Senin, 28 Oktober 2024

TARUMANEGARA DALAM SEJARAH JAKARTA (Dikutif Dari Buku Fatahillah)


Jakarta era sejarah, adalah sebuah wilayah tua yang cukup terkenal akan konsisten dalam pengamalan keagamaan mulai dari Hindu Budha sampai kepada  Islam. Sejak dahulu kalau kita bicara Jakarta, maka pikiran yang timbul tentang daerah ini adalah penduduknya sangat kuat dalam memegang teguh identitas keagamaannya. Sekalipun demikian khususnya Islam, mereka juga bisa toleran terhadap suku bangsa dan agama-agama yang lain. Selain keagamaan, Jakarta juga kaya akan sejarah kehidupan manusianya.

Membahas kronologis tentang Jakarta tentu kita harus kembali lagi pada sejarah ke belakang, dimana pada masa lampau daerah ini telah mampu memberikan informasi penting tentang adanya sebuah peradaban manusia terutama sekali ketika Jakarta masih bernama Sunda Kelapa yang pemerintahannya banyak berpusat di pesisir pantai utara dan kepulauan seribu.[1]

Pada masa itu Sunda Kelapa identik dengan bandar pelabuhannya yang terkenal sampai mancanegara. Sunda Kelapa adalah Kota Pelabuhan, sehingga boleh jadi disana banyak tercipta budaya kehidupan yang akulturasi yang melibatkan banyak suku  bangsa. Bergeser ke belakang lagi bahkan sebelum bernama Sunda Kelapa atau sebelum munculnya Kerajaan Tarumanegara, daerah ini sudah terdapat kehidupan manusia. Ini menandakan Jakarta pada masa kuno adalah sebuah wilayah penting di kawasan nusantara bahkan juga asia.

Mengenai Kerajaan Tarumanegara yang dikaitkan dengan perjalanan sejarah Jakarta, hal itu tidak terlepas dengan adanya penemuan prasasti di desa Tugu Cilincing Jakarta Utara. DKI Jakarta termasuk wilayah kerajaan Taruma atau Tarumanegara, kerajaan Indonesia yang tertua di pulau Jawa. Berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan dapatlah diduga bahwa kerajaan Taruma atau Tarumanegara yang diperintah Raja Purnawarman meliputi daerah-daerah Banten, DKI Jakarta, Bogor dan Bekasi sampai Citarum di sebelah timur. Di sebelah selatan Kerajaan Tarum atau Tarumanegara sampai aliran sungai yang disebut Ciaruteun. Jadi masyarakat pertama yang hidup teratur di dalam sebuah kerajaan yang makmur serta sejahtera di wilayah DKI Jakarta adalah penduduk kerajaan Tarumanegara, kerajaan tertua di pulau Jawa.[2]

Nama Tarumanagara sebagai kerajaan dengan bukti epigrafis paling tua di Tatar Sunda yang letak pusat ibukotanya diduga berada di kawasan muara sungai Ci Tarum tersebut, pada saat ini memang sudah tidak ada lagi. Akan tetapi, kebesaran namanya masih terabadikan dan terasosiasi secara relatif dalam memori kolektif masyarakat Sunda seperti pada aspek penamaan nama tempat Tarumajaya yang berada di kawasan hulu sungai Ci Tarum hingga saat ini.[3]  Kata “Tarum” (sungai Ci Tarum) dan Ci Tarum (sungai Ci Tarum) jelas merujuk pada kedekatan fonetis yang sama dan mempengaruhi kata “tarum” sebagai tumbuhan penghasil zat pewarna biru alami. Keterkaitan hal tersebut dapat menunjukkan bahwa kata Tarum yang sama memiliki arti yang berbeda dalam konteks bahasa dan kebudayaan Sunda, yakni sebagai nama sungai pada abad ke-16 M dan sebagai nama tumbuhan pada abad ke-19 M.[4]

Tarumanagara menjadi negeri yang memberikan pengharapan, kebahagiaan, keberuntungan, sebagaimana sifat Tuhan yang dipuja dalam keberagamaan masyarakatnya. Tarumanagara bisa diartikan sebagai negeri yang aman dan makmur. Nama Tarumanagara tersebut terabadikan dalam prasasti-prasasti abad ke-5 M. Letak ibukota kerajaan Tarumanagara itu sendiri apabila dikonfirmasi melalui naskah-naskah Sunda Kuno yang berasal dari abad ke-15 M dan abad ke-16 M, berada pada lintasan aliran sungai terbesar yang mengalir ke wilayahnya.[5]

Tarumanegara adalah kerajaan Hindu. Rajanya yang terkenal bernama Purnawarman. Purnawarman sangat memuja dan memuliakan Dewa Wisnu. Rakyat Tarumanegara hidup makmur dan sejahtera. Mereka hidup bercocok tanam dan bertani. Pertanian di Tarumanegara sudah mencapai taraf yang cukup tinggi. Mereka sudah memperhatikan soal irigasi atau pengairan untuk mengairi sawah-sawah dan untuk mencegah banjir. Mereka sudah berhasil menggali saluran air yang cukup panjang yakni 6.122 tombak (kurang lebih 24 km). Hal ini memerlukan pengetahuan yang cukup tinggi, organisasi kerja yang tertib dan semangat gotong royong yang cukup tinggi. Selain bertani rakyat Tarumanegara juga sudah mengenal perdagangan dan pelayaran. Hal ini dibuktikan dengan adanya hubungan antara Kerajaan Taruma atau Tarumanegara dengan negeri China.[6] [7]



[1] Ada juga yang berpendapat bahwa pelabuhan Sunda Kelapa berada di lebih dalam lagi. Seperti yang dikemukakan Supratikno Raharjo yang mengutif dari Heukeun. Berdasarkan peta-peta yang dibuat pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17, dapat diketahui bahwa Sunda Kelapa (yang kemudian menjadi Jayakarta), memiliki pelabuhan yang tidak persis berada di tepian pantai (open sea port), tetapi masuk dalam jarak tertentu ke dalam muara sungai Ciliwung. Dengan demikian perahu-perahu dan kapal-kapal juga akan berlabuh di sebelah dalam muara sungai, bukan di tepi pantai terbuka. Lihat di Sunda Kelapa Sebagai Bandar Jalur Sutra (Kumpulan Makalah Diskusi) (Jakarta: Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan-Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional, 1995), hlm. 154.

[2] Sagimun MD, Sejarah Jakarta Dari Tepi Air Ke Kota Sampai Dengan Masa Proklamasi (Jakarta: Pemda DKI Jakarta & Dinas Museum Dan Sejarah, 1988), hlm. 39.

[4] Ibid., hlm. 218.

[5] Ibid., hlm. 217.

[6] Sagimun. Op.Cit., hlm. 41.

[7] Besar kemungkinan bahwa agama yang dianut Kerajaan Tarumanegara, terutama Raja Purnawarman tidak 100 % Hindu  tanda-tandanya adalah sewaktu Raja Purnawarman membuat kanal di daerah Tugu (Desa Batu Tumbuh) pernah dikorbankan tiap tahun 1000 ekor lembu, lihat di Gunawan Zailani, Gunawan & A. Tarbin. A, Djajakerta 434 Th, Kumpulan Tjatatan Penulis Putra Djakarta Berdasarkan Silsilah Sari’ie dan Achmad (Jakarta: Jajasan Djajakerta, 1961), hlm. 99. Dalam catatan sejarah yang ditulis Sagimun MD di buku Sejarah Jakarta Dari Tepi Air Ke Masa Proklamasi) hlm 37 – 39 hal tersebut juga dibahas. Raja Purnawarman setelah berhasil membuat kali atau sungai yang menomental itu Purnawarman dengan rakyatnya mengadakan *SELAMATAN dengan mengurbankan *1000 SAPI*. Korban 1000 SAPi Itu dipersembahkan untuk rakyat. Ini menandakan betapa kayanya Kerajaan Tarumanegara. Nah membaca kalimat *Pengorbanan 1000 Sapi* inilah yang membuat kami bertanya tanya. Bukankah Purnawarman diidentikan dengan Hindu yang jelas-jelas melarang keras umatnya memakan daging sapi ? sapi bagi umat Hindu adalah sosok hewan yang dihormati karena nantinya sapi akan berkaitan dengan Dewa Krisna. Dewa yang sangat dipuja oleh umat Hindu. Memotong sapi atau memakan daging sapi itu adalah hal yang tabu yang hukumannya neraka. Sebagai seorang raja yang digambarkan arif dan bijaksana dan dikenal taat akan "agamanya" tentu Purnawarman tidak akan sembarangan melanggar titah agamanya. Pengurbanan hewan dalam beberapa agama adalah hal yang biasa dilakukan. Yahudi, Islam dan beberapa kepercayaan lain sering melaksanakan hal ini, bahkan sekelas agama Hindu juga ada pengorbanan dengan binatang selain Sapi. Pengorbanan bahkan sudah dimulai pada masa Nabi Adam AS.  Sampai sekarang di India yang merupakan asal muasal ajaran Hindu hewan sapi masih dihormati. Pengorbanan 1000 sapi kepada rakyat Tarumanegara adalah sikap yang jelas antitesis terhadap kepercayaan Hindu. Sapi ataupun lembu hewan yang sakral bagi Hindu; bahkan sekelas Sunan Kudus saja sampai melarang orang Islam dimasanya menyembelih sapi demi menghormati ummat Hindu. Pengorbanan 1000 sapi dalam rangka SELAMATAN karena berhasil menggali Kali Gomati atau Candrabaga sepanjang 24 km dan dilakukan kurang lebih sekitar 20 tahun adalah satu misteri sejarah buat kita kaji bersama karena infornasi ini memang disebutkan pada Prasasti Tugu yang merupakan salah satu "Buku" sejarah yang kontekstual dan otentik pada masa itu...