hari bertahan dengan luka-lukanya terutama di selaput otaknya, akhirnya sosok yang mulia wafat syahid, maka sejak wafatnya beliau dan juga setelah penyerahan jabatan khalifah dari Sayyidina Hasan Ra kepada Muawiyah bin Abi Sufyan Ra berakhirlah sejarah emas sistem pemerintahan Kekhalifahan Nubuwwah (Khilafah Rasyidah). Sayyidina Ali Ra sendiri setelah wafat dikuburkan di Najaf, Iraq. Di tempat itulah sampai sekarang bisa kita saksikan sebuah masjid besar dalam bentuk bangunan yang indah terhias beberapa kubah berlapiskan emas. Berpuluh-puluh ribu, bahkan mungkin beratus-ratus ribu kaum muslimin, terutama penganut Syiah setiap tahun datang dan berziarah ke tempat tersebut. Selain Najaf ada sebagian ada juga yang berpendapat bahwa makam Sayyidina Ali Ra sudah dipindahkan oleh Al-Husein Ra dan dikebumikan kembali  berdampingan dengan istrinya di Baqi’ Madinah.

 

Bagaimana hukuman mati yang diterima Ibnu Muljam setelah berhasil membunuh Khalifah Ali Ra yang agung itu ? Benarkah hukuman yang diterima ibnu Muljam dilakukan dengan cara yang kejam ? Benarkah saat mau dihukum dia masih percaya diri dan tidak merasa ketakutan ? benarkah dia meminta agar badannya dimutilasi ? untuk menjawab semua itu dibawah ini akan dijelaskan bagaimana sebenarnya yang terjadi.

 

Beberapa waktu setelah kematian Khalifah Ali Ra, Al-Hasan Ra sebagai putra tertua bersiap-siap melaksanakan hukuman Qishas terhadap pembunuh ayahnya.  Akhirnya Ibnu Muljam  si pembunuh durjana itu dibawa  ke hadapan massa untuk diqishas, Ibnu Muljam tampak begitu ketakutan, hingga mengiba-iba kepada Al-Hasan Ra.

 

Ibnu Muljam berkata : “Maukah kamu menerima tawaranku ? Demi Allah, setiap kali aku bersumpah kepada Allah, aku selalu menepatinya. Dahulu aku bersumpah kepada  kepada-Nya di sisi Ka’bah, untuk membunuh Ali dan Muawiyah, atau aku yang terbunuh karena itu. Sekarang, lepaskanlah aku agar aku dapat membunuh Muawiyah. Aku bersumpah kepadamu, Demi Allah, jika aku tidak berhasil membunuh Muawiyah, atau aku berhasil membunuhnya dan aku tetap hidup, aku akan kembali menyerahkan diri kepadamu.”

 

Mendengar tawaran demikian, Al-Hasan  Ra berkata: “Demi Allah, itu tidak akan pernah terjadi sebelum kamu melihat neraka.” Ibnu Muljam kemudian dibawa ke depan, lalu Al Hasan Ra pun mengqishasnya.

 

Dari paparan diatas ini kita menjadi tahu bahwa Ibnu Muljam menjelang kematiannya, dia sangat ketakutan sekali, dari sini pula kita bisa tahu betapa bodohnya dia akan pemahaman keagamaan. Betapa sangat salah kaprahnya dia ketika berani bersumpah “Demi Allah” untuk sebuah kebatilan, dia fikir hukum bisa dibolak balik dan dipermainkan. Ibnu Muljam masih beruntung hanya diqishas, mungkin bila dia jatuh ke tangan Persia dan Roma bisa jadi dia akan diperlakukan dengan sangat sadis. Namun begitulah akhlak Keluarga Nabi. Sesuai pesan Khalifah Ali Ra, Al Hasan Ra melakukan qishas sesuai dengan syariat Islam. Artinya sebelum qishas jatuh tidak ada penyiksaan, semua dilakukan dengan cepat hingga akhirnya Ibnu Muljam mati dalam hina dihadapan Ummat Islam.

 

Setelah dihukum mati dengan cara qishos dengan cara dipenggal kepala, tidak diketahui dimana manusia paling celaka ini dimakamkan. Namun berdasarkan catatan Ibnu Batutah dalam rihlahnya, makam Ibnu Muljam ternyata tidak jauh dari pemakaman keluarga Khalifah Ali Ra. Menurut beliau makam Ibnu Muljam berada di sebelah barat pemakaman Kufah. Makam Ibnu Muljam berbentuk sebuah bangunan hitam legam diatas tanah putih. Makam “Si Manusia Celaka” ini setiap tahun didatangi penduduk Kufah. Mereka membawa kayu dan membakarnya  di atas makam itu selama 7 hari. Di dekat makam Ibnu Muljam terdapat pula makam Al-Mukhtar bin Abu Ubaid Bin Mas’ud Ats- Tsaqafi.

 

Dari pelajaran diatas kita dapat simpulkan kenapa seorang Ibnu Muljam yang hidup di masa para sahabat bisa berubah menjadi orang yang jahat dikarenakan beberapa factor, yaitu :

 

1.  Ibnu Muljam bukan produk didikan Rasulullah SAW karena dia hadir pada masa Khalifah Umar bin Khattab, sehingga kualitas keimanannya pun tidak bisa disamakan dengan para sahabat, sekalipun para sahabat ada yang bertentangan dalam beberapa persoalan, namun semua itu bisa diselesaikan dengan cara yang baik, sedangkan ibnu muljam dengan cara kekerasan.

2.    Ibnu Muljam adalah gambaran seorang yang berwawasan sempit padahal dia berada di lingkungan orang-orang yang terbaik.

3.    Ibnu Muljam hanya mampu menjadi manusia yang sholeh buat dirinya sendiri namun tidak mampu untuk membuat sholeh orang lain.

4.     Ibnu Muljam telah memasuki pergaulan yang salah ketika dia berdekat-dekatan dengan kaum khawarij.

5.    Ibnu Muljam adalah sosok yang lebih mengedepankan dunia ketimbang akhirat, ini terbukti ketika dia mau melakukan pembunuhan terhadap Khalifah Ali berkat rayuan seorang wanita.

6.      Ibnu Muljam adalah tipikal manusia yang berfikir leterleks (kaku) bukan kontekstual.

7.      Ibnu Muljam tipikal manusia egois yang sulit menerima pendapat dari orang lain.

8.    bnu Muljam seorang  merasa “berilmu” tapi mati terbunuh oleh kebodohannya sendiri, ilmunya tidak bermanfaat bagi dirinya (karena tidak diamalkan).

9.    Ibnu Muljam sekalipun memiliki nama yang indah (Abdurrahman) namun ternyata nama itu tidak mampu menjadikannya manusia yang berguna.

10.   Ibnu Muljam bukanlah penghafal Al-Qur’an seperti halnya para sahabat Nabi, yang selain hafal mereka juga bisa mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, Ibnu Muljam mungkin bisa mengajar Al-Qur’an namun untuk memahami maknanya secara lebih luas nampaknya dia tidak mampu. Sekalipun kalau memang benar dia katanya hafal Al-quran, hafalan yang dia miliki hanya bisa sampai kepada kerongkongan saja, dan tidak sampai kepada akal dan hatinya untuk diamalkan dalam kehidupan nyata. Kami  pribadi sendiri masih ragu apakah Ibnu Muljam ini seorang penghafal Qur’an mengingat pada masa itu hanya terjadi pada dirinya saja, bila dibandingkan dengan para penghafal Alquran lainnya.. Bagaimana mungkin, bukankah Al-Qur’an merupakan bagian “Cahaya Allah” ? tidak mungkin “cahaya” itu menyebabkan seorang menjadi pembunuh. Seorang penghafal Al-Quran sejati akan selalu Allah jaga baik perkataan atau perbuatannya.

 

 

Wallahu A’lam Bisshowwab…

Daftar Pustaka :                 

Abu Ja‟far Muhammad. Tarikh Ath-Thabari Jilid 3. Terj. Abu Ziad Muhammad Dhiaul-Haq dan Abdul Syukur Abdul Razak. Jakarta : Pustaka Azam, 2011.

Hairul Puadi, Radikalisme Islam: Studi Doktrin Khawarij, Jurnal Pusaka LP3M IAI Al-Qolam, 2016.

HMH Al Hamid Al Husaini. Imamul Muhtadin Sayyidina Ali bin ABi Thalib Ra, Jakarta : Pustaka Hidayah, 1989.

Mustafa Murad. Kisah Hidup Ali bin Abu Thalib, Jakarta : Zaman, cet VII tahun 2016.

Sukring. Ideologi, Keyakinan, Doktrin Dan Bid’ah Khawarij: Kajian Teologi Khawarij Zaman Modern, Jurnal Theologia — Volume 27, Nomor 2, Desember 2016.

Syekh Hasan Al-Husaini (Ulama Ahlul Bait. Hasan-Husein The Untold Stories, Jakarta : Pustaka Imam Asy-Syafii, 2013.