“Materi yang kami garis miringi, semua dikutif dari Kitab Al Fatawi)
1521 – 1522.
Pada waktu negeri sunda kelapa menyertakan dirinya berperang bersama armada Pati Unus dari Kesultanan Demak. Negeri Sunda Kelapa berada dalam kepemimpinan Raja Alhamid Al Majid (Saka Danda Rama), didampingi Patih Panglima Fathullah Khan, Putra dari Sultan Zulkifli Majid dari Kesultanan Aru Barumun Pasai.
Dengan kekalahan dari Armada Paringgi (Portugis) yang diperangi Armada Bintara Demak dibawah pimpinan Al Haj Fattahillah yang pada waktu itu menyerang Paringgi di Pasai, keadaan Sunda Kelapa sangat lemah, sebab Sultan Pati Unus mengalami kekalahan, Fattahillah kemudian berlayar ke mesir.
Paringgi (portugis) kemudian memasuki Pelabuhan Jayapati (kini menjadi pelabuhan Pasar Ikan) Sunda Kelapa, jadi tidak di pelabuhan Marunda Jakarta Utara.
Paringgi dan Pajajaran dibawah pimpinan Adipati Singa Menggala bin Prabu Surawisesa Kemudian mengadakan perjanjian di pelabuhan Jayapati ditahun 1522.
Angkatan Perang Sunda Kelapa sempat melakukan penyerangan dibawah pimpinan Panglima Fathullan Khan dilautan. Namun kemudian Bala tentara Pajajaran menyerang balik Keraton Sunda Kelapa di Marunda sehingga mengakibatkan tewasnya Raja Sunda Kelapa dan juga menyebabkan Sunda Kelapa menjadi tidak aman dan tidak kuat.
Keraton Sunda Kelapa di Marunda dapat dimasuki bala tentara Pajajaran dibawah pimpinan Singa Menggala bin Prabu Surawisesa dari Kerajaan Pajajaran.
Agar Supaya Keraton dan rakyat tidak mengalami kerusakan maka gusti Ratu Surya Nara telah mengambil keputusan dan untuk menghindarkan malapetaka telah mengadakan musyawarah antara fihak Sunda Kelapa dan fihak Pajajaran.
Akhirnya Kesepakatan dapat dicapai yang berisi :
1. Gusti Ratu Suryanara tetap menjadi Raja di Sunda Kelapa yang menggantikan ayahandanya dan bersedia menjadi istri dari Singa Menggala.
2. Singa Menggala bin Prabu Surawisesa menjadi Adipati Pajajaran di Sunda Kelapa.
Dengan demikian kedudukan Sunda Kelapa masa itu raja bawahan dari Pajajaran.
Sesudah Sunda Kelapa Jatuh dan Pajajaran mempunyai Raja Bawahan yang adipatinya adalah Singa Menggala bin Prabu Surawisesa.
Penguasaan Pajajaran terhadap Sunda Kelapa menyebabkan beberapa keluarga bangsawan Sunda Kelapa yang Islam menyingkir ke Cirebon dan Demak, termasuk keluarga besar Kesultanan Aru Barumun Pasai yang sudah lama menetap di Sunda Kelapa untuk menyusun kembali kekuatan dalam merebut Sunda Kelapa.
1526 – 1527
Pada Periode ini Sultan Bintoro Demak saat itu (Sultan Trenggono) terutama pada bulan Sya’ban 933 Hijriah memerintahkan Fattahillah dan pasukan Mujahidin untuk kembali lagi ke negeri Sunda Kelapa, karena mendengar Portugis atau Paringgi akan masuk berlabuh. Namun demi untuk menghormati Bulan Puasa dan ibadah ramadhan, Sultan Trenggono pada bulan Sya’ban kemudian memulangkan terlebih dahulu para Panglima, hulu balang dan tamtamanya ke daerahnya masing-masing. Sultan Trenggono melarang keras semua fihak melakukan huru hara dan membuat keributan.
Kemudian sesudah puasa semua harus masuk kembali ke keraton Sunda Kelapa tepatnya di Marunda Jakarta Utara (Marunda Kalapa). Maka sesudah satu bulan Bala Tentara Kesultanan Demak Bintoro berada di Marunda Kalapa dan sesudah ibadah puasa Ramadhan, bala tentara Armada Bintara Demak memasuki Istana atau Keraton Ratu Gusti Surya Nara Kalapa pada malam Takbiran.
Pada malam Takbiran itu, Gusti Ratu Surya Nara sudah duduk bersama tamunya termasuk Maulana Hasanuddin Banten.
Maka Pada Bakda Subuh tepatnya tanggal 1 Syawal 993 Hijriah, Gusti Ratu Surya Nara menyerahkan kekuasaan negeri Marunda Kelapa kepada Panglima Al Haj Fattahillah beserta kekuasaan pemerintahannya.
“Tafsir Sejarah Dari Kitab Al Fatawi”
Penjelasan Kitab Al Fatawi yang disusun oleh Al Allamah KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma ini telah menjelaskan secara tegas bahwa Sunda Kelapa telah menjadi wilayah Islam sebelum kekuasaanya direbut oleh Kerajaan Pajajaran dibawah pimpinan Singa Menggala. Untuk memperkuat fakta tersebut Sunda Kelapa bahkan pernah terlibat perang dalam melawan Portugis di Malaka. Itu artinya Sunda Kelapa sebelum tahun 1521 masehi adalah sekutu terkuat dari Kesultanan Demak, khususnya pada masa Sultan Muhammad Yunus (Pati Unus 1) bin Raden Fattah serta Senopatinya yang terkenal yaitu Raden Abdul Qodir bin Muhammad Yunus (Pati Unus 2). Sedangkan perang di Malaka yang menyebabkan kekalahan pertama terjadi tahun 1513 dan terakhir tahun yang menyebabkan syahidnya Pati Unus 2 di Malaka tahun yaitu 1521 Masehi (sayangnya tahun 1521 jarang diungkap). Setelah kekalahan ini Kerajaan Pajajaran yang telah mendengar kekalahan Demak yang kedua kalinya, mengambil momentum dengan merebut Sunda Kelapa dan menjadikan tanah jajahan. Direbutnya Sunda Kelapa karena daerah ini dianggap penting karena merupakan daerah penghasil merica terbesar saat itu dan juga merupakan pelabuhan penting antara Sumatra dan Sunda. Sehingga dengan menguasai daerah Sunda Kelapa, Pajajaran bisa meningkatkan perekonomiannya serta bisa memutus mata rantai hubungan Sunda Kelapa dengan Kesultanan Demak dan khususnya Kesultanan Aru Barumun Pasai yang saat itu bangsawannnya banyak terdapat di Sunda Kelapa. Di samping itu dengan menguasai Sunda Kelapa, mereka ingin merubah image mereka sebagai negara yang tangguh hanya di daratan saja. Dan ini kemudian mereka realisasikan ketika pada bulan Agustus tahun 1522, mereka membuat perjanjian dengan fihak portugis di Pelabuhan Jayapati (Jagpad) yang kini menjadi Pelabuhan Pasar Ikan dan itu diabadikan dengan adanya Prasasti Padrao. Begitu kuatnya hubungan Pajajaran Dan fihak Portugis, bahkan Portugis sempat pula mendatangi dan hadiri di Pajajaran ketika Prabu Surawisesa dilantik menjadi Raja Pajajaran.
Dikuasainya Sunda Kelapa oleh Pajajaran menyebabkan banyak fihak hijrah yang diantaranya adalah Fattahillah. Dari Fattahillah Kesultanan Demak tahu bagaimana sebenarnya kondisi Sunda Kelapa, sehingga Sultan Trenggono yang sangat perhatian terhadap perkembangan dakwah Islam di Jawa dan Sunda memutuskan untuk kembali menguasai Sunda Kelapa dalam rangka menegakkan kembali Islam yang sudah ditanam keluarga Pasai terutama dari Kesultanan Aru Barumun yang juga berkerabat dengan Fattahillah. Selama beberapa tahun Fattahillah terus mengadakan persiapan untuk menguasai kembali Sunda Kelapa. Tentu Fattahillah akan berfikir bagaimana menguasai Kembali Sunda Kelapa tanpa harus terjadi pertempuran, mengingat Sunda Kelapa yang sebagian masyarakatnya sudah Islam dan juga masih dipegang oleh satu kerabat beliau yaitu Gusti Ratu Surya Nara.
Sudah tentu Fattahillah juga membutuhkan bantuan Sunda Kelapa untuk menghalang masuk Portugis yang sudah mendekat di Banten pada tahun 1526 tepatnya akhir bulan Desember.
Dari tahun 1521 s/d 1527 Sunda Kelapa dikuasai oleh Gusti Ratu Surya Nara bin Sultan Alhamid Majid yang mempunyai nama laqob Sansekerta yaitu Saka Danda Rama. Pasca kekalahan Sunda Kelapa Gusti Ratu Surya Nara memutuskan menikah dengan Singa Menggala. Fakta ini membuktikan jika Singa Menggala sudah masuk Islam, karena Gusti Ratu Surya Nara adalah muslimah yang taat dan leluhurnya berasal dari Pasai yang terkenal akan keislamannya. Gusti Ratu Surya Nara adalah wanita yang lebih mementingkan rakyat ketimbang kekuasaanya. Tentu dengan bersedianya beliau menikah dengan Singa Menggala, karena beliau mempunyai strategi dakwah Islam yang cerdik dalam menghadapi Pajajaran, mengingat Pajajaran adalah sebuah Kerajaan Besar di Sunda bahkan dapat dikatakan sebanding dengan Majapahit, apalagi seperti yang kita tahu Islamisasi di Keraton Pajajaran itu sebenarnya sudah lama terjadi, hanya saja masih belum banyak dikaji oleh Sejarawan. Gusti Ratu Suryanara tentu tidak ingin Islam yang sudah dibangun di Sunda Kelapa kembali menjadi nol, apalagi akar keislaman di Sunda Kelapa belum sebaik di daerah lain. Singa Menggala sebagai seorang Kesatria Pajajaran ketika mendapatkan penawaran untuk menikah dengan Gusti Ratu Surya Nara tentu menyambutnya dengan positif, mengingat juga fihak Sunda Kelapa sudah menyatakan tahluk, apalagi dalam sejarah Jayakarta, Singa Menggala ini terkenal kooperatif terhadap Islam, dan ini dibuktikanya ketika beliau menikahkan anaknya yang bernama Ratu Ayu Jati Balabar dengan Cucu Raden Fattah yang bernama Arya Jipang atau Aria Penangsang dari Jipang Panolan, dan kelak keturunan Arya Jipang di Jayakarta dari jalur Ratu Ayu Jati Balabar bin Singa Menggala akab banyak yang meneruskan jejak langkahnya. Diantara keturunan Arya Jipang adalah Para Pendekar Pituan Pitulung (Pitung).
Kembalinya Sunda Kelapa ke Pangkuan Umat Islam ternyata tidak dilakukan dengan perang seperti yang ditulis oleh sejarawan Portugis atau beberapa hikayah yang tidak jelas, karena walaupun saat itu sudah banyak tentara Demak yang mendekat di Marunda Kelapa, namun karena perintah Sultan Trenggono agar semua pasukan menahan diri untuk tidak berperang demi menghormati Ibadah Puasa Ramadhan, semua pasukan Islam sepakat menunggu momentum yang tepat, dan momentum itu terjadi pada malam Takbiran atau tanggal 1 Syawal 933 Hijriah atau 1 juli 1527 Masehi, Sunda Kelapa berhasil dikuasai kembali dengan jalan damai berkat kesepakatan antara Penguasanya dan fihak Kesultanan Demak. Bahkan saat itu untuk membuktikan bahwa Sunda Kelapa dikuasai dengan damai Maulana Hasanuddin Banten sudah lebih dahulu masuk dan mengadakan misi diplomasi damai. Tidak lama sesudah dikuasainya Sunda Kelapa secara damai, Portugis yang terlambat mendengar berita bahwa Sunda Kelapa sudah kembali kepangkuan umat islam, telah mendekat di Pelabuhan Jayapati, dan bersamaan dengan itulah Pasukan Fattahillah yang sudah kuat di Sunda Kelapa menyerbu dan berhasil menenggelamkan sebagian kapal perang Portugis, sebagian pasukan Portugis yang sudah mendarat langsung di serang, hingga mengakibatkan kepanikan luar biasa pada fihak Portugis. Sehingga menyebabkan mereka mundur ke Malaka. Kekalahan memalukan mereka ini, sampai sekarang tidak pernah tercatat dalam Sejarah Portugis, bahkan kebencian terhadap Islam dan juga terhadap Fattahillah semakin membekas pada diri bangsa yang mengaku pada saat itu sebagai negara terkuat di dunia dalam bidang militer dan kelautanan. Namun saksi adanya perang antara Portugis dan Pasukan Mujahidin Kesultanan Demak masih bisa kita lihat di Museum Kraton Kesepuhan Cirebon yang didalamnya banyak terdapat baju perang Portugis dan Meriam.
Kemenangan 1 Syawal 933 Hijriah ditambah kemenangan terhadap Portugis menyebabkan Kesultanan Demak, Walisongo dan Kesultanan lain menjadi bangga, karena misi Portugis di Sunda Kelapa berhasil dipatahkan oleh Pasukan Jihad Islam dibawah pimpinan Fattahillah. Dan sejak tanggal 1 Syawal 933 Hijriah itulah Sunda Kelapa dirubah namanya menjadi Negeri Fathan Mubina dan kemudian berkembang dengan nama “Pemerintahan Hikmah Jumhuriyah Jayakarta” dengan asaz Islam yang dianut keluarga besar Walisongo dan Kesultanan Islam Demak Bintoro yaitu Islam Ahlussunnah Wal Jamaah.
Kemenangan 1 Syawal 993 Hijriah adalah kemenangan murni umat Islam tanpa dilalui dengan peperangan, Sunda Kelapa kembali kepangkuan Umat Islam berkat perjuangan suci para mujahidin yang tidak saja berasal dari Kesultanan Demak, tapi disana banyak Mujahidin dari Banten, Cirebon, Ternate, Pasai, Bahkan dari Malaka yang ikut bergabung demi mematahkan ambisi Portugis yang akan melanjutkan misi perang salib mereka di Asia Tenggara sesuai dengan adanya perjanjian Tardesillas.
Sumber :
Al-Allamah KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma, Kitab Al-Fatawi-Silsilatul Syar’i, Palembang : 1910.
Iwan Mahmud Al Fattah, Fattahillah Mujahid Agung Pendiri Kota Jayakarta, Jakarta : Madawis, 2014.
Gunawan Mertakusuma, Wangsa Aria Jipang Di Jayakarta, Jakarta : Penerbit Agapress, 1986.
Gunawan Mertakusuma, Tafsir Kitab Al Fatawi, Jakarta : Al Fatawi, 1981.
Yosef Iskandar, Sejarah Jawa Barat, Bandung, CV Geger Sunten, 1997.