Senin, 07 Maret 2016

BUNG HATTA “DIGUGAT”


(Sebuah Jawaban Dan Klarifikasi Terhadap Tokoh Besar Nusantara)

Bung Hatta.....

Siapapun insan di negeri ini pasti mengetahui sosok besar dan berjasa ini. Kapasitas dan keberadaannya sebagai tokoh bangsa tidak perlu  diragukan lagi. Konsistensi dan ketegarannya akan prinsip hidup patut kita contoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak banyak tokoh besar seperti beliau yang mampu bertahan secara konsisten dalam mempertahankan prinsip hidup ditengah gempuran-gempuran rezim yang datang silih berganti, dari mulai era Sebelum Kemerdekan, Masa Pendudukan Jepang,  Masa Kemerdekaan, Masa Negara Federal, Era Negara Kesatuan,  Masa Demokrasi Terpimpin, Orde Lama sampai kepada masa Orde Baru, sikapnya tidak berubah,  tetap kritis dan tegar dalam menghadapi “kezaliman” penguasa politik yang ada. Sekalipun dirinya “dikungkung” oleh berbagai rezim yang ada, namun perlawanannya terhadap ketidak adilan terus berkibar sekalipun nanti yang dihadapinya adalah sahabatnya sendiri. Ini yang akhirnya nanti banyak membuat kagum banyak fihak kawan dan lawan.

Bung Hatta adalah satu diantara tokoh-tokoh yang sampai saat ini sangat harum namanya. Sebagai bentuk pengakuan rakyat, pada saat wafatnya saja ratusan ribu orang banyak menghadiri pemakamannya, hal yang sama juga pernah terjadi pada saat KH Wahid Hasyim dan Gus Dur wafat.  Begitu cintanya rakyat akan sosok ini bahkan seorang Iwan Fals saja telah membuat lagu khusus pasca wafatnya. Para sejarawanpun telah banyak banyak yang menulis sosok yang bersahaja ini, mulai dari masa kecilnya, pemikirannya, sampai kepada kisah asmaranya. Tentu dengan banyak ditulisnya sejarah beliau, menandakan jika beliau adalah tokoh besar yang tak lekang dengan masa.

Kami sendiri termasuk orang yang sangat kagum dengan sosok Bung Hatta. Diantara sekian tokoh politik yang ada bagi kami Bung Hatta dapat dijadikan motivasi dan inspirasi dalam kehidupan. Kesederhanaan dirinya bahkan telah membuat kami kagum bukan kepalang, padahal jabatan yang diembannya pada waktu masanya  adalah Wakil Presiden dan juga Perdana Menteri. Sebuah jabatan yang cukup mentereng dan menggoda untuk ukuran saat ini. Tapi Bung Hatta tetaplah Bung Hatta, Sekalipun pada masa itu kondisi  negara dalam keadaan susah tapi Bung Hatta tidak pernah mengambil kesempatan yang ada. Gaya  hidupnya masih tetap sederhana dan apa adanya.

Sekalipun demikian, tentu tidak ada gading yang tak retak, sebagai manusia biasa tentu Bung Hatta dulunya bisa saja mempunyai beberapa “kesalahan” atau “dosa” di dalam kehidupannya seperti yang pernah kami ketahui dari ungkapan beberapa orang yang membicarakan sosok besar ini. Kami sendiri sebenarnya enggan untuk menanggapi “kesalahan” dan “dosa” yang pernah dilakukan tokoh bangsa yang sangat religius ini. Membicarakan “kejelekan” seorang tokoh sekelas Bung Hatta bagi kami bukanlah hal yang bijak mengingat sepak terjangnya yang begitu besar pada bangsa ini. Kalaupun nanti ingin membuka “sisi lain” seorang Bung Hatta sudah tentu harus disertai dengan landasan etika dan fakta-fakta yang bisa dipertanggungjawabkan.

Terus terang saat kami membaca beberapa pendapat yang “miring” tentang Bung Hatta, hati kami begitu tergetar dan tidak habis fikir, benarkah gambaran mereka itu ? kalaupun memang “miring” seberapa besar sih tingkat “kemiringan” pribadi dan sepak terjang seorang Bung Hatta. Kami sendiri tidak menafikkan seorang Bung Hatta pernah melakukan kesalahan, namanya juga manusia biasa dan juga bukan malaikat. Toh Kami sendiri sangat menghargai orang yang bersikap kritis dalam melakukan interpretasi sejarah. Tapi terus terang kalau tokoh sekelas Bung Hatta “diobrak-abrik” kami kok merasa kurang berkenan ya. Oleh karena itu demi untuk menjawab semua kegelisahan tersebut kami akan mencoba memberikan “jawaban” yang mudah-mudahan bisa membuka mata hati orang yang memberikan sefihak tentang Bung Hatta ini.

Diantara beberapa pendapat yang “tidak mengenakkan” tentang Bung Hatta yang kami peroleh dari beberapa akun Facebook yang telah kami amati adalah sebagai berikut:


  1. 1.    Pada Tahun 1930an pada saat pertama kali datang ke Jakarta, Bung Hatta tidak  mau sowan dan dianggap mau membuat mesjid tandingan di Kwitang Jakarta untuk menyaingi masjid Kwitang yang didirikan Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi.
  2. 2.  Bung Hatta dituduh sebagai antek antek Wahabi (pengikut aliran Syekh Muhammad bin Abdul Wahab).
  3. 3.       Bung Hatta dituduh anti Kyai.
  4. 4.       Bung Hatta dituduh anti tradisi.
  5. 5.      Bung Hatta dituduh telah memerintahkan Jenderal Sudirman  untuk membunuh tahanan politik.
  6. 6.       Bung Hatta dituduh memecat semua Tentara  yang tidak punya ijazah dalam program Re Ra.

Jawaban kami :

1.  Kami tidak tahu darimana sumber yang mengatakan bahwa Bung Hatta mau membuat masjid tandingan di Kwitang Jakarta (atau mungkin kami yang bodoh karena kurang tahu informasi ini ? ). Tapi seumur-umur kami mengaji di Kwitang, tidak pernah kami mendengar hal yang satu ini. Kami mengaji di Kwitang sejak tahun 1989 dan sampai sekarang (2016) sama sekali tidak pernah mendengar berita kalau Bung Hatta mau membuat masjid di Kwitang apalagi untuk sebuah persaingan (aneh.....), Sejak masa Habib Muhammad Al Habsyi dan anaknya Habib Abdurrahman Al Habsyi  bahkan hingga yang sekarang yaitu Habib Ali Al Habsyi kami tidak pernah mendengar riwayat ini. Begitupun dari Habib-habib yang lain seperti Al Marhum Habib Muhammad Al Baqir Al Attas dari Kebun Nanas, Al Marhum Habib Fuad Al Habsyi, Al Marhum Habib Novel bin Salim bin Jindan, Al Marhum Habib Abdullah bin Husein Syami Al Attas, para Kyai seperti Al Marhum KH Abdullah Syafi’i, Al Marhum KH Thohir Rohili, Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf, Habib Husein bin Ali Al Attas, dan yang lain-lain sama sekali kami belum pernah  mendengar cerita yang satu ini. Orangtua kami yang pernah lama tinggal di tanah tinggi saja tidak pernah menceritakan hal yang satu ini, kebetulan orangtua kami adalah orang yang faham sejarah tentang daerah seputar Kwitang, Kenari, Senen, Tanah Tinggi, Cikini, dan sekitarnya.

Kalau dikatakan Bung Hatta pertama kali datang ke Jakarta lantas mau membuat Masjid Tandingan, lha ini malah lebih aneh, sebab Bung Hatta itu datang ke Jakarta tahun 1932  dan  pada tahun ini pula beliau kemudian di penjara, kemudian pada bulan Desember ditahun yang sama Hatta lebih banyak sibuk berpolemik dengan Bung Karno. Pada bulan Februari tahun 1933 Hatta justru berangkat ke Jepang dan di sana Hatta mendapat julukan “Gandi Of Java”. Pada bulan Mei 1933 Hatta ditangkap bersama dengan pamannya yang bernama Mak Etek Ayub Rais (Zulkifli, dkk, 2015 : 25 – 26). Pada tahun 1934, selama tujuh bulan Hatta juga pernah ditangkap dan  dipenjara  di Glodok karena dianggap makar oleh Belanda (Zulkfili, dkk, 2015 : 76) sehingga nyaris kehidupan dan aktifitasnya lebih banyak berjuang dan pindah dari satu penjara ke penjara lainnya. Selanjutnya pada tahun 1935 – 1942 Hatta kemudian dibuang atau diasingkan ke Digul (kini menjadi Tanah Merah Papua) dan Banda Naira (Lihat di Pengantar Taufik Abdullah, 1998 : xxvii). Jelaslah antara tahun 1932 s/d 1942 Bung Hatta lebih banyak berada di Penjara ketimbang diluar. Sudah jelas konsentrasi beliau lebih banyak ke perjuangan politik dan pergerakan. Adanya fakta ini mementahkan tuduhan kalau Bung Hatta  ingin membuat masjid di Kwitang, karena bagaimana mungkin mau menyaingi masjid Kwitang,  masjid Kwitang atau Masjid Arriyad saja saja baru didirikan pada tahun 1356 Hijriah atau tahun 1938 Masehi saat Bung Hatta sudah berada di Banda Naira. Sedangkan pada tahun 1932 M saat Bung Hatta datang ke Jakarta,  masjid tersebut belum ada sama sekali !  yang ada adalah Madrasah Unwanul Falah yang memang sudah eksis dalam bidang pendidikan sejak tahun 1920. (lihat di Mauladawilah, Abdul Qodir Umar, 2011 : 150 – 157).

Tuduhan bahwa Bung Hatta mau membangun masjid untuk menyaingi masjid Kwitang jelas sangat tidak sesuai dengan kronologis tahun yang ada. Sumber  data yang mendeskriditkan Bung Hatta ini patutlah dipertanyakan dari mana asalnya, kalau sumber tersebut asalnya dari Belanda, sudah jelas validitasnya wajib dipertanyakan karena seperti biasa Belanda ini sangat senang melakukan pembunuhan karakter tokoh-tokoh bangsa Indonesia yang mengancam kedudukannya. De vide Et Impera selalu mereka gunakan termasuk penyelewengan informasi. Kalau  misalnya data tersebut berasal dari kalangan kiri, wah itu juga  kami pertanyakan lagi kualitas datanya, kalau dari fihak keluarga Habib Ali Kwitang sendiri, mohon maaf kami sangat meragukannya mengingat Keluarga Besar Habib Ali Kwitang dakwahnya terkenal sangat santun dan mengedepankan akhlak dalam melakukan dakwah dan komunikasi dengan tokoh-tokoh politik saat itu, jadi tidak mungkin keluarga besar beliau mengumbar umbar cerita yang seperti ini. Kalau ada tuduhan Bung Hatta tidak mau sowan ke Habib Ali Kwitang, lha bagaimana mau sowan, kalau belum apa-apa sudah ditangkap dan dipenjara, bagaimana mau sowan kalau setiap gerak geriknya selalu diawasi secara ketat oleh Belanda. Tidak sowannya Bung Hatta ke Habib Ali Kwitang itu bukan karena tidak hormat sama ulama, tapi itu semata karena keadaan yang tidak memungkinkan. Habib Ali Kwitang juga tentu sudah mengetahui bagaimana kondisi Bung Hatta yang memang selalu sulit untuk bergerak kesana kemari, apalagi Habib Ali juga terkenal sangat peduli terhadap perjuangan pemuda pejuang seperti Bung Hatta ini, jadi jangan buru-buru menuduh kalau tidak Sowannya Bung Hatta lantaran sombong atau tidak punya adab kepada Habib Ali Al Habsyi, terlalu picik kalau ada anggapan seperti ini. Bung Hatta adalah keturunan dari  beberapa ulama yang juga mursyid dan Waliyullah, dan beliau juga  mempunyai dasar pendidikan agama yang kuat, jadi sangat tidak mungkin beliau bertindak gegabah seperti itu. Sekalipun beliau 11 tahun belajar di Belanda, namun sejarah membuktikan Bung Hatta tetaplah Bung Hatta, keimananannya tidak luntur walaupun belajar di negeri orang kafir Belanda. 

2.     2.. Bung Hatta dituduh sebagai antek Wahabi. Menurut kami ini adalah tuduhan yang cukup kasar dan tidak sopan. Kami tidak ingin masuk dalam perdebatan tentang Wahabi, karena perdebatan tentang ini sudah banyak terjadi. Yang ingin kami luruskan disini adalah pernyataan tersebut.

Setahu kami Bung Hatta tidaklah seperti yang digambarkan tersebut, bagaimana mungkin beliau seorang Wahabi jika dalam hidupnya saja dia sering berziarah ke makam leluhurnya. Semasa menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta sering berziarah sambil berdoa di sisi makam ayahnya  (Zulkifli, dkk, 2015 : 16), bahkan semasa masih menjadi Wakil Presiden dan pensiunpun kebiasaan berziarah beliau masih sering dilakukan terutama pada saat ke makam pamannya (Zulkifli, dkk, 2015 : 25 – 26). Ini saja sudah menggugurkan pendapat kalau beliau seorang Wahabi, karena seperti yang kita ketahui bahwa Ajaran Syekh Muhammad bin Abdul Wahab sangat melarang keras yang namanya ziarah kubur. Kalau Hatta seorang Wahabi tulen tentu beliau akan memerintahkan orang-orang bawahannya menghancurkan makam para leluhurnya yang dibangun secara permanen bahkan dibuat dengan memakai gubah, sebuah hal yang sangat tabu bagi penganut ajaran Syekh Muhammad bin Abdul Wahab. Makam Bung Hatta sendiri sampai sekarang dibangun dengan cara permanen.

Dalam faham keagamaan sepertinya adanya anggapan bahwa beliau seorang Wahabi patut dipertanyakan, karena keluarga Bung Hatta adalah keluarga yang menganut ajaran Thoriqoh, terutama Thoriqoh Naqsabandiyah. Bung Hatta adalah keturunan dari ulama besar yang bernama Syekh Muhammad Jamil bin Syekh Batuhampar (Alam, Wawan Tunggul, 2003 : 4) . Syekh Batuhampar pada masanya dikenal sebagai ulama besar di Sumatra Barat. Siapapun mereka yang berasal dari Sumatra Barat terutama mereka yang menggeluti dunia Thoriqoh pasti mengenal dari kakek Bung Hatta ini. Kakek Bung Hatta adalah ulama Karismatik sekelas dengan Mbah Kholil Bangkalan, Kyai Hasyim Asy’ari, Syekh Arsyad Al Banjari, Syekh Junaid Al-Batawi, Habib Ali Kwitang, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Syekh Nawawi Banten, Syekh Mahfud Tremas, Syekh Burhanuddin Ulakan, Syekh Abdul Wahab Rokan dan beberapa ulama karismatik Nusantara lainnya.

Menurut Bung Hatta salah satu ajaran dari kakeknya yang masih diingat adalah bahwa bahwa beliau memperingatkan bahwa bagi mereka yang ingin masuk ke jalan tarekat harus dari mereka yang yang sudah cukup pengetahuan agamanya. Ajaran  tarekat adalah pengunci didikan agama. Jalan Tarekat adalah bertangga naik, tidak dapat dilalui dengan meloncat-loncat. Untuk masuk ke dalam Tarekat, orang harus Insyaf benar bahwa dalam agama tidak ada paksaan (La Ikraha Fiddin). Jalan ke Tuhan ialah meyakinkan orang lain dan dimulai dengan meyakinkan diri sendiri. Menurut Bung Hatta begitu besar pengaruh kakeknya, beliau dapat mendamaikan apa yang selalu terasa bertentangan di Minangkabau antara hukum Islam dan hukum adat, terutama yang mengenai harta pusaka.Syekh Abdurrahman inilah yang mampu melaksanakan apa yang menjadi pepatah di Minangkabau : “adat bersendi syara, syara bersendi adat” (Hatta, Muhammad, 2011 : 21).

Jika dilihat guru-guru agama  Bung Hatta sendiri memang harus diakui sebagian mereka telah mendapat pengaruh pemikiran modern, tapi jika disangkut pautkan dengan gerakan Syekh Muhammad Abdul Wahab rasa-rasanya tidak seluruhnya benar, karena guru agama Hatta sendiri lebih banyak bergurunya kepada Syekh Ahmad Khotib Al Minangkabawi yang jelas-jelas merupakan Guru Besar Mazhab Syafi’I di Masjidl Haram pada waktu itu. Kedua Guru Hatta yaitu Syekh Muhammad Jamil Jambek dan DR. Abdullah Ahmad adalah lulusan Mekkah sebelum masuknya era Ibnu Saud di tahun 1924. Syekh Muhammad Jamil Djambek bahkan terkenal sebagai ahli falak dan beliau masih sering merayakan maulid Nabi sekalipun nanti syairnya dirubah dengan bahasa melayu. DR. Abdullah Ahmad adalah pendiri sekolah Adabiah, sekolah yang berbasiskan modern. Sebelum tahun ini seperti diketahui Mekkah banyak bertaburan mazhab-mazhab, dan sebagian besar Mahasiswa Indonesia lebih banyak memilih guru yang berasal dari Indonesia seperti Syekh Ahmad Khotib Al Minangkabawi. Kedua guru Hatta ini terkenal sebagai  pembaharu dalam bidang pendidikan dan pemikiran, dan mereka lebih banyak dipengaruhi pemikiran-pemikiran yang berkembang di Mesir, oleh sebab itu sangatlah tidak relevan jika Hatta dianggap sebagai pengikut ajaran Syekh Muhammad bin Abdul Wahab.

3.    3. Bung Hatta dituduh anti Kyai. Lho Kyai yang mana ? aneh…setahu kami Hatta adalah tipikal sosok yang sangat terbuka dan ramah pada semua golongan, kalau dengan golongan kiri saja dia masih membina hubungan politik yang baik apalagi kepada golongan kanan. Bung Hatta lahir dari keluarga ulama dan dididik dengan modal keagamaan yang baik, apa mungkin dia menjadi seorang pembenci Kyai ? Kalau dia membenci kyai tidak mungkin beliau bias berhubungan baik dengan KH Wahid Hasyim.

Untuk memperkuat jika hubungan Bung Hatta dengan kyai baik, ini pernah terjadi pada keluarga KH Wahid Hasyim. Rumah keluarga KH Wahid Hasyim yang ada di Matraman sejak dahulu sering didatangi para Kyai NU dan Kyai-kyai lain dan disitu juga terdapat keberadaan Bung Hatta.  Dalam lintasan sejarah, pada tahun 1944  Gus Dur yang merupakan putra sulung KH Wahid Hasyim,  diajak ayahnya ke Jakarta, pada masa itu mereka tinggal di Menteng, Jakarta Pusat yang saat itu merupakan daerah yang diminati oleh pengusaha terkemuka, para profesional, dan politikus. Dengan berdiam di daerah Menteng, KH Wahid Hasyim dan putranya ini berada di pusat kegiatan. Misalnya ketika mereka melaksanakan ibadah sholat di Masjid Matraman yang letaknya tidak begitu jauh, mereka secara teratur dapat bertemu dengan pemimpin-pemimpin nasionalis seperti Muhammad Hatta (Lihat di Barton, Greg,  2006 : 37).

KH Wahid Hasyim adalah ulama karismatik NU pada waktu itu, sangat tidak mungkin Bung Hatta tidak menjadikan beliau sebagai rekan perjuangan. Disamping itu sangat tidak masuk akal Hatta benci kepada Kyai, sedangkan Bung Hatta adalah penasehat Masjid Matraman yang sejak dulu terkenal sebagai gudangnya para Kyai yang ada di Jakarta. Sepengetahuan kami, nama Bung Hatta cukup harum di mata Kyai-kyai Jakarta. Begitu juga hubungan dengan Kyai luar Jakarta, komunikasinya Hatta juga cukup baik. Kami sangat mengetahui betul bagaimana seorang Bung Hatta di lingkungan Masjid Matraman, karena kebetulan kami lahir dan besar di lingkungan masjid ini, jadi kami tahu betul bagaiimana akhlak seorang Bung Hatta ini.

4.  4. Bung Hatta dituduh anti Tradisi ? Tradisi yang mana ? Setahu kami Bung Hatta justru sangat mendukung tradisi keislaman yang ada. Ini perlu saya tegaskan karena beliau ini merupakan penasehat Masjid Jami Matraman yang terkenal akan wajah Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah. Siapapun mereka yang pernah dating ke masjid akan merasakan benar wajah Islam yang penuh dengan tradisi. Di Masjid ini sering diadakan Maulid Nabi sejak masa  Bung Hatta menjadi Wakil Presiden dan pensiun. Selain Maulid, ada juga Isra’ Mi’raj, Yassinan, 1 Muharram, peringatan Nuzulul Qur’an. Tata cara sholat Jumat pun jelas-jelas merupakan cara yang identik dengan faham Ahlussunnah Wal Jama’ah. Mengenai tuduhan kalau Bung Hatta anti tradisi dan wajah keislamannya yang digambarkan beku, telah dibantah  Gus Dur, Gu Dur bahkan menulis, bawah tokoh Bung Hatta ini dulunya  agak disalahpahami oleh gerakan keagamaan islam karena penolakannya yang tegas terhadap gagasan negara teokratis. Bung Hatta bukan bagian dari perjuangan kita, begitulah kira-kira jalan pikiran berbagai macam gerakan itu. Akan tetapi di akhir hayatnya, Bung Hatta justru menjadi contoh dari seorang muslim tulen. Setiap jumat selalu datang terdahulu, langsung menuju tempat yang sama di baris pertama. Mobil bernomor B-17845 menjadi penghias halaman masjid Matraman Jakarta secara tetap selama tigapuluh tahun. Kesantrianan Bung Hatta yang penuh dengan jadwal waktu tetap untuk beribadat kepada Allah dijadikan contoh yang ditularkan dari mulut kemulut, dari guru kemurid. Tidak peduli besarnya perbedaan jalan pikiran masyarakat yang memenuhi masjid itu dengan jalan pikiran Bung Hatta sendiri. Kalau ada yang tidak setuju dengan kerasnya pengeras suara yang mengumandangkan suara adzandari masjid tersebut, mungkin Bung Hattalah orang yang pertama akan bersikap demikian. Tetapi sikapnya untuk berdiam diri di hadapan kenyataan seperti itu justru dihargai orang di lingkungan itu; pinter ngemong, kata orang jawa. Kearifan orang yang telah menemukan hubungannya sendiri dengan Tuhannya, tidak terganggu dengan manisfestasike hidupan beragama orang banyak di sekitar (Lihat di Wahid, Abdurrahman, 1999 : 119 – 120). Bagi yang meragukan hal ini sekali-kali datanglah ke Masjid Jami’ Matraman, lihatlah wajah keislaman yang dijalankan pada masjid ini agar nanti pandangan anda kepada Bung Hatta tidak salah.

Dimata cucu Syekh Muhammad Jamil Djambek, Hatta bahkan dikenal sebagai sosok yang sangat religius, bahkan dalam sebuah pidato kebudayaan di Jakarta tahun 2002, penampilan Bung Hatta digambarkan oleh Nurcholis Madjid sebagai sosok seorang sufi, memiliki ketulus ikhlasan, semua ini tidak lepas dari latar belakang keluarganya, dia adalah putra seorang guru mursyid  sebuah gerakan sufi di Sumatra Barat (Zulkifli, Arif, dkk, 2015 : 16 – 18). Begitu sangat terjaganya “akidahnya” Bung Hatta bahkan pernah menolal menjadi anggota Theosofi di Batavia (Organisasi Kebatinan Yang Didirkan Ningrat Berdarah Rusia (Helena Petrova Blavostsy)

5.    5.. Bung Hatta dituduh telah memerintahkan Jenderal  Sudirman  untuk membunuh tahanan politik ? Benarkah Bung Hatta yang kita kenal sangat religiuus telah memerintahkan  Pak Dirman untuk membunuh tawanan politik yang tidak sefaham dengan pemerintah ? siapa yang dimaksud ? Tan Malaka atau Amir Syarifuddin ? kalau kedua tokoh yang dimaksud, ketahuilah bahwa kedua tokoh “kiri” ini mengalami kematiannya karena situasi lapangan yang saat itu  memang kondisinya sulit untuk dikontrol, apalagi ditengah kondisi bangsa yang sedang berkecamuk. Kematian kedua tokoh tersebut sampai sekarang bahkan masih menjadi tanda tanya, apakah karena “inisiatif” dari eksekutor lapangan atau memang perintah dari “atas”.

Kita perlu tahu, bahwa Bung Hatta adalah sosok yang sangat membenci kekerasan dan darah (Zulkifli, Arif, dkk, 2015 : 51), jadi kalau beliau memerintahkan Pak Dirman untuk membunuh tawanan politik ini adalah hal yang aneh, sekalipun jabatan beliau saat itu sangat mendukung.

6. Bung Hatta dituduh memecat semua Tentara  yang tidak punya ijazah dalam program Re Ra?  Program yang satu ini sering memberikan kesan yang multi tafsir.  Dan untuk memberikan jawaban yang jernih tentu kita membutuhkan sebuah sumber yang merasakan dan mengikuti hal tersebut. Mengenai Re Ra atau REKONSTRUKSI DAN RASIONALISASI militer pada saat itu Jenderal Abdul Haris Nasution menulis, masalah ini adalah sebuah masalah yang cukup gawat (rawan) karena menjadi sering dipolitisir, masalah ini sebenarnya telah dimulai sejak  sebelum ditandatanganinya “Perjanjian Renvile”. Demikianlah hal itu dilakukan pada bulan Desember 1947 dan Januari 1948 oleh BPKNIP di Jogyakarta  yang telah menerima suatu mosi mengenai susunan Pertahanan Negara atau Angkatan Perang RI. Kemudian mosi itu terkenal setelah ditetapkan dengan Undang-Undang No.3 Tahun 1948. Adapun pokok dari mosi yang diterima BKNIP tersebut antara lain : “Bahwa ditempatkannya Angkatan Perang dibawah kekuasaan Menteri Pertahanan dan ditetapkan bertanggung jawab penuh juga dibidang organisasi, administrasi, perlengkapan persenjataan, kwalitas seluruh Angkatan Perang Politik Pertahanan dan siasat militer Angkatan Perang dan pimpinan Menteri Pertahanan atas kementerian pertahahan serta angkatan perang selalku suatu kesatuan yang erat”.

Perlu diketahui, menurut Jenderal Nasution mosi Rasionalisasi dan Rekonstruksi TNI muncul dari Baharuddin yang merupakan golongan kiri yang kemudian diterima oleh Pemerintah dan Menteri Pertahanan, Aruji Kartawinata,dan menurut Bung Karno dengan Rasionalisasi dan Rekonstruksi haruslah diciptkan satu kesatuan tentara dibawah satu komando, Pertahanan harus pertahanan rakyat, bukan pertahanan partai.

Betapapun demikian menurut Nasution banyak muncul pendapat masyarakat mengenai Re Ra ini yang “seolah-olah” akan memecah pimpinan Angkatan Perang RI. Dan dengan demikian timbul pula pendapat yang mengatakan “ada dua garis Komando”, akan timbul bermacam macam organisasi pasukan, bahkan sampai pada anggapan bahwa konsepsi tersebut akan memecah dan melemahkan potensi Angkatan Perang RI, bahkan sampai ada yang menghubungkan dengan konsepsi yang dihubungkan dengan konsep Pemerintah Belanda yaitu konsepsi Tentara Federal.

Adanya berbagai pendapat tersebut menurut Nasution  karena masyarakat saat itu tidak kompak, masing-masing  orang, golongan, partai menafsirkan setiap kejadian atau peristiwa sesuai dengan kemauan dan kebutuhan kepentingannya sendiri atau kepentingan golongannya sendiri.

Demikianlah mereka (orang/golongan/partai) menafsirkannya untuk menempatkan /meletakkan kepentingannya diatas kepentingan orang banyak (Negara). Dan mereka lupa atau tidak mengindahkan bahwa  “kepentingan orang banyak atau Negarta adalah diatas segala galanya”. (Lihat semuanya di Djenderal Nasution, 1966 : 122 – 123).

Jelaslah adanya tuduhan kepada Bung Hatta yang memecat tentara karena tidak punya ijazah tidak benar ! ini jelas kekeliruan dalam penafsiran peristiwa seperti yang diuraikan oleh Djenderal Abdul  Nasution, lagipula menurut kami sangatlah wajar jika diadakan RE RA, mengingat garis komando saat itu belum merata, bisa dibayangkan sebuah pasukan tidak memiliki garis komando yang jelas. Adanya Re Ra juga demi untuk menciptakan militer yang lebih professional dan tangguh, selama ini harus diakui profesionalitas militer masih “merangkak” dibandingkan dengan militer dari Negara lain. Kalaupun saat itu banyak Tentara yang tereliminir itu adalah seleksi alam, bukan karena Bung Hatta. Harus juga difahami mereka yang banyak bertempur pada masa kemerdekaan itu banyak yang berasal dari kalangan sipil, mereka ikut berperang karena panggilan jiwa dan bangsa, contohnya Hizbullah. Diantara pasukan yang terleminir memang Hizbullah inilah yang terbanyak, tapi sakit hatikah mereka ? kami rasa tidak ! buktinya para pemimpinnya setelah pasca perang banyak yang kembali kepada kehidupannya yang semula seperti KH Noer Ali yang kemudian membuka Pondok Pesantren At Takwa, KH Raden Abdullah Bin Nuh yang kemudian mendirikan majelis Al Ihya, KH Yusuf Hasyim yang lebih memilih mengelola Pesantren Tebu Ireng, KH Soetalaksana, KH Pardjaman, KH Sholeh Iskandar,  KH Rusad Nurdin, KH Syam’oen, KH Ahmad Chatib. Para Pejuang Perang kembali kedunianya tanpa menuntut  tanda jasa, kembali berjuang membina pesantrennya atau lembaga pendidikan lainnya (Suryanagara, 2014 : 295). Seharusnya semua faham siapa yang  awalnya punya “misi khusus” dan ngotot terhadap Re Ra ini, justru yang kemudian berhasil menyapu bersih pengaruh “kiri” di Angkatan Perang adalah Bung Hatta. Kalangan “kiri” inilah yang berkeinginan kuat untuk merongrong kedudukan Panglima Besar Sudirman atau memperlemah Tentara dengan cara apapun. Sedangkan Bung Hatta justru mampu membuat militer berkembang lebih baik. Kalau memang tidak baik, sudah tentu Jenderal Nasution pasti sudah menulisnya.

Kalau kita mau membaca isi Pidato Bung Hatta tentang Re Ra ini maka kita akan mengetahui bagaimana cerdasnya Bung Hatta dalam menangani kasus yang satu ini. Tidak mudah untuk mengatur militer apalagi dalam kondisi yang serba rumit pada saat itu. Kecerdasan dan kebijaksanaan Hatta terlihat pada pidato yang tertulis, “bahwa Pemerintah saat itu tetap menghargai para pemuda  yang  telah ikut dalam perjuangan tentara, tidak melupakan apa yang telah mereka korbankan untuk mempertahankan Negara dan tanah air. Hanya saja pemerintah mau menegaskan bahwa jasa pemuda yang begitu bersemangat, tidak hanya terletak pada pertempuran semata, tetapi juga dalam upaya untuk membangun Negara”. Bung Hatta seperti sangat khawatir akan kesalahan persepsi para pemuda akibat Re Ra ini, apalagi gerakan anti Re Ra pada saat itu banyak bermunculan dan kondisi ini tentu bisa dimanfaatkan oleh oknum yang mempunyai pemahaman yang salah akan Negara saat itu (Muhammad Hatta, 1981 : 206 – 208). Bagi kami terlalu dangkal tuduhan yang mengatakan “dipecatnya” para tentara karena tidak punya ijazah, karena terbukti banyak yang pendidikannya rendah bisa juga menjadi anggota TNI. Cobalah pula lihat bagaimana keadaan kondisi kas Negara yang pada waktu itu yang memang cukup sulit untuk membiayai Angkatan Perang yang memang jumlahnya cukup banyak. Sudah jelas langkah Re Ra adalah sebuah solusi yang harus segera dilakukan. Jelas Bung Hatta malah kami anggap berjasa dan cerdas karena telah berhasil mereformasi kekuatan militer yang lebih efektif dan efesien.

Pengakuan akan jasa Bung Hatta terhadap TNI bahkan ditegaskan oleh Pak Nas, disamping Presiden Soekarno, Panglima Besar Sudirman, Jenderal Urip Sumoharjo. Bung Hatta bersama 3 tokoh tersebut  adalah yang pertama-tama menanamkan politik dan idiologi tentara. Sebagai Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan pada tahun 1948 Bung Hatta telah memberikan pegangan pada para Panglima Divisi, Komandan Brigade, Komandan Resimen yang dikumpulkan oleh Panglima Besar Sudirman beretmpat di Rindam Magelang, kepada para Pimpinan TNI waktu itu Bung Hatta secara terperinci dan gambling mengingatkan tentang mukadimah UUD 45 yang harus  selalu menjiwai TNI. Kalau Bung Karno menanamkan Pancasila dan UUD 45 sebagai politik tentara, Panglima Besar menanamkan jiwa Tentara yang tak kenal menyerah, Jenderal Urip mengingatkan rakyat keseluruhan sebagai kekuatan tentara, maka Bung Hatta meresapkan  kepada kita mukadimah  UUD 45 (Yayasan Idayu, 1980 : 238 – 239).

Demikianlah jawaban yang bisa kami berikan terhadap beberapa pandangan “miring’ yang dilontarkan kepada sosok Proklamator yang sederhana dan merakyat ini. Kami tidak menyalahkan kepada mereka mereka yang mempunyai tafsir lain mengenai Bung Hatta, tapi paling tidak sebelum kita memberikan sebuah interpretasi sejarah, ada baiknya kita mempelajari secara utuh dan seimbang mengenai seluk beluk seorang tokoh….Bung Hatta adalah tokoh besar yang sudah berjasa pada negeri ini, sepak terjangnya, kesetiannya, kedisplinanannya, perjuangannya sangat pantas kita hormati. Tidak pantas rasanya kita yang telah merasakan hasil kemerdekaan ini, tiba-tiba mencari kesalahan beliau hanya karena interpretasi yang terburu-buru.

Wallahu A’lam bisshowab…

Daftar Pustaka :


Alam, Wawan Tunggul. Pertentangan Soekarno Hatta, Jakarta : Penerbit Gramedia Pustaka Media, 2003.

Barton, Greg. Biografi Gus Dur (The Authorized Biography Of Abdurrahman Wahid), Yogyakarta : LKIS, Cet 8, 2006,.

Hatta, Muhammad. Bukit Tinggi – Roterdam Lewat Betawi, Sebuah Otobiografi, Jakarta : Kompas, Cet IV, 2011.

Hatta, Muhammad. Kumpulan Pidato Muhammad Hatta, Jakarta : Yayasan Idayu, 1981.

LP3ES, Karya Lengkap Bung Hatta, Jakarta : LP3ES,  Cet 1, 1998.

Mauladawilah, Abdul Qodir Umar. 17 Habaib Berpengaruh di Indonesia, Malang : Pustaka  Bayan, Cet VIII, 2011.

Nasution, AH, DR. Sedjarah Perjuangan Nasional Di Bidang Bersenjata, Djakarta : Mega Bookstore.

Suryanegara, Ahmad Mansur. Api Sejarah 2, Bandung : Salamadani, 2014.

Wahid, Abdurrahman. Tuhan Tidak Perlu Dibela, Yogyakarta :  LKIS, 1999.

Yayasan Idayu, Bung Hatta Kita Dalam Pandangan Masyarakat, Jakarta : Yayasan Idayu, 1980.

Zulkifli, Arif, dkk. Hatta, Jejak Yang Melampaui Zaman, Jakarta : KPG, Cet Ke IV, 2015.