Tulisan ini adalah salah satu sesi sejarah dari tokoh-tokoh Condet yang pernah saya datangi makamnya. Masih ada lagi kisah-kisah lainnya (tunggu tanggal mainnya).
Bagi mereka yang ingin mengambil foto hasil bidikan saya, silahken saja...saya ikhlas sing penting bagi-bagi sama yang lain buat dakwah sejarah.
Dalam perjalanan kali ini saya hanya melakukan sendiri saja mengingat istri yang biasa menemani dalam setiap perjalanan wisata sejarah sedang sakit. Perjalanan kali ini saya lakukan minggu lalu tepatnya pada hari Sabtu tanggal 15 Juli 2016.
Pangeran Astawana, adalah salah satu nama kebangsawanan yang muncul di Timur Jakarta khususnya wilayah Condet Kelurahan Bale Kambang. Condet sendiri sejak dulu terkenal sebagai daerah yang kaya akan data-data sejarah. Mengenai Pangeran Astawana sendiri, mungkin bagi sebagian masyarakat Betawi, dengan adanya gelar yang disandang beliau tersebut terasa agak asing mengingat masyarakat Betawi terkenal akan egaliternya, namun demikian secara fakta, di Jakarta banyak juga tokoh-tokoh yang bergelar bangsawan yang berasal dari berbagai daerah. Salah satunya adalah Pangeran Astawana ini. Gelar Pangeran jelas menunjukan siapa dirinya termasuk nanti orangtuanya.
Nama Pangeran Astawana sendiri, bisa berarti macam-macam yang diantaranya :
1. Astawana mungkin berasal dari kata sansekerta ASTANA yang berarti TEMPAT BERSEMAYAMNYA RAJA DAN KERABATNYA.
2, Astawana berasal dari kata Istana yaitu tempat bermukimnya para Raja.
3. Asta berarti DELAPAN sedangkan WANA Berarti Hutan/Rimba
Seperti kebiasaan tokoh pada masa lalu, biasanya mereka ini lebih senang menggunakan nama-nama laqob yang bersifat kedaerahan, hal ini mungkin saja untuk mempermudah asimilasi mereka dengan masyarakat setempat.
Ketiga pendapat ini menurut saya mempunyai keterkaitan. Makam tempat beliau ini kemungkinan besar memang tempat bersemayam keluarga besar. Dahulunya bisa saja ditempat tersebut pernah berdiri sebuah "istana" atau Kraton yang menjadi pusat pemerintahan Pangeran Astawana dan berada di sekitar Hutan (Rimba) yang berada di kawasan Condet.
Bukanlah sebuah hal yang aneh jika "istana" yang berdiri itu berada di tepian sungai Ciliwung karena ditepian sungai inilah telah banyak muncul peradaban. Dan jangan kita bayangkan kalau bentuk "istana" yang berdiri itu seperti Istana negara yang gemerlap dan kuat. Sangat mungkin bentuk bangunan yang berdiri masih merupakan kayu. Sudah bisa ditebak karena terbuat dari kayu akhirnya lapuk dan musnah, yang ada adalah tinggal kenangan berupa makam milik Pangeran Astawana. Saya sendiri ketika melihat kontur tanah makam Pangeran Astawana memang merasakan jika tempat tersebut cukup strategis untuk dijadikan sebagai pusat pemerintahan pada masa lalu.
Bagi masyarakat Condet nama Pangeran Astawana cukup dikenal sebagai tokoh besar pada masa lalu. Mereka yang asli keturunan Condet tentu sedikit banyak mengetahui sejarah dan riwayat beliau ini. Kebanyakan cerita yang beredar menceritakan bagaimana seorang Pangeran Astawana berhasil mempersunting seorang gadis yang bernama Maemunah yang mempunyai ayah bernama Pangeran Codet (Pangeran Joned bin Pangeran Diponegorokah yang dimaksud ?). Cerita rakyat setempat mengatakan dengan kesaktiannya Pangeran Astawana mampu mewujudkan keinginan maemunah hanya dalam satu hari saja, padahal permintaan tersebut sangat sulit untuk dikerjakan dalam satu hari.
Keberadaan makam Pangeran Astawana yang sudah lama ada ini telah menunjukkan bahwa di Condet telah lebih awal didatangi para pribumi Nusantara sebelum etnis-etnis lain seperti Arab, dll, Artinya keberadaan penduduk Condet selanjutnya beranak pinak dan menetap selama ratusan tahun. Beberapa keturunan para pendahulu yang datang ke Condet tersebut sampai saat ini mereka itu masih ada, dan sebagian mereka masih memelihara makam-makam para leluhurnya.
Di dalam riwayat tutur yang pernah kami dengar langsung dari beberapa orangtua Condet yang tinggal di jalan Datuk Ibrahim seperti Almarhum Haji Musa dan juga Ustadz Syarbini (keturunan Datuk Ji'in) yang berasal dari Gang Munggang Rawa Elok Mushola Baiturrohmah, Pangeran Astawana ini adalah putra Datuk Tonggara yang merupakan Waliyullah dari Makasar yang dimakamkan di Belakang Kecamatan Kramat Jati (Lewat dari jalan Raya Bogor).
Menilik tentang sejarah tokoh yang satu ini, harus saya akui memang tidak sedetail tokoh-tokoh yang pernah saya napak tilasi. Namun kalau dihubungkan dengan keberadaan Datuk Tonggara maka sedikit banyak kita bisa mengetahui tentang beliau ini. Terus terang saya sendiri merasa malu apabila tidak bisa memahami sejarah Condet mengingat selama 11 tahun bekerja di daerah ini.
Dalam beberapa riwayat yang pernah juga saya baca bahwa ayah Pangeran Astawana yaitu Datuk Tonggara ketika masuk Jakarta (Jayakarta) itu ternyata satu masa atau satu perjuangan dengan Datuk Ibrahim. Kedatangan mereka ke Jayakarta dalam rangka dakwah Islamiah dan membantu perjuangan Mujahidin Jayakarta dalam menghadapi VOC.
Mungkin yang harus kita cermati pada masa siapakah sebenarnya mereka hidup ini ? Khususnya pada saat mereka datang ke Jayakarta.
Jika berdasarkan literatur yang pernah saya pelajari, Jayakarta "kebanjiran" para ulama pada saat pergolakan dan peperangan antara Sultan Ageng Tirtayasa Banten dengan VOC. Sebagaimana yang saya ketahui beberapa anak Sultan Ageng yaitu Pangeran Soegiri dan Pangeran Sake telah masuk Jayakarta untuk melakukan perlawanan di Front Timur Jayakarta. Sebagai sebuah Kesultanan Besar, Banten jelas mempunyai jaringan dengan Kesultanan Nusantara, ini dibuktikan dengan datangnya Syekh Yusuf dan juga Datuk Tonggara. Perlu juga diketahui, sekalipun Jayakarta dikuasai VOC, tapi itu cuma berlaku di benteng Batavia (sekitar Museum Jakarta ), sedangkan wilayah di luar benteng masih terus terjadi perlawanan para pejuang Jayakarta dengan di dukung penuh Kesultanan Banten. Banten pada masa itu merupakan wilayah yang menjadi saudara seperjuangan dengan Jayakarta.
Pada masa itu daerah-daerah pergolakan banyak terjadi di Front Timur dan Front Barat, sedangkan Front Selatan Jakarta sebagai penutup jalur apabila ada yang masuk dari fihak musuh. Jadi dapatlah diambil kesimpulan gelombang kedatangan para Mujahid secara besar-besaran khususnya wilayah timur Jayakarta seperti daerah Condet ini terjadi pada tahun 1700an, apakah itu awal atau pertengahan tahun-tahun tersebut.
Berdasarkan kajian ilmu nasab sendiri, Datuk Tonggara yang merupakan ayah Pangeran Astawana hidup sezaman denqan Datuk Ibrahim dan Datuk Ibrahim berdasarkan catatan nasab yang saya miliki adalah keturunan Maulana Malik Ibrahim. Jika dihitung dari nasabnya Rasulullah SAW, Datuk Ibrahim berada di generasi 30 dan itu sezaman dengan Pangeran Sogiri dan Pangeran Sake anak dari Sultan Ageng Tirtayasa yang hidup di tahun-tahun akhir 1600an s/d pertengahan tahun 1700an. Adapun nasab Pangeran Soegiri dan Pangeran Sake juga berada di generasi 30, sehingga dapatlah diambil sebuah hipotesis bahwa Pangeran Astawana ini hidup pada awal atau pertengahan akhir tahun 1700an Masehi bersamaan dengan banyak munculnya perlawanan mujahid Jayakarta melawan VOC. Namun demikian pada beberapa tulisan ada juga yang menulis kalau Pangeran Astawana hidup pada tahun-tahun 1860 M.
Namun bila melihat keterangan lain, menurut saya Pangeran Astawana memang merupakan salah satu Mujahid Jayakarta dari Front Wilayah Condet. Dalam catatan kitab Al-Fatawi di Condet dahulunya merupakan basisnya para pejuang Jayakarta dibawah komando Aria Wiratanudatar yang kemudian hijrah ke Cianiur menjadi Adipati Pertama. Dari catatan kitab Al-Fatawi sudah menunjukkan kalau Condet ini bukanlah daerah sembarangan, apalagi daerah ini merupakan jalur transportasi yang sangat strategis untuk menghubungkan Pajajaran dan Sunda Kelapa khususnya pada abad 14 dan 15 Masehi. Jadi kalau di Condet berkumpul banyak Mujahid dari berbagai daerau seperti Padang, Banten, Sunda, Makasar, dll, itu adalah hal yang wajar termasuk Pangeran Astawana ini. Uniknya di Condet nanti para Mujahid itu banyak di gelari dengan panggilan Datuk. Ini menunjukkan jika mereka itu bukanlah tokoh-tokoh sembarangan dan juga gelar-gelar lain seperti Raden atau Pangeran (walaupun pada awal awal abad 20 kebiasaan tersebut mulai tergantikan dengan nama dan gelar biasa).
Gelar Datuk sendiri jika saya lihat dari Arsip masjid Al Atiq Kampung Melayu Jakarta Selatan merupakan ketua masjid yang pastinya mereka itu juga ahli agama, Datuk banyak muncul di Jakarta pada abad ke 17, dan mereka yang bergelar seperti itu menurut Abuya KH Rusdi Ali dari Kampung Melayu, menandakan jika mereka itu merupakan ulama-ulama yang ilmunya tinggi.
Sudah tentu karena Pangeran Astawana anak dari seorang Waliyullah, tetesan darah ayahnya sangat berpengaruh, apalagi di dekat makam beliau juga terdapat makam penasehatnya yang merupakan ulama plus juga pejuang...(nanti ada tulisan tersendiri mengenai mereka)