Bangsa Indonesia memiliki sejumlah tokoh atau pelaku sejarah yang memiliki peran besar dalam perjuangan dan kemerdekaan bangsa ini. Di antaranya adalah KH Abdullah bin Nuh, seorang kiai kharismatik asal Cianjur, pendiri Pesantren al-Ghozali Bogor.
Siapa sebenarnya sosok kiai pejuang satu ini? Menurut guru besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Susanto Zuhdi, nama KH Abdullah bin Nuh cukup dikenal luas di masyarakat Jawa Barat, terutama mereka yang berasal dari kalangan pesantren maupun kampus.
Mama, demikian panggilan hormat para santri kepada tokoh kiai pejuang yang dilahirkan di Kampung Bojong Meron, Kota Cianjur, pada 30 Juni 1905 ini. Ayahnya bernama Raden H Mohammad Nuh bin Idris dan ibunya Nyi Raden Aisyah bin Raden Sumintapura. Kakek almarhum dari pihak ibu adalah seorang wedana di Tasikmalaya.
Lebih terperinci, silsilah keturunan KH Abdullah bin Nuh adalah sebagai berikut:
1. Raden Ana Wiratanudatar I (Dalem Cikundul).
2. Raden Aria Wiratanudatar II (Dalem Wiramanggala)
3. Raden Aria Wiratanudatar III (Dalem Astramanggala)
4. Raden Aria Wiratanudatar IV (Dalem Sabiruddin)
5. Raden Aria Wiratanudatar V (Dalem Muhyiddin)
6. Raden Haji Muhyiddin Natapradja
7. Raden Haji Sholeh
8. Raden Haji. Arifin
9. Raden Haji Idris
10. Raden Haji Muhammad Nuh
11. Kyai Haji Raden Abdullah
Di masa kanak-kanak, KH Abdullah bin Nuh dibawa bermukim di Makkah selama dua tahun. Di Tanah Suci ini ia tinggal bersama nenek dari KH Mohammad Nuh, bernama Nyi Raden Kalipah Respati, seorang janda kaya raya di Cianjur yang ingin wafat di Makkah.
Sekembali dari Makkah, KH Abdullah bin Nuh belajar di Madrasah al-I’anah Cianjur yang didirikan oleh ayahandanya. Kemudian ia meneruskan pendidikan ke tingkat menengah di Madrasah Syamailul Huda di Pekalongan, Jawa Tengah. Bakat dan kemampuannya dalam sastra Arab di pesantren ini begitu menonjol. Dalam usia 13 tahun, ia sudah mampu membuat tulisan dan syair dalam bahasa Arab. Oleh gurunya, artikel dan syair karya Abdullah dikirim ke majalah berbahasa Arab yang terbit di Surabaya.
Setamat dari Syamailul Huda, ia melanjutkan pendidikan ke Madrasah Hadramaut School di Jalan Darmo, Surabaya. Di sekolah ini, ia tidak hanya menimba ilmu agama, tetapi juga digembleng gurunya Sayyid Muhammad bin Hasyim dalam hal praktek mengajar, berpidato dan kepemimpinan. Saat menimba ilmu di sini pula, ia diberi kepercayaan untuk menjadi guru bantu.
Selama di Hadramaut School, KH Abdullah bin Nuh mengoptimalkan potensi yang ada pada dirinya, antara lain: mengajar, berdiskusi, keterampilan berbahasa dan lainnya. Di Surabaya pula Abdullah menjadi seorang redaktur majalah mingguan berbahasa Arab, Hadramaut.
Kemahirannya dalam bahasa Arab mengantarkan KH Abdullah bin Nuh dikirim ke Universitas al Azhar, Kairo, Mesir. Di sana ia masuk ke Fakultas Syariah dan mendalami fiqih Mazhab Syafii. Setelah dua tahun belajar di Al Azhar, KH Abdullah bin Nuh berhasil mendapat gelar Syahadatul ‘Alimiyyah yang memberinya hak untuk mengajar ilmu-ilmu Keislaman.
Periode tersebut berlangsung sekitar tahun 1926 dan 1928. Kepergiannya ke sana adalah atas ajakan gurunya yakni Sayyid Muhammad bin Hasyim ke Kairo untuk melanjutkan pendidikan di bidang ilmu fiqih di Universitas Al-Azhar. Selepas menyelesaikan pendidikan di Kairo, Abdullah kembali ke kampung halamannya dan mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi Nyi Raden Mariyah (Nenden Mariyah binti R Uyeh Abdullah), yang terbilang masih kerabat dekatnya.
Nama KH Abdullah bin Nuh sendiri tidak dapat dipisahkan dari nama al-Ghazali. Kiai, cendekiawan, sastrawan dan sejarawan ini bukan hanya dikenal sebagai penerjemah buku-buku al-Ghazali, tetapi juga mendirikan sebuah perguruan Islam bernama “Majlis al-Ghazali” yang berlokasi di Kota Bogor.
KH Abdullah bin Nuh terkenal dengan pemikirannya yang mendalam tentang al-Ghazali. Pertama, ia mengajar rutin kitab Ihya’Ulumuddin dalam pengajian mingguan yang dihadiri banyak ustadz-ustadz di Bogor, Sukabumi, Cianjur dan sekitarnya. Kedua, sejak kecil ia mendapat pelajaran dari ayahnya Muhammad Nuh bin Idris, kitab-kitab Imam al-Ghazali, di antaranya Ihya’ Ulumuddin. Ketiga, ia menamakan pesantrennya dengan nama Pesantren al-Ghazali.
Salah seorang putra KH Abdullah bin Nuh, KH Mustofa menceritakan, ayahnya memang mendapat pendidikan agama yang serius sejak kecil. Ketika umur belia, ia telah menghafal kitab nahwu Alfiyah Ibn Malik. Ia juga pintar bergaul, santun dan ramah. Keluarganya menanamkan percakapan bahasa Arab di rumah sejak kecil, hingga ia menguasai bahasa Arab baik lisan maupun tulisan. Disamping itu, KH Abdullah bin Nuh juga menguasai bahasa Inggris, Belanda, Jerman, dan Perancis secara autodidak.
Kemampuannya dalam bahasa Arab memang mengagumkan. KH Abdullah bin Nuh mampu menggubah syair-syair dalam bahasa Arab. Ia juga menulis sejumlah buku dalam bahasa Arab. Mantan Menteri Agama RI, M Maftuh Basyuni, yang pernah menjadi mahasiswanya di Jurusan Sastra Arab Universitas Indonesia, menceritakan bagaimana tingginya kemampuan bahasa Arab KH Abdullah bin Nuh.
Di awal tahun 1960-an, Maftuh Basyuni sempat membantu dosennya itu dalam menyiapkan naskah-naskah radio berbahasa Arab. Naskah yang disiapkan Maftuh selalu mendapat koreksi yang sangat teliti dari Abdullah bin Nuh. “Ia sangat membimbing dan memberi semangat dalam mengkoreksi. Padahal, banyak sekali kesalahan yang saya buat,” kata Maftuh.
Dalam konteks pergerakan kebangsaan, KH Abdullah bin Nuh juga tidak lepas dari perjuangan tersebut. Pada masa mudanya, ia juga gigih dalam memperjuangkan kemerdekaan tanah air dari penjajah Belanda. Ia pernah menjadi anggota Pembela Tanah Air (PETA) pada tahun 1943-1945, wilayah Cianjur, Sukabumi dan Bogor.
Sejarah mencatat bahwa PETA lahir pada bulan Nopember 1943, lalu diikuti lahirnya Hizbullah beberapa minggu kemudian dimana para alim ulama kemudian masuk menjadi anggotanya. Tahun 1943 tersebut benar-benar merupakan tahun penderitaan yang amat berat khususnya bagi umat Islam dan bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Boleh dikatakan bahwa saat itu adalah salah satu ujian paling berat bagi bangsa Indonesia. Pada akhir tahun 1943 itulah KH Abdullah bin Nuh masuk PETA dengan pangkat Daidanco yang berasrama di Semplak Bogor.
Tahun 1945-1946, ia memimpin Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada tahun 1948-1950, ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Yogyakarta.
Kiprah KH Abdullah di tingkat nasional menjadikannya sebagai tokoh yang sangat diperhitungkan. Tidak hanya oleh kawan-kawan seperjuangannya, tetapi juga oleh Belanda yang kembali masuk Indonesia, dengan membonceng NICA. Ia pun menjadi salah seorang tokoh yang hendak diciduk oleh Belanda. Ketika ibukota negara pindah ke Yogyakarta pada 4 Juni 1946, ia pun turut serta hijrah ke Yogyakarta, sekaligus menghindari upaya penangkapan oleh Belanda. Di ibukota negara yang baru ini, kiprah KH Abdullah pun terekam tidak hanya di bidang pemerintahan, tetapi juga di bidang lainnya. Ia merupakan penggagas Siaran Bahasa Arab pada RRI Yogyakarta.
Dalam masa revolusi fisik ini, ia juga tercatat menjadi salah seorang pendiri Sekolah Tinggi Islam, yang kini dikenal dengan Universitas Islam Indonesia (UII). Dalam masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan ini, ia menikah kembali. Perempuan yang dinikahinya adalah Mursyidah binti Abdullah Suyuti, yang merupakan salah seorang murid KH Abdullah di STI.
Dari pernikahannya dengan Mursyidah, ia dikaruniai enam orang anak. Sementara dari pernikahannya dengan istri pertamanya, Nyi Raden Mariyah, ia mendapatkan lima orang anak. Masa perjuangan kemerdekaan dilalui KH Abdullah hingga 1950 di Kota Yogyakarta. Kemudian, ia dan keluarganya memutuskan untuk hijrah ke Jakarta, dan menjalani kehidupan di Ibukota ini hingga tahun 1970. Selama di Jakarta yaitu pada tahun 1950-1964, Abdullah memegang jabatan sebagai Kepala Siaran Bahasa Arab pada RRI Jakarta. Kemudian ia menjabat sebagai Lektor Kepala Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Setelah itu, ia kemudian pindah dan menetap di Bogor hingga akhir hayatnya. Kiai pejuang ini wafat pada 26 Oktober 1987, setelah kurang lebih 17 tahun bermukim di Bogor dan mengabdikan ilmu agamanya bagi masyarakat sekitar. Saat tinggal di Bogor, ia mendirikan sebuah majelis ta’lim bernama al-Ghazali. Majelis yang berkembang menjadi sebuah yayasan pendidikan ini hingga saat ini masih berdiri dengan dipimpin oleh putra bungsunya, KH Mustofa. Yayasan al-Ghazali tidak hanya menyelenggarakan kegiatan pengajian rutin, tetapi juga membuka madrasah dan sekolah Islam dari tingkat Taman Kanak-kanak (TK) hingga menengah atas.
Selama masa hidupnya, KH Abdullah bin Nuh juga sering menyempatkan diri untuk menghadiri pertemuan dan seminar-seminar tentang Islam di beberapa negara, antara lain Arab Saudi, Yordania, India, Irak, Iran, Australia, Thailand, Singapura, dan Malaysia. Ia juga aktif dalam kegiatan Konferensi Islam Asia Afrika sebagai anggota panitia dan juru penerang yang terampil dan dinamis.
Selama hidupnya, tokoh NU yang telah mendunia dan memiliki persahabatan dengan raja Yordania dan para pemimpin mancanegara lainnya ini telah banyak menulis buku baik dalam Bahasa Arab, Indonesia maupun Sunda, terjemahan maupun pemikirannya. Buku terjemahannya yang paling dikenal yaitu Minhajul ‘Abidin (Menuju Mukmin Sejati) dari karya Imam al-Ghazali, sedangkan buku karangannya yang paling dikenal dan terus dipelajari oleh para santrinya di beberapa pesantren yang berada di Bogor, Cianjur dan Sukabumi, yaitu Ana Muslim.
Dalam memahami pemikirannya, kita perlu merunut tulisan-tulisan yang telah ia terbitkan. Pada tahun 1925 ia menulis prosa yang berjudul Persaudaraan Islam (diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh istrinya, Ibu Mursyidah). Dalam tulisan ini nampak jelas keinginan KH Abdullah bin Nuh supaya kaum muslimin di dunia ini bersatu padu menjadi suatu kekuatan yang dilandasi oleh rasa persaudaraan, tanpa membedakan suku, ras dan bahasa.
Diantaranya ia menyatakan: ”Anda saudaraku, karena kita sama-sama menyembah Tuhan yang satu. Mengikuti Rasul yang satu. Menghadap kiblat yang satu. Dan terkadang kita berkumpul di sebuah padang luas, yaitu Padang Arafah. Kita sama-sama lahir dari hidayah Allah. Menyusu serta menyerap syariat Nabi Muhammad Saw. Kita sama-sama bernaung dibawah langit kemanusian yang sempurna. Dan sama-sama berpijak pada bumi kepahlawanan yang utama”.
Ia sangat merindukan kaum muslimin di dunia ini bersatu padu dan tidak mudah diadu domba oleh mereka yang ingin menghancurkan akidah Islam. Memang, kadangkala kita terlena dalam menghabiskan energi untuk berdebat tentang perbedaan ilmu. Padahal ilmu bukan untuk diperdebatkan, tapi untuk diamalkan.
Tampaknya ia sangat resah dan merasa prihatin dengan terpecah-pecahnya umat Islam di dunia ini sehingga kaum yang memusuhinya dengan mudah mengadu domba diantara kita. Setiap aliran dalam Islam dimaknai oleh pengikutnya sebagai aliran yang paling benar, sedangkan yang lainnya salah.
Sekalipun ia mantan pimpinan Daidanco yang nota bene berbasis kemiliteran, tapi ia sangat menghendaki dalam penyelesaian masalah penuh dengan kelembutan. Ia selalu lembut dalam menghadapi berbagai masalah, tetapi sangat keras kalau sudah menyangkut pelecehan akidah.
Lebih dari 20 buku telah dihasilkan oleh KH Abdullah bin Nuh dalam berbagai bahasa.
Di antara karyanya yang terkenal adalah :
(1) Kamus Indonesia-Inggris-Arab (bahasa Indonesia)
(2) Cinta dan Bahagia (bahasa Indonesia)
(3) Zakat dan Dunia Modern (bahasa Indonesia)
(4) Ukhuwah Islamiyah (bahasa Indonesia)
(5) Tafsir al Qur’an (bahasa Indonesia)
(6) Studi Islam dan Sejarah Islam di Jawa Barat hingga Zaman Keemasan Banten (bahasa Indonesia)
(7) Diwan ibn Nuh(syiir terdiri dari 118 kasidah, 2731 bait)
(8) Ringkasan Minhajul Abidin (bahasa Sunda)
(9) Al Alam al Islami (bahasa Arab)
(10) Fi Zhilalil Ka’bah al Bait al Haram (bahasa Arab)
(11) Ana Muslimun Sunniyun Syafi’iyyun (bahasa Arab)
(12) Muallimul Arabiyyah (bahasa Arab)
(13) Al Islam wa al Syubhat al Ashriyah (bahasa Arab)
(14) Minhajul Abidin (terjemah ke bahasa Indonesia)
(15) Al Munqidz min adl-Dlalal (terjemah ke bahasa Indonesia)
(16) Panutan Agung(terjemah ke bahasa Sunda)
Ada sejumlah sarjana yang menulis tentang KH Abdullah bin Nuh. Di antaranya adalah Prof Dr H Ridho Masduki yang menulis disertasi doktor tentang “Pemikiran Kalam dalam Diwan Ibn Nuh”. Drs. H. Iskandar Engku, menulis tesis master tentang “Ukhuwah Islamiyah Menurut Konsep KH Abdullah bin Nuh.” E. Hidayat, menulis skripsi untuk sarjana S-1 tentang “KH Abdullah bin Nuh, Riwayat Hidup dan Perjuangannya.” Dudi Supiandi, menulis tesis master tentang “Pemikiran KH Abdullah bin Nuh tentang Pendidikan Islam.” (Akhsan Ustadzi/Red: Mahbib)
Sumber : Buku Sembilan Mutiara Hikmah karya Ahmad Ubaidillah Pagentongan Bogor
Catatan Kami (Iwan Mahmud Al Fattah) :
Aria Wiratanudatar I yang merupakan leluhur Abuya Kyai Abdullah Bin Nuh selama ini kami ketahui banyak memiliki versi, bahkan ada riwayat yang mengatakan jika Aria Wiratanudatar mempunyai keturunan dari bangsa Jin. Keterangan riwayat dan sejarah Aria Wiratanudatar sebagian masih dipengaruhi cerita-cerita mitos, dan cerita-cerita mitos tersebut hingga kini masih dipercaya sebagian masyarakat Cianjur Jawa Barat. Beberapa Dzurriyah dari Aria Wiratanudatar sendiri mengakui jika nasab Aria Wiratanudatar banyak sekali versinya. Akibatnya bisa ditebak terjadi banyak kontradiksi antara satu data dengan data yang lain. Persoalan nasab akan lebih rumit lagi jika ada fihak yang mengatakan nasab Aria Wiratanudatar berasal dari tokoh tertentu tapi fihak-fihak tersebut selalu berpatokan kepada naskah kuno, namun pada kenyataannya penulisnya anonim, ataupun naskah tersebut tidak mempunyai sanad keilmuwan dalam bidang nasab. Padahal Naskah kuno tidak menjamin isinya benar tanpa diuji materi dalam bidang Syar’i, ilmu nasab, sejarah dan sanad. Lagipula siapakah mereka yang selama ini diklaim sebagai penerjemah naskah kuno tersebut? Apakah mereka itu ahli dalam bidang ilmu nasab ?
Pada awalnya ketika kami mengenal Abuya KH Raden Abdullah bin Nuh melalui beberapa tulisan beliau, kami sudah merasa bahwa beliau ini pasti bukan keturunan sembarangan, apalagi beliau ini mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam menuliskan sejarah Ahlul Bait. Dengan adanya tulisan-tulisan Ahlul Bait tersebut makin mengokohkan diri beliau sebagai pakar dalam bidang sejarah Ahlul Bait. Murid beliau sendiri kami ketahui banyak yang merupakan Habaib-Habaib ternama di Jawa Barat. Oleh karenanya saya berkeyakinan sekali jika beliau ini pasti mempunyai darah keturunan yang kuat dengan Ahlul Bait
Jika demikian, lantas siapakah sebenarnya Aria Wiratanudatar yang merupakan leluhur Abuya KH Raden Abdullah bin Nuh itu?
Jawaban mengenai Aria Wiratanudatar ini ternyata kami dapati dalam catatan-catatan di Kitab Al Fatawi yang disusun oleh KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma. KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma adalah Ulama Pencatat Sejarah Jayakarta. Leluhur beliau semuanya adalah pencatat sejarah Jayakarta, dan ini tercatat dalam Kitab Al Fatawi. Dalam catatan cucu beliau yang bernama Ratu Bagus Gunawan Mertakusuma juga diketahui bahwa Aria Wiratanudatar adalah salah satu Pangeran-Pangeran Keturunan dari Aria Jipang Jayakarta (Aria Penangsang/Sayyid Husein bin Pangeran Sekar Seda Lepen/Sayyid Ali bin Raden Fattah/Sayyid Hasan) yang hijrah dari wilayah Condet Jakarta Timur (kediaman beliau persis di Cagar Budaya Gedung Tinggi dekat pertigaan Pasar Rebo-Condet-TB Simatupang).
Aria Wiratanudatar Hijrah ke Cianjur setelah dikejar-kejar Belanda yang bekerjasama dengan beberapa Tuan Tanah yang jadi penghianat perjuangan keluarga besar Jayakarta. Setelah peristiwa perang pecah kulit Keluarga Besar Jayakarta yang termasuk didalamnya ada Aria Wiratanudatar tentu jadi incaran Penjajah untuk dibunuh. Dengan kondisi yang gawat ini Aria Wiratanudatar akhirnya memutuskan hijrah ke Cianjur. Beliau hijrah ke Cianjur karena didaerah Cianjur dan sekitarnya sudah ada keluarga besar keturunan Sultan Trenggono.
Sebenarnya tulisan mengenai Aria Wiratanudatar ini pernah kami tulis, dan bisa dilihat di beberapa file tulisan kami di beberapa grup Facebook. Sayangnya tulisan kami itu disikapi dengan tidak bijak oleh beberapa fihak, dengan alasan yang lagi-lagi naskah kekunoan, padahal sekali lagi semua tulisan kami selalu dilandasi dengan keilmiahan, rasional dan terbuka, dan sudah tentu kami tidak akan pernah meninggalkan pendapat dan sanad dari para ulama. Kami tidak akan pernah sepakat dengan sebuah naskah kuno, apalagi jika isinya lebih banyak mitos dan tidak sesuai dengan akal sehat kita serta selalu menabrak aturan-aturan Syar’i. Pendapat ulama yang bersanad jauh lebih berharga dan bertanggungjawab, karena mereka itu dilandasi keimanan dan ketakwaan dan juga selalu menjunjung tinggi nilai-nilai keilmuan dengan adanya sanad (mata rantai keilmuan).
Kesimpulannya dari data yang ada di Kitab Al Fatawi dan juga telah dicocokkan dengan kitab Al Mausuuah Li Ansaabi Al Imam Husaini, bahwa nasab Aria Wiratanudatar berasal dari Keluarga Besar Aria Jipang Jayakarta yang merupakan cucu dari Sultan Demak I yaitu As-Sayyid Hasan Azmatkhan (Raden Fattah).
Wallahu A’lam Bisshowwab.....