Jakarta era sejarah, adalah sebuah wilayah tua yang
cukup terkenal akan konsisten dalam pengamalan keagamaan mulai dari Hindu Budha
sampai kepada Islam. Sejak dahulu kalau
kita bicara Jakarta, maka
pikiran yang timbul tentang daerah ini adalah penduduknya sangat kuat dalam
memegang teguh identitas keagamaannya. Sekalipun demikian khususnya Islam,
mereka juga bisa toleran terhadap suku bangsa dan agama-agama yang lain. Selain
keagamaan, Jakarta juga kaya akan sejarah kehidupan manusianya.
Membahas
kronologis tentang Jakarta tentu kita harus kembali lagi pada sejarah ke
belakang, dimana pada masa lampau daerah ini telah mampu memberikan informasi
penting tentang adanya sebuah peradaban manusia terutama sekali ketika Jakarta
masih bernama Sunda Kelapa yang pemerintahannya banyak berpusat di pesisir
pantai utara dan kepulauan seribu.[1]
Pada
masa itu Sunda Kelapa identik dengan bandar pelabuhannya yang terkenal sampai
mancanegara. Sunda Kelapa adalah Kota Pelabuhan, sehingga boleh jadi disana
banyak tercipta budaya kehidupan yang akulturasi yang melibatkan banyak suku bangsa. Bergeser ke belakang lagi bahkan
sebelum bernama Sunda Kelapa atau sebelum munculnya Kerajaan Tarumanegara,
daerah ini sudah terdapat kehidupan manusia. Ini menandakan Jakarta pada masa
kuno adalah sebuah wilayah penting di kawasan nusantara bahkan juga asia.
Mengenai Kerajaan Tarumanegara yang
dikaitkan dengan perjalanan sejarah Jakarta, hal itu tidak terlepas dengan
adanya penemuan prasasti di desa Tugu Cilincing Jakarta Utara. DKI Jakarta
termasuk wilayah kerajaan Taruma atau Tarumanegara, kerajaan Indonesia yang
tertua di pulau Jawa. Berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan dapatlah
diduga bahwa kerajaan Taruma atau Tarumanegara yang diperintah Raja Purnawarman
meliputi daerah-daerah Banten, DKI Jakarta, Bogor dan Bekasi sampai Citarum di
sebelah timur. Di sebelah selatan Kerajaan Tarum atau Tarumanegara sampai
aliran sungai yang disebut Ciaruteun. Jadi masyarakat pertama yang hidup
teratur di dalam sebuah kerajaan yang makmur serta sejahtera di wilayah DKI
Jakarta adalah penduduk kerajaan Tarumanegara, kerajaan tertua di pulau Jawa.[2]
Nama Tarumanagara sebagai kerajaan
dengan bukti epigrafis paling tua di Tatar Sunda yang letak pusat ibukotanya
diduga berada di kawasan muara sungai Ci Tarum tersebut, pada saat ini memang
sudah tidak ada lagi. Akan tetapi, kebesaran namanya masih terabadikan dan
terasosiasi secara relatif dalam memori kolektif masyarakat Sunda seperti pada
aspek penamaan nama tempat Tarumajaya yang berada di kawasan hulu sungai Ci
Tarum hingga saat ini.[3] Kata “Tarum” (sungai Ci Tarum) dan Ci Tarum
(sungai Ci Tarum) jelas merujuk pada kedekatan fonetis yang sama dan
mempengaruhi kata “tarum” sebagai tumbuhan penghasil zat pewarna biru alami.
Keterkaitan hal tersebut dapat menunjukkan bahwa kata Tarum yang sama memiliki
arti yang berbeda dalam konteks bahasa dan kebudayaan Sunda, yakni sebagai nama
sungai pada abad ke-16 M dan sebagai nama tumbuhan pada abad ke-19 M.[4]
Tarumanagara menjadi negeri yang
memberikan pengharapan, kebahagiaan, keberuntungan, sebagaimana sifat Tuhan
yang dipuja dalam keberagamaan masyarakatnya. Tarumanagara bisa diartikan
sebagai negeri yang aman dan makmur. Nama Tarumanagara tersebut terabadikan
dalam prasasti-prasasti abad ke-5 M. Letak ibukota kerajaan Tarumanagara itu
sendiri apabila dikonfirmasi melalui naskah-naskah Sunda Kuno yang berasal dari
abad ke-15 M dan abad ke-16 M, berada pada lintasan aliran sungai terbesar yang
mengalir ke wilayahnya.[5]
Tarumanegara adalah kerajaan Hindu.
Rajanya yang terkenal bernama Purnawarman. Purnawarman sangat memuja dan
memuliakan Dewa Wisnu. Rakyat Tarumanegara hidup makmur dan sejahtera. Mereka
hidup bercocok tanam dan bertani. Pertanian di Tarumanegara sudah mencapai
taraf yang cukup tinggi. Mereka sudah memperhatikan soal irigasi atau pengairan
untuk mengairi sawah-sawah dan untuk mencegah banjir. Mereka sudah berhasil
menggali saluran air yang cukup panjang yakni 6.122 tombak (kurang lebih 24
km). Hal ini memerlukan pengetahuan yang cukup tinggi, organisasi kerja yang
tertib dan semangat gotong royong yang cukup tinggi. Selain bertani rakyat
Tarumanegara juga sudah mengenal perdagangan dan pelayaran. Hal ini dibuktikan
dengan adanya hubungan antara Kerajaan Taruma atau Tarumanegara dengan negeri
China.[6]
[7]
[1] Ada juga
yang berpendapat bahwa pelabuhan Sunda Kelapa berada di lebih dalam lagi.
Seperti yang dikemukakan Supratikno Raharjo yang mengutif dari Heukeun.
Berdasarkan peta-peta yang dibuat pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17,
dapat diketahui bahwa Sunda Kelapa (yang kemudian menjadi Jayakarta), memiliki
pelabuhan yang tidak persis berada di tepian pantai (open sea port), tetapi
masuk dalam jarak tertentu ke dalam muara sungai Ciliwung. Dengan demikian
perahu-perahu dan kapal-kapal juga akan berlabuh di sebelah dalam muara sungai,
bukan di tepi pantai terbuka. Lihat di Sunda Kelapa Sebagai Bandar Jalur Sutra
(Kumpulan Makalah Diskusi) (Jakarta: Dinas Pendidikan Dan
Kebudayaan-Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional, 1995), hlm. 154.
[2] Sagimun MD, Sejarah
Jakarta Dari Tepi Air Ke Kota Sampai Dengan Masa Proklamasi (Jakarta: Pemda
DKI Jakarta & Dinas Museum Dan Sejarah, 1988), hlm. 39.
[3] Chye
Retty Isnendes, dkk, Melacak Arti dan Makna Tarum, Tarumanagara, Ci Tarum,
dan Pataruman melalui Pendekatan Linguistik, Sejarah, dan Budaya, UPI
Bandung, Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, 23(2) (2023), hlm. 206.
[4] Ibid., hlm. 218.
[5] Ibid., hlm. 217.
[6] Sagimun. Op.Cit.,
hlm. 41.
[7] Besar kemungkinan bahwa agama yang dianut Kerajaan
Tarumanegara, terutama Raja Purnawarman tidak 100 % Hindu tanda-tandanya adalah sewaktu Raja
Purnawarman membuat kanal di daerah Tugu (Desa Batu Tumbuh) pernah dikorbankan
tiap tahun 1000 ekor lembu, lihat di Gunawan Zailani, Gunawan & A. Tarbin.
A, Djajakerta 434 Th, Kumpulan
Tjatatan Penulis Putra Djakarta Berdasarkan Silsilah Sari’ie dan Achmad
(Jakarta: Jajasan Djajakerta, 1961), hlm. 99. Dalam catatan sejarah yang ditulis Sagimun MD di buku Sejarah
Jakarta Dari Tepi Air Ke Masa Proklamasi) hlm 37 – 39 hal tersebut juga
dibahas. Raja Purnawarman setelah berhasil membuat kali
atau sungai yang menomental itu Purnawarman dengan rakyatnya mengadakan
*SELAMATAN dengan mengurbankan *1000 SAPI*. Korban 1000 SAPi Itu dipersembahkan
untuk rakyat. Ini menandakan betapa kayanya Kerajaan Tarumanegara. Nah membaca
kalimat *Pengorbanan 1000 Sapi* inilah yang membuat kami bertanya tanya.
Bukankah Purnawarman diidentikan dengan Hindu yang jelas-jelas melarang keras
umatnya memakan daging sapi ? sapi bagi umat Hindu adalah sosok hewan yang
dihormati karena nantinya sapi akan berkaitan dengan Dewa Krisna. Dewa yang
sangat dipuja oleh umat Hindu. Memotong sapi atau memakan daging sapi itu
adalah hal yang tabu yang hukumannya neraka. Sebagai seorang raja yang
digambarkan arif dan bijaksana dan dikenal taat akan "agamanya" tentu
Purnawarman tidak akan sembarangan melanggar titah agamanya. Pengurbanan hewan dalam beberapa agama adalah hal yang biasa
dilakukan. Yahudi, Islam dan beberapa kepercayaan lain sering melaksanakan hal
ini, bahkan sekelas agama Hindu juga ada pengorbanan dengan binatang selain
Sapi. Pengorbanan bahkan sudah dimulai pada masa Nabi Adam AS. Sampai sekarang di India yang
merupakan asal muasal ajaran Hindu hewan sapi masih dihormati. Pengorbanan 1000
sapi kepada rakyat Tarumanegara adalah sikap yang jelas antitesis terhadap
kepercayaan Hindu. Sapi ataupun lembu hewan yang sakral bagi Hindu; bahkan
sekelas Sunan Kudus saja sampai melarang orang Islam dimasanya menyembelih sapi
demi menghormati ummat Hindu. Pengorbanan 1000 sapi dalam rangka SELAMATAN
karena berhasil menggali Kali Gomati atau Candrabaga sepanjang 24 km dan
dilakukan kurang lebih sekitar 20 tahun adalah satu misteri sejarah buat kita
kaji bersama karena infornasi ini memang disebutkan pada Prasasti Tugu yang
merupakan salah satu "Buku" sejarah yang kontekstual dan otentik pada
masa itu...