Buku Buku Karya Iwan Mahmud Al Fattah tahun 2024
1. Torehan Kisah Penuh Makna :
Diedarkan Maret 2024
Menulis Sejarah Islam Berdasarkan Fakta & Data, Cp 08179803186, FB : Iwan Mahmoed Al Fattah II & III
Buku Buku Karya Iwan Mahmud Al Fattah tahun 2024
1. Torehan Kisah Penuh Makna :
Diedarkan Maret 2024
Dalam beberapa catatan sejarah
Fatahillah sukses menguasai Sunda Kelapa dan kemudian berhasil menahan laju
Portugis yang datang untuk mendirikan benteng setelah mereka melakukan
perjanjian dengan Kerajaan Pajajaran. Perjanjian antara Kerajaan Pajajaran dengan
Kerajaan Portugis membuat cemas pihak Kesultanan Demak, yang beraliansi dengan
Kerajaan Cirebon. Kemudian Kesultanan Demak mengutus salah seorang prajurit
pemberani sekaligus adik ipar dari Sultan Trenggana yaitu Fatahillah, komandan
perang yang kelak akan menaklukan Sunda Kalapa melalui strategi memukul mundur
pihak Portugis yang akan datang ke Sunda Kalapa dan mengalahkan prajurit
Kerajaan Sunda Sunda yang ada di Sunda Kalapa.[1]
Orang-orang Portugis sendiri memimpikan
seluruh wilayah di nusantara dari barat hingga timur menjadi wilayah kekuasaan
mereka. Akan tetapi persoalan dan rintangan orang-orang Portugis adalah
eksistensi Kerajaan Demak, yang wilayah kekuasaannya hampir seluruh Tanah Jawa.
Sebuah kekuatan Islam yang pernah mencoba menghancurkan Portugis di Malaka
selama dua kali yakni pada tahun 1512 dan 1521 M, namun semuanya menuai
kegagalan. Mengingat perjanjian yang telah dilakukan oleh Albuqurque dengan
Padjajaran pada tahun 1522 M, Portugis benar-benar mempersiapkan pengiriman
serdadu dengan berbagai perbekalannya untuk membangun benteng di Selat Sunda.
Pasukan Portugis dipimpin oleh Francisco de Sa dengan armada kapal kurang lebih
54 kapal dengan jumlah pasukan sekitar 600 pasukan.[2]
Setelah melewati badai selama pelayaran mereka, orang-orang Portugis akhirnya
sampai ditepi pelabuhan Sunda Kelapa. Sesaat setelah kapal-kapal mereka menepi
di pelabuhan, diperintahkan seorang utusan untuk menemui penguasa Padjajaran di
daerah Sunda Kelapa. Mereka tidak mengetahui bahwa Sunda Kelapa telah jatuh
ketangan pasukan Islam Demak dibawah pimpinan Fatahillah. Akhirnya, utusan
tersebut menemui Fatahillah untuk menagih janji sebagaimana perjanjian yang
dilakukan pada tahun 1522 M. Namun, permintaan ini ditolak oleh Fatahillah
karena perjanjian itu dilakukan oleh kerajaan Padjajaran dengan Portugis,
sedangkan kerajaan Padjajaran telah ditaklukkan oleh pasukan Islam Demak.[3]
Melihat tanggapan Fatahillah tersebut
utusan Portugis marah dan mengancam akan membumihanguskan Sunda Kelapa. Sebagai
panglima perang Fatahillah tidak takut dan gentar dengan ancaman orang Portugis
tersebut. Justru, Fatahillah menanti untuk membalas kejahatan orang-orang
Portugis. Utusan yang diperintahkan de Sa kembali dengan tangan hampa.
Setelah menerima laporan dari
utusannya, orang-orang Portugis yang telah mendarat langsung melakukan
serangan. Serangan ini dilawan oleh pasukan Islam Demak yang dipimpin oleh
Fatahillah yang dibantu oleh pangeran Cirebon. Dalam waktu singkat perangpun pecah
dengan dahsyat, lebih dahsyat dari peperangan yang sebelumnya baik pertempuran
di darat maupun di laut. Pasukan darat Portugis menggunakan senjata pedang,
bedil dan meriam serta dilengkapi dengan topi baja. Sedangkan, pasukan Islam
jalur darat menggunakan tombak, kujang, keris, dan meriam. Pasukan Fatahillah
terus melancarkan serangan atas tentara Portugis. Mereka terdesak mundur dan
meminta bantuan pasukan dari armada kapal yang masih berada perairan Sunda
Kelapa. Fatahillah mengirimkan mata- mata untuk mengumpulkan informasi tentang
kekuatan lawan, setelah mendapat laporan kemudian Fatahillah memerintahkanagar
armada kapal perangnya mulai melakukan serangan. Peluru-peluru meriam besar
dari armada kapal perang Portugis, mulai di muntahkan ke arah armada pasukan
Islam. Pasukan Islam dari Cirebon pimpinan Adipati Cangkuwang yang berada
didepan, terpaksa terpukul mundur. Oleh karena ukuran meriam Portugis cukup
besar dan menyemburkan api serta peluru disertai kepulan asap hitam.[4]
Meskipun dalam keadaan diserang
pasukan Fatahillah terus bergerak maju mengepung pasukan meriam Portugis.
Komando Fatahillah untuk menyerbu terdengar lantang oleh pasukan Islam. Dengan
bergerak cepat dengan disertai semangat jihad yang selalu berkobar membuat
pasukan Portugis berada dalam keadaan terdesak, hingga menimbulkan banyak
korban berjatuhan dari pihak Portugis. Tidak mampu menahan serangan yang terus
diluncurkan pasukan Islam secara bertubi-tubi akhirnya pasukan Portugis
terdesak mundur dan melarikan diri menuju armada kapal.
Dalam keadaan pelarian, pasukan
Portugis dikejar oleh pasukan Islam. Salah satu kapal Portugis terkena tembakan
meriam armada kapal Fatahillah, kapal tersebut kemudian terbakar dan tenggelam.
Meriam besar ini salah satunya adalah meriam yang bernama Ki Amuk yang di
pasang di sebelah kanan sayap pelabuhan. Kapal-kapal Portugis yang terdampar
dipelabuhan di usir oleh Fatahillah hingga kembali pulang menuju Malaka, dengan
membawa kegagalan total.[5]
Kekalahan pasukan Portugis dibawah pimpinan de Sa akibat serangan Fatahillah
terjadi pada 22 Juni 1527 M. Dengan kalahnya pasukan Portugis di Sunda Kelapa
membuat Sultan Trenggana dan umat Islam di Jawa diliputi rasa kebahagiaan yang
luar biasa. Musuh bebuyutan bangsa Eropa yang sempat mengguncang aktivitas
perdagangan Internasional di Malaka telah Musnah di Sunda Kelapa. Sehingga,
kedaulatan kerajaan Islam Demak di Jawa semakin bersinar.[6]
[7]
[1] Sulendraningrat,
Babad Tanah Sunda Babad Cirebon, terjemahan Sulendraningrat (Cirebon
: …..1984), hlm. 101-102.
[2] Rahmad
Abdullah, Kerajaan Islam Demak: Api Revolusi di Tanah Jawa 1518 - 1549 M,
(Solo:
Penerbit Az Wafi), 2020), hlm.
98.
[3] Edi
Suhardi Ekadjati, Fatahillah: Pahlawan Arief Bijaksana (Jakarta:
PT.Sanggabuwana, 1975), hlm. 45.
[4] Ibid., hlm. 46.
[5] Ibid., hlm. 46.
[6] Rahmad Abdullah, Op.Cit.,
hlm. 103
[7] Kronologis peristiwa tahun
1527 bisa juga dilihat pada Skripsi yang berjudul “Perlawanan Demak Terhadap
Portugis 1513 - 1527 M”, oleh Abdur Rohim dan diterbitkan oleh : Fakultas
Adab Dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya 2017, hlm. 74
– 77.
[8] H.J, De Graaf, Pigeaud, TH, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Tinjauan
Sejarah Politik Abad XV Dan XVI (Jakarta : Grafiti, 2003), hlm. 135.
Masa Batavia, dapat dikatakan sebagai
masa-masa berat dalam dakwah Islamiah karena saat kedatangan VOC, kraton
Jayakarta yang merupakan pusat pemerintahan yang melindungi kekuatan Islam
telah terbakar dan kemudian ditinggalkan penghuninya, otomatis pusat kekuasaan
menjadi lumpuh. Tidak lama dengan jatuhnya kraton Jayakarta maka sejak saat itu
Jayakarta dirubah namanya oleh Jan Pieterzoon Coen menjadi Batavia pada tanggal
30 Mei 1619 Masehi.
Setelah Belanda berhasil menaklukkan
Jayakarta, kota ini oleh Belanda dihancurkan dan namanya diganti menjadi
Batavia. Diatas reruntuhan kota tersebut dibangunlah sebuah kota dengan pola
dan tata letaknya meniru kota di negeri Belanda. Rancangan kota tersebut
membentuk sebuah fortalezza berbentuk kotak dimana bagian depan dari benteng
digali parit Di bagian belakangnya terdapat berbagai bangunan dan gudang yang
juga dikelilingi oleh parit, pagar besi dan tiang-tiang yang kokoh. Benteng ini
pada mulanya akan difungsikan sebagai kastil dan pusat perdagangan yang dimasa
kemudian akan merangkap sebagai pusat pemerintahan merangkap sebagai tempat
para pegawai kompeni Pembangunan ini merupakan cikal bakal dari berdirinya kota
dengan lambang sebilah pedang dan perisai yang dikenal dengan nama Batavia
Seluruh pembangunan tersebut selesai pada tahun 1650.[1]
Coen sendiri dikenal sebagai peletak
dasar kekuasaan kita di Hindia Belanda, namun dia juga mempunyai kesalahan yang
sangat buruk dari sisi kemanusiaan. Kesalahan terburuk yang disandang oleh Coen
ialah pembunuhan massal yang dilakukannya di pulau Banda. Orang tidak dapat
menghapus memori mereka tentang apa yang sudah dilakukan Coen di Banda.[2]
Pendirian kota Batavia di sebelah
barat pesisir pantai utara Jawa, tidak dapat dipisahkan dari peran seorang
tokoh yang bernama Jean Pieterzoon Coen. Meskipun sebelumnya Jayakarta (nama
sebelum Batavia), dikuasai dan dibangun oleh Pangeran Fatahillah, akan tetapi
situasi dan kondisi dalam bidang sosial dan ekonomi Jayakarta tidak seperti
pada masa pengelolaan J.P. Coen. Setelah Jayakarta dikuasai oleh VOC, melalui
kebijakan ekspedisi militer yang dirancang oleh JP. Coen, keadaan kota
Jayakarta perlahan demi perlahan semakin meningkat dalam bidang sosial dan
ekonomi. Peningkatan kota Batavia dalam lapangan sosial dan ekonomi dilatari
oleh tiga kebijakan JP. Coen yang cukup berani, yakni meningkatkan aktivitas
perdagangan di pelabuhan Sunda Kalapa, merevitalisasi kedudukan pulau-pulau di
utara Batavia sebagai basis adiministrasi dan pertahanan dan keamanan, serta
membuka pintu seluas-luasnya bagi pedagang dan pendatang etnis Tionghoa. Tiga
kebijakan tersebut, sejatinya merupakan murni hasil pemikiran yang dituangkan
olh JP. Coen, setelah mengambil alih wilayah Jayakarta dari penguasaan Pangeran
Fatahillah.[3]
VOC dibawah pimpinan Gubernur Jenderal
Jan Pieterzoon Coen pada tahun 1619 M berhasil merebut Jayakarta. Orang-orang
Banten yang berada di Jayakarta diusir. Kota Jayakarta dibakar pada tanggal 30
Mei 1619 M. Jan Pieterzoon Coen mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia sesuai
dengan nama nenek moyang bangsa Belanda, bangsa Bataf dan Batavia menjadi
Markas Besar VOC. Usaha VOC untuk menguasai perdagangan rempah-rempah makin
mudah. VOC terus mengadakan perluasan wilayah kekuasaan. Pusat-pusat
perdagangan penting di nusantara berhasil dikuasai, antara lain Malaka (1641),
Padang (1662), dan Makassar (1667). VOC juga menguasai daerah-daerah pedalaman,
misalnya Mataram dan Banten yang banyak menghasilkan beras dan lada.[4]
Akhirnya Jan Pieterzoon Coen memilih
Jayakarta sebagai pusat pemerintahannya karena di Jayakarta ini terdapat gudang
dan loji VOC yang berdiri sejak 1610. Namun karena Pangeran Jayakarta penguasa
Jayakarta tidak menghendaki kehadiran Jan Pieterzoon Coen di wilayah
kekuasaannya, kemudian Gubernur ini memperkuat diri dengan membangun benteng di
sekitar Jayakarta.[5]
Dahulunya orang Portugis menamakan kota Jayakarta dengan nama Jacatra. Sampai
dengan tahun 1619 orang Belanda menyebut Jacatra juga. Sejak tahun 1619,
setelah kota ini dikuasai oleh Belanda oleh De Heeren Zeventien (Dewan 17) dari
Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), namanya diubah menjadi Batavia
sesuai dengan nama nenek moyang bangsa Belanda yaitu bangsa Bataf.[6]
[1] Dede Reza Dita Permana
(skripsi), Perubahan Jayakarta
Menjadi Batavia Pada Tahun 1619 (Tasikmalaya : Jurusan Pendidikan Sejarah
Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Siliwangi, 2023), hlm. 22.
[2] Johny
A. Khusyairi, Memori atas Tiga Gubernur Jenderal di Hindia: Coen, Daendels
dan van Heutsz di Belanda, Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Airlangga, Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Volume 24 No.
2, April–Juni 2011, hlm. 121.
[3] Rani Noviyanti,
Gubernur Jenderal Voc Jan Pieterszoon Coen Dan Pembangun Kota Batavia
(1619-1629), SOSIO-E-KONS, Vol. 9 No. 1 April 2017, hlm. 54.
[4] Samsi
Wahyudi, Peranan Jan Pieterzoon Coen Di Bidang Politik Dan Militer Tahun
1619-1623, Jurnal Swarnadwipa Volume 1, Nomor 1, Tahun 2017, hlm. 5.
[5] Ibid., hlm. 2.
[6] Lilie
Suratminto, Nama-nama Tempat di Jakarta dan Kaitannya dengan Masa Kolonial,
Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Toponimi yang diselenggarakan
oleh Pusat Penelitain Kajian Budaya (PPKB ) pada hari Kamis tanggal 3 November
2016 di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, hlm. 37. Lihat
juga di Susan Blackburn, Sejarah 400 Tahun, Seri terjemahan, (Jakarta:
Masup, 2011), hlm.15 dan Jean Gelman Taylor, Kehidupan Sosial di Batavia
(Depok: Komunitas Bambu, 2009), hlm. 4.
Masa Fathan Mubina, adalah sebuah proses Islamisasi
Sunda Kelapa menjadi negeri Islam. Sekalipun singkat, namun hasilnya tetap luar
biasa, karena Fathan Mubina menjadi negeri yang bersyariatkan Islam. Fatahillah
yang merupakan salah satu tokoh kunci direbutnya Sunda Kelapa mengganti nama
wilayah pelabuhan besar ini menjadi nama Fathan Mubina setelah sebelumnya beliau membaca Al-Quran Surat Al-Fath ayat 1 pada
malam takbiran, dari sini timbul ilham dari Fatahillah untuk menamai Sunda
Kelapa dengan nama baru yaitu Fathan Mubina. Peristiwa itu terjadi pada tanggal
1 Syawal 933 H, atau bertepatan dengan hari Ahad tanggal 30 Juni 1527 Masehi.
Dari tahun 1527 s/d tahun 1530, Fatahillah terus
menerus melakukan konsolidasi untuk memajukan negeri Fathan Mubina. Sebagaimana
dari negeri yang menjadi atasannya yaitu Kesultanan Demak. Negeri Fathan Mubina
menerapkan ajaran Syariat Islam sesuai yang dianut oleh Kesultanan Demak dan
Wali Songo. Mengingat Fatahillah seorang muslim yang kuat, pendakwah yang
handal tentunya Islam yang diterapkan kepada masyarakat Fathan Mubina,
dilakukan secara bertahap dan secara akulturasi. Tindakan yang dilakukannya
sudah tentu telah mendapat restu dari Sultan Trenggono sebagai Sultan Demak 3
yang juga terkenal akan semangat dakwah Islamnya.
Sebagai sosok yang tujuan hidupnya untuk perjuangan
dakwah, Fatahillah nampaknya tidak terlalu ambisius untuk menjadi pimpinan
secara struktrular di negeri Fathan Mubina. Namun demikian beliau pun tidak
pernah meninggalkan kewajibannya untuk terus memajukan negeri Fathan Mubina.
Selama hampir 3 tahun beliau terus melakukan konsolidasi bersama dengan
pemuka-pemuka Islam yang ada di Kesultanan Demak, Cirebon, Banten guna
membentuk pemerintahan yang kokoh.
[1] KH Ahmad Syar’i
Mertakusuma, Silsilatul Syar’i (Jakarta: Al Fatawi, 1910), hlm. 39, 65
dan Tarikh Jayakarta, hlm, 4. Lihat juga materi ini pada tanggapan atas
pemberitaan Suara Pembaruan atas perihal Betawi dengan judul “Asal-Usul Nama Betawi”, oleh Gunawan
Mertakusuma, tanggal 8 Juli 1988 (Arsip tersimpan pada kami). Kami juga
mengkoreksi dan mencocokan tentang tahun-tahun hijriah atas terjadinya
peristiwa peristiwa tersebut di kitab Al Fatawi dan catatan lokal keturunan
Jayakarta dengan catatan-catatan Portugis dan juga catatan-catatan lain yang
saling mendukung. Tentunya perhitungan hijriah yang kami gunakan telah kami
sesuaikan dengan sistem falakiah digital yang sudah modern dan teruji
validitasnya.
Jakarta era sejarah, adalah sebuah wilayah tua yang
cukup terkenal akan konsisten dalam pengamalan keagamaan mulai dari Hindu Budha
sampai kepada Islam. Sejak dahulu kalau
kita bicara Jakarta, maka
pikiran yang timbul tentang daerah ini adalah penduduknya sangat kuat dalam
memegang teguh identitas keagamaannya. Sekalipun demikian khususnya Islam,
mereka juga bisa toleran terhadap suku bangsa dan agama-agama yang lain. Selain
keagamaan, Jakarta juga kaya akan sejarah kehidupan manusianya.
Membahas
kronologis tentang Jakarta tentu kita harus kembali lagi pada sejarah ke
belakang, dimana pada masa lampau daerah ini telah mampu memberikan informasi
penting tentang adanya sebuah peradaban manusia terutama sekali ketika Jakarta
masih bernama Sunda Kelapa yang pemerintahannya banyak berpusat di pesisir
pantai utara dan kepulauan seribu.[1]
Pada
masa itu Sunda Kelapa identik dengan bandar pelabuhannya yang terkenal sampai
mancanegara. Sunda Kelapa adalah Kota Pelabuhan, sehingga boleh jadi disana
banyak tercipta budaya kehidupan yang akulturasi yang melibatkan banyak suku bangsa. Bergeser ke belakang lagi bahkan
sebelum bernama Sunda Kelapa atau sebelum munculnya Kerajaan Tarumanegara,
daerah ini sudah terdapat kehidupan manusia. Ini menandakan Jakarta pada masa
kuno adalah sebuah wilayah penting di kawasan nusantara bahkan juga asia.
Mengenai Kerajaan Tarumanegara yang
dikaitkan dengan perjalanan sejarah Jakarta, hal itu tidak terlepas dengan
adanya penemuan prasasti di desa Tugu Cilincing Jakarta Utara. DKI Jakarta
termasuk wilayah kerajaan Taruma atau Tarumanegara, kerajaan Indonesia yang
tertua di pulau Jawa. Berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan dapatlah
diduga bahwa kerajaan Taruma atau Tarumanegara yang diperintah Raja Purnawarman
meliputi daerah-daerah Banten, DKI Jakarta, Bogor dan Bekasi sampai Citarum di
sebelah timur. Di sebelah selatan Kerajaan Tarum atau Tarumanegara sampai
aliran sungai yang disebut Ciaruteun. Jadi masyarakat pertama yang hidup
teratur di dalam sebuah kerajaan yang makmur serta sejahtera di wilayah DKI
Jakarta adalah penduduk kerajaan Tarumanegara, kerajaan tertua di pulau Jawa.[2]
Nama Tarumanagara sebagai kerajaan
dengan bukti epigrafis paling tua di Tatar Sunda yang letak pusat ibukotanya
diduga berada di kawasan muara sungai Ci Tarum tersebut, pada saat ini memang
sudah tidak ada lagi. Akan tetapi, kebesaran namanya masih terabadikan dan
terasosiasi secara relatif dalam memori kolektif masyarakat Sunda seperti pada
aspek penamaan nama tempat Tarumajaya yang berada di kawasan hulu sungai Ci
Tarum hingga saat ini.[3] Kata “Tarum” (sungai Ci Tarum) dan Ci Tarum
(sungai Ci Tarum) jelas merujuk pada kedekatan fonetis yang sama dan
mempengaruhi kata “tarum” sebagai tumbuhan penghasil zat pewarna biru alami.
Keterkaitan hal tersebut dapat menunjukkan bahwa kata Tarum yang sama memiliki
arti yang berbeda dalam konteks bahasa dan kebudayaan Sunda, yakni sebagai nama
sungai pada abad ke-16 M dan sebagai nama tumbuhan pada abad ke-19 M.[4]
Tarumanagara menjadi negeri yang
memberikan pengharapan, kebahagiaan, keberuntungan, sebagaimana sifat Tuhan
yang dipuja dalam keberagamaan masyarakatnya. Tarumanagara bisa diartikan
sebagai negeri yang aman dan makmur. Nama Tarumanagara tersebut terabadikan
dalam prasasti-prasasti abad ke-5 M. Letak ibukota kerajaan Tarumanagara itu
sendiri apabila dikonfirmasi melalui naskah-naskah Sunda Kuno yang berasal dari
abad ke-15 M dan abad ke-16 M, berada pada lintasan aliran sungai terbesar yang
mengalir ke wilayahnya.[5]
Tarumanegara adalah kerajaan Hindu.
Rajanya yang terkenal bernama Purnawarman. Purnawarman sangat memuja dan
memuliakan Dewa Wisnu. Rakyat Tarumanegara hidup makmur dan sejahtera. Mereka
hidup bercocok tanam dan bertani. Pertanian di Tarumanegara sudah mencapai
taraf yang cukup tinggi. Mereka sudah memperhatikan soal irigasi atau pengairan
untuk mengairi sawah-sawah dan untuk mencegah banjir. Mereka sudah berhasil
menggali saluran air yang cukup panjang yakni 6.122 tombak (kurang lebih 24
km). Hal ini memerlukan pengetahuan yang cukup tinggi, organisasi kerja yang
tertib dan semangat gotong royong yang cukup tinggi. Selain bertani rakyat
Tarumanegara juga sudah mengenal perdagangan dan pelayaran. Hal ini dibuktikan
dengan adanya hubungan antara Kerajaan Taruma atau Tarumanegara dengan negeri
China.[6]
[7]
[1] Ada juga
yang berpendapat bahwa pelabuhan Sunda Kelapa berada di lebih dalam lagi.
Seperti yang dikemukakan Supratikno Raharjo yang mengutif dari Heukeun.
Berdasarkan peta-peta yang dibuat pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17,
dapat diketahui bahwa Sunda Kelapa (yang kemudian menjadi Jayakarta), memiliki
pelabuhan yang tidak persis berada di tepian pantai (open sea port), tetapi
masuk dalam jarak tertentu ke dalam muara sungai Ciliwung. Dengan demikian
perahu-perahu dan kapal-kapal juga akan berlabuh di sebelah dalam muara sungai,
bukan di tepi pantai terbuka. Lihat di Sunda Kelapa Sebagai Bandar Jalur Sutra
(Kumpulan Makalah Diskusi) (Jakarta: Dinas Pendidikan Dan
Kebudayaan-Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional, 1995), hlm. 154.
[2] Sagimun MD, Sejarah
Jakarta Dari Tepi Air Ke Kota Sampai Dengan Masa Proklamasi (Jakarta: Pemda
DKI Jakarta & Dinas Museum Dan Sejarah, 1988), hlm. 39.
[3] Chye
Retty Isnendes, dkk, Melacak Arti dan Makna Tarum, Tarumanagara, Ci Tarum,
dan Pataruman melalui Pendekatan Linguistik, Sejarah, dan Budaya, UPI
Bandung, Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, 23(2) (2023), hlm. 206.
[4] Ibid., hlm. 218.
[5] Ibid., hlm. 217.
[6] Sagimun. Op.Cit.,
hlm. 41.
[7] Besar kemungkinan bahwa agama yang dianut Kerajaan
Tarumanegara, terutama Raja Purnawarman tidak 100 % Hindu tanda-tandanya adalah sewaktu Raja
Purnawarman membuat kanal di daerah Tugu (Desa Batu Tumbuh) pernah dikorbankan
tiap tahun 1000 ekor lembu, lihat di Gunawan Zailani, Gunawan & A. Tarbin.
A, Djajakerta 434 Th, Kumpulan
Tjatatan Penulis Putra Djakarta Berdasarkan Silsilah Sari’ie dan Achmad
(Jakarta: Jajasan Djajakerta, 1961), hlm. 99. Dalam catatan sejarah yang ditulis Sagimun MD di buku Sejarah
Jakarta Dari Tepi Air Ke Masa Proklamasi) hlm 37 – 39 hal tersebut juga
dibahas. Raja Purnawarman setelah berhasil membuat kali
atau sungai yang menomental itu Purnawarman dengan rakyatnya mengadakan
*SELAMATAN dengan mengurbankan *1000 SAPI*. Korban 1000 SAPi Itu dipersembahkan
untuk rakyat. Ini menandakan betapa kayanya Kerajaan Tarumanegara. Nah membaca
kalimat *Pengorbanan 1000 Sapi* inilah yang membuat kami bertanya tanya.
Bukankah Purnawarman diidentikan dengan Hindu yang jelas-jelas melarang keras
umatnya memakan daging sapi ? sapi bagi umat Hindu adalah sosok hewan yang
dihormati karena nantinya sapi akan berkaitan dengan Dewa Krisna. Dewa yang
sangat dipuja oleh umat Hindu. Memotong sapi atau memakan daging sapi itu
adalah hal yang tabu yang hukumannya neraka. Sebagai seorang raja yang
digambarkan arif dan bijaksana dan dikenal taat akan "agamanya" tentu
Purnawarman tidak akan sembarangan melanggar titah agamanya. Pengurbanan hewan dalam beberapa agama adalah hal yang biasa
dilakukan. Yahudi, Islam dan beberapa kepercayaan lain sering melaksanakan hal
ini, bahkan sekelas agama Hindu juga ada pengorbanan dengan binatang selain
Sapi. Pengorbanan bahkan sudah dimulai pada masa Nabi Adam AS. Sampai sekarang di India yang
merupakan asal muasal ajaran Hindu hewan sapi masih dihormati. Pengorbanan 1000
sapi kepada rakyat Tarumanegara adalah sikap yang jelas antitesis terhadap
kepercayaan Hindu. Sapi ataupun lembu hewan yang sakral bagi Hindu; bahkan
sekelas Sunan Kudus saja sampai melarang orang Islam dimasanya menyembelih sapi
demi menghormati ummat Hindu. Pengorbanan 1000 sapi dalam rangka SELAMATAN
karena berhasil menggali Kali Gomati atau Candrabaga sepanjang 24 km dan
dilakukan kurang lebih sekitar 20 tahun adalah satu misteri sejarah buat kita
kaji bersama karena infornasi ini memang disebutkan pada Prasasti Tugu yang
merupakan salah satu "Buku" sejarah yang kontekstual dan otentik pada
masa itu...
Oleh : KH Shalahudin Wahid, Oktober 1964