Oleh : Iwan Mahmud Al-Fattah
Menurut HMH Al Hamid Al Husaini yang mengutif catatan dari Nuruddin Ali dalam kitabnya “Wafaul Wafa bi Akhbar Dar al Mustafa” bahwa perayaan ini sudah dimulai pada masa KHAIZURAN (170 H/786 M). Khaizuran adalah ibu dari Amirul Mukminin Musa Al Hadi dan Al Rasyid.
Pada waktu itu Khaizuran datang ke Madinah dan kemudian memerintahkan penduduk Madinah untuk mengadakan perayaan Maulid Nabi SAW di Masjid Nabawi.
Beliau kemudian ke Mekkah dan memerintahkan agar penduduknya menyelenggarakan Maulid Nabi di rumah-rumah mereka.
Siapakah sebenarnya sosok yang satu ini ?
Khaizuran adalah tokoh wanita yang sangat berpengaruh selama masa pemerintahan tiga khalifah Dinasti Abbasiyah, yaitu tepatnya pada masa Khalifah Al Mahdi bin Mansur Al Abbas (Suami), Khalifah Al Hadi dan Khalifah Al Rasyid (Putra). Melalui pengaruh dirinyalah, Khaizuran mengintruksikan perayaan hari lahir Nabi SAW.
Menurut Al Izraqi, Kota Mekkah memiliki satu sudut istmewa yang sangat dianjurkan dijadikan tempat sholat. Tempat itu adalah rumah Rasulullah SAW dilahirkan, tempat ini menurut Al Izraqi kemudian dialihfungsikan menjadi mesjid oleh Khaizuran.
Ibnu Jarir (540 H) memberikan informasi tambahan bahwa Khaizuran mempunyai perhatian terhadap situs sejarah yang berhubungan dengan Nabi Muhammad SAW.
Khaizuran dahulunya adalah seorang budak, dia dibeli dan dimerdekakan oleh khalifah Al Mahdi bin Mansur Al Abbas pada tahun 159 H, kemudian setelah itu dinikahi. Khaizuran mempunyai paras jelita, menawan, berkharisma, cerdas dan berwawasan luas. Ia termasuk wanita yang menguasai fiqih secara mendalam. Khaizuran mendalami fiqih dibawah asuhan Imam Suyan Tsauri.
Menurut salah satu penulis sejarah maulid, dibuatnya perayaan Maulid di Mekkah dan Madinah oleh Khairuzan kemungkinan besar agar umat Islam tidak latah untuk ikut serta dalam perayaan Nairuz, Mahrajan dan Ram, tiga perayaan non muslim yang muatannya bertentangan dengan Syariat Islam.
Perayaan-perayaan itu nampaknya telah menyebar ke seluruh wilayah Islam. Terutama daerah yang penduduk Kristennya banyak seperti Andalusia (Spanyol). Para ulama Andalusia mengutuk perayaan Nairuz, Mahrajan dan Ram. Selain Kristen pengaruh Persia dan Yahudi juga terasa dalam kegiatan-kegiatan tersebut. Problem yang sama juga terjadi di daerah lain.
Dengan adanya penolakan demi penolakan terhadap 3 perayaan yang dipengaruhi oleh Kaum Yahudi, Majusi dan Kristen tersebut maka Khaizuran memberikan solusi dan alternatif yang sesuai dengan nilai-nilai Islam yaitu Perayaan Maulid Nabi SAW. Sudah tentu diadakan kegiatan tersebut setelah Khaizuran meminta masukan dari ulama-ulama yang ada saat itu apalagi sosok Khaizuran sangat menguasai ilmu fiqih dan dekat dengan ulama sehingga bukan tanpa alasan jika dia melaksanakan kegiatan tersebut apalagi ditengah konteks kondisi saat itu..
Dalam perkembangan selanjutnya, orang yang pertama menulis kitab Maulid Nabi SAW yang kemudian dibacakan dihadapan khalayak luas , di majelis yang diadakan khalifah Abbasiah, adalah Al Imam Al Hafiz Al Qadi Muhammad yang wafat di Baghdad pada tahun 207 H. Kitab maulidnya dibaca dihadapan Al Mahdi Al Abbasi. Sedangkan yang pertama menuliskan biografi dan perikehidupan NABI Muhammad SAW adalah Muhammad bin Ishaq yang wafat tahun 151 H. Muhammad bin Ishak menguraikan riwayat maulid Nabi SAW dan menjelaskan berbagai manfaat yang dapat dipetik oleh kaum Muslim dari peringatan-peringatan Maulid Nabi yang bentuknya antara lain berupa: walimah, sedekah dan kebaikan-kebaikan yang bersifat ibadah. Muhammad bin Ishaq ini merupakan guru dari Ibnu Hisyam yang menulis sejarah Nabi.
Setelah eranya Khaizuran berlalu, Dinasti Fatimiyah yang berkuasa di Mesir tahun 362 – 567 H menyelenggarakan banyak perayaan hari-hari besar Islam. Akan tetapi perhatian mereka hanya pada perayaan hari besar Syiah seperti Asyura, Id Al Ghadir, Al Khalij, Id Adha, Layali Al wuqud, dan Maulid Nabi. Hanya menurut Abdul Mun’im Sultan dalam bukunya yang berjudul Al hayat Al ijtimaiiyah fi Asr al fatimiy al ihtifalat anazaka, perayaan Maulid Nabi dilakukan secara sederhana yaitu hanya dengan manisan dan sedekah. Perayaan yang meriah justru dilakukan pada perayaan hari hari besar Syiah. Oleh sebab itu sejarawan menganggap Malik Al Muzafar Kukburi (620 H) penguasa Irbil adalah raja pertama yang menyelenggarakan perayaan Maulid Nabi dalam bentuk yang sangat megah.
Dalam tradisi Sunni, perayaan Maulid banyak ditemukan di beberapa tempat.
1. Perayaan Maulid yang diprakarsasi oleh penguasa Syiria terkenal Nurrudin Mahmud (569 H). Perayaan yang dilakukan Nuruddin ini telah didokumentasikan oleh sejarawan terkenal Damaskus Abu Syamah ( 665 H) dalam kitab raudatain fi akhbar al daulatain.
2. Perayaan Maulid yang diprakarsai oleh Umar Malla, tokoh besar kota Mosul. Perayaan ini tercatat oleh sejarawan Imanuddin Al Isfahani (597 H)
3. Perayaan Maulid Mekkah yang ditulis oleh Ibnu Jubair
4. Perayaan Maulid oleh Malid Muzaffar Kukburi seorang penguasa terkemuka dari dinasti Begtegini Mosul Irak. Kegiatan ini telah dicatat oleh sejarawan terkenal Ibnu Khalikan.
Bagaimana dengan pendapat umum yang mengatakan bahwa Sholahudin Al Ayyubilah yang pertama kali mengadakan perayaan maulid ?
Yang terjadi justru sebaliknya. Di Mesir setelah pengambil alihan kekuasaan dari dinasri Fatimiyah , Sholahuddin Al Ayyubi menghentikan peringatan-peringatan yang dilakukan oleh penguasa Fatimiyah seperti Asyura, Id Ghadir, Al Khalij, Id Adha, Layali Al wuqud dan Maulid Nabi. Menurut Muhammad Khalid Tsabit, penghentian dilakukan oleh Sholahuddin untuk merubah persepsi masyarakat Mesir mengenai peringatan hari hari besar Islam. Terutama Maulid Nabi yang identik dengan Syiah. Adapun Malik Al Muzaffar Kukburi inilah yang mengadakan Maulid Akbar bukan Shalahuddin Al Ayyubi, Malik Muzaffar sendiri adalah adik ipar Sholahuddin Al Ayyubi.
Bagaimana dengan sejarah terjadinya pertentangan dalam menyikapi Maulid Nabi ini ?
Pada masa Al Suyuti (abad 10 H), di Kairo perayaan Maulid tengah terjadi pokok pembicaraan. Salah satu argumentasi yang paling penting dalam menentang Maulid adalah bahwa perayaan ini tidak disebutkan dalam Al Quran dana dalam kepustakaan tradisi juga tidak dirayakan oleh Nabi dan masyarakat zaman dulu.
Al Suyuti ketika memberi fatwa mengantisipasi argumentasi dengan menyatakan bahwa Maulid Nabi berawal dari Muzafaruddin Kokburi. Dengan berbuat demikian ia menyatakan bahwa Maulid diperkenalkan oleh seorang “penguasa yang adil dan terpelajar” yang bertujuan “mendekatkan diri kepada Allah SWT” .
Lebih jauh, ulama dan orang-orang saleh yang menghadiri Maulid yang diselenggarakan penguasa ini, tidak menolaknya. Ibnu Dihyah, seorang alim pada masa itu, tidak menentang Maulid. Malah sebaliknya ia menulis sebuah buku mengenai perayaan ini.
Kehidupan Muzaffar kokburi yang tak tercela banyak dicatat sejarawan. Dengan demikian melalui tokoh ini Al suyuti memberikan asal-usul yang bersih kepada Maulid. Seandainya Al Suyuti menyebutkan Maulid berawal dari Dinasti Fatimi, pembelaannya terhadap Maulid kurang meyakinkan. Karena dinasti Fatimi adalah penganut Syiah yang dinilai negatif oleh hampir semua cendikiawan Sunni di kemudian hari. Al Suyuti juga tidak merujuk kepada Umar Almalla karena sebagian ulama seperti Ibnu Raja mencurigai dirinya sebagai pelaku bid’ah. Andai al suyuti mengaitkan asal usul Maulid dalam Fatwanya dengan Umar Malla yang reputasi ortodoksinya diragukan, maka pembelaannya terhadap maulid kurang meyakinkan.
Perayaan Maulid Nabi pada abad-abad awal Islam di kalangan Sunni yang terdokumentasi adalah yang diselenggarakan oleh Penguasa Syiria, Nurruddin Mahmud. Beliau dikenal sebagai seorang Khalifah “sempurna” yang dikenal akan kesalehan, keadilan, kejujuran, kezuhudan, kewaraan, kegagahan, keberanian dan sifat-sifat yang jarang sekali terkumpul pada satu orang. Ibnu Imad dalam sejarah tentang raja raja terdahulu sebelum dan sesudah Islam, mengatakan bahwa setelah Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Abdul Aziz, maka Nurrudin Mahmud termasuk khalifah yang adil.Bahkan Nurruddin Mahmud oleh beberapa ulama disebut sebagai seorang waliyullah.
Nuruddin adalah sosok yang sangat menghormati ulama, ia berbicara lembut dan antusias, membangunkan tempat tinggal mewah, mempersilahkan mereka duduk di karpet kebesaran khalifah. Singkatnya para ulama mempunyai kedudukan tinggi dimatanya.
Nuruddin juga merayakan Maulid Nabi. Hubungannya yang erat dengan Umar Malla membuktikan bahwa Nuruddin tidak menganggap Maulid sebagai praktik keagamaan yang menyimpang. Seandainya Nuruddin menganggap Maulid sebagai perayaan khas Syiah, atau sebagai sesuatu yang berlawanan dengan ortodoksi Sunni yang ia kembangkan, ia tidak akan pernah mempunyai hubungan yang erat dengan seorang Syekh yang berkaitan erat dengan perayaan Maulid.
Tercatat seperti yang sudah diuraikan bahwa beberapa Maulid yang pernah diadakan secara meriah setelah era Nuruddin Mahmud diantaranya adalah :
1. Maulid Nabi Al Malik Muzaffar Abu Said Kukubri (W.620 H)
2. Maulid Nabi pada masa Dinasti Azafi (Abu Al Abbas Al Azafi ,557 – 663 H) di Andalusia
3. Maulid Nabi pada masa Dinasi Marini (Abu Yusuf Ya’qub 656 H- 685) Maroko
4. Maulid Nabi pada masa Sultan Zahid Burquq (Dinasti Mamluk) Mesir 785 H
5. Maulid Nabi pada Masa Era Penyerbuan Bangsa Tartar (Mongol) 795 H oleh Sultan Ahmad bin Uwais di Irak
6. Maulid Nabi pada masa Zahir Saifuddin Jamquq (845 H) Mesir
7. Mauldi Nabi pada masa Asyraf Qatabai (872 H) Mesir
8. Maulid Nabi Pada Era Penjajahan Perancis 1795 H (Mesir)
9. Perayaan besar-besaran Maulid Nabi Muhammad pernah diadakan pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun 933 di alun-alun Kesultanan Demak Bintoro yang bertujuan untuk mengangkat moral semangat jihad pasukan muslimin dari berbagai penjuru Nusantara guna menghadapi Portugis yang akan datang ke Sunda Kelapa, sebagai pelopornya adalah Sultan Trenggono atau Sultan Ahmad Abdul Arifin bin Sultan Abdul Fattah Sayyidin Panatagama.
Sumber foto : Perayaan Maulid di Kwitang tanggal 4 Juni 1937, dikutif dari Harian Bataviaasch Nieuwblad
Sumber tulisan :
HMH Al Hamid AL Husaini, Sekitar Maulid Nabi Muhammad SAW Dan Dasar Hukum Syariatnya (Semarang: Toha Putra, 1986).
Ahmad Tsauri, Sejarah Maulid Nabi Meneguhkan Semangat Kebangsaan Sejak Khaizuran 173 H Hingga Habib Luthfi bin Yahya 1957 M sekarang (Pekalongan: CV Menara, 2015).