Dalam beberapa catatan sejarah
Fatahillah sukses menguasai Sunda Kelapa dan kemudian berhasil menahan laju
Portugis yang datang untuk mendirikan benteng setelah mereka melakukan
perjanjian dengan Kerajaan Pajajaran. Perjanjian antara Kerajaan Pajajaran dengan
Kerajaan Portugis membuat cemas pihak Kesultanan Demak, yang beraliansi dengan
Kerajaan Cirebon. Kemudian Kesultanan Demak mengutus salah seorang prajurit
pemberani sekaligus adik ipar dari Sultan Trenggana yaitu Fatahillah, komandan
perang yang kelak akan menaklukan Sunda Kalapa melalui strategi memukul mundur
pihak Portugis yang akan datang ke Sunda Kalapa dan mengalahkan prajurit
Kerajaan Sunda Sunda yang ada di Sunda Kalapa.[1]
Orang-orang Portugis sendiri memimpikan
seluruh wilayah di nusantara dari barat hingga timur menjadi wilayah kekuasaan
mereka. Akan tetapi persoalan dan rintangan orang-orang Portugis adalah
eksistensi Kerajaan Demak, yang wilayah kekuasaannya hampir seluruh Tanah Jawa.
Sebuah kekuatan Islam yang pernah mencoba menghancurkan Portugis di Malaka
selama dua kali yakni pada tahun 1512 dan 1521 M, namun semuanya menuai
kegagalan. Mengingat perjanjian yang telah dilakukan oleh Albuqurque dengan
Padjajaran pada tahun 1522 M, Portugis benar-benar mempersiapkan pengiriman
serdadu dengan berbagai perbekalannya untuk membangun benteng di Selat Sunda.
Pasukan Portugis dipimpin oleh Francisco de Sa dengan armada kapal kurang lebih
54 kapal dengan jumlah pasukan sekitar 600 pasukan.[2]
Setelah melewati badai selama pelayaran mereka, orang-orang Portugis akhirnya
sampai ditepi pelabuhan Sunda Kelapa. Sesaat setelah kapal-kapal mereka menepi
di pelabuhan, diperintahkan seorang utusan untuk menemui penguasa Padjajaran di
daerah Sunda Kelapa. Mereka tidak mengetahui bahwa Sunda Kelapa telah jatuh
ketangan pasukan Islam Demak dibawah pimpinan Fatahillah. Akhirnya, utusan
tersebut menemui Fatahillah untuk menagih janji sebagaimana perjanjian yang
dilakukan pada tahun 1522 M. Namun, permintaan ini ditolak oleh Fatahillah
karena perjanjian itu dilakukan oleh kerajaan Padjajaran dengan Portugis,
sedangkan kerajaan Padjajaran telah ditaklukkan oleh pasukan Islam Demak.[3]
Melihat tanggapan Fatahillah tersebut
utusan Portugis marah dan mengancam akan membumihanguskan Sunda Kelapa. Sebagai
panglima perang Fatahillah tidak takut dan gentar dengan ancaman orang Portugis
tersebut. Justru, Fatahillah menanti untuk membalas kejahatan orang-orang
Portugis. Utusan yang diperintahkan de Sa kembali dengan tangan hampa.
Setelah menerima laporan dari
utusannya, orang-orang Portugis yang telah mendarat langsung melakukan
serangan. Serangan ini dilawan oleh pasukan Islam Demak yang dipimpin oleh
Fatahillah yang dibantu oleh pangeran Cirebon. Dalam waktu singkat perangpun pecah
dengan dahsyat, lebih dahsyat dari peperangan yang sebelumnya baik pertempuran
di darat maupun di laut. Pasukan darat Portugis menggunakan senjata pedang,
bedil dan meriam serta dilengkapi dengan topi baja. Sedangkan, pasukan Islam
jalur darat menggunakan tombak, kujang, keris, dan meriam. Pasukan Fatahillah
terus melancarkan serangan atas tentara Portugis. Mereka terdesak mundur dan
meminta bantuan pasukan dari armada kapal yang masih berada perairan Sunda
Kelapa. Fatahillah mengirimkan mata- mata untuk mengumpulkan informasi tentang
kekuatan lawan, setelah mendapat laporan kemudian Fatahillah memerintahkanagar
armada kapal perangnya mulai melakukan serangan. Peluru-peluru meriam besar
dari armada kapal perang Portugis, mulai di muntahkan ke arah armada pasukan
Islam. Pasukan Islam dari Cirebon pimpinan Adipati Cangkuwang yang berada
didepan, terpaksa terpukul mundur. Oleh karena ukuran meriam Portugis cukup
besar dan menyemburkan api serta peluru disertai kepulan asap hitam.[4]
Meskipun dalam keadaan diserang
pasukan Fatahillah terus bergerak maju mengepung pasukan meriam Portugis.
Komando Fatahillah untuk menyerbu terdengar lantang oleh pasukan Islam. Dengan
bergerak cepat dengan disertai semangat jihad yang selalu berkobar membuat
pasukan Portugis berada dalam keadaan terdesak, hingga menimbulkan banyak
korban berjatuhan dari pihak Portugis. Tidak mampu menahan serangan yang terus
diluncurkan pasukan Islam secara bertubi-tubi akhirnya pasukan Portugis
terdesak mundur dan melarikan diri menuju armada kapal.
Dalam keadaan pelarian, pasukan
Portugis dikejar oleh pasukan Islam. Salah satu kapal Portugis terkena tembakan
meriam armada kapal Fatahillah, kapal tersebut kemudian terbakar dan tenggelam.
Meriam besar ini salah satunya adalah meriam yang bernama Ki Amuk yang di
pasang di sebelah kanan sayap pelabuhan. Kapal-kapal Portugis yang terdampar
dipelabuhan di usir oleh Fatahillah hingga kembali pulang menuju Malaka, dengan
membawa kegagalan total.[5]
Kekalahan pasukan Portugis dibawah pimpinan de Sa akibat serangan Fatahillah
terjadi pada 22 Juni 1527 M. Dengan kalahnya pasukan Portugis di Sunda Kelapa
membuat Sultan Trenggana dan umat Islam di Jawa diliputi rasa kebahagiaan yang
luar biasa. Musuh bebuyutan bangsa Eropa yang sempat mengguncang aktivitas
perdagangan Internasional di Malaka telah Musnah di Sunda Kelapa. Sehingga,
kedaulatan kerajaan Islam Demak di Jawa semakin bersinar.[6]
[7]
[1] Sulendraningrat,
Babad Tanah Sunda Babad Cirebon, terjemahan Sulendraningrat (Cirebon
: …..1984), hlm. 101-102.
[2] Rahmad
Abdullah, Kerajaan Islam Demak: Api Revolusi di Tanah Jawa 1518 - 1549 M,
(Solo:
Penerbit Az Wafi), 2020), hlm.
98.
[3] Edi
Suhardi Ekadjati, Fatahillah: Pahlawan Arief Bijaksana (Jakarta:
PT.Sanggabuwana, 1975), hlm. 45.
[4] Ibid., hlm. 46.
[5] Ibid., hlm. 46.
[6] Rahmad Abdullah, Op.Cit.,
hlm. 103
[7] Kronologis peristiwa tahun
1527 bisa juga dilihat pada Skripsi yang berjudul “Perlawanan Demak Terhadap
Portugis 1513 - 1527 M”, oleh Abdur Rohim dan diterbitkan oleh : Fakultas
Adab Dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya 2017, hlm. 74
– 77.
[8] H.J, De Graaf, Pigeaud, TH, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Tinjauan
Sejarah Politik Abad XV Dan XVI (Jakarta : Grafiti, 2003), hlm. 135.