Masa Batavia, dapat dikatakan sebagai
masa-masa berat dalam dakwah Islamiah karena saat kedatangan VOC, kraton
Jayakarta yang merupakan pusat pemerintahan yang melindungi kekuatan Islam
telah terbakar dan kemudian ditinggalkan penghuninya, otomatis pusat kekuasaan
menjadi lumpuh. Tidak lama dengan jatuhnya kraton Jayakarta maka sejak saat itu
Jayakarta dirubah namanya oleh Jan Pieterzoon Coen menjadi Batavia pada tanggal
30 Mei 1619 Masehi.
Setelah Belanda berhasil menaklukkan
Jayakarta, kota ini oleh Belanda dihancurkan dan namanya diganti menjadi
Batavia. Diatas reruntuhan kota tersebut dibangunlah sebuah kota dengan pola
dan tata letaknya meniru kota di negeri Belanda. Rancangan kota tersebut
membentuk sebuah fortalezza berbentuk kotak dimana bagian depan dari benteng
digali parit Di bagian belakangnya terdapat berbagai bangunan dan gudang yang
juga dikelilingi oleh parit, pagar besi dan tiang-tiang yang kokoh. Benteng ini
pada mulanya akan difungsikan sebagai kastil dan pusat perdagangan yang dimasa
kemudian akan merangkap sebagai pusat pemerintahan merangkap sebagai tempat
para pegawai kompeni Pembangunan ini merupakan cikal bakal dari berdirinya kota
dengan lambang sebilah pedang dan perisai yang dikenal dengan nama Batavia
Seluruh pembangunan tersebut selesai pada tahun 1650.[1]
Coen sendiri dikenal sebagai peletak
dasar kekuasaan kita di Hindia Belanda, namun dia juga mempunyai kesalahan yang
sangat buruk dari sisi kemanusiaan. Kesalahan terburuk yang disandang oleh Coen
ialah pembunuhan massal yang dilakukannya di pulau Banda. Orang tidak dapat
menghapus memori mereka tentang apa yang sudah dilakukan Coen di Banda.[2]
Pendirian kota Batavia di sebelah
barat pesisir pantai utara Jawa, tidak dapat dipisahkan dari peran seorang
tokoh yang bernama Jean Pieterzoon Coen. Meskipun sebelumnya Jayakarta (nama
sebelum Batavia), dikuasai dan dibangun oleh Pangeran Fatahillah, akan tetapi
situasi dan kondisi dalam bidang sosial dan ekonomi Jayakarta tidak seperti
pada masa pengelolaan J.P. Coen. Setelah Jayakarta dikuasai oleh VOC, melalui
kebijakan ekspedisi militer yang dirancang oleh JP. Coen, keadaan kota
Jayakarta perlahan demi perlahan semakin meningkat dalam bidang sosial dan
ekonomi. Peningkatan kota Batavia dalam lapangan sosial dan ekonomi dilatari
oleh tiga kebijakan JP. Coen yang cukup berani, yakni meningkatkan aktivitas
perdagangan di pelabuhan Sunda Kalapa, merevitalisasi kedudukan pulau-pulau di
utara Batavia sebagai basis adiministrasi dan pertahanan dan keamanan, serta
membuka pintu seluas-luasnya bagi pedagang dan pendatang etnis Tionghoa. Tiga
kebijakan tersebut, sejatinya merupakan murni hasil pemikiran yang dituangkan
olh JP. Coen, setelah mengambil alih wilayah Jayakarta dari penguasaan Pangeran
Fatahillah.[3]
VOC dibawah pimpinan Gubernur Jenderal
Jan Pieterzoon Coen pada tahun 1619 M berhasil merebut Jayakarta. Orang-orang
Banten yang berada di Jayakarta diusir. Kota Jayakarta dibakar pada tanggal 30
Mei 1619 M. Jan Pieterzoon Coen mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia sesuai
dengan nama nenek moyang bangsa Belanda, bangsa Bataf dan Batavia menjadi
Markas Besar VOC. Usaha VOC untuk menguasai perdagangan rempah-rempah makin
mudah. VOC terus mengadakan perluasan wilayah kekuasaan. Pusat-pusat
perdagangan penting di nusantara berhasil dikuasai, antara lain Malaka (1641),
Padang (1662), dan Makassar (1667). VOC juga menguasai daerah-daerah pedalaman,
misalnya Mataram dan Banten yang banyak menghasilkan beras dan lada.[4]
Akhirnya Jan Pieterzoon Coen memilih
Jayakarta sebagai pusat pemerintahannya karena di Jayakarta ini terdapat gudang
dan loji VOC yang berdiri sejak 1610. Namun karena Pangeran Jayakarta penguasa
Jayakarta tidak menghendaki kehadiran Jan Pieterzoon Coen di wilayah
kekuasaannya, kemudian Gubernur ini memperkuat diri dengan membangun benteng di
sekitar Jayakarta.[5]
Dahulunya orang Portugis menamakan kota Jayakarta dengan nama Jacatra. Sampai
dengan tahun 1619 orang Belanda menyebut Jacatra juga. Sejak tahun 1619,
setelah kota ini dikuasai oleh Belanda oleh De Heeren Zeventien (Dewan 17) dari
Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), namanya diubah menjadi Batavia
sesuai dengan nama nenek moyang bangsa Belanda yaitu bangsa Bataf.[6]
[1] Dede Reza Dita Permana
(skripsi), Perubahan Jayakarta
Menjadi Batavia Pada Tahun 1619 (Tasikmalaya : Jurusan Pendidikan Sejarah
Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Siliwangi, 2023), hlm. 22.
[2] Johny
A. Khusyairi, Memori atas Tiga Gubernur Jenderal di Hindia: Coen, Daendels
dan van Heutsz di Belanda, Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Airlangga, Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Volume 24 No.
2, April–Juni 2011, hlm. 121.
[3] Rani Noviyanti,
Gubernur Jenderal Voc Jan Pieterszoon Coen Dan Pembangun Kota Batavia
(1619-1629), SOSIO-E-KONS, Vol. 9 No. 1 April 2017, hlm. 54.
[4] Samsi
Wahyudi, Peranan Jan Pieterzoon Coen Di Bidang Politik Dan Militer Tahun
1619-1623, Jurnal Swarnadwipa Volume 1, Nomor 1, Tahun 2017, hlm. 5.
[5] Ibid., hlm. 2.
[6] Lilie
Suratminto, Nama-nama Tempat di Jakarta dan Kaitannya dengan Masa Kolonial,
Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Toponimi yang diselenggarakan
oleh Pusat Penelitain Kajian Budaya (PPKB ) pada hari Kamis tanggal 3 November
2016 di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, hlm. 37. Lihat
juga di Susan Blackburn, Sejarah 400 Tahun, Seri terjemahan, (Jakarta:
Masup, 2011), hlm.15 dan Jean Gelman Taylor, Kehidupan Sosial di Batavia
(Depok: Komunitas Bambu, 2009), hlm. 4.