Masa Fathan Mubina, adalah sebuah proses Islamisasi
Sunda Kelapa menjadi negeri Islam. Sekalipun singkat, namun hasilnya tetap luar
biasa, karena Fathan Mubina menjadi negeri yang bersyariatkan Islam. Fatahillah
yang merupakan salah satu tokoh kunci direbutnya Sunda Kelapa mengganti nama
wilayah pelabuhan besar ini menjadi nama Fathan Mubina setelah sebelumnya beliau membaca Al-Quran Surat Al-Fath ayat 1 pada
malam takbiran, dari sini timbul ilham dari Fatahillah untuk menamai Sunda
Kelapa dengan nama baru yaitu Fathan Mubina. Peristiwa itu terjadi pada tanggal
1 Syawal 933 H, atau bertepatan dengan hari Ahad tanggal 30 Juni 1527 Masehi.
Dari tahun 1527 s/d tahun 1530, Fatahillah terus
menerus melakukan konsolidasi untuk memajukan negeri Fathan Mubina. Sebagaimana
dari negeri yang menjadi atasannya yaitu Kesultanan Demak. Negeri Fathan Mubina
menerapkan ajaran Syariat Islam sesuai yang dianut oleh Kesultanan Demak dan
Wali Songo. Mengingat Fatahillah seorang muslim yang kuat, pendakwah yang
handal tentunya Islam yang diterapkan kepada masyarakat Fathan Mubina,
dilakukan secara bertahap dan secara akulturasi. Tindakan yang dilakukannya
sudah tentu telah mendapat restu dari Sultan Trenggono sebagai Sultan Demak 3
yang juga terkenal akan semangat dakwah Islamnya.
Sebagai sosok yang tujuan hidupnya untuk perjuangan
dakwah, Fatahillah nampaknya tidak terlalu ambisius untuk menjadi pimpinan
secara struktrular di negeri Fathan Mubina. Namun demikian beliau pun tidak
pernah meninggalkan kewajibannya untuk terus memajukan negeri Fathan Mubina.
Selama hampir 3 tahun beliau terus melakukan konsolidasi bersama dengan
pemuka-pemuka Islam yang ada di Kesultanan Demak, Cirebon, Banten guna
membentuk pemerintahan yang kokoh.
[1] KH Ahmad Syar’i
Mertakusuma, Silsilatul Syar’i (Jakarta: Al Fatawi, 1910), hlm. 39, 65
dan Tarikh Jayakarta, hlm, 4. Lihat juga materi ini pada tanggapan atas
pemberitaan Suara Pembaruan atas perihal Betawi dengan judul “Asal-Usul Nama Betawi”, oleh Gunawan
Mertakusuma, tanggal 8 Juli 1988 (Arsip tersimpan pada kami). Kami juga
mengkoreksi dan mencocokan tentang tahun-tahun hijriah atas terjadinya
peristiwa peristiwa tersebut di kitab Al Fatawi dan catatan lokal keturunan
Jayakarta dengan catatan-catatan Portugis dan juga catatan-catatan lain yang
saling mendukung. Tentunya perhitungan hijriah yang kami gunakan telah kami
sesuaikan dengan sistem falakiah digital yang sudah modern dan teruji
validitasnya.