Bagi yang tidak terbiasa dengan dunia ilmu nasab dan ilmu silsilah perdebatan demi perdebatan mungkin akan membuat mereka jenuh bahkan jengkel karena seringnya kedua fihak saling serang, dan ini sudah menjadi pemandangan sehari hari terjadi di dunia medsos sejak tahub 2010 sampai hari ini. Di fihak lain sebenarnya ada juga fihak fihak yang memberikan nasehat hakekat dari ilmu nasab, namun nampaknya hal tersebut belum efektif.
Perdebatan, diskusi bahkan sampai intimidasi terus berlangsung dan menyebabkan beberapa fihak mendirikan organisasi atau lembaga nasab masing-masing dikarenakan lembaga nasab yang ada dianggap masih belum menampung aspirasi beberapa fihak. Betapapun demikian hal tersebut ternyata juga belum selesai begitu saja, gesekan-demi gesekan tetap terjadi baik itu di medsos maupun di lapangan. Beberapa kyai dan habaib bahkan ikut turun tangan berusaha menangani dan menyelesaikan hal tersebut, namun kisruh nasab ternyata masih terus berlangsung, puncaknya adalah ketika terbitnya tulisan Kyai Imaduddin Usman yang membahas tentang Imam Ubaidillah yang menurut penelitian ilmiahnya tidak ada namanya sebagai putra Imam Ahmad Al Muhajir (yang secara tidak langsung itu berarti semua nasab kesultanan ahlul bait nusantara tidak ada), disusul pula Gus Fuad Plered yang bersikap keras dengan kata² frontal yang “menyerang” habaib karena mungkin dia kesal karena mendapatkan informasi demi informasi yang mungkin telah mendeskreditkan Walisongo dan keturunannya . Tentu saja hal-hal tersebut mendapat tanggapan, maka muncullah pendapat HRS dan Habib Bahar yang mengutif kitab rujukan mereka, yang oleh sebagian fihak tentu akan diikuti mengingat mereka dianggap sebagai tokoh penting Alawiyyin. Namun sudah selesaikah hal tersebut ? Belum ! karena lagi-lagi di berbagai grup, hal tersebut justru menjadi ramai apalagi sekarang menjadi viral di sosial media. Fihak zuriah kesultanan dan zuriah Wali Songo tentunya juga tidak akan menerima hujjah yang mengatakan nasab mereka palsu atau terputus. Saya pun akhirnya beberapa minggu ini dihujani berbagai pertanyaan dan keluh kesah dari beberapa sahabat yang nasabnya berasal dari kesultanan dan wali songo.
Bila diamati, sebenarnya hal ini sudah berlangsung hampir 13 tahun yang lalu, dimana dulu saya juga ada disana, hanya saja saya lebih memilih mengamati dan menganalisis. Kalaupun sekarang ramai dan meledak kasusnya, karena ada beberapa fihak yang sengaja terus menerus mengangkatnya di media sosial, seolah kalau tidak mengangkat hal tersebut menjadi tidak rame, sampai akhirnya ada saja yang berkata, nasab lagi nasab lagi ! Ruwet amat sih hidupmu ! Pikirin nasib ente ! Pada akhirnya banyak juga yang lebih memilih diam dan keluar dari adanya perdebatan nasab.
Saya dulu pernah berkata kepada beberapa sahabat, “kasus-kasus kayak begini suatu saat akan jadi bom waktu selama masih ada orang-orang yang senang mengadu domba", dan ternyata benar ! Meledaklah kasus demi kasus ! Entah apakah ini karena faktor politik karena pilpres beberapa bulan lagi. Saya sendiri dalam kondisi seperti itu lebih senang mengumpulkan data demi data daripada debat kusir ataupun saling menjatuhkan, karena menurut saya itu tidak efektif karena justru hanya menimbulkan perpecahan sesama Islam. Beberapa sahabat pernah mengabarkan kalau nama saya dan beberapa orang dekat saya juga ikut diseret-seret bahkan sampai hari ini, namun demikian saya lebih memilih konsen pada riset dan penulisan, karena menurut saya warisan terbaik para leluhur saya adalah “ilmu” bukan ashobiyah berdasarkan kesukuan ataupun keturunan. Kalaupun nama saya diseret-seret saya lebih memilih mendoakan mereka agar Allah SWT melembutkan hatinya.
Pada fihak-fihak yang mengatakan bahwa Walisongo tidak punya keturunan alias terputus berpatokan pada kitab pegangan mereka (Syamsu Zhohiroh) yang dimana dalam kitab tersebut, keturunan Walisongo memang tidak ditulis secara terperinci, kitab tersebut hanya menulis putra-putri Wali Songo pada masanya yaitu, abad ke 15 dan 16. Sampai pada abad 19 kitab tersebut hanya menulis 2 generasi saja. Saat kedatangan Sayyid Abdurrahman bin Muhammad Al-Mashyur yang kemudian dilanjutkan oleh Al Habib Ali bin Jakfar Assegaf, selain itu buku pegangan yang lain seperti Khidmatul Asyiroh yang merupakan ringkasan kitab Syamsu Zhohiroh oleh Al-Habib Ahmad bin Abdullah Assegaf yang juga merupakan sejarawan Alawiyyin. Karena hanya ditulis antara ayah dan anak saja, akhirnya ada yang berani menyimpulkan jika keturunan Wali Songo itu terputus, bahkan ada yang berani mengatakan “punah”, sebuah kata yang tidak layak untuk dilontarkan.
Pertanyaan selanjutnya, apakah dengan tidak tercantumnya nasab keturunan Walisongo di kitab tersebut, dengan serta merta nasab Wali Songo terputus ? bahkan dikatakan “punah” karena dari jalur perempuan ?
Untuk mengatakan keturunan Wali Songo terputus atau tidak kita harus berhati-hati sekali, karena ini menyangkut keturunan Rasulullah SAW. Secara nasab Walisongo adalah keturunan dari Al-Imam Abdul Malik Al-Azmatkhan bin Alwi Ammul Faqih yang lahir di Tarim dan wafat di Naserabad India (sebagian ada yang mengatakan di Haydarabad). Al Imam Abdul Malik adalah salah satu tokoh utama yang hijrah ke India untuk berdakwah, gelar Al-Azmatkhan adalah gelar yang tinggi karena diberikan oleh fihak Kerajaan Islam India pada waktu itu. Al-Azmatkhan artinya adalah “Bangsawan Yang Mulia” karena nasab beliau bersambung kepada Rasulullah SAW, dari beliau kemudian lahir Sayyid Abdullah Amirkhan, kemudian Sayyid Abdullah mempunyai anak bernama Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin. Diantara sekian banyak anak Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin, terdapat nama Sayyid Husein Jamaluddin atau Syekh Maulana Akbar, atau Syekh Jumadil Kubro yang hijrah ke Nusantara. Anak keturunan Sayyid Husein Jamaluddin inilah yang nanti banyak disebut keturunan Walisongo.
Nama Al-Azmatkhan inilah yang sekarang banyak diributkan, karena terdengar aneh oleh sebagian orang, bahkan nama ini dijadikan olok-olok bahkan penghinaan seolah orang yang memakai gelar ini ingin menjadi orang India padahal nama depannya bernuansa Nusantara. “Aneh sekali ada nama Jawa, nama Sunda, nama Palembang tapi belakanganya ada nama India, apakah ingin menjadi seperti Syah Rukh Khan ?”, itu kata-kata yang sering saya baca di medsos dan saya dengar dalam obrolan dengan beberapa orang yang sinis kepada laqob tersebut. Tidak itu saja, nama Wali Songo bahkan sering diplesetkan menjadi WALI SONGONG yang dinisbatkan kepada orang lain yang moralnya rendah, padahal kalau dia tahu arti kata WALI dia tentu tidak akan berani menghina. Tidaklah heran jika sekarang banyak yang trauma ketika nama gelar Al Azmatkhan itu disandingkan pada dirinya padahal dia memang zuriah walisongo, bahkan ada yang hanya memakai Al Khan (padahal itu jauh berbeda dengan makna nama Al Azmatkhan).
Jika mau jernih penisbatan gelar Al-Azmatkhan pada zuriah wali songo itu tujuannya adalah untuk mengambil suri tauladan dan keberkahan pada leluhur terdahulu bukan untuk petantang petenteng atau pamer gelar nasab, karena itu bukanlah ajaran Wali Songo, semua murni demi untuk ambil barokah leluhur. Kalaupun ada prilaku yang tidak benar bukanlah salah gelarnya tapi itu salah orangnya yang tidak bisa memahami apa arti laqob yang dia sandang. Kebetulan saja gelar Al Azmatkhan ini muncul di India, justru seharusnya kita wajib bersyukur, dengan adanya gelar yang disandang Al Imam Abdul Malik Al Azmatkhan, benang merah sejarah dan nasab antara India dan nusantara jadi tersambung dan terpapar dengan jelas. Sejarawan akan menjadi faham kenapa penyebaran Islam di Nusantara sering dikaitkan dengan INDIA, karena MELALUI JALUR TRANSIT INDIA inilah Islam menyebar ke Asia Tenggara termasuk Indonesia, dan inilah jawaban akan adanya TEORI INDIA tentang masuknya agama Islam di Indonesia. Menghina gelar ini, sama saja menghina Al-Imam Abdul Malik Al Azmatkhan bin Alwi Ammul Faqih sebagai pemilik laqob tersebut. Perlu diketahui, selain sebagai pemimpin, ulama, beliau adalah seorang waliyullah sama seperti ayahnya. Ayahnya adalah pamanda dari Al Faqihil Muqaddam (Assayyid Muhammad bin Ali Baalawi Al Husaini).
Kenapa keturunan Walisongo tidak ditulis dalam kitab Syamsu Zhohiroh ?
Perlu diketahui, bahwa keberadaan penulis kitab tersebut lebih banyak pendataannya pada wilayah dimana beliau tinggal yaitu wilayah Yaman dan sekitarnya yang memang secara geografis sangat mudah melakukan pendataan karena lebih banyak daratan dan jarak tempuhnya masih bisa dijangkau, kalaupun kemudian beliau datang ke nusantara, tentu beliau akan lebih fokus pendataan tentu kepada Habaib yang telah datang pada era tahun 1800an dan 1900an di Nusantara. Pendataan nasab pada masa lalu jangan dianggap mudah, karena memerlukan biaya dan waktu, dan itu sifatnya mandiri, seperti yang dilakukan oleh Habib Ali bin Jakfar Assegaf. Jangan bandingkan dengan kondisi sekarang yang sudah serba mudah baik secara fasilitas maupun data-data, semua bisa diakses melalui internet. Jadi tentu apa yang didata beliau masih bersifat sementara dan tentunya fokus pada garis keturunan Habaib yang datang belakangan, mengingat jumlahnya sangat besar yang tersebar di beberapa daerah seperti Palembang, Pontianak, Aceh, Jakarta, Pekalongan, Surabaya, Cirebon, Lombok, Bima, ddl. Seperti yang pernah diteliti oleh Van Der Berg, era abad ke 18 dan 19 puncak kedatangan Alawiyyin yang langsung dari Hadramaut setelah terbukanya terusan suez. Kondisi nusantara dalam hal ini berbeda, selain berbentuk kepulauan yang dipisahkan laut, pendataan nasab dilakukan pada keluarga masing-masing. Faktor lain, pendataan nasab keluarga Wali Songo itu sangat berhati-hati, karena bila jatuh ke tangan penjajah, maka akan habis diburu, karena kebanyakan zuriah Wali Songo banyak penentang keras rezim penjajah, bagi mereka yang lebih memilih jalur politik, mungkin kondisinya lebih aman, tapi fihak yang keras terhadap penjajah akan lain nasibnya. Hal ini pernah terjadi pada kesultanan palembang, dimana anak kerabat Sultan Mahmud Badaruddin, dibunuh, dicari-cari dan diasingkan. Peristiwa tragis bahkan pernah terjadi pada keluarga Giri Kedaton, dimana pada pemerintahan terakhir keluarga mereka dibantai. Pada keluarga Kesultanan Banten khususnya Syekh Nawawi Banten bahkan diburu penjajah sampai ke Mekkah, sampai-sampai mereka harus mengutus Snouck Hurgronye, Kesultanan Cirebon bahkan salah satu Sultannya pernah diasingkan Penjajah karena sikap kerasnya terhadap penjajahan.
Bila demikian, bagaimana dan dimana keberadaan Zuriah Walisongo jika memang tidak terputus ?
Benarkah Zuriah Walisongo berasal dari perempuan ?
Seperti yang sudah saya tulis diatas, sebenarnya untuk menjawab hal ini sangat mudah…
Nusantara dahulu banyak terdapat kesultanan-kesultanan yang didirikan oleh Ahlul Bait keturunan Nabi. Ditangan mereka dan ulama-ulama kesultanan, nasab Wali Songo terjaga dengan baik. Catatan yang rapih bisa ditemukan pada Zuriah Kesultanan Palembang, Banten, Cirebon dan Giri Kedaton. Ini baru 4 Kesultanan, belum lagi kesultanan-kesultanan lain dan ulama-ulama keturunan Walisongo. Untuk melakukan pemeliharaan nasab tersebut, tentu tidak semua orang bisa mengembannya. Artinya ada fihak-fihak yang diamanatkan, sehingga tidak mengherankan jika ditangan orang-orang tersebut nasab Wali Songo terjaga dengan baik dari campur tangan penjajah dan juga adanya pemalsuan. Sehingga jika ada fihak-fihak memalsukan ataupun mencangkok nasab milik mereka cepat atau lambar akan bisa terdeteksi, lagipula sampai kiamat yang yang namanya darah nasab itu tidak akan pernah tertukar. Yakinlah mereka yang berani memalsukan nasab, pasti akan ketahuan.
Bagaimana dengan pendapat Wali Songo yang katanya berasal dari jalur perempuan ?
Istilah populer untuk mengatakan ini adalah “Wali Songo itu Ahwal”. Untuk meyatakan Wali Songo itu jalur perempuan atau tidak ya sudah tentu anda harus belajar garis keturunan Wali Songo. Pendapat yang mengatakan Wali Songo berasal dari jalur perempuan adalah salah kaprah, karena setiap Wali Songo putranya itu banyak, itu baru satu jalur, bagaimana pula dengan jalur yang lain ? contoh saja kesultanan Palembang dan Banten, itu beberapa sultannya saja ada anaknya 58 dan 60an bagaimana bisa dikatakan jalur perempuan ? Dari era Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, Sunan Kudus, dll keturunannya sambung menyambung tanpa terputus dan banyak yang menjadi ulama besar di nusantara. Saya faham kenapa pendapat ini muncul, itu mungkin karena ada beberapa zuriah walisongo dalam “silsilahnya” ada yang menyambungkan nama perempuan keatasnya sebagai nasab, padahal hak seperti itu hanya dimiliki dua wanita yaitu Sayyidah Maryam binti Imran dan Sayyidah Fatimah Azzahra. Tapi saya juga tidak bisa menyalahkan, karena hal tersebut biasanya hanya bertujuan untuk menyambung silaturahim agar tali kekerabatan tidak terputus. Makanya kami dahulu pernah diajarkan ayah dan guru kami, agar bisa membedakan antara silsilah dan nasab agar tidak tertukar tukar antara mana silsilah mana nasab. Kalau saya menyebutnya itu adalah tautan nasab. Kita juga perlu tahu orang Indonesia itu sangat cinta sekali akan silaturahim, begitu mereka tahu kalau ada kekerabatan sedikit saja walaupun dari jalur perempuan, maka mereka akan menariknya untuk menjadi bagian keluarga besar baik baik dalam bentuk paguyuban ataupun trah, apalagi jika ayah atau kerabat perempuan itu ulama besar atau keluarga besar. Di Banten, Palembang, Cirebon, Demak, Giri, Kadilangu, Kudus, Ampel, Madura, Borneo, Ternate, Mataram, dll, itu kalau mereka tahu ada orang yang masih punya ikatan kekerabatan, walaupun sekecil apapun, mereka akan senang dan berbahagia. Inilah salah satu keunikan garis keturunan Wali Songo yang ada di Nusantara..
Seperti keturunan Rasulullah SAW yang lain, keluarga Wali Songo sangat menjaga betul garis keturunannya, sehingga setelah era Walisongo tertua seperti Maulana Ibrahim Asmorokondi, Maulana Ali Nurul Alam, Syekh Yusuf Siddiq, Maulana ishaq, dll, perjalanan nasab masih terus berlanjut di era Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Derajat, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati dan Sunan-Sunan lain. Setelah era beliau-beliau ini terbentuklah beberapa kesultanan. Untuk membentuk sebuah kesultanan atau memilih Sultan tentu tidak sembarangan, dan biasanya faktor nasab adalah penentu kuat. Boleh dicek dan ditanyakan kepada keturunan yang sekarang bagaimana ketika leluhur mereka menjadi Sultan. Jadi untuk menjadi seorang Sultan tidaklah main-main, selain faktor nasab, juga faktor keilmuwan, akhlak dan kebijaksanaan. Melalui penjagaan nasab oleh fihak-fihak kesultanan dan juga ulama keturunan walisongo inilah, nasab keluarga besar mereka terjaga dengan baik.
Sebagai gambaran saja, beberapa profil keturunan Walisongo terdapatlah nama Syekh Nawawi Al Bantani (Ulama besar dunia dari banten), Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan (Ulama Besar Madura, Guru para ulama nusantara), Masagus H.Abdul Hamid (Kyai Marogan Palembang), Syekh Kemas Azhari Palembang, KH Tubagus Muhammad Falak, KH Hasyim Asyari, KH Ahmad Dahlan, KH Abbas Buntet, KH As’ad Syamsul Arifin, Sultan Mahmud Badaruddin, Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan-Sultan Cirebon. Mereka adalah Ulama Besar Karismatik dan Sultan Sultan perwakilan dari ulama-ulama dan tokoh-tokoh besar bangsa bahwa sesungguhnya nasab Wali Songo tidak terputus. Nama-nama tersebut bahkan mempunyai hubungan yang baik dengan para habaib pada masa lalu. Beberapa fihak sebenarnya sudah banyak menulis tentang Wali Songo dan Garis Keturunannya seperti misalnya KH Abdullah bin Nuh (ulama besar dunia), HMH Al Hamid Al Husaini (penulis buku Ahlul Bait, KH Bisri Mustofa, Syekh Abu Fadhol Senori, dll.
Kalau kita mau jujur justru antara Sayyid Abdurrahman Al Mahyur dan Para Kyai-kyai penulis buku sejarah dan nasab Wali Songo justru telah saling melengkapi. Jika Sayyid Abdurrahman Al Mahsyur menulis keatas nasab Walisongo secara detail dan rapih, sedangkan ulama nusantara melengkapinya terhadap keturunan Wali Songo ke bawah, karena harus diakui beberapa tulisan kyai keatasnya masih ada beberapa nama tidak tercantum diatas khususnya dari Imam Abdul Malik ke atas. Namun apakah beberapa kyai itu salah, belum tentu ! terkadang penulisan tersebut terjadi karena data nasab keatas pada masa lalu masih terbatas. Kertas dan tinta pada masa lalu barang mahal, sehingga sebagian meriwayatkan nasab melalui riwayat. Namun secara garis besar, semua kyai mutlak menulis nasab Wali Songo adalah Zuriah Rasulullah SAW. Adanya kitab Syamsu Zhohiroh dan kitab-kitab tulisan atau manuskrip dari zuriah Wali Songo justru merupakan bukti otentik jika keturunan Rasulullah terpelihara dengan baik di Nusantara, sekalipun fihak Yaman Hadramaut kehilangan kontak dengan keturunan Imam Abdul Malik Al Azmatkhan, namun Allah telah menjaga keturunannya melalui jalur Wali Songo yang telah berakulturasi dengan kehidupan masyarakat pribumi, sehingga banyak dari mereka yang sekarang wajahnya sudah tidak mencerminkan kearaban sebagaimana keturunan Nabi lain yang berasal dari Arab yang penampilan fisiknya layaknya seperti orang Arab, belum lagi cara dan kehidupan yang tentu sudah jauh berbeda. Namun tidak sedikit pula kami temukan ada yang berwajah Arab seperti yang pernah kami temui pada beberapa zuriah kesultanan.
Hikmah dari adanya tentang garis keturunan Rasulullah SAW ini yang ada di Indonesia , berhati-hatilah jika kita ingin mengatakan sesuatu tanpa dasar data dan fakta. Jangan gegabah mengatakan sesuatu jika kita tidak menguasainya, jangan membuat statement jika kita belum melalukan riset dan tabayyun kepada fihak fihak terkait…Zuriah Nabi jumlahnya berjumlah jutaan dan tersebar di berbagai wilayah dunia, tentu secara perawakan fisik akan terjadi banyak perubahan, Zuriah Nabi juga banyak jalurnya, mulai dari keturunan Al Hasani dan Al Husaini… bisakah terbayangkah berapa banyak nasab keturunan wali songo dianggap lenyap karena dikatakan terputus, dan itu secara tidak langsung telah menuduh bahwa leluhur keturunan sekarang adalah pembohong, bahkan lebih tragisnya banyak pernikahannya dianggap batil karena keturunan Wali Songo sekarang dianggap terputus. Inna lillahi wa innailahi rojiun…
Jangan sampai mengulang sejarah yang telah berlalu, dimana Imam Ahmad Al Muhajir sampai mengutus orangnya untuk mendapatkan kesaksian nasabnya karena di Hadramaut masih saja ada orang yang meragukan nasab beliau.
Ingatlah dulu bagaimana ketika Rasulullah SAW dikatakan nasabnya terputus karena kematian anak laki-lakinya dan yang tersisa tinggal anak perempuannya, goncang hati dan perasaan Rasulullah SAW, bayangkan bagaimana pedihnya hati beliau. Apalagi anak laki-laki dalam tradisi Arab adalah pelanjut nasab dan menjadi sebuah kemuliaan untuk sebuah garis keturunan, maka Allah kemudian turunkan Surat Al Kautsar untuk mereka yang menghinanya. Dan sejarah mencatat, semua yang pernah menghina Nabi dengan mengatakan nasabnya terputus, tidak ada satupun nasabnya yang berlanjut…apakah kita tidak belajar dari sejarah ini ?
Zuriah Nabi yang sesungguhnya adalah mewariskan Akhlak, Akidah dan Darah Rasuluillah SAW….
Wallahu A’lam Bisshowwab…
Alfatehah Ila Ruhi Al Imam Abdul Malik Al Azmatkhan bin Al Imam Alwi Ammul Faqih.....