Kamis, 16 Juli 2015

NASKAH-NASKAH KUNO KONTROVERSIAL DALAM PENULISAN SEJARAH NUSANTARA & ISLAM NUSANTARA

  1. Babad Tanah Jawi :  Babad yang satu ini bila dikaji lebih mendalam, maka akan kita dapati cerita-cerita yang penuh dengan sejarah  kontroversial, karena didalamnya banyak hal-hal yang berbau mitos dan juga di sana sini telah banyak terjadi pembunuhan karakter,  terutama ketika itu berkaitan dengan tokoh-tokoh Walisongo dan tokoh-tokoh Kesultanan Islam.  Babad Tanah Jawi terbit pertama kali oleh Meinsma pada tahun 1874 M. Setelah itu pada tahun 1941 diterbitkan kembali dalam edisi dan versinya W.L.Orthof, dan kemudian dilanjutkan lagi dengan versi terakhirnya yang terbit tahun 1987 oleh J.J. Rass. Sengaja kami memunculkan Babad versi mereka ini, karena versi mereka inilah yang paling banyak beredar dan sering dijadikan standar pengutipan pada banyak tulisan sejarah, terutama ketika berbicara mengenai Walisongo dan juga Kesultanan Demak. Bahkan versi mereka inilah yang sering dianggap "shahih". Padahal kalau kita mau tahu,  mereka yang menerbitkan Babad Tanah Jawi ini adalah “sejarawan” binaan penjajah kolonial. Kami tidak tahu motif apa yang membuat mereka begitu bersemangat dalam menerbitkan buku yang “dianggap” sejarah Jawa ini. Mungkin bagi sebagian orang, buku yang satu ini hanyalah merupakan sebuah prosa, sehingga sudut pandangnya ya hanya bersifat “sastra” belaka. Namun demikian, kita jangan lupa bahwa sampai sekarang masih banyak mereka yang menganggap bahwa buku ini adalah buku “sejarah otentik”. Kami sendiri tidak percaya bahwa diterbitkannya buku ini dengan dalih “ilmu pengetahuan”. Mengingat para sejarawannya adalah bagian penting dari penjajah kolonial. Dan terbukti ketika kami membaca satu demi satu  beberapa uraian di buku tersebut, maka akan kita dapati cerita-cerita yang tidak masuk akal dan dan sarat dengan pembunuhan karakter pada tokoh tokoh Kesultanan dan juga Walisongo.
  2. Babad Kediri :  Disusun atas perintah pejabat Belanda. Adapun kronologisnya adalah sebagai berikut : Pada tahun 1832 Mas Ngabehi Poerwadijaya yang mendapat perintah dari Penjajah Belanda mengundang seorang dalang wayang krucil bernama Ki Dhemakonda  asal desa Kondairen distrik untuk menuturkan sejarah Kediri. Tetapi  Ki Dermakonda menyatakan tidak mengetahui pasti Sejarah Kediri. Ia hanya mengetahui cerita Panji. Untuk itu Ki Dermakonda mengajukan usulan untuk mendatangkan temannya, yaitu seorang Jin bernama Buto Locaya yang tinggal di Gua Batu di Bukit Klotok. Agar bisa mendengarkan Buto Locaya dibutuhkan seorang dukun kesurupan sebagai medium. Untuk itu Ki Dhermakonda mengajukan nama Ki Sondong yang tubuhnya bisa dirasuki Jin yang bernama Buto Locaya itu. Begitulah atas dasar penutusan Jin Buto Locaya yang merasuki tubuh Ki Sondong, disusunlah Sejarah kediri yang diberi judul Babad Kadhiri. Sudah bisa ditebak bagaimana isi dari babad kediri ini, apalagi yang memerintahkan adalah penjajah Belanda. Dalam babad ini banyak sekali fitnah yang ditujukan kepada Walisongo seperti dfitnahnya Sunan Bonang dan Sunan Giri. Inilah akibat sumber sejarah yang berasal dari Jin ! dan mungkin dalam sejarah penulisan bangsa ini, baru kali ini kami mendengar ada Jin menjadi bisa menjadi nara sumber sejarah !. Sepengetahuan kami, nara sumber yang satu ini kebanyakan lebih banyak ngawur datanya, lihatlah tayangan-tayangan di televisi dimana ada beberapa orang yang menjadi medium Jin, kemudian mereka bisa bercerita sejarah pada masa lalu, padahal kebanyakan isinya tidak aneh dan terkesan dibuat-buat.
  3. Serat Darmagandul :  Merupakan cuplikan dari Babad Kedhiri yang disusun oleh seorang murtadin yang bernama asli Ngabdullah (Abdullah) yang bergelar Ki Tunggul Wulung asal Juwana, Pati Jawa Tengah. Ki Tunggul Wulung ini adalah murid binaan dari Jelesma ang merupakan Misionaris Nasrani. Ngabdullah ini masuk agama Nasrani karena kemiskinannya. Ki Tunggul Wulung  inilah yang kemudian menyusun sebuah karya sastra yang diberi judul Serat Darmagandul yang merupakan sastra dekade berbahasa Jawa. Dikatakan Dekaden karena selain tidak mengikuti tata aturan dalam menggubah sastra Jawa, Ki Tunggul Wulung juga menggunakan kata dan kalimat yang sarkastis dan bernuansa porno dengan memasukan istilah-istilah Belanda. Jika diperhatikan isi dari Serat Darmagandul ini mirip dengan cerita porno yang kami temukan pada beberapa kitab suci dari sebuah akidah lain. Inti dari serat Darmagandul ini kebanyakan diarahkan kepada pemujaan yang bersifat akal budi semata (Pemujaan kepada rasionalitas semata)  dengan menolak keras mainstream agama serta menolak keras eskatologi agama yang bersifat Ukhrawi. Sampai saat ini kami melihat ada beberapa penulis yang begitu getol menerjemahkan isi dari Serat yang luar biasa penistaannya kepada Walisongo dan juga keluarga Kesultanan Demak ini, entah apa yang ada dikepala si penerjemah tersebut, apalagi jika dia seorang “muslim”. Darmagandul jelas merupakan serat yang isinya berbahaya, jika dijadikan sumber sejarah, baik itu sejarah lokal maupun nasional.
  4. Suluk Gatoloco :  Secara tendensius suluk yang satu ini telah banyak ini menyerang tokoh-tokoh ulama dan bangsawan pendukung Pangeran Diponegoro lewat pendeskreditan tokoh Kyai Hasan Besari (Kasan Besari) Pendiri Pondok Pesantren Tegalsari, Ponorogo, yang tidak saja fiktif tapi digambarkan kalah berdebat dengan Ki Gatoloco tetapi juga mengungkapkan paparan-paparan tentang kekeliruan pemahaman dan pemikiran golongan santri yang diwakili pandangan Kyai Kasan Besari, sebaliknya diungkapkan kebenaran pemahaman dan pemikiran KI Gatoloco yang jelas sekali memuat pemahaman universalitas khas Freemason dan Theosofi, yang diselimuti  pemikiran otak atik ghatuk yang akan menjadi bahan tertawaan orang yang menggunakan commo sense dalam berfikir. Perlu diketahui Kyai Kasan Besari yang merupakan keturunan Raden Fattah lewat jalur Panembahan Wirasmara bin Sunan Prawoto ini adalah seorang Ulama Besar dan Waliyullah. Kemampuan atau taraf keilmuwan  beliau dalam bidang agama juga sudah mencapai taraf Allamah, jadi sangat aneh dan menggelikan jika digambarkan beliau kalah berdebat dengan tokoh fiktif seperti Gatoloco itu, padahal beliau terkenal alim. Salah satu keturunan Kyai Kasan Besari yang besar pengaruhnya pada bangsa ini  adalah HOS Cokroaminoto.
  5. Sabda Palon : Lagi-lagi naskah yang satu ini mengambil dari isi Babad Kedhiri yang didalamnya banyak menentang ajaran-ajaran islam. Isinya penuh dengan mitos dan ramalan-ramalan yang dikaitkan dengan Prabu Jayabaya.  Dalam naskah yang satu ini Sabda Palon sendiri digambarkan sebagai seorang tokoh yang hidup di zaman Majapahit namun mempunyai pandangan yang buruk terhadap Islam. Kenyataannya dalam tradisi lisan yang berkembang di Trowulan, tokoh Sabda Palon dan juga sahabatnya yang bernama Noyo Genggong bukan merupakan sosok yang anti Islam. Sabda Palon dan Noyo Genggong yang hidup dalam tradisi oral  (tradisi lisan) masyarakat setempat adalah dua orang abdi Majapahit yang telah memeluk agama Islam. Hal ini sudah tentu berbeda dengan sejumlah kisah babad yang menempatkan keduanya sebagai sosok mitologis dan anti terhadap Islam.  Dalam pandangan Sabda Palon versi naskah tersebut, ajaran Islam yang dibawa oleh para Majelis Dakwah Wali Songo, termasuk yang diusung Sunan Kalijaga, belum merupakan ajaran Islam yang sempurna, bahkan Sabda Palon menganggap Islam yang dibawa oleh Walisongo masih menyimpang dari ajaran yang murni, Islam hanya dianggap sebagai agama yang mementingkan ibadah semata tanpa memperhatikan hati dan jiwa. Sabda Palon akan masuk Islam jika ajarannya sudah sempurna dan murni. Kitab ini betul-betul merupakan kitab yang meremehkan Islam Nusantara, karena  berisi penggambaran tentang kehancuran Islam di tanah Jawa dan digantikan oleh ajaran “pengganti Islam” setelah 500 tahun keruntuhan Majapahit, sebuah prediksi dan ramalan yang aneh, karena Alhamdulillah sampai saat ini Islam masih bisa bertahan dengan baik berkat jasa para penyebar Islam yang diantaranya adalah Majelis Dakwah Walisongo. Seolah Sabda Palon versi naskah ini adalah yang paling tahu tentang Islam, padahal Majelis Dakwah Walisongo adalah orang-orang yang alim, cerdas dan bijak dalam memperkenalkan Islam pada masa itu. Sepertinya Sabdo Palon versi ini ingin mengaburkan sejarah yang sesugguhnya dari peran dan jasa Walisongo dalam menyebarkan Islam di Nusantara ini. Islam di tangan Walisongo jelas sudah sesuai dengan ajarannya Rasulullah SAW. Islam yang dibawa Walisongo jelas Islam yang Rahmatan lil Alamin dengan faham Ahlussunnah Wal Jama'ah. Jadi salah besar jika Sabda Palon menilai Islam dari sudut pandangnya yang keliru itu.
  6. Serat Syekh Siti Jenar : Disusun oleh Raden Panji Natarata, pensiunan Jaksa (Beskal) di Jogyakarta. Tidak berbeda dengan Serat Darmagandul yang diambil dari naskah Babad Kedhiri, naskah Serat Syekh Siti Jenar yang disusun oleh Raden Panji Natarata  banyak memunculkan cerita dan pandangan negatif terhadap para Walisongo sebagai penyebar agama Islam yang licik dan curang, yang dengan tindakan tidak terpuji merancang kematian Syekh Siti Jenar termasuk mengganti jenazahnya dengan bangkai anjing. Padahal dalam tradisi lisan di Kalangan pengikut Syekh Siti Jenar yang diwariskan secara turun temurun dalam Tarikat Akmaliyah, Syekh Siti Jenar wafat dengan cara yang wajar selayaknya orang yang meninggal dunia. Ada kesan jika penulis serat ini ingin mengadu domba antara Syekh Siti Jenar dengan Majelis Dakwah Walisongo dan juga Kesultanan Demak. Sampai sekarang kami sering mendapati cerita bahwa antara Walisongo, Syekh Siti Jenar dan Kesultanan Demak itu terlibat konflik yang serius, padahal faktanya hal tersebut adalah kisah fiktif mengingat semua tokoh-tokoh tersebut adalah penyebar agama Islam yang menjunjung tinggi Akhlak dan budi pekertinya keluarga besar Alawiyyin, disamping itu Syekh Siti Jenar juga merupakan anggota Majelis Dakwah Walisongo dan nasabnyapun sama dengan Walisongo. Jelas serat yang satu ini sarat dengan penistaan terhadap Walisongo dengan "menjual" kisah Syekh Siti Jenar.
  7. Kronik Sam Po Kong : Naskah ini sempat menggemparkan para sejarawan, terutama pada  akhir tahun 60an ketika Prof. Dr Slamet Mulyana memunculkannya dalam buku “Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa Dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara”. Hal yang cukup mengagetkan dalam buku Prof. Dr. Slamet Mulyana ini adalah ketika dia berani memunculkan teori bahwa Walisongo dan juga Raden Fattah itu keturunan China. Dari beberapa rujukan yang dia pakai dalam bukunya, secara mengejutkan dia “berani” menggunakan buku Babad Tanah Jawi dan juga naskah Resident poormant yang juga berasal dari buku Tuanku Rao sebagai bagian penting dari isi bukunya tersebut. Buku Tuanku Rao  sendiri disusun oleh Mangaraja Onggang Parlindungan dan juga pernah menimbulkan polemik yang berkepanjangan dengan Prof. Dr. Hamka. Walisongo dan Raden Fattah pada buku Prof. Dr. Slamet Mulyana dengan jelas dan secara tegas dikatakan dari China, dan pijakan dari teori beliau itu ternyata “katanya” berdasarkan dari “Kronik Sam Po Kong” dan  “katanya” ditemukan oleh Resident Poormant (padahal Slamet belum pernah melihat langsung naskah tersebut). Sampai saat ini yang namanya naskah Residen Poormant itu tidak pernah ditemukan oleh siapapun, baik yang ada di Semarang maupun yang ada di Belanda. Nama Residen Poormant pun tidak pernah ada, alias fiktif. Lagipula bila dibandingkan dengan catatan nasab keluarga besar keturunan Walisongo yang ada di berbagai pelosok negeri ini, semua telah sepakat menulis, jika leluhur Walisongo itu secara mutlak dan tegas berasal dari keturunan Alawiyyin yang merupakan keturunan dari Imam Ahmad Al-Muhajir Al-Husaini, yang  artinya Walisongo itu jelas keturunan Arab Hadramaut. Pendapat ini juga telah dipertegas beberapa ahli nasab seperti yang tertera dalam kitab Syamsu Dzhirah, Khidmatul Asyirah, Ilhafun Nadzhoir, Al-Mausuuah Li Ansaabi Al-Imam Al-Husaini, belum lagi kitab-kitab berbahasa Arab lainnya.  Dan juga mengenai sejarah Nasab Raden Fattah, juga telah kami dapatkan bukti jika nasab beliau sama (satu rumpun) dengan keluarga besar Walisongo. Kalaupun ada keturunan China, sebenarnya itu bukan Nasab, tapi tautan atau kekerabatan, misalnya istri dari ayah Sunan Ampel yaitu Maulana Ibrahim Zaenuddin Al-Akbar As-Samarkondy yang menikah dengan putri China penguasa Champa atau Sunan Gunung Jati yang menikah dengan Putri Ong Tien anak dari Kaisar China pada waktu itu. Jelas menchinakan Walisongo adalah sesuatu yang salah kaprah dalam sejarah mereka. Kami tidak anti terhadap Etnis China, kami bicara fakta, dan jika bicara fakta, ya wajib diluruskan apa adanya. Kalau memang nasabnya ke China silahkan saja tulis secara tegas asal ada sumber yang bisa dipercaya dan dipertanggungjawabkan, namun kalau nasabnya memang berasal dari Alawiyyin apa mau dipaksakan ke China ? Jelas ini tidak mungkin,  apalagi semua catatan nasab Walisongo sudah menegaskan jika Walisongo adalah Keturunan Al-Imam Ahmad Al-Muhajir.
  8. Kidung Sunda : Mengenai Kidung Sunda ini adalah tulisan naskah berbahasa Jawa pertengahan dalam bentuk syair atau tembang yang kemungkinan besar berasal dari Bali, di Keraton Surakarta ternyata terdapat  Kitab Kidung Sundayana dan juga kitab Kidung Sunda. Keduanya pernah diterbikan  oleh C C Berg pada tahun 1927 dan 1928 M. Adapun mengenai tentang Kidung Sunda ini adalah sebagai berikuta). Tahun 1927 dengan judul : “Kidung Sunda. Inleiding, tekst, vertaling en aanteekeningen’. BKI 83: 1 – 161.   b).  Tahun 1928 dengan judul: "Inleiding tot de studie van het Oud-Javaansch (Kidung Sundāyana)". Soerakarta: De Bliksem”. Isi kedua buku tersebut berbicara tentang cerita peristiwa “Perang Bubat”yang lebih detail, seperti yang di kisahkan dalam kitab Pararaton yang juga pernah diterjemahkan Brandes (sejarawan Belanda). “Konon” katanya Kidung Sunda dan Kidung Sunda yang ditemukan dari sisa-sisa kebakaran pada penyerangan Belanda di Bali, itu artinya tidak ada pihak ketiga lainnya yang menyaksikan secara langsung pada saat dokumen itu diketemukan, hanya pihak Penjajah Belanda. Artinya pemunculan naskah Kidung Sunda itu dipelopori oleh Penjajah Belanda!  Dan jelas kita wajib untuk mewaspadai kebenaran dari  isi naskah Kidung Sunda ini, karena tidak adanya saksi-saksi yang mendukung penemuan tersebut. Sejarah versi ini patut kita kritisi,  karena akibat kepercayaan terhadap peristiwa perang bubat itu sampai sekarang efek budayanya masih terasa pada masyarakat yang berkaitan dengan sejarah ini, terutama pada masyarakat Sunda pada umumnya. Dalam Hal ini Agus Sunyoto pernah menyatakan bahwa pada  tahun 1860 M fihak Belanda secara khusus memang pernah  mengeluarkan naskah Kidung Sunda. Setelah diteliti, ternyata yang membuatnya adalah orang Bali. Isinya banyak  menceritakan tentang Peristiwa Bubat, yaitu dimana patih Gajah Mada membunuh Raja Sunda sekeluarga dan pasukannya. "Itu cerita fiktif, rekayasa Belanda. Belanda yang bikin pasti tujuannya devide et impera, memecah belah. Jadi kita harus hati-hati sama naskah kolonial, uji dulu, kita harus mengkompilasi dengan data lain”, ujar Agus Sunyoto.
  9. Naskah Pararaton Versi Brandes : Naskah ini adalah naskah sastra Jawa pertengahan yang digubah dalam bahasa Jawa Kawi. Naskah ini tidak diketahui siapa penulis aslinya, sehingga sulit diketahui kredibilitasnya. Naskah Pararaton yang ada justru kesemuanya itu kebanyakan bersumber dari terjemahan Jan Laurens Andres Brandes yang merupakan ahli sejarah, linguistik dan filologi penjajah kolonial Belanda. Adalah hal yang mencurigakan ketika Belanda menugaskan Brandes untuk menerjemahkan naskah yang satu ini tapi tidak pernah bisa menyebut siapa penulis asli dari Kitab Pararaton itu, apalagi Brandes ini dapat dikatakan satu-satunya orang Belanda yang ahli dalam penerjemahan bahasa Jawa kedalam bahasa Belanda pada masa itu. Serat Pararaton sendiri sering menampilkan hal-hal yang berbau kekerasan dan sarat dengan mitologi, disamping itu karena seringkali memuat cerita  dunia hitam, isinyapun sulit untuk bisa diteladani. Pada kisah Ken Arok misalnya, seringkali Ken Arok ini digambarkan dengan hal-hal yang berbau kekerasan, padahal sosok Ken Arok sendiri masih banyak yang mempertanyakan, apakah sedemikian jahatnya dalam kisah Pararaton tersebut ? Lagipula sosok Ken Arok ini juga masih banyak yang meragukan keberadaannya, apakah dia sosok nyata atau buatan dari Brandes sendiri?.
  10. Naskah Wangsakerta : Salah satu naskah yang juga sampai saat ini masih dianggap kontroversial namun oleh sebagian fihak dianggap “shahih” adalah naskah Wangsakerta. Naskah ini telah menciptakan polemik yang berkepanjangan pada dekade tahun 80an. Beberapa Sejarawan Jawa Barat bersikap pro dan kontra dalam menyikapi munculnya naskah ini. Ada juga dari polemik itu yang bersikap hati-hati dan terkesan masih memberikan kesempatan kepada banyak fihak untuk terus mengkaji naskah yang satu ini. Namun sepertinya dari beberapa fihak yang kami amati, fihak yang kritis terhadap naskah ini ternyata lebih dominan, terutama mereka yang berasal dari latar belakang sejarah,  dengan alasan :
1) Isi naskah Wangsakerta dianyam seolah-olah sejarah kuno indonesia padahal bukan cerita sejarah, sehingga naskah tersebut tidak dapat dianggap atau dipakai sebagai sumber sejarah baik primer maupun sekunder.

2) Asal usul naskah tersebut tidak jelas dari siapa ataupun dari desa mana? (sebuah sumber wajib jelas asal usulnya)

3) Identitas  penyusun naskah Wangsakerta tidak meyakinkan (dalam pemahaman kami bisa jadi nama Pangeran Wangsakerta ini disalah gunakan)

4) Penyusunan naskah Wangsakerta agaknya menggunakan kerangka dasar arkeologi dan sejarah kuno Indonesia yang dikembangkan pada abad ke 20, padahal Pangeran Wangsakerta kehidupannya tercatat  jelas antara tahun 1677 s/d 1713 M.

5) Dalam pemakaian huruf banyak terjadi ketidak konsistenan, seharusnya ditulis pendek jadi panjang, seharusnya panjang jadi pendek, ada kesan huruf-hurufnya ingin dikuno-kunokan.

6) Kertas yang digunakan tidak meyakinkan berasal dari dari masa Pangeran Wangsakerta mengingat Indonesia adalah negeri tropis yang sulit mengadakan konservasi. 

7) Dalam satu tulisan tertulis bahwa pada tahun 1677 ada negara lain yang hadir pada seminar besar, yaitu negeri Abasid, padahal Belanda menyebutnya Abbasiah, sedangkan Abbasiah sudah runtuh abad ke 12 !

8) Isi Teks Naskah Wangsakerta terlalu modern untuk abad ke 17. (setiap abad biasanya ada selalu ciri khas sebuah bahasa)

9) Proyek besar Pangeran Wangsakerta yang berhasil membuat seminar/musyawarah besar di Cirebon pada masa itu  dan kemudian berhasil membuat naskah Wangsakerta, anehnya tidak pernah disebut dalam Babad Cirebon sebagaimana umumnya Babad.

10) Kertas lembaran daluwang yang digunakan untuk naskah Wangsakerta ternyata setelah digosok dengan jari berludah warna abu-abunya luntur, dibaliknya terdapat warna hijau dan merah muda dan ternyata setelah diamati itu adalah Kertas Manila!. (Saat ini dengan menggunakan zat-zat kimia tertentu sangat mudah untuk membuat sebuah kertas baru menjadi kertas kuno)

11) Bahasa Jawa Kuno yang dipakai terlalu dikuno-kunokan, sehingga malah tak mewakili bahasa akhir abad ke 17, sedangkan pada Wali yang hidup di abad ke 15 menggunakan bahasa Jawa Baru.

12) Dalam naskah Wangsakerta sebelum ditulis dengan tinta ditemukan bekas-bekas pensil yang dihapus dengan penghapus karet dan tampak pula pada sisi kiri dan kanan kertas. (tentu ini sangat mencurigakan, karena naskah asli biasanya langsung ditulis dengan tinta, kalaupun ada penyalinan naskah lama ke naskah baru, tetap saja biasanya langsung ditulis, apalagi penulisnya orang yang sudah berpengalaman dalam tulis menulis)

13) Sampul kitab hampir polos, tidak menampakkan  motif awan atau karang yang dikenal sebagai motif asli Cirebon. (biasanya sebuah kitab itu ada tanda khusus yang menandakan darimana keberadaan kitab tersebut).

14) Tulisan Panitia Wangsakerta tentang konsep sejarah prasejarah begitu lengkap (1500 daftar pustaka). Banyak data yang cocok dengan referensi sekarang, padahal apa yang dikemukakan Pangeran Wangsakerta baru dicoba ilmuwan barat tahun 1850 M. (Penggunaan daftar Pustaka sebanyak itu, terutama pada masa itu jelas menurut kami patut dipertanyakan, apalagi daftar pustakanya banyak yang cocok dengan referensi terbaru).

15) Dalam pembacaan nama raja Panangkaran persis seperti pembacaan epigrafi bangsa Belanda J.G. De Casparis (Arkeolog Belanda) dalam desertasinya tahun 1950. (Salah satu alat bantu dalam ilmu sejarah adalah epigrafi, sehingga kalau ada kesamaan dengan sejarawan belanda ini tentu sebuah keanehan besar).

16) Naskah Wangsakerta ternyata ditulis oleh Pro. Dr De Casparis setelah dia menulis desertasinya tahun 1950 dan prasasti Indonesia II tahun 1956, karena semua yang ditulis di naskah Wangsakerta itu sesuai benar dengan teori De Casparis, apalagi ketika wangsakerta menuliskan rekonstruksi Mataram Kuno dan Sriwijaya sesuai benar dengan teori De Caspari itu. 

17) Belum ditemukan sumber lain yang menulis kegiatan seminar atau musyawarah besar yang diadakan Pangeran Wangsakerta itu, padahal kegiatan tersebut dihadiri para ahli dari berbagai daerah dari Madura, Makasar, Penarukan, Blambangan, Galiao, Banggawi, Maluku, Bali, Seran, Lwan Gajah, Ambon, Gurun, Taliwang, Palembang, Bantayan, Banten, Dermayu, Wirasaba, kediri, Lasem, Mojoagung, Bagelen, Tuban, Losari, Brebes, Tegal, Jepara, Mantingan, Bonang, Demak, Jayakarta, Lamongan, Kudus, Cirebon, Gresik, Pasai, Tanjungpura, Karawang, Cangkuang, Kuningan, Tembayat, Sedayu, Malaka, Tumasik, Barus, Trenggani, Galunggung, Sumedang, Sukapura, Parakanmuncang, Rancamaya, Imbanagara, ukur, Galuh, Sindangkasih, Luragung, Kretabumi, Rajagaluh, Talaga, Sendangduwur, Giri, Jambi Minangkabau, Bangka, Perlak, Brunai, Lamuri, Kutalingga, Kamperhawa (mandailing), Siak, Tanjungnegra, Tanjungkutai, dan Tanjungpuri. Selain itu terdapat juga nama negara Mesir, Arab, India, Srilangka, Benggala, Champa, China dan Ujungmedini (semenanjang melayu). (banyaknya nama-nama daerah tersebut jelas menjadi sebuah pertanyaan besar, benarkah pada abad ke 17 tersebut Kesultanan Cirebon mampu mendatangkan banyak daerah tersebut, apalagi jalur transportasi sangat sulit dijangkau untuk mendatangi daerah-daerah tersebut).

18) Kegiatan Musyawarah Besar tidak pernah disebutkan kapan diadakan. (adalah hal yang aneh jika acara sebesar ini tidak pernah tercatat, sekalipun katanya memang ditutup-tutupi demi menghindari diri dari pengawasan Belanda, namun tetap saja harusnya waktu kegiatan tersebut ditulis, apalagi ini sekelas Pemimpin besar).

19) Kekuatan Kompeni VOC pada masa itu sangat besar, sehingga kegiatan sekecil apapun akan mudah dilacak, apalagi transportasi perairan ataupun darat dikuasai oleh mereka, sehingga siapapun yang datang dari luar akan mudah mendeteksinya.

20) Naskah Wangsakerta tidak dapat dipergunakan sebagai sumber sejarah, tapi sebatas kajian filologi dipersilahkan.

21) Naskah Wangsakerta kredibilitasnya sebagai sumber sejarah sangat diragukan.

22) Sebuah naskah bisa dijadikan sumber yang kuat tentu dengan melihat kredibilitasnya.

23) Prof. Dr. Nina Lubis dan Prof. Dr. Edi. S. Ekajati (tokoh yang membela keberadaan naskah wangsakerta) ternyata sepakat bahwa dalam penulisan Sejarah Jawa Barat tidak akan mempergunakan naskah Wangsakerta sebagai rujukan, meskipun demikian naskah ini sah sebagai bagian obyek kajian filologi. (Kalau dalam penulisan Sejarah Jawa Barat sudah tidak digunakan lagi, berarti secara tidak langsung naskah ini sudah dianggap bermasalah besar).

24) Perlu kami tekankan, dalam point 17 ada nama Jayakarta, padahal dalam catatan keluarga besar Jayakarta terutama dalam kitab Al-Fatawi tidak pernah disebutkan jika fihak Jayakarta mengikuti kegiatan musyawarah besar itu. Catatan Jayakarta yang disusun secara estafet oleh Para Mushonifnya tergolong lengkap sehinggga sudah pasti akan menuiis kegiatan sebesar itu, dan ini ternyata tidak tertulis sama sekali dalam kitab tersebut, dan jangan lupa kitab Al-Fatawi tidak pernah jatuh ke tangan Belanda, sehingga keasliannya masih terus terjaga hingga pada tahun 1910 Masehi dan kemudian disalin ulang oleh Al-Allamah KH Ahmad Syar’i Mertakusuma dalam bahasa Arab Melayu. Alangkah  janggalnya jika Sejarawan Jayakarta tidak menulis pertemuan sebesar itu, mengingat hubungan antara Jayakarta, Cirebon itu sangat kuat. Dalam sejarah Demak juga belum kami dapati data tentang datangnya fihak Demak kedalam pertemuan besar tersebut, apalagi saat itu Kesultanan Demak sudah tidak ada, dan Demak hanya merupakan kadipaten biasa.

25) Secara sanad keilmuwan menurut kami naskah wangsakerta wajib dipertanyakan, siapa yang memegang naskah  atau pewaris naskah yang terakhir ?, setahu kami Keluarga Besar Wangsakerta ini adalah keturunan Sunan Gunung Jati yang merupakan salah satu Walisongo berpengaruh  dan selalu menjunjung sanad keilmuwan, sehingga sangat mustahil jika mereka tidak menjaga sanad yang selalu dipegang teguh keluarga besar Walisongo.

Dalam menyimpulkan beberapa naskah “kuno’ diatas yang kontroversial, dimana unsur keterlibatan penjajah kolonial itu juga cukup besar perannya, akhirnya saya ingin mengutif beberapa tulisan pada artikel yang disusun oleh Prof. Dr. Ahmad Mansur Suryanegara yang merupakan seorang pakar sejarah Islam ternama dimana beliau telah menulis :

“Kalau sejarah Barat menjadikan Yunani dan Romawi sebagai dasar  peradaban Barat sebelum datangnya agama Kristen di Eropa, maka kebijakan penulisan Sejarah Indonesia dari pemerintah kolonial Belanda lebih mengutamakan penelitian, pemugaran, publikasi Sejarah Budha dan Hindu Indonesia, sebaliknya Sejarah Islam Indonesia sekalipun agama mayoritas pribumi indonesia dikaburkan sistem penulisannya”.

Selanjutnya beliau juga mengutif sebuah pernyataan B.H.M. Vleke dalam Nusantara A History Of Indonesia yang menyatakan : “Bahwa VOC tidak tahu sama sekali tentang Sejarah Indonesia yang sebenarnya”. Dan menurut Drs. R. Muhammad Ali, Ketua Arsip Nasional, “mereka menulis Sejarah Indonesia dari atas geladak kapal VOC. Maka sejarah Indonesia yang dituliskannya berisikan Sejarah Gubernur Jenderal dan kaki Tangannya, dan merendahkan nilai kesejarahan Islam Indonesia. Tetapi anehnya hasil tulisannya dijadikan landasan penulisan Sejarah Indonesia oleh sementara Sejarawan Indonesia”.

 Wallahu A’lam Bisshowwab.....

Sumber :

Agus Sunyoto, Sastra Dan Kolonial Dalam Pengaburan Sejarah Islam Nusantara, Tangerang Selatan : Demafah & Padasuka, Aula UIN Syahid Dalam Seminar Nasional, 12 Maret 2015.
Prof. Dr. Ahmad Mansur Suryanegara, Menelusuri Indikasi Pangaburan Sejarah Islam Nusantara, Tengerang Selatan : Padasuka & Demafah, Aula UIN Syahid, 12 Maret 2015.
Prof. W.L Olthop, Babad Tanah Jawi Tahun 1941, Alih Bahasa : HR Sumarsono,  Penerbit Narasi Jogyakarta, 2011.
Dr. Suwito Santoso, Babad Tanah Jawi Galuh Mataram, Delanggu : CV Citra Jaya Murti, 1970.
Prof. Dr. Edi S Ekadjati, Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta, Bandung : PT Dunia Pustaka Jaya, 2005.
Prof.Dr. Slamet Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu Budha Dan Munculnya Negara-Negara Islam Nusantara, Yogyakarta : LKIS, 2007.
Suwardi, Manunggaling Ken Arok dan Serat Pararaton, Yogyakarta : FIBS Universitas Negeri,  Harian Merdeka, 1 Juni 2008.
Susiyanto, Jangka Sabda Palon: Ramalan Kehancuran Islam di Jawa?  24 Januari 2010. Lihat di www.susiyanto.com.