Sejenak kami merenung, begitu menakutkankah istilah yang satu ini? Kenapa sebagian orang begitu paranoid terhadap tema yang satu ini ? Padahal belum tentu kita faham akan akar sejarah pada wajah Islam yang satu ini. Ketika sebuah wacana dilontarkan, bukankah akan lebih baiknya kalau kita melakukan sebuah tabayyun kepada fihak yang melemparkan wacana tersebut. Mengatakan Islam Nusantara sebagai sebuah tema yang “berbahaya” bagi kelangsungan hidup bangsa tanpa pernah mau mempelajari akar sejarah munculnya tema tersebut, menurut kami bukanlah hal yang bijak.
Seharusnya ketika menghadapi tema tersebut, mari dihadapi dengan mengadakan sebuah dialog dan adu pemikiran, bukan justru adu hujat, adu sindir, adu kuat-kuatan pendapat tapi ironisnya banyak dari kita yang “minim dan miskin” akan pemahaman sejarah tema tersebut.
Dalam pandangan kami yang selama beberapa tahun ini fokus pada beberapa penelitian Islam Nusantara, terutama penelitian sejarah para tokoh-tokohnya, kami justru banyak melihat hal-hal yang positif. Itu karena dalam beberapa fakta yang kami temukan, tokoh-tokoh yang dikaitkan dengan wacana tersebut, justru banyak dari mereka yang merupakan peletak utama pada sendi-sendi penyebaran Islam yang berwajah ramah, toleran, akomodatif namun tidak pula meninggalkan sikap ketegasannya. Dalam beberapa penelitian kami, justru kami banyak menemukan fakta yang mencengangkan jika mereka yang mengusung “faham” Islam Nusantara itu banyak merupakan sosok-sosok yang ditakuti penjajah dan juga pemikir-pemikir cerdas dan brilian pada masanya. Bahkan berdirinya beberapa ormas seperti NU dan Muhammadiyah juga tidak lepas dari andil dari keturunan tokoh-tokoh Islam Nusantara tersebut. Kami sendiri membahas tema yang satu sudah beberapa tahun yang lalu (kam isudah membahas tema-tema ini secara serius sejak tahun 2005), artinya apa yang kami uraikan ini tidak ada hubungannya dengan fihak yang melemparkan wacana ini, dan ini juga bukan merupakan “pesanan” dari fihak-fihak tersebut, semua murni karena kami melihat bahwa isu yang satu ini sudah disalahfahami terlalu jauh.
Islam Nusantara yang wacananya dilemparkan oleh PBNU, sebenarnya kalau mau difahami secara jernih dan mendalam, tidak perlu disikapi dengan reaksi-reaksi yang berlebihan, karena apa yang ada pada wacana ini nantinya sangat berkaitan dengan jejak langkah para ulama terdahulu, lagipula Istilah Islam Nusantara itu bukanlah merupakan mazhab tersendiri atau firqoh baru. Islam Nusantara itu sudah lama ada dan sudah jalankan (sadar atau tidak sadar). Islam Nusantara, ya Islam yang sejak dahulu kita anut dan sarat akan nilai-nilai budaya dan sosial yang bisa diterima oleh banyak masyarakat dan tema ini bukan “idiologi kaku”, jadi kalau ada orang atau fihak yang tiba-tiba mengeluarkan wacana ini dianggap sebagai sebuah “faham” baru yang “sesat menyesatkan” atau “bid’ah yang kesekian kalinya”, menurut kami masih terlalu prematur, apalagi bila diembel-embeli dengan perkataan-perkataan “musyrik”, “kafir”, “jumud”, “lebay”, “tidak syar’i”, “Neo JIL”, KPQ (Komunitas Perusak Aqidah), “Keblinger”, “JIN (Jemaah Islam Nusantara) dengan embel-embel pakaian pocong batik”, dan cap-cap yang terkesan kurang dilandasi pada sisi ilmiah, sehingga pada pandangan kami cap-cap tersebut merupakan sesuatu yang terlalu dipaksakan. Lebih tidak masuk akal lagi bila wacana Islam Nusantara itu dianggap sebagai “Pesanannya Amerika Serikat” dengan tujuan “meninabobokan” bangsa ini karena sudah merasa “terbaik” dan “bangga” dengan wacana tersebut. Seolah yang melemparkan wacana itu adalah “pengikut setia” anak emas dari Bani Israil yang sekarang ini. Padahal dilemparkan wacana tersebut sebenarnya untuk menawarkan sekaligus menunjukkan bahwa Islam itu sebenarnya tidak ektrim, jumud, dan mudah untuk menyalah-nyalahkan sesuatu. Kecenderungan untuk mudahnya menyalahkan, memvonis, bahkan bersikap ekstrim dengan menggugat terhadap kebiasaan yang sudah lama kita jalankan, memang akhir-akhir ini telah mengemuka baik dalam konsep negara yang sudah matang dan final maupun kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang mayoritas menganut faham Ahlussunah Wal Jama’ah. Inilah yang menyebabkan wacana Islam Nusantara muncul.
Kalau ada kekhawatiran bahwa Islam akan semakin “bias” dengan adanya wacana ini, justru menurut kami dengan adanya wacana ini harusnya bisa “memaksa” kita untuk terus mau mempelajari bagaimana sebenarnya sejarah perkembangan Islam itu sendiri, baik secara fiqih, tauhid, tassawuf, tafsir, sirah dan cabang-cabang ilmu lainnya. Kalau kita berkata bahwa “Islam ya Islam” atau pendapat “ Islam ya harus kembali kepada Al-Qur’an Dan Sunnah”, “Islam ya harus seperti pada masa Rasulullah SAW”, itu memang benar secara umum, namun secara rinci dan runut, kalau kita mau jernih dan jeli, bukankah Islam di masa Rasulullah SAW hingga kepada masa sekarang ini, telah kita ketahui berjalan secara mata rantai yang berkesinambungan, melalui ilmunya para Ulama yang secara estafet dan sudah saling mewarisi antara satu generasi dengan generasi selanjutnya, hingga sampai pada masa sekarang, misalnya mulai dari Rasulullah SAW, Para Sahabat, Tabi Tabiin, Ulama-ulama dahulu hingga akhirnya pada ulama yang sekarang, bukankah itu berjalan secara estafet? Bicara aliran saja, sampai saat ini masih terus terjadi perbincangan hangat, seperti misalnya mengenai Syiah, Sunni, Khawarij dan lain-lain, sehingga dalam pembahasannya, kita ini tetap membutuhkan peran ulama dalam menjelaskan apa Islam yang sesungguhnya. Belajar tentang Islam sebenarnya tetap harus membutuhkan peran serta dan bimbingan ulama yang lebih mengerti seluk beluknya agama Islam. Tidak bisa kita belajar agama secara otodidak apalagi hanya melalui sebuah terjemahan. Islam ya tetap harus dipelajari kepada ulama yang memiliki pengetahuan mendalam dan juga memiliki sanad yang berkesinambungan. Jadi menurut kami jangan juga memotong peran para ulama dalam memperkenalkan Islam ini dengan mengambil loncatan langsung kepada masa Rasulullah SAW apalagi dengan mengeyampingkan perjalanan sanad dari para Sahabat, Tabi tabiin, Ulama Ahlul Bait, Imam Mazhab Empat dan ulama-ulama yang bersanad lainnya seperti Majelis Dakwah Walisongo.
Kita semua harus tahu, bahwa yang dimaksud dengan Islam Nusantara itu adalah Islam yang dibawa oleh penyebar Islam yang bernaung dalam organisasi Majelis Dakwah Walisongo yang kesemuanya ini mempunyai mata rantai atau sanad keilmuwan hingga kepada Rasulullah SAW. Sehingga kekhawatiran akan tema Islam Nusantara sebenarnya tidak perlu harus terjadi.
Majelis Dakwah Walisongo atau kami menyebutnya Madawis adalah organisasi dakwah yang berdiri sejak tahun 1404 Masehi atas prakarsa Sultan Muhammad I dari Turki Usmani. Didirikannya Organisasi ini karena berkat adanya kerjasama yang baik antara keluarga besar keturunan Sayyid Abdul Malik Azmatkhan dengan fihak Turki. Sayyid Abdul Malik Azmatkhan adalah salah satu keturunan dari Keluarga Besar Alawiyyin yang hijrah dari Tarim Hadramaut ke India. Sebagian keturunan Sayyid Abdul Malik Azmatkhan ini kemudian banyak menyebar di berbagai negara dan mereka banyak mempunyai hubungan yang baik dengan para penguasa-penguasa di setiap negara termasuk Turki Usmani yang saat ini sedang membangun kejayaannya.
Puncak kejayaan Majelis Dakwah Walisongo adalah ketika berdirinya Kesultanan Islam Demak terutama ketika pada masa Raden Fattah. Kesultanan Islam Demak yang merupakan negara Islam pertama di Pulau Jawa sangat mendukung gerakan Madawis ini. Dibawah lindungan Kesultanan Islam Demak, Majelis Dakwah Walisongo semakin berkibar di Nusantara. Tidak akan berjaya Islam pada saat itu tanpa ada hubungan yang harmonis antara Kesultanan Islam Demak dan Majelis Dakwah Walisongo. Sehingga sangatlah wajar dari generasi satu hingga generasi saat ini keturunan Walisongo dan Keturunan Islam Demak masih terus menjalin hubungan yang baik.
Tentu sebagai sebuah organisasi dakwah yang isinya banyak ulama-ulama dan dai-dai berpengalaman, mereka mempunyai cara dan strategi tersendiri dalam melakukan penyebaran Islam. Pada setiap tempat yang akan mereka singgahi, metode dakwah mereka selalu menyesuaikan dengan kultur setempat tanpa pula harus kehilangan nilai-nilai Islam yang kuat. Dan sudah tentu Islam yang dikembangkan oleh Majelis Dakwah Walisongo adalah Islam yang dianut para leluhur mereka yang ada di Hadramaut Yaman yaitu Islam Ahlusunnah Wal Jama’ah. Walisongo secara mutlak adalah penganut Islam yang sama dengan Imam Ahmad Al-Muhajir yang merupakan nenek moyangnya Bani Ba’alawi yang banyak menyebar ke berbagai penjuru dunia. Keluarga Besar Majelis Dakwah Walisongo dan juga Kesultanan Islam Demak adalah penganut setia faham dan ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Walisongo Dan Kesultanan Islam Demak yang merupakan bagian keluarga Alawiyyin, dalam praktek keislamannya selalu mengedepankan Akhlak dan Budi Pekerti yang sesuai dengan ajaran leluhur mereka, dari mulai Akhlaknya Rasulullah SAW, Imam Ali KWA, Sayyidina Husein Ra, Imam Ali Zaenal Abidin Ra, Imam Muhammad Al-Baqir Ra, Imam Jakfar As-Shodiq Ra, Imam Ali Al-Uradidhi Ra, hingga kepada Imam Ahmad Al-Muhajir, kemudian jejaknya mereka ini diteruskan oleh salah satu keturunan mereka yang bernama Sayyid Abdul Malik Azmatkhan yang hijrah Ke India, kemudian dilanjutkan lagi oleh keturunan mereka yang bernama Majelis Dakwah Walisongo.
Majelis Dakwah Walisongo adalah pemegang mazhab Imam Syafi’i, Mereka juga sangat teguh dalam ajaran dan aqidahnya Imam Abu Hasan Al Asy’ari (Asy’ariah), mereka juga banyak mempelajari dan mempraktekkan tassawufnya Al Ghazali, Syadzili dan juga Syekh Abdul Qodir Jaelani. Mereka juga banyak yang merupakan mursyid Thariqoh dan sufi-sufi yang terkenal, mereka juga merupakan negarawan, politikus, ahli strategi militer, budayawan, ahli dinar dirham, ahli tata negara, dokter, dan bidang profesi lainnya. Islam Ahlussunah Wal Jama’ah dalam konsepnya Walisongo penuh dengan keramahan, kaya akan nilai-nilai toleransi, akomodatif terhadap keinginan masyarakat, tegas dalam bersikap. Dan wajah islam inilah yang kelak ditanam secara sporadis oleh Majelis Dakwah Walisongo dan Kesultanan Islam Demak di bumi Nusantara ini.
Yang juga perlu kita harus ketahui bersama bahwa sebenarnya Islam yang disebarkan Walisongo dan Kesultanan Islam Demak itu tidak hanya berada di pulau Jawa saja, namun peta penyebarannya ternyata juga merambah ke berbagai wilayah Nusantara lain, tercatat betapa hubungan dakwah Madawis ini juga merambah wilayah Champa (Vietnam Selatan), Patani (Thailand), Kelantan, Malaka (Malaysia), Tumasik (Singapura), Mindanau Sulu (Phlipina), Kalimantan (Borneo, Banjar), Sulawesi, Lombok, Ternate, Tidore, Jazirah Al-Mulk (Maluku), Aceh (Pasai), Aru Barumun (Deli Lama), Melayu (Riau), Minangkabaw, Pagar Uyung, Jambi, Palembang, Lampung, Sunda, dll. Selama ini kita sering menyangka jika Walisongo dan Kesultanan Islam Demak peta penyebaran Islamnya hanya berkibar di Jawa dan Sunda saja, padahal gerak langkah mereka banyak merambah ke berbagai wilayah Nusantara, baik itu berupa hubungan diplomatik maupun hubungan dagang, militer dan juga dakwah. Kami sendiri heran jika Walisongo dan Kesultanan Islam Demak ruang lingkupnya hanya disebut dan dibatasi di pulau Jawa saja, padahal hubungan dan jaringan mereka itu tersebar di berbagai wilayah Nusantara, ini Nanti akan dibuktikan dengan banyaknya keturunan mereka yang hijrah dan berdakwah di daerah daerah Nusantara tersebut, bahkan jaringan mereka juga tersebar di berbagai mancanegara seperti Turki, Samarkand (Uzbekistan), Maroko, India, Afrika, Yaman, Irak, Iran, Mekkah, Madinah.
Sebagai sebuah organisasi gerakan dakwah, sudah tentu cara dakwah mereka dilakukan dengan sistematis dan terukur. Sehingga pada akhirnya bisa kita lihat pada masa sekarang ini, betapa Islam yang tumbuh dan berkembang adalah Islam yang ramah, toleran, akomodatif dan kultural tanpa kehilangan sebuah sikap tegas. Namun demikian sudah tentu Majelis Dakwah Walisongo pada masa itu juga tidak ingin nasib dakwahnya seperti negara Andalusia (Spanyol), Bani Abbasiah, Bani Umayyah, dan beberapa lagi yang lainnya yang kini hanya menjadi kenangan. Pelajaran berharga ini tentu telah mereka dapati dan pelajari kenapa Andalusia dan beberapa negeri Islam yang lain bisa lenyap dan berganti kepercayaan lain. Oleh karena itu dari kegagalan negeri-negeri Islam itulah Majelis Dakwah Walisongo telah belajar banyak, dan ini terbukti hingga kini Islam masih bisa terus bertahan sesuai dengan khasnya sendiri.
Dalam beberapa pendapat, ada fihak yang mengatakan kalau Islam Nusantara terlalu akomodatif terhadap beberapa aliran menyimpang dan terkesan lembek dalam menghadapi hal tersebut, sebenarnya hal tersebut tidak benar juga. Kalau dikatakan Islam Nusantara itu seolah lembek atau terlalu akomodatif pada pemikiran atau aliran yang menyimpang, jangan lupa, dalam sejarahnya Islam Nusantara itu berapa kali pernah bersikap tegas dalam berapa hal, terutama ketika menghadapi penguasa Majapahit yang bernama Dyah Ranawijaya yang telah mengkudeta Kertabumi. Dyah Ranawijaya inilah yang kemudian dihadapi Majelis Dakwah Walisongo dan Kesultanan Islam Demak karena sepak terjangnya yang intoleran terhadap perkembangan Islam pada masa itu, padahal Kertabumi sendiri telah menjalin hubungan baik dengan Walisongo dan Demak. Pada sisi lain Madawis dan Kesultanan Islam Demak juga pernah menghadapi Portugis yang ingin menjajah Sunda Kelapa (kini Jakarta) dan Panarukan (kini berada di Siitubondo Jawa Timur). Pada masa Raden Fattah, terutama pada tahun 1512 – 1513 Masehi Kesultanan Islam Demak dibawah Restu Majelis Dakwah Walisongo bahkan pernah mengirim “Tim Expedisi Jihad Ke Malaka”, kemudian dilanjutkan lagi pada tahun 1521 Masehi. Adanya ekspedisi jihad dan perlawanan terhadap Majapahit era Dyah Ranawijaya/Girindrawardana membuktikan jika Madawis dan Demak bisa bersikap tegas.
Pada kedua persoalan tersebut Madawis dan Kesultanan Islam Demak bahkan bisa dikatakan bahwa mereka sudah masuk dalam semangat “jihad fi sabilillah”, karena ini menyangkut kehormatan Islam yang sudah dibangun dengan damai di bumi Nusantara, dan ini ternyata pernah terjadi pada tanggal 10 November 1945 dimana Mbah Hasyim Asy’ari pernah mengeluarkan resolusi jihad, sehingga membuat santri dan ulama-ulama seluruh ulama Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur turun habis-habisan melawan tentara Sekutu. Sehingga pada tanggal tersebut dikenang sebagai Hari Pahlawan, dan sebagai unsur terpenting dalam perlawanan tersebut adalah para santri dan ulama, dan ini diakui oleh Bung Tomo sebagai pembakar semangat jihad pada perang tersebut. Bahkan Bung Tomo selalu menunggu fatwa-fatwa dari Mbah Hasyim Asy’ari untuk melakukan perjuangan melawan penjajah.
Pada permasalahan lain, misalnya perbedaan sudut pandang tentang aliran tassawuf atau keputusan-keputusan hukum pada masa itu, semua diselesaikan dengan adanya sebuah halaqoh dengan diiringi hikmah kebijaksanaah terlebih dahulu antar anggota Walisongo, setelah itu baru keluar produk hukum dan ini kemudian diikuti jejaknya oleh para kyai-kyai keturunan Walisongo yang berfikir bijak dulu sebelum melakukan produk hukum. Islam di masa Walisongo dan Kesultanan Demak betul-betul seperti merupakan wajah Islam yang ideal, sehingga pada masa itu, di wilayah-wilayah binaan Walisongo dan Demak nuansa kenyamanan sangat terasa.
Islam yang dikembangkan Madawis dan Demak kalau mau dipelajari adalah Islam yang berwajah khas dan unik karena disitu telah banyak terjadi akulturasi dalam berbagai bidang, disamping itu latar belakang pendidikan agama para anggota Walisongo yang berbeda telah memunculkan wajah Islam yang khas Nusantara.
Dalam sejarah Majelis Dakwah Walisongo, beberapa tokohnya seperti Sunan Giri atau juga Sunan Ampel adalah merupakan simbolisasi gerakan Islam yang murni dan konsekwen, hal ini wajar karena latar belakang pendidikan mereka itu lebih banyak berada diwilayah pesisir pantai seperti Aceh, Champa, dimana daerah-daerah tersebut interaksi dengan dunia Timur Tengah lebih banyak dilakukan dan wajah keislamannya memang terkenal tegas dan disiplin (namun bukan pula keras seperti Kaum Khawarij dan juga “neonya”). Sikap yang timbul pada beliau-beliau ini adalah hal yang wajar mengingat mereka ini mempunyai ilmu yang mendalam tentang tauhid dan ilmu fiqih, maka sudah tentu mereka sangat berhati-hati sekali dalam menentukan hukum dan takut bila terjerumus pada perbuatan yang tidak sesuai dengan Sunnah Rasul, apalagi medan dakwah mereka kali ini sebuah negeri yang berbeda dari negeri lain.
Sedangkan pada barisan kedua adalah seperti Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Muria, Sunan Bonang, Sunan Derajat yang wajah Islamnya sudah lebih kental dengan wilayah pedalaman, dimana masyarakatnya masih banyak dipengaruhi kebudayaan lama. Pada wilayah pedalaman, para Walisongo yang kami sebut ini mempunyai pandangan, bahwa dakwah di wilayah pedalaman ini tidak sama dengan wilayah pesisir, proses pengislamannya tidaklah sama dengan wilayah pesisir yang lebih terbuka dan cepat apalagi pola komunikasi pesisir bisa langsung dengan tokoh dari luar yang banyak membawa ajaran Islam yang langsung dari wilayah Timur Tengah seperti Mekkah, Madinah, Yaman dll, sedangkan pada masyarakat pedalaman ini, mereka masih tertutup aksesnya terhadap luar, mereka lebih fokus pada sisi agraris daripada kelautan yang didominasi kalangan pesisir. Pada masyarakat pedalaman, kebanyakan mereka masih memegang teguh adat istiadat dan kepercayaan lama sehingga butuh proses dan waktu yang tidak sebentar serta strategi cerdas dan bijaksana untuk mengislamkan mereka.
Uniknya sekalipun antara Walsongo berbeda cara dan strategi dalam melakukan proses Islamisasi, justru perbedaan mereka itu bisa menyatu dengan sinergis dan mengagumkan, terutama ketika Kesultanan Islam Demak berdiri. Dibawah pemerintahan Kesultanan Islam Demak yang Sultan Pertamanya adalah Raden Fattah, semua bisa bersatu dalam misi menyebarkan Islam Yang Rahmatan Lil Alamin. Majelis Dakwah Walisongo masing-masing bisa bergerak dengan pola dakwahnya yang khas tanpa harus mengatakan bahwa “pola dakwah wali yang satu itu bid’ah atau sesat”, atau misalnya dengan mengatakan “pola dakwah wali ini tidak ada di masa Nabi”. Masing-masing Walisongo tetap saling menghormati dan saling memberikan masukan, penguatan dan motivasi. Pada wilayah pesisir Islam dikembangkan dengan caranya sendiri dan langkah ini juga didukung oleh Walisongo yang bergerak di pedalaman, sedangkan pada wilayah pedalaman, Islam juga dikembangkan sesuai pemahaman masyarakat pedalaman, dan langkah walisongo yang di pedalaman ini sangat difahami oleh Walisongo yang bergerak di pesisir. Dan untuk melakukan sebuah evaluasi gerakan dakwah mereka, pada setiap waktu tertentu telah disepakati untuk mengadakan sebuah pertemuan, apakah itu di Kesultanan Islam Demak, di Ampel, di Giri Kedaton, di Cirebon, Tuban, Kadilangu, Derajat, dan beberapa tempat wali lainnya. Pada pertemuan itu masing-masing anggota Walisongo bisa saling bertukar pengalaman dalam penyiaran agama pada masa itu. Sekalipun Walisongo yang kami sebut itu tidak hidup pada suatu masa yang sama, namun komunikasi antar pengikut, atau anak-anak mereka tidak pernah putus untuk koordinasi mengenai penyebaran Islam di Nusantara. Betapa indahnya Islam pada masa Walisongo dan Kesultanan Islam Demak ini, semua bisa saling menghargai dan saling kersajama tanpa perlu mengatakan, itu sesat, ini keblinger, ini bid’ah, ini aliran baru, ini itu bla bla bla.............
Dibawah Pemerintahan Kesultanan Islam Demak wajah khas Islam Nusantara semakin berkibar, disitu ada wajah timur tengahnya, disitu ada wajah pedalamannya, disitu ada wajah akulturasinya, disitu juga ada pengaruh gaya pemerintahan Turki Usmani, disitu juga banyak dikembangkan kehidupan sosial budaya, pada bidang kegiatan sastra, seni semakin banyak bermunculan karya-karya berkelas, pada bidang militer juga banyak mengadopsi strategi militernya Rasulullah SAW, pada bidang bilateral juga ditambah dengan menghubungi kesultanan-kesultanan Nusantara, dan untuk membuat jaminan kehidupan aman, maka dibuat Undang-undang yang sesuai dengan syariat Islam (pada masa ini muncul kitab Jugul Muda, Salokantara sebagai Kitab Undang-Undang), toleransi juga dilaksanakan kepada pemeluk agama lain (banyak bangunan hindu budha yang dibiarkan berdiri). Wajah Islam ditangan Walisongo dan Kesultanan Islam Demak telah membuat kagum beberapa kesultanan sehingga Demak dan Walisongo banyak didatangai berbagai bangsa untuk melihat lebih dekat bagaimana kehidupan Islam yang telah berhasil di tanam ini. Pada masanya beberapa wilayah Nusantara terus mengadopsi wajah Islam yang dikembangkan Walisongo dan Demak.
Islam pada masa Walisongo dan Kesultanan Islam Demak adalah Islam yang betul-betul “warna-warni” dengan ke kekhasannya, nilai-nilai budaya setempat dan nilai-nilai nuansa timur tengah bahkan bisa menjadi satu, serapan bahasa, gaya berpakaian, dan juga aturan hukum dan adat bisa selaras, jadi kalau ada fihak mengatakan Islam Nusantara itu anti akan hal-hal yang berbau arab, ini justru menurut kami aneh, lebih aneh lagi kalau Islam Nusantara seolah-olah tidak bisa dihubungkan dengan arab. Kalau kita melihat bagaimana lukisan-lukisan Walisongo yang beredar, kita bisa lihat bagaimana wajah mereka yang memelihara jenggot dan berikatkan sorban (imamah) dan juga memakai jubah/gamis, namun uniknya dipinggang mereka juga kadang diselipkan keris. Pakaian keulamaan Walisongo itu berkembang lebih khas, justru ketika pada masa Walisongo itu sendiri. Para ulama NU dan Muhammadiyah dulu bahkan kalau mau dilihat cara pakaian dan wajahnya, sangat khas arabnya (sekalipun sebenarnya interpretasi budaya arab dan sunnah Rasul itu sering tertukar dalam konteksnya). Pada aspek pakaian yang dikembangkan Walisongo, sebenarnya juga merupakan alat untuk berdakwah, seperti yang dilakukan Sunan Kalijaga. Alangkah anehnya Islam Nusantara jika dikatakan anti arab, padahal anggota Walisongo dan keturunannya justru keturunan Arab !
Islam Nusantara secara simpelnya sebenarnya bisa kita lihat dengan adanya kebiasaa-kebiasaan yang sering dilakukan oleh banyak masyarakat Islam di Nusantara seperti misalnya : berziarah kubur terhadap makam ulama dan juga orangtua, peringatan wafatnya ulama (Haul), perayaan Maulid Nabi, Peringatan Isra Mi’raj, Perayaan Tujuh bulanan, Pelaksanaan runtutan Aqiqah, Pelepasan dan penyambutan haji yang meriah dan syahdu, Pelaksanaan Tahlil, Pembacaan Yasin bersama, Pembacaan Riwayat Orang Soleh (manaqib), Pembuatan makanan-makanan khas menjelang hari raya besar (seperti kolak ayam di Gresik yang diciptakan Sunan Dalem bin Sunan Giri), budaya Tarekat, pemakaian beduq untuk menandakan waktu sholat, perayaan sekaten, pemakaian tanaman gaharu dan cendana untuk menggantikan kemenyan dalam beberapa kegiatan, pembuatan Masjid dengan mengadopsi bangunan lama (lihat bangunan Masjid Kudus dan pelajari filosofis Bangunan Masjid Demak), Pendirian Pondok Pesantren yang dimulai dari Ampel, Giri, Demak yang metode belajarnya masih terus bertahan dan diikuti banyak pondok pesantren, pembuatan baju takwa dengan mengadopsi jubah dan imamah ulama (lihat blangkon dan baju Takwa ala jogya), peringatan satu Muharom (berkaitan dengan anak Yatim), Penyajian Dakwah dengan Kesenian wayang kulit, sering diadakannya kidung (mirip dengan qosidah) pada sebuah pertemuan keagamaan, dan juga membuat seni-seni lain sesuai Syar’i namun juga bisa difahami dan diterima masyarakat. Semua ini pada masa Walisongo dan Kesultanan Islam Demak sudah muncul dan diakomodir Raden Fattah sebagai penguasa, hingga akhirnya masyarakatpun merasa nyaman dan merasa bahwa Islam itu agama yang melekat di hati mereka. Sebenarnya masih banyak lagi kegiatan-kegiatan yang kami sebut diatas, dan itu baru sebagian kekayaan Islam Nusantara. Dan sebagian tradisi itu mulai digugat oleh sebagian fihak. Padahal apa yang dilakukan oleh Walisongo dan Kesultanan Islam Demak ini sudah difikirkan secara matang dan selaras dengan ajaran Islam. Bukankah anggota Walisongo itu merupakan ulama yang multi talent dalam berbagai bidang keilmuwannya? Bukankah Raden Fattah juga merupakan Sultan yang alim dan kebanggaan Sunan Ampel ? Jadi kalau ada yang mengatakan Islam yang dikembangkan Walisongo dan Kesultanan Islam Demak itu penuh dengan penyimpangan dan sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi kekinian, sebaiknya menurut kami pelajari dululah siapa Walisongo dan juga Kesultanan Islam Demak secara utuh dan mendalam, bukankah ada peribahasa “tidak kenal maka tidak sayang”.
Kolaborasi Walisongo dan Kesultanan Islam Demak ini pada akhirnya memunculkan wajah Islam yang unik inilah yang didalamnya penuh dengan nilai-nilai ramah, toleransi, akomodatif, kultural, dan juga tegas. Dan inilah yang disebut Islam khas Nusantara. Islam Nusantara terus berkembang dan terus dipertahankan di banyak pondok-pondok pesantren yang diasuh ulama-ulama serta para tokoh politik bangsa yang juga banyak keturunan dari Walisongo dan Kesultanan Islam Demak seperti Pangeran Diponegoro (Dzurriyah Raden Bondan Kejawan/Sayyid Abdurrahman Jumadhil Kubro), Imam Bonjol (Dzurriyah Sunan Giri), Syekh Nawawi Banten (Dzurriyah Sunan Gunung Jati), Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi (Dzurriyah Sunan Giri), Mbah Kholil Bangkalan (Dzuriyah Sunan Kudus), Kyai As’ad Syamsul Arifin (Dzuriyah Sunan Ampel), Syekh Junaid Al-Batawi (dzuriyah Raden Fattah), Kyai Hasan Besari (Dzurriyah Raden Fattah), HOS Cokroaminoto (Dzurriyah Raden Fattah), KH Muhammad Dahlan Pendiri Muhammadiyah (Dzurriyah Sunan Giri), Mbah Hasyim Asy’ari (Dzurriyah Syarif Muhammad Kebungsuan Azmatkhan) dan masih banyak lagi lainnya yang namanya kini telah tercatat dalam sebuah kitab nasab yang bernama Al-Mausuuah Li Ansabi Al Imam Al-Husaini yang disusun Oleh As-Syekh As-Sayyid Bahruddin bin Sayyid Abdurrozaq Azmatkhan Al-Husaini.
Secara umum ajaran yang dikembangkan oleh Walisongo dan Demak tetap mengacu prinsip “Rahmatan Lil Alamin”. Konsep ini kemudian juga mengacu pada Surat Annahl Ayat 125 yang berbunyi : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”
Sedangkan Secara rinci ada lima strategi dakwah yang dilakukan oleh Walisongo dalam mengemban misi Islam yaitu :
- Penyebaran ulama ke daerah-daerah yang menjadi bawahan Majapahit.
- Sistem dakwah dilakukan dengan cara pengenalan ajaran islam melalui pendekatan persuasif yang berorientasikan penanaman aqidah Islam yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada.
- Melakukan perang idiologi untuk memberantas etos dan nilai-nilai dogmatis yang bertentangan dengan nilai-nilai aqidah Islam dimana peran ulama harus menciptakan mitos dan nilai-nilai tandingan baru yang sesuai dengan Islam.
- Melakukan pendekatan terhadap para tokoh yang dianggap mempunyai pengaruh di suatu tempat dan berusaha menghindarkan konflik.
- Berusaha menguasai kebutuhan kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, baik kebutuhan yang bersifat materi maupun spritual.
Dari ayat inilah peran Majelis Dakwah Walisongo lebih terasa pada masa itu, terutama ketika mereka mampu menanamkan nilai-nilai pribadinya sebagai uswah bagi masyarakat seperti misalnya :
- Mempunyai sifat Mahabbah/Kasih Sayang.
- Menghindari pujian karena pujian hanya milik Allah
- Selalu risau dan sedih bila melihat kemaksiatan
- Semangat berkorban harta dan jiwa
- Selalu memperbaiki diri
- Mencari Ridho Allah SWT
- Selalu istigfar setelah melakukan kebaikan
- Sabar menjalani kesulitan
- Memupukkan semua kejagaan hanya kepada Allah SWT
- Tidak putus asa dalam menghadapi ketidak berhasilan usaha
- Istiqomah seperti unta
- Tawadhu seperti bum
- Tegar seperti gunung
- Pandangan luas dan tinggi menyeluruh seperti langit
- Berputar terus seperti matahari sehingga memberikan kepada semua mahluk tannpa minta bayaran
Dari ayat annahl 125 kemudian diaplikasikan dengan 15 hal diatas ini, inilah jejak dan langkah Majelis Dakwah Walisongo dalam menyebarkan Islam yang Rahmatan lil alamin yang bersendikan ajaran leluhur mereka yaitu ajaran “Ahlusunnah Wal Jama’ah” dengan khasnya tersendiri, hingga kemudian memunculkan wajah Islam yang dikenal ramah dan damai dimata beberapa negara lain yaitu “Islam Nusantara”, dan itu adalah berkat jasa Majelis Dakwah Walisongo dan Kesultanan Islam Demak.
Sumber :
Syaifullah, Ajaran Dan Amalan Walisongo, Yogyakarta : Interpree Book, Cet 1, 2010.
Iwan Mahmud Al Fattah, Raden Fattah, Sang Patriot Revolusioner (Pendiri Kesultanan Islam Pertama di Pulau Jawa), Jakarta : Ikrafa-Madawis, 2015.
Nur Amin Fattah, Metode Dakwah Walisongo, Pekalongan : CV Bahagia, cet ke 6, 1997. As-Syekh Sayyid Bahruddin Azmatkhan Al-HJusaini, Al-Mausuuah Li Ansabi Al-Imam Al-Husaini, Jakarta : Madawis, 2015.
Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan, The Return Of Dinar Dirham, Jakarta : Madawis, 2014.
Profil Penulis :
Anggota Majelis Ilmu Al Mujahidin Jalan Kimia & Raudatul Fattah Matraman 1988 - 1993
Anggota Perguruan Jamiah Nurul Hikmah Jakarta 1989 – 1993
Santri Madrasah Diniyah Tsaqofah Islamiah Bukit Duri Jakarta Selatan (Sayyid Abdurrahman Assegaf) 1991 – 1994
Remaja Masjid Jami’ Matraman Dalam Jakarta Pusat 1991 -1993
Mengikuti Pendidikan Kader Dakwah GP Anshor Jakarta 1991
Aktifis HMI MPO 1993 – 1995
Anggota Laskar Muda Pecinta Alam (Lampea) 1994 s/d sekarang
Aktifis Resimen Mahasiswa Attahiriah 1993 – 1995
Anggota Seni Bela Diri Prana Shakti Jayakarta 1995
Anggota IKPA YBSJ (Bea Siswa Pemda DKI) 1995 – 1998
Pendiri Pencinta Alam Girindra IKPA 1997
Kader Konservasi Alam Dan Lingkungan 1995 – 1998
Kader Penyuluh Pariwisata Bagi Pecinta Lingkungan 1996
Kader Konservasi Laut (Pendidikan Kelautan TNI AL di Makasar) 1997
Aktivis pada Organ Kemahasiswaan FKSMJ (Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Se Jakarta) 1998 – 1999
Meraih gelar S 1 PAI di Universitas Islam Attahiriah Jakarta 1999
Anggota Perhimpunan Penempuh Rimba Dan Pendaki Gunung Wanadri 2001 s/d sekarang
Angota Korps Suka Rela PMI Jakarta Selatan 2002 s/d sekarang
Guru SMA Global Islamic School Jakarta 2005 s/d sekarang
Pengurus Masjid Azzahra Condet Jakarta 2007 – 2009
Pendiri dan Pembina Gloics Adventure Team SMA GIS 2007
Anggota IGI (Ikatan Guru Indonesia) 2009
Anggota MGBK Jakarta Timur 2009
Jamiah Zikir Manaqib Syekh Abdul Qodir Jaelani Jalan Talang Jakarta 2010
Meraih Magister S2 Psikologi tahun 2009 di UPI YAI Jakarta
Ketua Ikatan Keturunan Raden Fattah (Ikrafa) 2011 s/d sekarang
Ketua Majelis Dakwah Walisongo Indonesia 2012 s/d sekarang