Senin, 28 Oktober 2024

Kronologis Jatuhnya Sunda Kelapa Dari Beberapa Sumber

 

Dalam beberapa catatan sejarah Fatahillah sukses menguasai Sunda Kelapa dan kemudian berhasil menahan laju Portugis yang datang untuk mendirikan benteng setelah mereka melakukan perjanjian dengan Kerajaan Pajajaran. Perjanjian antara Kerajaan Pajajaran dengan Kerajaan Portugis membuat cemas pihak Kesultanan Demak, yang beraliansi dengan Kerajaan Cirebon. Kemudian Kesultanan Demak mengutus salah seorang prajurit pemberani sekaligus adik ipar dari Sultan Trenggana yaitu Fatahillah, komandan perang yang kelak akan menaklukan Sunda Kalapa melalui strategi memukul mundur pihak Portugis yang akan datang ke Sunda Kalapa dan mengalahkan prajurit Kerajaan Sunda Sunda yang ada di Sunda Kalapa.[1]

 Orang-orang Portugis sendiri memimpikan seluruh wilayah di nusantara dari barat hingga timur menjadi wilayah kekuasaan mereka. Akan tetapi persoalan dan rintangan orang-orang Portugis adalah eksistensi Kerajaan Demak, yang wilayah kekuasaannya hampir seluruh Tanah Jawa. Sebuah kekuatan Islam yang pernah mencoba menghancurkan Portugis di Malaka selama dua kali yakni pada tahun 1512 dan 1521 M, namun semuanya menuai kegagalan. Mengingat perjanjian yang telah dilakukan oleh Albuqurque dengan Padjajaran pada tahun 1522 M, Portugis benar-benar mempersiapkan pengiriman serdadu dengan berbagai perbekalannya untuk membangun benteng di Selat Sunda. Pasukan Portugis dipimpin oleh Francisco de Sa dengan armada kapal kurang lebih 54 kapal dengan jumlah pasukan sekitar 600 pasukan.[2] Setelah melewati badai selama pelayaran mereka, orang-orang Portugis akhirnya sampai ditepi pelabuhan Sunda Kelapa. Sesaat setelah kapal-kapal mereka menepi di pelabuhan, diperintahkan seorang utusan untuk menemui penguasa Padjajaran di daerah Sunda Kelapa. Mereka tidak mengetahui bahwa Sunda Kelapa telah jatuh ketangan pasukan Islam Demak dibawah pimpinan Fatahillah. Akhirnya, utusan tersebut menemui Fatahillah untuk menagih janji sebagaimana perjanjian yang dilakukan pada tahun 1522 M. Namun, permintaan ini ditolak oleh Fatahillah karena perjanjian itu dilakukan oleh kerajaan Padjajaran dengan Portugis, sedangkan kerajaan Padjajaran telah ditaklukkan oleh pasukan Islam Demak.[3]

Melihat tanggapan Fatahillah tersebut utusan Portugis marah dan mengancam akan membumihanguskan Sunda Kelapa. Sebagai panglima perang Fatahillah tidak takut dan gentar dengan ancaman orang Portugis tersebut. Justru, Fatahillah menanti untuk membalas kejahatan orang-orang Portugis. Utusan yang diperintahkan de Sa kembali dengan tangan hampa.

Setelah menerima laporan dari utusannya, orang-orang Portugis yang telah mendarat langsung melakukan serangan. Serangan ini dilawan oleh pasukan Islam Demak yang dipimpin oleh Fatahillah yang dibantu oleh pangeran Cirebon. Dalam waktu singkat perangpun pecah dengan dahsyat, lebih dahsyat dari peperangan yang sebelumnya baik pertempuran di darat maupun di laut. Pasukan darat Portugis menggunakan senjata pedang, bedil dan meriam serta dilengkapi dengan topi baja. Sedangkan, pasukan Islam jalur darat menggunakan tombak, kujang, keris, dan meriam. Pasukan Fatahillah terus melancarkan serangan atas tentara Portugis. Mereka terdesak mundur dan meminta bantuan pasukan dari armada kapal yang masih berada perairan Sunda Kelapa. Fatahillah mengirimkan mata- mata untuk mengumpulkan informasi tentang kekuatan lawan, setelah mendapat laporan kemudian Fatahillah memerintahkanagar armada kapal perangnya mulai melakukan serangan. Peluru-peluru meriam besar dari armada kapal perang Portugis, mulai di muntahkan ke arah armada pasukan Islam. Pasukan Islam dari Cirebon pimpinan Adipati Cangkuwang yang berada didepan, terpaksa terpukul mundur. Oleh karena ukuran meriam Portugis cukup besar dan menyemburkan api serta peluru disertai kepulan asap hitam.[4]

Meskipun dalam keadaan diserang pasukan Fatahillah terus bergerak maju mengepung pasukan meriam Portugis. Komando Fatahillah untuk menyerbu terdengar lantang oleh pasukan Islam. Dengan bergerak cepat dengan disertai semangat jihad yang selalu berkobar membuat pasukan Portugis berada dalam keadaan terdesak, hingga menimbulkan banyak korban berjatuhan dari pihak Portugis. Tidak mampu menahan serangan yang terus diluncurkan pasukan Islam secara bertubi-tubi akhirnya pasukan Portugis terdesak mundur dan melarikan diri menuju armada kapal.

Dalam keadaan pelarian, pasukan Portugis dikejar oleh pasukan Islam. Salah satu kapal Portugis terkena tembakan meriam armada kapal Fatahillah, kapal tersebut kemudian terbakar dan tenggelam. Meriam besar ini salah satunya adalah meriam yang bernama Ki Amuk yang di pasang di sebelah kanan sayap pelabuhan. Kapal-kapal Portugis yang terdampar dipelabuhan di usir oleh Fatahillah hingga kembali pulang menuju Malaka, dengan membawa kegagalan total.[5] Kekalahan pasukan Portugis dibawah pimpinan de Sa akibat serangan Fatahillah terjadi pada 22 Juni 1527 M. Dengan kalahnya pasukan Portugis di Sunda Kelapa membuat Sultan Trenggana dan umat Islam di Jawa diliputi rasa kebahagiaan yang luar biasa. Musuh bebuyutan bangsa Eropa yang sempat mengguncang aktivitas perdagangan Internasional di Malaka telah Musnah di Sunda Kelapa. Sehingga, kedaulatan kerajaan Islam Demak di Jawa semakin bersinar.[6] [7]

Langkah menguasai dan menduduki pelabuhan Sunda Kelapa yang sudah dianggap sangat penting bagi kerajaan Pajajaran ini, berlangsung cukup sengit karena letaknya tidak jauh  dari  kota Kerajaan Pakuan (Bogor). Sebagai tanda  bahwa  perebutan ini sungguh penting bagi agama Islam, kota ini diberi nama baru Jayakarta atau Surakarta, Jaya berarti kemenangan dan sura berarti pahlawan. Pada abad XVI dan XVII, dan kemudian abad XX ini, kota itu dikenal dengan nama Jakarta, singkatan dari Jayakarta. Orang Portugis, karena tidak tahu kota itu telah diduduki oleh orang Islam  pada 1527, datang untuk mendirikan perkantoran berdasarkan perjanjian yang diadakan tahun 1522 dengan Sang Hyang dari Pajajaran.[8]


[4] Ibid., hlm. 46.

[5] Ibid., hlm. 46.

[6] Rahmad Abdullah, Op.Cit., hlm. 103

[7] Kronologis peristiwa tahun 1527 bisa juga dilihat pada Skripsi yang berjudul “Perlawanan Demak Terhadap Portugis 1513 - 1527 M”, oleh Abdur Rohim dan diterbitkan oleh : Fakultas Adab Dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya 2017, hlm. 74 – 77.

[8] H.J, De Graaf, Pigeaud, TH,  Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Tinjauan Sejarah Politik Abad XV Dan XVI (Jakarta : Grafiti, 2003), hlm. 135.

SEJARAH JAYAKARTA SAMPAI KE BATAVIA

 

Masa Batavia, dapat dikatakan sebagai masa-masa berat dalam dakwah Islamiah karena saat kedatangan VOC, kraton Jayakarta yang merupakan pusat pemerintahan yang melindungi kekuatan Islam telah terbakar dan kemudian ditinggalkan penghuninya, otomatis pusat kekuasaan menjadi lumpuh. Tidak lama dengan jatuhnya kraton Jayakarta maka sejak saat itu Jayakarta dirubah namanya oleh Jan Pieterzoon Coen menjadi Batavia pada tanggal 30 Mei 1619 Masehi.

Setelah Belanda berhasil menaklukkan Jayakarta, kota ini oleh Belanda dihancurkan dan namanya diganti menjadi Batavia. Diatas reruntuhan kota tersebut dibangunlah sebuah kota dengan pola dan tata letaknya meniru kota di negeri Belanda. Rancangan kota tersebut membentuk sebuah fortalezza berbentuk kotak dimana bagian depan dari benteng digali parit Di bagian belakangnya terdapat berbagai bangunan dan gudang yang juga dikelilingi oleh parit, pagar besi dan tiang-tiang yang kokoh. Benteng ini pada mulanya akan difungsikan sebagai kastil dan pusat perdagangan yang dimasa kemudian akan merangkap sebagai pusat pemerintahan merangkap sebagai tempat para pegawai kompeni Pembangunan ini merupakan cikal bakal dari berdirinya kota dengan lambang sebilah pedang dan perisai yang dikenal dengan nama Batavia Seluruh pembangunan tersebut selesai pada tahun 1650.[1]

Coen sendiri dikenal sebagai peletak dasar kekuasaan kita di Hindia Belanda, namun dia juga mempunyai kesalahan yang sangat buruk dari sisi kemanusiaan. Kesalahan terburuk yang disandang oleh Coen ialah pembunuhan massal yang dilakukannya di pulau Banda. Orang tidak dapat menghapus memori mereka tentang apa yang sudah dilakukan Coen di Banda.[2]

Pendirian kota Batavia di sebelah barat pesisir pantai utara Jawa, tidak dapat dipisahkan dari peran seorang tokoh yang bernama Jean Pieterzoon Coen. Meskipun sebelumnya Jayakarta (nama sebelum Batavia), dikuasai dan dibangun oleh Pangeran Fatahillah, akan tetapi situasi dan kondisi dalam bidang sosial dan ekonomi Jayakarta tidak seperti pada masa pengelolaan J.P. Coen. Setelah Jayakarta dikuasai oleh VOC, melalui kebijakan ekspedisi militer yang dirancang oleh JP. Coen, keadaan kota Jayakarta perlahan demi perlahan semakin meningkat dalam bidang sosial dan ekonomi. Peningkatan kota Batavia dalam lapangan sosial dan ekonomi dilatari oleh tiga kebijakan JP. Coen yang cukup berani, yakni meningkatkan aktivitas perdagangan di pelabuhan Sunda Kalapa, merevitalisasi kedudukan pulau-pulau di utara Batavia sebagai basis adiministrasi dan pertahanan dan keamanan, serta membuka pintu seluas-luasnya bagi pedagang dan pendatang etnis Tionghoa. Tiga kebijakan tersebut, sejatinya merupakan murni hasil pemikiran yang dituangkan olh JP. Coen, setelah mengambil alih wilayah Jayakarta dari penguasaan Pangeran Fatahillah.[3]

VOC dibawah pimpinan Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen pada tahun 1619 M berhasil merebut Jayakarta. Orang-orang Banten yang berada di Jayakarta diusir. Kota Jayakarta dibakar pada tanggal 30 Mei 1619 M. Jan Pieterzoon Coen mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia sesuai dengan nama nenek moyang bangsa Belanda, bangsa Bataf dan Batavia menjadi Markas Besar VOC. Usaha VOC untuk menguasai perdagangan rempah-rempah makin mudah. VOC terus mengadakan perluasan wilayah kekuasaan. Pusat-pusat perdagangan penting di nusantara berhasil dikuasai, antara lain Malaka (1641), Padang (1662), dan Makassar (1667). VOC juga menguasai daerah-daerah pedalaman, misalnya Mataram dan Banten yang banyak menghasilkan beras dan lada.[4]

Akhirnya Jan Pieterzoon Coen memilih Jayakarta sebagai pusat pemerintahannya karena di Jayakarta ini terdapat gudang dan loji VOC yang berdiri sejak 1610. Namun karena Pangeran Jayakarta penguasa Jayakarta tidak menghendaki kehadiran Jan Pieterzoon Coen di wilayah kekuasaannya, kemudian Gubernur ini memperkuat diri dengan membangun benteng di sekitar Jayakarta.[5] Dahulunya orang Portugis menamakan kota Jayakarta dengan nama Jacatra. Sampai dengan tahun 1619 orang Belanda menyebut Jacatra juga. Sejak tahun 1619, setelah kota ini dikuasai oleh Belanda oleh De Heeren Zeventien (Dewan 17) dari Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), namanya diubah menjadi Batavia sesuai dengan nama nenek moyang bangsa Belanda yaitu bangsa Bataf.[6]



[1] Dede Reza Dita Permana (skripsi),  Perubahan Jayakarta Menjadi Batavia Pada Tahun 1619 (Tasikmalaya : Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Siliwangi,  2023), hlm. 22.

[3] Rani Noviyanti, Gubernur Jenderal Voc Jan Pieterszoon Coen Dan Pembangun Kota Batavia (1619-1629), SOSIO-E-KONS, Vol. 9 No. 1 April 2017, hlm. 54.

[5] Ibid., hlm. 2.

BERDIRINYA NEGERI FATHAN MUBINA (Kutipan Buku Fatahillah)

 

Masa Fathan Mubina, adalah sebuah proses Islamisasi Sunda Kelapa menjadi negeri Islam. Sekalipun singkat, namun hasilnya tetap luar biasa, karena Fathan Mubina menjadi negeri yang bersyariatkan Islam. Fatahillah yang merupakan salah satu tokoh kunci direbutnya Sunda Kelapa mengganti nama wilayah pelabuhan besar ini menjadi nama Fathan Mubina setelah sebelumnya beliau membaca Al-Quran Surat Al-Fath ayat 1 pada malam takbiran, dari sini timbul ilham dari Fatahillah untuk menamai Sunda Kelapa dengan nama baru yaitu Fathan Mubina. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 1 Syawal 933 H, atau bertepatan dengan hari Ahad tanggal 30 Juni 1527 Masehi.

Dari tahun 1527 s/d tahun 1530, Fatahillah terus menerus melakukan konsolidasi untuk memajukan negeri Fathan Mubina. Sebagaimana dari negeri yang menjadi atasannya yaitu Kesultanan Demak. Negeri Fathan Mubina menerapkan ajaran Syariat Islam sesuai yang dianut oleh Kesultanan Demak dan Wali Songo. Mengingat Fatahillah seorang muslim yang kuat, pendakwah yang handal tentunya Islam yang diterapkan kepada masyarakat Fathan Mubina, dilakukan secara bertahap dan secara akulturasi. Tindakan yang dilakukannya sudah tentu telah mendapat restu dari Sultan Trenggono sebagai Sultan Demak 3 yang juga terkenal akan semangat dakwah Islamnya.

Sebagai sosok yang tujuan hidupnya untuk perjuangan dakwah, Fatahillah nampaknya tidak terlalu ambisius untuk menjadi pimpinan secara struktrular di negeri Fathan Mubina. Namun demikian beliau pun tidak pernah meninggalkan kewajibannya untuk terus memajukan negeri Fathan Mubina. Selama hampir 3 tahun beliau terus melakukan konsolidasi bersama dengan pemuka-pemuka Islam yang ada di Kesultanan Demak, Cirebon, Banten guna membentuk pemerintahan yang kokoh.

Pada tahun 1530 Masehi negeri Fathan Mubina secara resmi diganti namanya menjadi Jayakarta. Bergantinya nama Fathan Mubina menjadi Jayakarta setelah terlebih dahulu diundangnya Maulana Hasanuddin di Gunung Jati Cirebon untuk kemudian dilantik menjadi pemimpin resmi wilayah Fathan Mubina dengan gelar Pangeran Ratu Jayakarta I (setingkat Gubernur pada masa sekarang). Setelah dilantiknya Maulana Hasanuddin menjadi pemimpin resmi negeri Fathan Mubina tanggal 12 Rabiul Awal 937 H atau bertepatan tanggal 3 November 1530 M hari Kamis, secara resmi nama Jayakarta mulai digunakan menggantikan nama Fathan Mubina, hal ini juga sudah mendapat restu dari Sultan Trenggono dari Kesultanan Demak.[1] Dilantiknya Maulana Hasanuddin sebagai Pangeran Ratu Jayakarta 1 adalah merupakan sebuah pilihan terbaik karena Maulana Hasanuddin Banten mempunyai jasa besar dalam merebut Sunda Kelapa juga pernah berperan sangat penting dalam pertempuran laut di Malaka bersama dengan Patih Unus. Maulana Hasanuddin bahkan dikenal sebagai Raja Lautan karena kehebatan pertempuran lautnya. Beliau bahkan telah diangkat menjadi Panglima Armada Laut saat Pasukan gabungan Islam dari beberapa dibawah pimpinan Patih Unus Kesultanan Demak menggempur Portugis di Malaka tahun 1521 Masehi. Beliau pula yang mendampingi Fatahillah saat memperoleh kemenangan di wilayah Sunda Kelapa yang salah satunya di wilayah Marunda


[1] KH Ahmad Syar’i Mertakusuma, Silsilatul Syar’i (Jakarta: Al Fatawi, 1910), hlm. 39, 65 dan Tarikh Jayakarta, hlm, 4. Lihat juga materi ini pada tanggapan atas pemberitaan Suara Pembaruan atas perihal Betawi dengan judul  “Asal-Usul Nama Betawi”, oleh Gunawan Mertakusuma, tanggal 8 Juli 1988 (Arsip tersimpan pada kami). Kami juga mengkoreksi dan mencocokan tentang tahun-tahun hijriah atas terjadinya peristiwa peristiwa tersebut di kitab Al Fatawi dan catatan lokal keturunan Jayakarta dengan catatan-catatan Portugis dan juga catatan-catatan lain yang saling mendukung. Tentunya perhitungan hijriah yang kami gunakan telah kami sesuaikan dengan sistem falakiah digital yang sudah modern dan teruji validitasnya.

TARUMANEGARA DALAM SEJARAH JAKARTA (Dikutif Dari Buku Fatahillah)


Jakarta era sejarah, adalah sebuah wilayah tua yang cukup terkenal akan konsisten dalam pengamalan keagamaan mulai dari Hindu Budha sampai kepada  Islam. Sejak dahulu kalau kita bicara Jakarta, maka pikiran yang timbul tentang daerah ini adalah penduduknya sangat kuat dalam memegang teguh identitas keagamaannya. Sekalipun demikian khususnya Islam, mereka juga bisa toleran terhadap suku bangsa dan agama-agama yang lain. Selain keagamaan, Jakarta juga kaya akan sejarah kehidupan manusianya.

Membahas kronologis tentang Jakarta tentu kita harus kembali lagi pada sejarah ke belakang, dimana pada masa lampau daerah ini telah mampu memberikan informasi penting tentang adanya sebuah peradaban manusia terutama sekali ketika Jakarta masih bernama Sunda Kelapa yang pemerintahannya banyak berpusat di pesisir pantai utara dan kepulauan seribu.[1]

Pada masa itu Sunda Kelapa identik dengan bandar pelabuhannya yang terkenal sampai mancanegara. Sunda Kelapa adalah Kota Pelabuhan, sehingga boleh jadi disana banyak tercipta budaya kehidupan yang akulturasi yang melibatkan banyak suku  bangsa. Bergeser ke belakang lagi bahkan sebelum bernama Sunda Kelapa atau sebelum munculnya Kerajaan Tarumanegara, daerah ini sudah terdapat kehidupan manusia. Ini menandakan Jakarta pada masa kuno adalah sebuah wilayah penting di kawasan nusantara bahkan juga asia.

Mengenai Kerajaan Tarumanegara yang dikaitkan dengan perjalanan sejarah Jakarta, hal itu tidak terlepas dengan adanya penemuan prasasti di desa Tugu Cilincing Jakarta Utara. DKI Jakarta termasuk wilayah kerajaan Taruma atau Tarumanegara, kerajaan Indonesia yang tertua di pulau Jawa. Berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan dapatlah diduga bahwa kerajaan Taruma atau Tarumanegara yang diperintah Raja Purnawarman meliputi daerah-daerah Banten, DKI Jakarta, Bogor dan Bekasi sampai Citarum di sebelah timur. Di sebelah selatan Kerajaan Tarum atau Tarumanegara sampai aliran sungai yang disebut Ciaruteun. Jadi masyarakat pertama yang hidup teratur di dalam sebuah kerajaan yang makmur serta sejahtera di wilayah DKI Jakarta adalah penduduk kerajaan Tarumanegara, kerajaan tertua di pulau Jawa.[2]

Nama Tarumanagara sebagai kerajaan dengan bukti epigrafis paling tua di Tatar Sunda yang letak pusat ibukotanya diduga berada di kawasan muara sungai Ci Tarum tersebut, pada saat ini memang sudah tidak ada lagi. Akan tetapi, kebesaran namanya masih terabadikan dan terasosiasi secara relatif dalam memori kolektif masyarakat Sunda seperti pada aspek penamaan nama tempat Tarumajaya yang berada di kawasan hulu sungai Ci Tarum hingga saat ini.[3]  Kata “Tarum” (sungai Ci Tarum) dan Ci Tarum (sungai Ci Tarum) jelas merujuk pada kedekatan fonetis yang sama dan mempengaruhi kata “tarum” sebagai tumbuhan penghasil zat pewarna biru alami. Keterkaitan hal tersebut dapat menunjukkan bahwa kata Tarum yang sama memiliki arti yang berbeda dalam konteks bahasa dan kebudayaan Sunda, yakni sebagai nama sungai pada abad ke-16 M dan sebagai nama tumbuhan pada abad ke-19 M.[4]

Tarumanagara menjadi negeri yang memberikan pengharapan, kebahagiaan, keberuntungan, sebagaimana sifat Tuhan yang dipuja dalam keberagamaan masyarakatnya. Tarumanagara bisa diartikan sebagai negeri yang aman dan makmur. Nama Tarumanagara tersebut terabadikan dalam prasasti-prasasti abad ke-5 M. Letak ibukota kerajaan Tarumanagara itu sendiri apabila dikonfirmasi melalui naskah-naskah Sunda Kuno yang berasal dari abad ke-15 M dan abad ke-16 M, berada pada lintasan aliran sungai terbesar yang mengalir ke wilayahnya.[5]

Tarumanegara adalah kerajaan Hindu. Rajanya yang terkenal bernama Purnawarman. Purnawarman sangat memuja dan memuliakan Dewa Wisnu. Rakyat Tarumanegara hidup makmur dan sejahtera. Mereka hidup bercocok tanam dan bertani. Pertanian di Tarumanegara sudah mencapai taraf yang cukup tinggi. Mereka sudah memperhatikan soal irigasi atau pengairan untuk mengairi sawah-sawah dan untuk mencegah banjir. Mereka sudah berhasil menggali saluran air yang cukup panjang yakni 6.122 tombak (kurang lebih 24 km). Hal ini memerlukan pengetahuan yang cukup tinggi, organisasi kerja yang tertib dan semangat gotong royong yang cukup tinggi. Selain bertani rakyat Tarumanegara juga sudah mengenal perdagangan dan pelayaran. Hal ini dibuktikan dengan adanya hubungan antara Kerajaan Taruma atau Tarumanegara dengan negeri China.[6] [7]



[1] Ada juga yang berpendapat bahwa pelabuhan Sunda Kelapa berada di lebih dalam lagi. Seperti yang dikemukakan Supratikno Raharjo yang mengutif dari Heukeun. Berdasarkan peta-peta yang dibuat pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17, dapat diketahui bahwa Sunda Kelapa (yang kemudian menjadi Jayakarta), memiliki pelabuhan yang tidak persis berada di tepian pantai (open sea port), tetapi masuk dalam jarak tertentu ke dalam muara sungai Ciliwung. Dengan demikian perahu-perahu dan kapal-kapal juga akan berlabuh di sebelah dalam muara sungai, bukan di tepi pantai terbuka. Lihat di Sunda Kelapa Sebagai Bandar Jalur Sutra (Kumpulan Makalah Diskusi) (Jakarta: Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan-Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional, 1995), hlm. 154.

[2] Sagimun MD, Sejarah Jakarta Dari Tepi Air Ke Kota Sampai Dengan Masa Proklamasi (Jakarta: Pemda DKI Jakarta & Dinas Museum Dan Sejarah, 1988), hlm. 39.

[4] Ibid., hlm. 218.

[5] Ibid., hlm. 217.

[6] Sagimun. Op.Cit., hlm. 41.

[7] Besar kemungkinan bahwa agama yang dianut Kerajaan Tarumanegara, terutama Raja Purnawarman tidak 100 % Hindu  tanda-tandanya adalah sewaktu Raja Purnawarman membuat kanal di daerah Tugu (Desa Batu Tumbuh) pernah dikorbankan tiap tahun 1000 ekor lembu, lihat di Gunawan Zailani, Gunawan & A. Tarbin. A, Djajakerta 434 Th, Kumpulan Tjatatan Penulis Putra Djakarta Berdasarkan Silsilah Sari’ie dan Achmad (Jakarta: Jajasan Djajakerta, 1961), hlm. 99. Dalam catatan sejarah yang ditulis Sagimun MD di buku Sejarah Jakarta Dari Tepi Air Ke Masa Proklamasi) hlm 37 – 39 hal tersebut juga dibahas. Raja Purnawarman setelah berhasil membuat kali atau sungai yang menomental itu Purnawarman dengan rakyatnya mengadakan *SELAMATAN dengan mengurbankan *1000 SAPI*. Korban 1000 SAPi Itu dipersembahkan untuk rakyat. Ini menandakan betapa kayanya Kerajaan Tarumanegara. Nah membaca kalimat *Pengorbanan 1000 Sapi* inilah yang membuat kami bertanya tanya. Bukankah Purnawarman diidentikan dengan Hindu yang jelas-jelas melarang keras umatnya memakan daging sapi ? sapi bagi umat Hindu adalah sosok hewan yang dihormati karena nantinya sapi akan berkaitan dengan Dewa Krisna. Dewa yang sangat dipuja oleh umat Hindu. Memotong sapi atau memakan daging sapi itu adalah hal yang tabu yang hukumannya neraka. Sebagai seorang raja yang digambarkan arif dan bijaksana dan dikenal taat akan "agamanya" tentu Purnawarman tidak akan sembarangan melanggar titah agamanya. Pengurbanan hewan dalam beberapa agama adalah hal yang biasa dilakukan. Yahudi, Islam dan beberapa kepercayaan lain sering melaksanakan hal ini, bahkan sekelas agama Hindu juga ada pengorbanan dengan binatang selain Sapi. Pengorbanan bahkan sudah dimulai pada masa Nabi Adam AS.  Sampai sekarang di India yang merupakan asal muasal ajaran Hindu hewan sapi masih dihormati. Pengorbanan 1000 sapi kepada rakyat Tarumanegara adalah sikap yang jelas antitesis terhadap kepercayaan Hindu. Sapi ataupun lembu hewan yang sakral bagi Hindu; bahkan sekelas Sunan Kudus saja sampai melarang orang Islam dimasanya menyembelih sapi demi menghormati ummat Hindu. Pengorbanan 1000 sapi dalam rangka SELAMATAN karena berhasil menggali Kali Gomati atau Candrabaga sepanjang 24 km dan dilakukan kurang lebih sekitar 20 tahun adalah satu misteri sejarah buat kita kaji bersama karena infornasi ini memang disebutkan pada Prasasti Tugu yang merupakan salah satu "Buku" sejarah yang kontekstual dan otentik pada masa itu...