Namanya beberapa kali disebut dalam beberapa arsip lama yang dimiliki oleh keluarga besar KH Ahmad Syar’i Mertakusuma (penulis kitab Al-Fatawi dan pejuang Jayakarta). Tadinya saya tidak terlalu memperhatikan nama tersebut mengingat keterangan yang tertulis sangat singkat. Namun ketika saya mendapati beberapa artikel sejarah Aceh mengenai keberadaan sepak terjang Sultan ini, tiba-tiba saya jadi terpana dan kaget, seolah tidak percaya, karena ternyata sosok yang satu ini adalah tokoh besar dan legendaris bagi masyarakat Aceh. Selama ini dengan ketidak tahuan saya paling saya mengenal Cut Nyak Dien, Cut Mutiah, Teuku Umar, Teuku Cik Di Tiro, Laksamana Kumalahayati, Sultan Iskandar Muda, Fattahillah, dan beberapa lagi. Sedangkan nama Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah pernah saya dengar namun belum saya perdalam. Padahal kalau kita mau tahu, beliau ini justru pada masanya merupakan ujung tombak perlawanan Rakyat Aceh terhadap kezaliman Penjajah Belanda.
Perlawanannya yang heroik terhadap penjajah Belanda patut dikenang sebagai sebuah kisah yang menggetarkan. Dan perlu dicatat, pada masanya dan beberapa tahun sesudahnya, Aceh adalah satu-satunya wilayah Islam yang cukup sulit ditundukkan Penjajah Belanda karena militansi rakyat dan penguasanya dengan dasar jihad fisabillah terhadap Penjajah Kafir Harbi Belanda. Begitu bingungnya Penjajah Belanda dalam menghadapi Pejuang-pejuang Aceh, sampai-sampai mereka mengirimkan Snouck Horgronye untuk mencari tahu cara bagaimana menundukkan perlawanan bangsa Aceh tanpa harus merugikan kas keuangan Kerajaan Belanda. Dan memang harus diakui setelah “kerja keras” Snouck yang licik tersebut, satu persatu perlawanan rakyat Aceh mulai berkurang, apalagi Belanda selalu menggunakan politik ADU DOMBA dan juga melakukan pemisahan hubungan antara Rakyat, Bangsawan dan Ulama Aceh. Salah satu yang dilakukan adalah kepada Sultan Aceh, Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah ini.
Dalam sejarahnya disebutkan secara singkat tentang Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah ini :
Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah, adalah raja terakhir Aceh, dari garis keturunan raja-raja Aceh sebelumnya. Sultan Muhammad Daud Syah dilahirkan pada tahun 1871, dua tahun sebelum Belanda menyerang Aceh pada 26 Maret 1873 M. Sejak berusia 7 tahun, dia ditabalkan sebagai Sultan Aceh di Masjid Indrapuri pada hari Kamis, 26 Desember 1878 M, menggantikan Sultan Alaidin Mahmudsyah (1870-1874) yang meninggal pada 28 Januari 1874, pukul 12.00 siang hari. Menurut catatan sejarah, Sultan Mahmudsyah wafat karena wabah kolera dan dimakamkan di Cot Bada Samahani, Aceh Besar. Wabah kolera ini dibawa oleh Belanda dan ini merupakan penggunaan senjata kimia pertama yang digunakan oleh penjajah dalam sejarah peradaban dunia.
Dia dilantik sebagai raja dalam usia. 11 tahun di Mesjid Tuha Indrapuri dalam situasi perang antara Aceh dan Belanda. Karena itu, mengingat usia Sultan Aceh yang masih terlalu belia, dan untuk menjaga stabilitas pemerintahan, sempat dibentuk lembaga Wali Nanggroe pada tanggal 25 Januari 1874, dan diangkat secara resmi Teungku Chik di Tiro sebagai Wali Nanggroe pada tanggal 28 Januari 1874. Pemburuan terhadap Sultan terus dilakukan oleh pihak Belanda, mengingat dia menjadi salah satu icon berkobarnya perang Aceh melawan Belanda.
Setelah pengangkatan Sultan Muhammad Daudsyah sebagai Sultan Aceh, pembesar-pembesar Aceh seperti Tuanku Hasyem Banta Muda, Teuku Panglima Polem Muda Kuala, Teungku Syiek di Tanoh Abee terus menyusun siasat baru untuk menyerang Belanda di Kuta Raja. Pada tahun 1880, Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman yang baru pulang dari Mekkah bergabung dengan Sultan Muhammad Daudsyah dalam barisan pejuang dan diangkat sebagai menteri peperangan (amirul harb) menentang Belanda. Peran Tgk Syik di Tiro Muhammad Saman dan keturunannya sangat besar dalam sejarah Aceh. Belanda sendiri kemudian menganggap perang Aceh usai pada 3 Desember 1911, sesaat Teungku Maat Syiek di Tiro syahid di gunung Halimun (Ismail Yakob: 1943).
Pada tanggal 26 November 1902, Belanda menawan Teungku Putroe Gambar Gadeng binti Tuanku Abdul Madjid bersama anaknya Tuanku Raja Ibrahim bin Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah, di Gampong Glumpang Payong, Pidie. Penyanderaan ini, dilakukan agar Sultan Aceh terakhir Muhammad Daud Syah, mau menyerahkan diri. Maka, pada tanggal 20 Januari 1903, Sultan Muhammad Daud Syah dibawa ke Kuta Radha oleh penasihatnya (setelah melakukan musyawarah) menghadap Gubernur Aceh-Jenderal Van Heutz untuk menandatangani surat damai dengan Belanda.
Pada awalnya, Sultan dijadikan tahanan kota (di Kuta Radja) oleh Belanda, dengan ragam vasilitas disediakan. Penahanan tersebut diharapkan pula oleh Belanda, agar Sultan mau membantu kepentingan Belanda di Aceh. Namun, justru Sultan memanfaatkan Panglima Nyak Asan dan Nyak Abaih untuk memberi sumbangan pada pejuang Aceh, dari gajinya yang diberikan oleh Belanda 1.200 florin setiap bulan (Ibrahim Alfian, 1999 ; 141). Sikap Sultan ini, menyebabkan ia dipindahkan dari Aceh ke Ambon dan selanjutnya ke Batavia, atas usulan Gubernur Militer Aceh, Letnan Jenderal Van Daalen hingga Sultan wafat di Batavia. Dalam catatan lain, disebutkan Sultan Daud (sebagai Sultan terakhir Aceh) dibuang dari Aceh, karena dia tetap mengharapkan bantuan asing, serta menulis surat kepada konsul Jepang di Singapura (Reid, 1969 ; 281).
Dia ditawan, lalu dibawa ke Batavia (sekarang Jakarta). Pada tahun 1907, Van Daalen mengusulkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, agar Sultan Aceh, Daud diasingkan. Karena itu, dengan ketetapan tanggal 24 Desember 1907, Pemerintah Hindia Belanda, membuang, mengisolasikan Sultan, beserta Tuanku Husin bersama empat orang putranya, sekaligus juga turut diisolasi Teuku Johan Lampaseh, Pejabat Panglima Sagoe Mukim XXVI, Keuchik Syekh dan Nyak Abbas (KV dalam Alfian, 141). Tidak berhenti di situ, seterusnya Belanda juga turut serta mengasingkan beberapa ulama penggerak perjuangan, seperti Teungku Chik di Tanoh Abee, yang turut ikut serta secara konsisten terus melakukan perlawanan terhadap Belanda, sekaligus menjadi penasehat perang yang dipimpin oleh Teungku Chik di Tiro.
Di Batavia, Sultan Muhammad Daud Syah terus mengadakan hubungan luar negeri termasuk menyurati Kaisar Jepang untuk membantu Kerajaan Aceh guna melawan Belanda. Surat itu sekarang didokumentasikan dengan baik oleh cucunya, Tuanku Raja Yusuf bin Tuanku Raja Ibrahim. Salah satu surat bunyinya sebagai berikut: “Barang diwasilkan Tuhan Seru Semesta Alam ini, mari menghadap ke hadapan Majelis sahabat beta Raja Jepun yang bernama Mikado. Ihwal, beta permaklumkan surat ini ke bawah Majelis sahabat beta, agar boleh bersahabat dengan beta selama-lamanya, karena beta ini telah dianiaya oleh orang Belanda serta sekalian orang kulit putih. Bila beta berperang, belanja makan minum Belanda ditolong oleh orang Inggeris. Kepada beta seorang saja pun tiada yang menolong itu pun beta melawan sampai 30 tahun. Jika boleh sahabat bagi, mari kapal sahabat beta empat buah. Yang di darat, beta perhabiskan Belanda ini.”
Surat ini bocor ke tangan Belanda, lalu sultan beserta keluarga diasingkan ke Ambon. Pada tahun 1918, sultan dipindahkan kembali ke Rawamangun, Jakarta, sampai beliau menghembuskan nafas terakhir pada 6 Februari 1939.
Adapun Urutan Penguasa Kesultanan Aceh Darussalam :
1.Sultan Alaidin Ali Mughayat Syahm 916 - 936 H (1511 – 1530 M)
2.Sultan Salahuddin 939 - 945 H (1530 – 1539 M)
3.Sultan Alaidin Riayat Syah II, terkenal dengan nama AL Qahhar 945 – 979 H (1539 – 1571 M)
4.Sultan Husain Alaidin Riayat Syah III, 979 – 987 H (1571 – 1579 M)
5.Sultan Muda bin Husain Syah, usia 7 bulan, menjadi raja selama 28 hari
6.Sultan Mughal Seri Alam Pariaman Syah, 987 H (1579 M) selama 20 hari
7.Sultan Zainal Abidin, 987 – 988 H (1579 – 1580 M)
8.Sultan Aialidin Mansyur Syah, 989 - 995H (1581 -1587 M)
9.Sultan Mugyat Bujang, 995 – 997 H (1587 – 1589 M)
10.Sultan Alaidin Riayat Syah IV, 997 – 1011 H (1589 – 1604 M)
11.Sultan Muda Ali Riayat Syah V 1011 – 1015 H (1604 – 1607 M)
12.Sultan Iskandar Muda Dharma Wangsa Perkasa Alam Syah 1016 – 1045H (1607 – 1636 M)
13.Sultan Mughayat Syah Iskandar Sani, 1045 – 1050 H (1636 – 1641 M)
14.Sultanah Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat, 1050 - 1086H (1641 – 1671 M)
15.Sultanah Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (anak angkat Safiatuddin), 1086 – 1088 H (1675-1678 M)
16.Sultanah Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah (putri dari Naqiatuddin) 1088 – 1098 H (1678 – 1688 M)
17.Sultanah Rri Ratu Kemalat Syah (anak angkat Safiatuddin) 1098 – 1109 H (1688 – 1699 M)
18.Sultan Badrul Alam SYARIF HASYIM JAMALULLAIL 1110 – 1113 H (1699 – 1702 M)
19.Sultan Perkasa Alam SYARIF LAMTOI BIN SYARIF IBRAHIM. 1113 – 1115 H (1702 -1703 M)
20.Sultan Jamalul Alam Badrul Munir bin SYARIF HASYIM 1115 – 1139 H (1703 – 1726 M)
21.Sultan Jauharul Alam Imaduddin, 1139 H (1729 M)
22.Sultan Syamsul Alam Wandi Teubeueng
23.Sultan Alaidin Maharaja Lila Ahmad Syah 1139 – 1147 H (1727 – 1735H)
24.Sultan Alaidin Johan Syah 1147 – 1174 H (1735-1760 M)
25.Sultan Alaidin Mahmud Syah 1174 - 1195 H (1760 – 1781 M)
26.Sultan Alaidin Muhammad Syah 1195 - 1209 H (1781 – 1795 M)
27.Sultan Husain Alaidin Jauharul Alamsyah, 1209 - 1238 H (1795-1823 M)
28.Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah 1238 – 1251 H (1823 – 1836 M)
29.Sultan Sulaiman Ali Alaidin Iskandar Syah 1251 - 1286 H (1836 – 1870 M)
30.Sultan Alaidin Mahmud Syah 1286 – 1290 H (1870 – 1874 M)
31.Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah, 1290 -…..H (1884 -1903 M)
(Di kutip dari buku “Tawarikh Raja- Raja Kerajaan Aceh”. oleh Tgk M Yunus Jamil).
“Perhatikan Sultan Nomor 18, tentu ini sangat menarik bagi mereka yang mendalami nasab dan peran serta Kaum Alawiyyin atau Kaum Sayyid di negeri ini, namun untuk pembahasan ini agaknya akan ada tulisan yang lain...”
Setelah saya membaca secara mendalam artikel yang dituis oleh Muhajir Al Fairusy, S.Hum, MA (Anggota Bidang Pelestarian Pustaka/Pembinaan Khazanah Adat pada MAA Provinsi Aceh) dan juga M Adli Abdullah yang merupakan Pendiri Dayah Najmul Hidayah Al Aziziyah Meunasah Subung, Cot Meurak Samalanga dan Pemerhati Adat dan Sejarah Aceh, serta beberapa lagi yang lainnya, langsung saja saya segera membuka arsip-arsip lama Keluarga besar KH Ahmad Syar’i Mertakusuma yang selama ini telah saya kumpulkan. Ketemulah kembali nama beliau ini dalam catatan cucu beliau yang bernama Gunawan Mertakusuma (Arsip Pribadi), pada tanggal 15 Maret 1980 halaman 19 yang juga mengutif dari isi kitab Al-Fatawi.
Beberapa bulan yang lalu, sebenarnya saya sudah beberapa kali membaca tulisan tentang keberadaan sosok tersebut, dan sempat pula penasaran, namun karena informasi keberadaan dan jejak langkahnya sangat sedikit, akhirnya nama beliau untuk sementara terlupakan karena saya sedang fokus pada penelitian yang lain.
Literaratur yang saya baca dari beberapa artikel tentang sejarah perjuangan dari Jihadis Tangguh yang ditulis oleh dua orang Sejarawan dan Budayawan Aceh itu selanjutnya saya bandingkan dengan catatan singkat dari KH Ahmad Syar’i, disitu saya menemukan sebuah kejutan yang luar biasa, karena ternyata Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah adalah merupakan sosok yang berpengaruh dalam perjuangan jihad di Tanah Jakarta.
Perjuangannya ternyata tidak berhenti. Salah satu andil besar beliau pada saat di Batavia (nama yang digunakan Pemerintah Belanda) adalah, ketika secara diam-diam beliau ini menjadi pemimpin dan otak di balik perlawanan “KI DALANG” yang terjadi pada tahun 1924 di Tangerang. Jangan dianggap perlawanan “KI Dalang” itu hanya skup Tangerang saja, karena buktinya Pemerintah Belanda pasca peristiwa tersebut, memberikan hukuman mati para tokoh-tokohnya, termasuk KH Ahmad Syar’i. Sekalipun Sultan Muhammad Daud Syah ini tidak terlibat di lapangan langsung karena berada dalam pengasingan dan pengawasan ketat Pemerintah Belanda di Jakarta, tapi kepiawaiannya dalam berkomunikasi tetap sulit untuk dideteksi. Pada waktu itu wilayah Tangerang belum terpecah dengan wilayah Jayakarta (Jakarta). Perlawanan “KI DALANG” yang salah satu motornya adalah KH Ahmad Syar’i mendapatkan spirit dan dukungan dari Sultan yang bersahaja ini. Dan jangan lupa dalam biografi KH Ahmad Syar’i tertulis kalau dia pernah belajar Ilmu Politik kepada beberapa tokoh di Rawa Mangun, ya sudah tentu termasuk kepada Sultan Muhammad Daud Syah ini. Dan KH Ahmad Syar’i sendiri adalah anggota Pitung dalam Bidang Strategi yang menggantikan kedudukan Dji’ih pasca syahidnya beliau. Sekalipun Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah berada dalam pengasingan di Batavia, tetapi dia mampu menjalin jaringan dengan pejuang-pejuang Jakarta. Selain perlawanan “Ki Dalang” saya yakin beliau juga mengadakan hubungan dengan tokoh-tokoh besar politik lain seperti MH Thamrin, Yamin, dll, apalagi Jakarta saat itu merupakan pusat pemerintahan Belanda dan pusat kegiatan politik besar. Keterangan ini juga diperkuat dengan adanya hubungan yang akrab antara salah satu putra beliau dengan Bung Karno. Sayangnya kemudian keberadaan putra beliau terlupakan oleh Bung Karno pasca Bung Karno menjadi Presiden RI.
Hubungan antara KH Ahmad Syar’i Mertakusuma dan Sultan Muhammad Daud Syah ini juga telah menjawab rasa penasaran saya, kenapa KH Ahmad Syar’i melakukan pelarian dari kejaran Pemerintah Belanda ke wilayah Aceh. Apalagi beliau bisa berhasil masuk wilayah tersebut dalam kondisi peperangan, jelas ini adalah sebuah langkah yang cukup berani. Di Aceh bahkan KH Ahmad Syar’i belajar tentang Strategi Perang dan Nilai-nilai Perjuangan Rakyat Aceh, sekaligus beliau juga belajar Sejarah Aceh. Belliau juga belajar agama dari beberapa tokoh disana. Ini tentu tidak lepas dari andil dari Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah mengingat beliau adalah orang yang cukup berpengaruh di tanah Aceh. Yang juga semakin menguatkan hubungan mereka adalah, bahwa dalam catatan lama keluarga besar KH Ahmad Syar’i, Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah ini tertulis menetap di dalam pengasingannya di wilayah KAYU PUTIH TANAH TINGGI (sekarang sudah hilang dan menjadi wilayah Pulo Mas). KAYU PUTIH TANAH TINGGI seperti yang pernah saya tulis sebelumnya adalah salah satu “Markas Besar” para pejuang Jayakarta. Disitu banyak dimakamkan para Syuhada (makam-makamnya sudah dipindah ke Kayu Putih Utara Masjid Al-Ghoni Jakarta Timur). Di wilayah Kayu Putih Tanah Tinggi juga terdapat seorang ulama Karismatik yang bernama Datuk Kidam dan juga cucunya yang juga tidak kalah karismatiknya yaitu Syekh Abdul Ghoni (Waliyullah Dan salah satu guru Habib Ali Kwitang).
Keterangan ini juga sekaligus menambahkan data bahwa wilayah lokasi pengasingan Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah adalah Kayu Putih Tanah Tinggi, karena dalam beberapa catatan sejarah, Sultan Muhammad Daud Syah diasingkan di daerah Pisangan Lama. Secara geografis saya lebih cenderung setuju Sultan Muhammad Daud Syah berada di Kayu Putih Tanah Tinggi apalagi jarak Rawamangun dan Kayu Putih Tanah Tinggi (Pulo Mas) itu sangat dekat, mengingat pula Syekh Abdul Ghoni adalah ulama yang dikenal mempunyai banyak jaringan yang luas termasuk dengan ulama-ulama Aceh.
Berdasarkan keterangan artikel singkat diatas ditambah keterangan dari Keluarga Besar KH Ahmad Syar’i Mertakusuma inilah maka akhirnya saya putuskan untuk mencari keberadaan makam beliau. Rasanya cukup aneh dan janggal kalau Orang sebesar Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah tidak diketahui keberadaan makamnya oleh masyarakat Umum apalagi mereka yang mencintai Sejarah lebih khusus lagi warga Jakarta dan Sekitarnya. Dengan menemukan keberadaan makam beliau maka akan semakin memperjelaskan bagaimana posisi dan kedudukan beliau sebagai Sultan Terakhir Aceh dan bagaimana pula hubungannya dengan Jakarta.
Ada sebuah kisah lucu dan unik dalam pencarian makam ini.
Yang saya peroleh dari keterangan tertulis dari Keluarga Besar KH Ahmad Syar’i, bahwa Sultan Muhammad Daud Syah dimakamkan di Pemakaman Utan Kayu Jakarta Timur. Lha setahu saya daerah Utan Kayu tidak ada pemakaman, lha wong itu sangat dekat kok dengan rumah saya, itulah yang menyebabkan saya tempo hari merasa pesimis bisa menemukan makam tersebut. Kemudian saya mencoba browsing internet, ternyata ketemu ! Tapi tetap saja masih ada ganjalan, karena nama tempat pemakamannya berbeda-beda, ada yang menyebutnya PEMAKAMAN KEMIRI, ada yang menyebutnya PEMAKAMAN UTAN KAYU. Yang membuat saya semakin penasaran, posisi makam ini disebut berada di samping UNJ Rawamangun ! Lho bukannya itu adalah tempat dimakamkan AYAH SAYA ! Tapi setahu saya TPU itu namanya TPU SUNAN GIRI deh dan anehnya rasa-rasanya saya tidak pernah mendengar ada nama tokoh besar Aceh yang dimakamkan disini. Tapi dari dari situ saya kemudian mencoba untuk mengingat-ngingat kembali, adakah makam orang-orang Aceh di pemakaman dekat makam ayah saya ini ? Dan ternyata seingat saya memang ada tiga dan inipun posisinya tidak jauh dari Pos Petugas Pemakaman yang berada dekat di jalan raya, tapi berdasarkan ingatan saya, itu bukanlah makam Sultan Muhammad Daud Syah yang dimaksud. Ah daripada pusing, lebih baik saya langsung ke TKP.
Hari Kamis pagi tanggal 30 Juni 2016, saya akhirnya secara singkat mendatangi komplek pemakaman yang juga ada makam ayah saya di Rawamangun itu (hari itu saya cuma bertanya saja). Sambil berdebar-debar saya bertanya kepada beberapa orang yang jual kembang makam di pinggir jalan raya Rawa Mangun Jakarta Timur. Begitu saya bertanya dimana lokasi letak makam “KEMIRI” dijawab mereka, “Lha ini dia pak PEMAKAMAN KEMIRI.....”. Sontak saya kaget dan menjawab, “Lha, ini bukan pemakaman SUNAN GIRI Pak ?” mereka menjawab, “Ya Iya pak, ini juga disebut TPU SUNAN GIRI...”, terus saya bertanya lagi, “Lha kalau TPU UTAN KAYU, yang mana Pak ?”, mereka jawab...”Lha ini juga TPU UTAN KAYU Pak” dan pas saya lihat Plang nama TPU ini ternyata memang tertulis jelas “TPU UTAN KAYU”. Menurut mereka terkadang Komplek TPU ini sering disebut KEMIRI, karena dulunya disini banyak pohon Kemiri, dan kadang sering disebut TPU UTAN KAYU, karena secara administratif memang masih menjadi bagian wilayah Utan Kayu Jakarta Timur.
Berdasarkan informasi yang saya peroleh, Rawamangun ini ternyata dahulunya juga masuk wilayah Utan Kayu (bahkan plang penunjuk jalan di sekitar kampus UNJ bertuliskan UTAN KAYU RAWAMANGUN. Eh Ladalah........jadi makam Sultan Muhammad Daud Syah itu dekat dengan makam Ayah Saya toh ! Ya Salam.......Jakarta sempit amat nih, fikir saya....Sudah hampir 6 tahun ayah saya dimakamkan di komplek ini, baru tahu kalau ada makam Pejuang Besar plus juga para pengikutnya, dan lebih aneh lagi saya baru tahu kalau komplek pemakaman ini nama aslinya adalah TPU UTAN KAYU, hehehe “kurang piknik” kalau kata istilah teman saya. Yang juga dulu sempat membuat saya tanda tanya, sebelum meninggal Al-Marhum Ayah saya (Allah Yarham..) ingin sekali dimakamkan di Komplek ini, dia beralasan, Pemakaman Sunan Giri ini Nyaman dan Damai buat dirinya, dan beliau ingin dimakamkan yang dekat dengan Musholah. Pantas saja beliau ingin disini karena memang suasana pemakaman disini sangat terasa “damainya” dan memang setahu saya selain Sultan Muhammad Daud Syah, ada beberapa makam Ulama Tempo Dulu Betawi lagi yang mastur dan sering diziarahi banyak orang, beliau bernama KH Muhammad Sholeh (Mbah Sholeh ?) dan di dekat makam Sultan juga saya lihat ada makam seorang kyai yang berusia 99 tahun.
Hari Jumat pukul 14.45 siang tanggal 1 Juli 2016, saya bersama istri akhirnya memutuskan datang ke pemakaman Sunan Giri atau TPU Utan Kayu atau TPU Kemiri ini. Sebelumnya sudah tentu saya terlebih dahulu berziarah ke makam ayah saya, setelah berziarah, saya langsung bertanya kepada penjaga yang biasa mengurus makam ayah saya yang sudah cukup akrab bernama Bapak Nimin (Pak Kopral). Pak Kopral kemudian menunjukkan dengan gamblang posisi makam Sultan Muhammad Daud Syah. Beliau juga mengatakan, kalau makam tersebut tergolong tua, dan disekitarnya banyak makam orang-orang Aceh termasuk pengikut Sultan Muhammad Daud Syah.
Dari makam ayah saya, kemudian saya dan istri meluncur kearah belakang komplek pemakaman. Saya menuju makam Sultan Muhammad Daud Syah dengan mengambil jalan utama makam dengan patokan Pompa Dragon (pompa tangan) warna hijau. Jarak makam beliau ini cukup lumayanlah jika berjalan kaki. Apalagi jika dimulai dari pintu gerbang masuk. Kurang lebih sekitar 300 meter. Setelah menemukan pompa dragon warna hijau itu, saya berhenti di pinggir jalan dan melihat posisi di sebelah kanan. Saya berhenti dan melihat beberapa makam, dan akhirnya bertemulah saya dengan makam SULTAN TERAKHIR DARI KESULTANAN ACEH DARUSSALAM INI !
Makamnya termasuk yang berbeda, karena cukup besar, namun tetap bersahaja. Saya cukup terharu menemukan makam ini. Seorang Sultan Besar yang telah mengorbankan jiwa dan raganya, makamnya begitu sangat sederhana dan tidak menunjukkan kelasnya sebagai seorang Sultan Besar yang pernah membuat nyali penjajah bergetar. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi makam tersebut 77 tahun yang lalu (beliau wafat tahun 1939 M). Tentu keberadaannya sangat sunyi dan berada tempat yang sangat jarang diketahui apalagi dikunjungi masyarakat, apalagi pada masa itu wilayah Rawamangun banyak kebun-kebun yang lebat dan sawah-sawah masyarakat Betawi, kalau orang Betawi bilang tempat ini termasuk “Tempat Jin Buang Anak” karena begitu sepinya. Sudah tentu jumlah makam yang ada pada waktu itu tidak terlalu banyak seperti yang sekarang ini. Belanda sepertinya ingin menghilangkan jejak kebesaran Sultan Terakhir Aceh ini dengan “menyembunyikan” posisi makam beliau ini. Sepertinya mereka khawatir jika makam jihadis tangguh ini akan banyak diziarahi orang. Terbukti jika melihat posisi makam, sangat jauh sekali dari jalan raya dan pemukiman, ini kondisi sekarang, apalagi pada masa lalu, yang wilayahnya masih banyak terdapat kebun-kebun yang rapat dan lebat. Sedangkan pusat-pusat kegiatan kota Batavia lebih banyak berada di wilayah Lapangan Banteng, Tanah Abang, Senen, Harmoni, dll. Sampai tahun 1955 saja menurut ayah saya wilayah Pulo Mas apalagi Rawa Mangun itu masih lebat kebun-kebunnya, jalannya juga jarang dilewati kendaraan karena masih sebagian belum beraspal, paling yang sering dilewati wilayah-wilayah Jakarta Pusat.
Setelah berhadapan dengan makam beliau ini, saya kemudian berdoa untuk arwah beliau dan juga pengikutnya yang berada disamping kiri dan kanan. Dan Alhamdulillah, selama saya berziarah tidak ada orang-orang yang dalam beberapa tulisan datang untuk ini, untuk itulah....mereka para petugas makam, hanya melihat biasa saja ketika saya dan istri ziarah. Sekalipun orang-orang tersebut datang untuk “pura-pura” membersihkan makam, bagi saya itu biasa saja..toh memang rezeki mereka banyak terdapat disitu.
Ada nuansa aneh dalam ziarah ke makam beliau ini. Dari rumah saya ngotot sekali untuk memakai kopiah corak hijau dan juga memakai sorban. Padahal sebelumnya kalau saya ziarah, biasa-biasa saja, tapi untuk kali ini ada rasa keinginan besar memakai kopiah dan sorban (padahal saya bukan Ustadz..). Entahlah, saya merasa berpakaian seperti itu karena ingin “menghormati” jasa beliau sebagai pahlawan besar. Simbolisasi ini saya “berikan” karena beliau adalah seorang Sultan Besar dan Pejuang Agama Allah yang luar biasa.
Demi perjuangan jihad fisabilllah Sultan Muhammad Daud Syah ini telah rela mengorbankan hartanya, dia rela keluar masuk hutan demi kebenaran, dia rela meninggalkan tanah airnya, dia rela terisolasi dari rakyatnya. Dia benar-benar keluar dari “zona aman” dalam hidupnya. Tidak banyak Sultan yang bisa bersikap seperti ini. Dia bisa saja menjadi Sultan yang dilantik dan dibawah kendali Belanda, namun itu tidak dia lakukan, karena baginya jika Seorang Sultan dilantik Belanda, itu sama saja dirinya menjadi “Budak Penjajah”. Dia lebih memilih menderita bersama rakyatnya.
Sekalipun harta keluarga besar Kesultanannya dirampas Penjajah Belanda dan dia kemudian jatuh miskin, tapi penjajah rupanya lupa, Sultan Ini tidak pernah bisa terbeli hatinya sampai kapanpun. Sekalipun dia jatuh miskin, sekalipun ada fihak yang menghianatinya, perlawanannya itu tidak pernah berhenti. Terbukti dia mampu memberikan pengaruh terhadap pejuang-pejuang Jayakarta termasuk memberikan pengaruh kepada Kepada KH Ahmad Syar’i Mertakusuma. Artinya Sultan Muhammad Daud Syah adalah salah satu Guru dan Motivator KH Ahmad Syar’i. Ciri khas keduanya sama, sama-sama tidak pernah mau tunduk terhadap penjajahan, sama-sama ditekan penguasa, sama-sama berhadapan dengan “oknum” penjilat penjajah, sama-sama cinta terhadap jihad fisabillah, sama-sama harus hijrah ke negeri lain, dan sama-sama meninggal dalam kesunyian di negeri orang.
Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah, adalah Jihadis Agung Bangsa Ini, dia tidak hanya milik orang Aceh, dia juga milik orang Jakarta, dia juga milik kita semua. Demi perjuangan dia mungkin bisa saja “hilang” dalam “catatan” sejarah perjuangan bangsa ini, tapi bagi kita yang cinta terhadap perjuangan beliau untuk memperoleh keadilan dan kebenaran, maka sosok beliau ini bisa kita kenang dan patut kita contoh dalam kehidupan sekarang, Kegigihannya dalam mempertahankan prinsip, keuletannya dalam mempertahankan Aqidah adalah sebuah prinsip hidup yang cukup mengagumkan...
Semoga Pejuang Sejati Allah ini ditempatkan ke dalam tempat yang terbaik kelak di akhirat sana....Amin...