Oleh : Iwan Mahmoed Al Fattah II
Untuk kesekian kalinya, sejak kemunculan kontroversi nasab Baalawi di tahun 2023 yang dipelopori oleh para penganut “Mazhab Syukriyah”, silih berganti tema-tema terus “dihadirkan” guna menggerus atau mengikis habis peran sejarah orang Arab terutama mereka yang berasal dari Hadramaut utamanya keluarga Bani Alawi. Setelah gugatan terhadap Imam Ubaidhilah, gugatan keberadaan makam Imam Ahmad Al Muhajir, tuntutan untuk test DNA, ternyata masih ada lagi yaitu tentang gugatan terhadap eksistensi orang Arab Yaman Hadramaut yang ada di negeri ini. Tidak tanggung-tanggung, orang Arab Yaman distereotifkan sebagai suku bangsa atau suku yang sangat bermasalah di negeri ini, terutama para habaibnya. Mereka dianggap benalu oleh penganut “Mazhab Syukriyah” atau ajaran “Muradisme” ini. Hanya karena beberapa orang dari kalangan Baalawi yang dianggap “offside” perilakunya, maka Arab Yaman Hadramaut di negeri ini bahkan di negara asalnya dicap sebagai kaum yang “trouble maker”. Mereka memukul rata terhadap orang² Yaman, bahkan mereka mengatakan bahwa Yaman adalah negeri komunis padahal fase itu sudah dilewati dan lagipula dahulu sekalipun pemerintahannya komunis, rakyatnya masih banyak yang kokoh keislamannya sama seperti negeri kita juga dulu nyaris dikuasai komunis toh Islamnya masih kuat. Tidak heran julukan kadrun, tukang minyak wangi, yahudi Askhenazi, kaum halu, tukang kibul sering sekali saya temukan…sampai-sampai saya harus selalu mengelus dada dan beristigfar…
Bagi para penganut “Mazhab Syukriyah” menilai bahwa kedatangan bangsa Arab Yaman Hadramaut adalah sebuah kesengajaan yang memang diciptakan oleh penjajah. Menurut mereka, Ini terbukti dengan adanya beberapa pemuka mereka yang dekat dengan penguasa kolonial penjajah, bahkan sempat-sempatnya mendoakan penguasa kafir tersebut. Menurut “Kaum Muradiah” ini kedatangan bangsa Arab Yaman Hadramaut difungsikan untuk menggeser bahkan menindas pribumi yang ada di Nusantara. Pribumi dianggap warga kelas rendahan sedangkan bangsa Arab justru diberikan tempat yang layak di hadapan penjajah.
Benarkah tuduhan para penganut “Mazhab Syukriyah” ini ?
Untuk menjawab tuduhan ini tentu kita harus menjawabnya dengan data dan fakta sejarah yang ada sejak mulai awal kedatangan mereka sampai kepada abad ke 20. Karena bicara tentang sejarah bangsa Arab terutama orang-orang Arab Hadramaut itu panjang sekali kajiannya. Kebetulan saya pernah membuat buku tentang itu.
Secara historis, awal kedatangan keturunan Arab telah dimulai ketika awal perkembangan Islamisasi di Indonesia yang dibawakan langsung oleh para pedagang Arab. Bahkan beberapa sumber menyatakan bahwa kedatangan orang -orang Arab dimulai pada abad ke 7 Masehi namun dilakukan secara tahap demi tahap. Sebab utama dari banyaknya orang Keturunan Arab Hadrami yang melakukan diaspora diakibatkan kondisi politik saat itu banyaknya terjadi dinamika politik yang memaksakan untuk melakukan perjalanan ke berbagai tempat yang semula hanya untuk melarikan diri.
Situasi politik dan keamanan di dalam negerilah yang mendorong orang-orang Hadrami bermigrasi, yang dimulai dari kalangan Sayid Alawiyin (keturunan Nabi Muhammad melalui Fathimah dan Ali bin Abi Thalib). Pada pertengahan abad ke-8 dan 9, rezim Bani Umayah dan Bani Abasiyah menjadikan kalangan Sayid target pembunuhan karena ditakutkan menjadi ancaman politik. Karena terus dikejar dan diintimidasi, mereka melarikan diri ke berbagai penjuru daerah seperti Afrika, Hijaz, Persia, dan India. Ketika sesampainya di Nusantara keberadaan orang-orang Arab Hadrami dicatat oleh seorang biksu asal Tiongkok yakni I-Tsing untuk mengetahui peran orang-orang Arab Hadrami dalam hal bidang sosial dan keagamaan. Kemudian oleh I-Tsing, seorang biarawan dari Cina yang datang ke wilayah Sriwijaya yang menyatakan bahwa ada beberapa desa Arab di sepanjang pantai timur Sumatra. Sebagian besar orang Arab yang berhenti di Indonesia awalnya menetap untuk tujuan perdagangan. Mempertimbangkan kondisi Selat Malaka sebagai jalur perdagangan internasional yang akan terhubung langsung ke Arab-India-Cina.
Sejak lama jauh sebelum orang-orang Arab (Hadhrami) bermigrasi ke nusantara, mereka sudah dikenal sebagai pedagang dan pelaut, mirip dengan bangsa Phoenicia Kuno (sekarang disebut sebagai bangsa Lebanon dan Suriah). Sejak kedatangannya ke Nusantara, pada abad ke-17 sampai ke-18 Arab Hadhrami telah turut memainkan peranan dalam politik Nusantara dan menguatnya pembaharuan sufisme di Nusantara. Kedatangan bangsa Arab ini terkait erat terhadap perkembangan penyebaran agama Islam yang kemudian berasilimilasi melalui pernikahan dengan puteri bangsawan di Nusantara. Oleh karena itu, banyak raja di tanah Melayu yang berasal dari bangsa Arab seperti Kesultanan Siak Inderapura dengan penerus Sultan Syarif Kasim II (1893-1968) yang telah mendukung perjuangan Kemerdekaan Indonesia dan dengan sukarela memberikan kekuasaan monarkinya demi memilih menjadi penasihat Presiden Ir. Soekarno. Kemudian pada abad ke-20 menjadi masa yang paling menentukan bagi Arab Hadhrami, di mana gejala perubahan penting dan arah baru masyarakat terjadi.
Wilayah Sriwijaya adalah tempat persinggahan. Namun, lama-kelamaan mereka sering menetap di wilayah Sriwijaya karena dana terbatas, dan Komunitas Arab Hadrami (Hadramaut) menjadi kelompok pertama yang berhenti dan menetap di Indonesia. Bukan hal yang aneh bagi Komunitas Arab Hadrami untuk akhirnya berbaur dengan orang Indonesia Asli untuk membentuk kelompok komunitas baru, 'Arab Peranakan'. Sedangkan kelompok masyarakat Hadrami lainnya yang memelihara keturunan mereka membentuk kelompok etnik 'Kelompok Totok atau Sayid Arab'. Maka dari itu A.R Baswedan sebagai pemilik darah keturunan Arab merasakan perlunya persatuan di antara orang Arab baik peranakan maupun totok. Hal yang menarik dari kegiatan perdagangan yang dilakukan oleh orang orang Arab Keturunan Hadrami dikarenakan saat itu para pedagang Arab yang mayoritas adalah laki-laki ketika datang ke Nusantara tidak membawa keluarga mereka sehingga sesampainya di Indonesia banyak dari mereka yang pada akhirnya melakukan pernikahan denngan penduduk asli Indonesia sehingga terbentuklah apa yang dinamakan dengan golongn ‘Arab Peranakan’ yang merupakan hasil perkawinan silang antara Arab dan ndonesia. Sehingga membawa pengaruh pada bidang kebudayaan. Masyarakat Keturunan Arab Hadrami juga membentuk lembaga pendidikan atau madrasah yang kesemuanya bermarga sayyid baik totok maupun peranakan. Sekolah inilah yang kemudian akan menghasilkan golongan baru yang dikenal dengan habib. Penyebutan istilah orang-orang pribumi disebut sebagai Masyarakat Keturunan Arab sebagai ‘’paman’’, dikarenakan mengingat banyak orang Arab Hadrami yang menikah dengan Masyarakat Pribumi.
Ketika Masa Kolonial Belanda dibentuklah perkampungan arab yang tersebar di berbagai pesisir Jawa dan Sumatera. Hal ini merupakan sebagai bentuk dari kebijakan Kolonial Belanda untuk menghilangkan persatuan antara kum pribumi dengan kaum Arab dan menghilangkan persatuan sesama persatuan Arab. Diawal-awal perjuangan Keturunan Arab di Indonesia mereka membentuk lembaga-lembaga pendidikan sebagai awal perintisan Kebangkitan Arab di Indonesia. Kaum Arab Hadrami mendirikan kampung-kampung dan syarikat-syarikat yang semula untuk mengingatkan kehadiran mereka tentang asal usul nenek moyangnya.
Pada awal abad ke-20, sejarah orang Hadhrami di Indonesia merupakan kisah sukses, terutama dalam bidang perdagangan, politik, pendidikan, dan agama. Selain itu, para kaum imigran ini secara sosial dan budaya dipengaruhi oleh masyarakat lokal. Secara umum, beberapa garis besar dari mereka masih melestarikan kebiasaan dan identitas asli kaum Hadrami. Dinamika dan diaspora tersebut memasuki babak baru yang dramatis pada awal abad ke-20 menjelaskan bahwa di Jawa, para tokoh Arab-Indonesia telah menciptakan sistem yang menghubungkan orang-orang yang membentuk identitas kolektif modern baru, seperti lembaga pendidikan dan surat kabar.
Sesuatu yang menarik dari fase tersebut adalah kemunculan kaum Hadrami yang berintelektual dan progresif untuk terlibat dalam kebangkitan Arab-Indonesia oleh kaum Hadrami, baik golongan Sayyid maupun non-Sayyid.
Berkenaan dengan fenomena pembentukan penduduk diaspora baru, terlebih dahulu harus diakui adanya penduduk “lama”, karena migrasi besar-besaran orang Hadrami dimulai antara pertengahan abad ke-18 dan pertengahan abad ke-18. berlangsung sampai tahun 1950-an. Sebagaimana kita ketahui, hubungan budaya Arab-Indonesia tidak dapat dipisahkan dari rangkaian Islamisasi, yang kehendaknya tidak akan lengkap tanpa menyebut kontribusi Hadrami sebagai salah satu bangsa Arab. Mengenai asal muasal munculnya Islam di Indonesia, di kalangan sejarawan terdapat beberapa pendapat, dan salah satunya adalah teori orang Arab. Islam diyakini datang ke Indonesia langsung dari Timur Tengah melalui jasa para pedagang Arab Muslim.
Orang-orang Arab telah menjalin hubungan dengan Pribumi di Nusantara melalui proses perdagangan. Mereka memiliki hubungan dengan wilayah-wilayah di Nusantara yang terjalin erat melalui perdagangan yang menjadi salah satu penyebaran agama Islam. Beberapa dari mereka datang dari Maskat, ditepian Teluk Persia, Hijaz, Mesir maupun Bagian Timur Afrika. Orang-orang Arab datang ke kepulauan Nusantara yang bertujuan berdagang hanya sedikit yang menetap tetapi saat mereka yang memiliki tujuan untuk menetap maka mereka akan bergabung dengan kaum Arab yang berasal dari Hadramaut (kaum Hadrami). Sedangkan terjadi juga pada saat Hindia Belanda yang langsung diadministrasi Belanda dengan membuat kebijkaan bagi orang-orang asing yang tinggal di Hindia Belanda, termasuk para kaum Hadrami. Menurut Van den Berg bahwa diaspora Arab telah lama hadir dan menetap di Nusantara, sejak abad ke-18 beberapa orang datang untuk mengadu nasib di Timur Jauh, sedangkan Hadrami berbondong-bondong ke Timur Jauh, termasuk Nusantara pada akhir abad ke-19. Orang-orang Arab yang ingin memasuki wilayah di Hindia Belanda untuk berdagang secara langsung ditangani oleh dinas administrasi Hindia Belanda. Mereka sering menyebut dirinya sebagai pedagang yang memang membawa dagangan, seperti obat-obatan, sari mawar, permata, kurma, tasbih, dan kitab-kitab. Mereka juga menyediakan barang dan jasa yang tidak disediakan oleh para pendatang dari Eropa.
Situasi politik dan keamanan di dalam negeri juga menjadi hal pendorong kaum Hadrami bermigrasi, yang dimulai dari kalangan Sayyid Alawiyyin karena ancaman politik yang menjadikannya target pembunuhan hingga dikejar dan diintimidasi. Selain itu, migrasi massal setelah tahun 1870, dimana kapal uap yang melakukan perjalanan antara Jazirah Arab dan Timur Jauh mengalami perkembangan pesat, memfasilitasi migrasi orang Arab dari Hadramaut ke Hindia Belanda. Atas Alasan itulah mereka mencoba masuk ke Hindia Belanda dan berdagang mencari peruntungan lebih baik, yang tidak disediakan oleh tempat asalnya, Hadramaut.
Kedatangan komunitas Arab dari Hadramaut terjadi sejak Terusan Suez dibuka pada tahun 1869. Dalam pembukaan Terusan Suez turut memperlancar dalam perdagangan yang menghubungkan antara Asia dengan Eropa, pembukaan Terusan Suez pun dapat membuat pemerintah Kolonial banyak melakukan impor mesin dan perlengkapan - perlengkapan modern untuk meningkatkan produksi perkebunan dan pabrik gula. Perluasan produksi tanaman ekspor dan impor barang - barang dari Eropa mengakibatkan perdagangan International semakin ramai di Nusantara.
Diaspora Arab Hadhrami kemudian mengalami titik terang yang kemudian menjadi salah satu tombak yang digunakan oleh beberapa tokoh politik dalam negeri. Sebelum Indonesia merdeka, persisnya pada 4 Oktober 1934 di Semarang, lima tahun setelah Sumpah Pemuda 1928, secara alamiah penduduk yang ada di Indonesia menjadi pribumi seutuhnya, sejumlah kaum muda keturunan Arab berkomitmen untuk mendukung gagasan tanah air Indonesia dan tidak lagi mengaitkan dengan asal-usulnya Hadramaut, Yaman.
Pergulatan identitas orang Arab-Hadrami sebagai akibat dari diaspora, dapat dirujuk pada fenomena diaspora “tua”, yang telah berlangsung dalam skala besar sejak pertengahan abad ke-18 hingga akhir 1950-an. di tengah diskriminasi yang diberlakukan oleh Kolonial Belanda, orang Arab-Hadrami memainkan peranan baik di bidang sosial, politik, maupun ekonomi. Para imigran Hadrami ini turut ambil bagian dalam memperluas pasar bisnis, memperoleh kesejahteraan, dan mengirimkannya kembali ke tanah Hadramaut.Kontak antara Jawa dan Hadramaut ini sekaligus menjadi gambaran eksistensi komunitas Hadrami di kawasan Asia Tenggara. Para pelaku diaspora Hadrami, tidak hanya mengirimkan uang kepada keluarga, tetapi juga mengirim anak-anak ke Hadramaut untuk memperoleh pendidikan. Bahkan, ada sebagian dari yang menjalin kontak dengan aktivitas-aktivitas politik di Hadramaut. Namun, oleh karena gagasan nasionalisme dan diskursus mengenai nation-states, aktivitas ini menurun drastis.
Kesimpulan :
Berdasarkan fakta-fakta sejarah yang telah kami kutif dari berbagai sumber ini, jelas sekali bahwa kedatangan bangsa Arab Yaman Hadramaut (atau Arab Hadrami) bukanlah karena pesanan Belanda. Jadi tidak benar jika orang Arab Yaman atau imigran Yaman datang ke negeri ini atas “undangan” penjajah kolonial. Kaum Hadrami datang ke negeri memang ada benang merah sejarahnya. Mereka sejak dahulu sudah terkenal sebagai bangsa pengembara. Para Sayyid keturunan Nabi Muhammad SAW sejak dahulu sudah dikenal sebagai keluarga yang giat berhijrah kemana-mana untuk dakwah Islamiah. Mereka juga sangat lihai dalam membangun jaringan komunisasi dengan para penguasa negeri juga cerdas dalam melakukan akulturasi dengan berbagai budaya-budaya setempat. Jadi tidak heran jika di banyak negeri mereka bisa ditemukan. Sebelum kedatangan Penjajah Kolonial Belanda saja, mereka sudah menapaki negeri ini. Jika diteliti lebih mendalam, kedatangan mereka bukan saja untuk berdagang, dibalik itu mereka mempunyai misi yang lebih utama yaitu melakukan dakwah Islamiah ke berbagai negeri termasuk nusantara. Salah satu contoh keluarga Arab Hadramaut yang sukses dengan hal tersebut terutama yang dari keluarga Baalawi adalah Keluarga Besar Walisongo abad ke 15 – 16 , Keluarga Besar Basyaiban abad ke 17, dan Keluarga Besar Al Faqih Al Muqaddam yang datang pada abad ke 18 s/d 20.
Begitu dominannya Bangsa Arab Hadrami terutama mereka yang kalangan Baalawi, sampai-sampai seorang Van Der Berg diberikan tugas khusus untuk meneliti secara mendalam tentang sejarah Bangsa Arab Hadramaut. Ini menandakan ada kekhawatiran fihak penjajah mengingat antara Bangsa Arab Hadramaut dan pribumi diikat dengan agama Islam. Bagaimana dengan tuduhan bahwa pemuka Arab Hadramaut dekat penguasa penjajah ? menurut hemat kami, itu bukanlah menjadi sebuah gambaran umum, para pemuka bangsa Arab yang foto-fotonya “sangat dekat” dengan pejabat-pejabat penjajah kolonial adalah penyambung lidah antara kaum mereka dengan penjajah untuk berbagai aspek kehidupan. Tidak bisa dipungkiri, pada saat itu secara tertib administrasi, Penjajah Kolonial Belanda jelas merekalah yang mempunyai hak otoritatif dalam menentukan aturan aturan dalam berbagai bidang kehidupan dan ini juga berlaku untuk bangsa-bangsa lain. Dalam hal keagamaan saja mereka banyak yang ikut campur. Artinya untuk melihat hal tersebut kita harus melihat kontek saat itu. Benar memang bila fihak penjajah itu bangsa yang zolim terutama perlakuan mereka pada pribumi, namun kita juga harus melihat semuanya secara jernih, karena tidak sedikit bangsa Arab Hadramaut baik yang Sayyid dan Non Sayyid mempunyai kiprah besar dalam perjuangan pada bangsa ini. Artinya satu atau dua kasus tidak bisa dijadikan sebuah ukuran bahwa Arab Hadramaut adalah kaki tangan penjajah atau budak kolonialisme untuk menghabisi pribumi. Ini jelas cara pandang yang tidak adil dan sefihak.
Semakin banyaknya kedatangan bangsa Arab Hadramaut ke Asia Tenggara khususnya nusantara juga ditunjang dengan adanya kemajuan tehnologi transportasi terutama setelah berkembangnya kapal uap dan juga dibukanya terusan suez. Siapa yang bisa menghadang kemajuan tehnologi untuk kemudian dimanfaatkan, sama seperti halnya medsos saat ini, siapa yang bisa mencegah untuk menggunakannya ? Adanya terusan suez jelas semakin memudahkan mereka melakukan diaspora lebih cepat ke berbagai negeri yang sudah mereka kenal dan dihuni lebih dahulu oleh saudara-saudaranya, tercatat beberapa kota besar di Nusantara yang mempunyai populasi orang Arab yang cukup tinggi seperti Pontianak, Palembang, Pekalongan, Jakarta, Surabaya, Aceh, Semarang. Sampai saat keberadaan mereka masih bisa didapati.
Pada akhirnya kedatangan Bangsa Arab Yaman Hadramaut baik mereka yang Sayyid dari Bani Alawi atau non Sayyid yang berasal dari jazirah Hadramaut itu semata-mata karena adanya akar sejarah yang cukup lama di negeri ini, dan dibalik kegiatan perekonomian dan sosial dan bidang kehidupan laiinya, didalamnya terdapat sebuah misi mulia, yaitu dakwah Islamiah yang rahmatan lil Aalamiin…
Wallahu A’lam bisshowab…
Sumber :
Samudra Eka Cipta, “Suatu Tinjauan Historis Kebangkitan Diaspora Keturunan Arab Di Indonesia”, Jurnal Syntax Transformation Vol. 1 No. 5, Juli 2020, hlm. 175 – 176.
Raflie Rheznandya Ardiza, Diaspora Bangsa Arab Hadrami: Pengaruh Arab-Indonesia di Jakarta 1900-2000, Historiography: Journal of Indonesian History and Education Vol.1, No.4 hlm. 430-440.
Abdullah, Pengaruh Diaspora Arab Hadhrami Dalam Pembentukan Politik Identitas Berbasis Agama (Studi Kasus Pemilihan Gubernur Jakarta Periode 2017-2022), Jurnal Imu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jambi (JISIP-UNJA) Volume 7 Nomor 2 (2023) 125 – 137.
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 122.
Fikri Mahzumi, Dualisme Identitas Peranakan Arab Di Kampung Arab Gresik, Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Volume 8, Nomor 2, Desember 2018; p-ISSN 2088-7957; e-ISSN 2442-871X; 406-432.
Iwan Mahmud Al-Fattah, Kiprah Orang Arab di Nusantara, Jogyakarta, Penerbit Ladang Kata. 2022.