Rabu, 09 September 2020

NASIB ORANG-ORANG YANG TERLIBAT PADA PEMBUNUHAN AL HUSAIN BIN ALI BIN ABI THALIB RA

Oleh : Iwan Mahmoed Al Fattah
Sejarah telah mencatat bahwa ada salah satu peristiwa kelam dalam peradaban Islam yang dimana peristiwa itu sampai sekarang tidak akan pernah bisa dilupakan yaitu dengan terbunuhnya salah satu cucu kesayangan Nabi Muhammad SAW yang bernama Sayyidina Husein bin Ali bin Abi Thalib Ra pada suatu tempat yang bernama Karbala (Irak). Begitu kelamnya peristiwa tersebut sampai nyaris memusnahkan semua anggota Keluarga Nabi. Hanya karena kuasa Allah 2 orang penerus keturunan Nabi Muhammad SAW berhasil terselamatkan, yaitu Hasan bin Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib Ra (Hasan Mutsanna) dan Ali Zaenal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib Ra (Ali As-Sajjad). Hasan Mutsanna lebih dahulu diselamatkan oleh salah satu wanita Quraish dan segera dibawa ke Madinah untuk diobati sedangkan Ali Zaenal Abidin saat itu tetap berada di Karbala dalam kondisi demam. Ali Zaenal Abidin berkat perjuangan heroik dari Sayyidah Zaenab binti Ali bin Abi Thalib RA berhasil lolos dari pembunuhan.
Peristiwa kematian Al Husain Ra yang dilakukan oleh orang Islam sendiri adalah sebuah fakta sejarah yang cukup menyakitkan namun juga bisa menjadikan kita sebuah pembelajaran. Betapa demi mempertahankan sebuah kekuasaan mereka yang katanya pengikut ajaran Nabi Muhammad SAW bisa tega membantai cucunya. Demi kekuasaan, manusia bisa berubah menjadi Iblis, apapun bisa dilanggar selama itu bisa memuaskan hatinya termasuk menghabisi orang-orang yang pernah dekat dengan Nabi bahkan yang merupakan darah daging Rasul. Yang tidak masuk akal mereka melakukan itu semua tanpa ada belas kasih sedikitpun. Seolah yang mereka bunuh binatang, padahal binatang saja tidak boleh diperlakukan dengan buruk. Dengan jumlah pasukan 4000 orang lengkap dengan pasukan berkudanya, mereka bertindak kejam dan brutal terhadap rombongan Sayyidina Husein Ra yang hanya berjumlah 80 orang, itupun sebagian terdiri dari wanita.
Sesungguhnya rombongan Sayyidina Ali datang ke Kufah bukanlah untuk menuntut kekuasaan, namun Al Husain Ra datang dalam rangka meminta dan mengingatkan Yazid agar segera menegakkan Syariat Islam dengan baik. Al Husain Ra bukanlah tipe orang yang haus akan kekuasaan. Beliau tentu sudah belajar bagaimana resiko ayah dan kakaknya ketika menjadi pemimpin ummat ditengah suasana yang sering terjadi konflik. Betapa beratnya kondisi tersebut. Al Husain ra datang semata-mata untuk beramar ma’ruf nahi mungkar termasuk kepada penguasa seperti Yazid. Yazid sendiri memang sangat berbeda dengan ayahnya, Muawiyah yang mempunyai kepedulian terhadap Islam, Yazid lebih mementingkan kehidupan duniawinya sehingga banyak syariat Islam yang sering dilanggarnya, inilah yang menjadi alasan Al Husain Ra kenapa mau datang ke Kufah, disamping itu juga datang ke Kufah guna memenuhi undangan masyarakatnya yang merasa tidak nyaman dengan tingkah dan pola kepemimpinan Yazid. Sebagai sosok yang sangat tegas dan disiplin dalam menjalankan syariat Islam jelas Al-Husain ra tidak bisa tinggal diam melihat perilaku Yazid ini. Dari mulai awal diangkatnya saja, Al Husain Ra sudah merasa keberatan mengingat jejak rekam Yazid yang kurang baik. Oleh karena itu Al Husain merasa wajar dan berhak mengingatkan Yazid untuk tidak terus menerus berprilaku yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Yazid cenderung hedonisme, dia sering mabuk-mabukan sehingga sering dijuluki Yazid Si Khumur. Ia mengawini budak-budak, anak-anaknya, dan saudara perempuannya serta pemabuk dan meninggalkan sholat. Kegemaran bermain dengan wanita disertai musik dan arak seolah sudah menjadi bagian hidupnya. Inilah yang menjadi alasan Al Husain Ra datang ke Kufah walaupun nantinya terhenti di Karbala.
Sebenarnya keinginan Al Husain Ra ke Kufah sudah dihalangi banyak sahabat mengingat karakter penduduknya yang tidak bisa dipercaya, ini terbukti pernah terjadi pada masa Khalifah Ali dan Al Hasan yang mereka khianati sehingga mengakibatkan Khalifah Ali ra & Al Hasan Ra terbunuh. Banyak sahabat yang menangis ketika melihat beliau bergerak meninggalkan Madinah. Bahkan Abdullah bin Umar sampai mencium badan depannya demi mengingat bagaimana Rasulullah SAW dulu pernah mencium badan tersebut. Al Husain Ra memang sosok yang keras hati dan penuh prinsip. Beliau tidak akan pernah mundur jika dirasa itu benar, jiwanya seperti batu karang yang kukuh, apalagi bila dihadapannya terdapat kezoliman.
Suasana kota Kufah dan Madinah saat itu memang sangat berbeda, Kufah kota yang penuh dengan intrik dan masalah, sedangkan Madinah adalah kota yang penuh kedamaian. Namun apa mau dikata sekalipun para sahabat sudah mati-matian mencegah Al Husain Ra, perjalanan menuju Kufah tetap dilaksanakan dengan membawa misi menegakkan kebenaran dan menuntut keadilan, sampai kemudian singkat cerita, Al Husain Ra, anak-anak dan pengikutnya syahid di Karbala dengan kondisi yang mengenaskan dan memilukan.
Saat terbunuh, pada tubuh Sayyidina Husein Ra terdapat 33 tikaman dan 34 tebasan pedang. Selain itu dengan tanpa merasa bersalah, para pembunuh keji dari pasukan Ubaidullah bin Ziyad mencincang tubuh mulia tersebut, mereka juga memenggal kepalanya untuk kemudian dibawa dan dihadapkan kepada penguasa yang memerintahkan penyerangan tersebut bahkan juga dipertontonkan kepada masyarakat agar menjadi takut kepada penguasa yang ada saat itu. Hampir semua anak-anak beliau tewas dibunuh kecuali Ali Zaenal Abidin (Assjjad).
Selesai melakukan pembantaian dan pencincangan terhadap tubuh Al Husein Ra, pasukan Kufah yang dipimpin oleh Ubaidilah bin Ziyad yang sudah gelap mata, beramai-ramai menggerayangi jenazah para pahlawan syahid dan mengambil apa aja yang dapat mereka bawa. Jenazah para pengikut Al-Husain ra semuanya sudah tidak berkepala lagi, bahkan diantaranya ada yang tidak bertangan dan tidak berkaki. Kuda dan unta yang sudah tidak bertuan lagi mereka kejar dan perebutkan. Para pembunuh Al Husain Ra benar-benar keji dan kejam. Setelah Al Husain Ra tewas bersimbah darah, seluruh barangnya ikut dirampas, termasuk barang-barang milik keluarganya. Tanpa malu-malu bahkan mereka menyerbu perkemahan wanita dan anak-anak dari rombongan Al-Husain Ra yang telah ditinggalkan sama sekali oleh pria yang mengawal keselamatannya. Kalau saja tidak ada perlawanan dari Sayyidah Zaenab binti ALi, wanita-wanita yang ada saat itu bisa mereka perlakukan secara tidak senonoh. Saat itu mata mereka sangat liar dan buas ketika melihat wanita-wanita yang ada di tenda.
Pasca penyerangan terhadap Al Husain Ra dan pengikutnya, banyak dari pembunuh tersebut bergembira ria. Ubaidillah bin Ziyad sang manusia kejam kaki tangan Yazid bin Muawiyah sudah membayangkan bagaimana kira-kira hadiah yang akan di terimanya dari Maharaja Yazid bin Muawiyah. Yang tidak kalah mengerikan dari mereka, untuk menyenangkan hati Yazid bin Muawaiyah mereka telah memperebutkan kepala jenazah pengikut Al Husain Ra sebanyak mungkin. Kepala-kepala tersebut akan dijadikan bukti kalau mereka berjasa dalam menumpas rombongan Al Husain Ra, makin banyak kepala yang berhasil dikumpulkan akan makin banyak hadiah yang akan diterimanya. Suku Kindah yang dipimpin Qais bin Asy’ats berhasil mengumpukan 13 kepala, Suku Hawazin yang dipimpin oleh Syammar Dzil Jausyan berhasil mengimpulkan 20 kepala. Bani Tamin dan Bani Asad masing masing berhasil mengumpulkan 17 Kepala.
Adapun kepala Sayyidina Husein Ra menurut sebagian sejarawan Islam dimakamkan di Cairo Mesir. Sebelum dimakamkan di Mesir, kepala beliau sempat berapa kali pindah tangan ke beberapa wilayah yang dilewati sehingga lama kelamaan kondisinya pun menjadi tidak layak, saat menuju kediaman Yazid kepala beliau diperlakukan dengan cara yang tidak layak bahkan sempat dipermainkan. Namun pada akhirnya kepala beliau akhirnya diperlakukan dengan cara khidmat dan hormat oleh orang Mesir hingga kemudian dimakamkan dengan layak.
Pasca tragedy Karbala tersebut, bagaimana nasib orang-orang yang terlibat pembunuhan terhadap Al-Husain Ra dan pengikutnya ?
Sejarah mencatat semua orang yang dahulu pernah terlibat dalam membunuh Sayyidina Husein Ra mengalami nasib sial. Seorang penulis sejarah Islam kenamaan bernama Ibnu Hajar, dalam tulisannya mengungkapkan bahwa sepeninggal Al Husein Ra ternyata tak ada seorang pun yang terlibat dalam pembunuhan itu yang terhindar dari siksa dunia setimpal dengan perbuatannya. Ada yang mati terbunuh, ada yang buta dan ada pula yang tiba—tiba mukanya berubah menjadi hitam lebam, sampai kehilangan kekuasaan dalam waktu singkat.
Mereka yang pernah terlibat pada tragedy karbala sepanjang hidupnya terus diburu oleh orang-orang yang tidak terima akan perlakuan keji tersebut.
Perlu diketahui setelah pembantaian Karbala berlalu muncullah beberapa penyesalan yang dialami oleh sebagian penduduk Kufah. Penduduk Kufah inilah yang dahulu mengundang Al Husain Ra untuk datang membaiatnya. Namun apa lacur ? ternyata setelah AL Husain Ra hingga tiba di Padang Karbala, mereka mendadak bungkam bahkan kemudian ikut terlibat mendukung rezim Yazid. Sekalipun demikian diantara sekian banyak penduduk Kufah ada beberapa sahabat Nabi yang kemudian menyesali diamnya mereka, oleh karena itu untuk menebus itu mereka pun melakukan sebuah gerakan dengan nama TAWWABUN (orang-orang yang bertaubat) dibawah kepemimpinan Sulaiman bin Sarad Al Khuzai’y. sosok sahabat Nabi ini berumur panjang, pada waktu peristiwa Karbala dia berusia 93 tahun. Dia sosok yang sangat dekat dengan Khalifah Ali Ra di Kufah, dimana ada Imam Ali ra disitu ada Sulaiman, apalagi saat-saat genting di Kufah. Dai merasakan betul bagaimana terguncangnya batin dirinya saat melihat perlakuan Ubaidillah bin Ziyad terhadap Ahlul bait Nabi dan juga kepala Al Husain Ra, namun karena posisinya yang hanya seorang rakyat biasa, dia hanya bisa diam saat itu. Namun akhirnya setelah melakukan renungan mendalam, ia pun akhirnya bertaubat untuk kemudian kembali jihad menegakkan kebenaran. Berkat ajakan taubatnya, pemerintahan Bani Ummayah mulai cemas. Sulaiman bin Sarad sendiri akhirnya gugur dalam sebuah peperangan melawan pasukan Ubaidillah bin Ziyad. Setelah menyelesaikan tugas memenuhi kewajiban menebus dosa dengan mengorbankan jiwa untuk membela kebenaran, Sulaiman bin Sarad gugur dengan hati lega. Kedudukannya kemudian digantikan oleh Al Mukhtar bin Ubaidillah Ats-tsaqafi yang merupakan tenaga muda yang masih segar dan lincah. Kefanatikan Kaum Tawwabun dibawah kepemimpinan Al Mukhtar berhasil mendesak Ubaidillah bi Ziyad yang selama ditakuti banyak orang. Pada akhirnya gerakan Tawwabun ini mampu memberikan pelajaran setimpal kepada mereka yang pernah zalim kepada Al Husain, sekalipun perbuatan mereka ada yang mungkin dianggap keji dan kontroversial terutama pada sosok Al Mukhtar, namun faktanya orang-orang yang pernah terlibat membunuh Al Husain Ra semua merasakan akibat perbuatannya.
Adapun mereka-mereka yang mengalami nasib tragis setelah pembunuhan Karbala adalah :
1. Seorang penduduk Kufah pernah menghina Al Husain Ra di depan beberapa orang dengan mengatakan Al Husain Ra fasik, seketika itu juga Allah melemparkan noktah putih dari langit ke matanya sehingga ia buta saat itu juga dan ini disaksikan oleh Abu Raja Al Aththradi.
2. Seorang laki-laki yang pernah terlibat pembunuhan Karbala, berkata dia di depan penduduk Kufah : “Wahai penduduk Kufah kalian memang pendusta! Kalian bilang bahwa semua orang yang terlibat dalam pembunuhan Al-Husain Ra telah dimatikan Allah dalam kondisi Su’ul Khatimah, atau terbunuh secara keji. Buktinya, aku masih hidup pada aku berada di tempat kematiannya ketika itu, bahkan kini aku mempunyai harta yang banyak. Tidak lama dari perkataan itu, pria tersebut berencana mematikan lentera di sebuah ruangan. Pria itu berusaha mengeluarkan sumbu lampu dengan jari tangannya, namun tiba-tiba api menyambar jari tangannya. Ia berusaha memadamkan api dengan meniupnya, tetapi ketika jari itu didekatkan dengan mulutnya api justru menyambar jenggotnya, ia pun berlari ke kolam lalu menceburkan diri ke dalamnya, namun justru api itu tetap menyala di dalam air dan membakar tubuhnya sampai hangus seperti arang.
3. Al A’masy pernah bercerita : “Aku mendengar perihal seorang laki-laki yang sengaja buang air besar di atas makam Al-Husain Ra bin Ali. Maka Allah menimpakan penyakit gila, lepra, sopak dan berbagai penyakit serta musibah terhadap keluarganya.”
4. Para pembunuh Al husain Ra juga menjadi buronan dari Al Mukhtar bin Abu Ubaid At Tsaqofi yang ingin menuntut balas. Satu persatu banyak yang tertangkap, mereka kemudian dibunuh dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan kekejiannya.
5. Syamr bin Dzul Jausyan berhasil disergap pasukan Al Muhktar dan berhasil dibunuh, jasadnya lalu dilemparkan untuk makanan anjing.
6. Khauli bin Yazid Al Ashbahi juga tertangkap pasukan Al Mukhtar kemudian dibunuh dan jasadnya dibakar. Pasukan Al Muhktar menghukumnya demikian karena dialah yang membawa kepala Al Husain Ra.
7. Umar bin Sa’ad bin Abu Waqash juga mati terbunuh, ia adalah komandan pasukan yang membunuh Al Husain Ra Anaknya bernama Hafsh juga ikut dibunuh. Sangat disayangkan Umar ini bisa terlibat pada peristiwa Karbala mengingat ayahnya adalah seorang sahabat Nabi yang dikenal mulia.
8. Sinan bin Anas, laki-laki yang dituduh sebagai pembunuh Al Husain Ra lari dan menjadi buronan, namun rumahnya dirobohkan.
9. Hakim bin Thufail Ath-Thai, orang yang memanah Al Husain Ra, ia juga dibunuh pasukan Al-Mukhtar.
10.Umar bin Shabah Ash-Shad yang memanah Al Husain Ra juga dibunuh.
11. Ubaidilah bin Asad Al Juhani, Malik bin Nasir Al Kindi, Haml bin Malik Al Muharibi dari Qadisiah diringkus dan dibunuh pasukan Al Mukhtar.
12. Ziyad bin Mali Adh Dhubai, Imran bin Khalid Al Atsari, Abdurrahman bin Abu Hasykah Al Bajali, Abdullah bin Qais AL Khaulani juga dibunuh karena orang-orang inilah yang dahulu merampas bahan pewarna pakaian yang dibawa Al Husain Ra.
13. Abdullah (Abdurrahman bin Thalhah), Abdullah bin Wuhaib Al Hamdani, ditangkap dan dibunuh.
14. Usman bin Khalid Al Juhani, Asma Bisyr bin Samith Al Qabisi dibunuh, keduanya terlibat dalam pembunuhan Abdurrahman bin Aqil dan merampas barang-barang miliknya, setelah ditangkap keduanya dibunuh dan dibakar.
15. UBAIDULLAH BIN ZIYAD. Dialah yang menjadi pemimpin pasukan Karbala. Ubaidilah dalam sebuah pertempuran dengan pasukan Al Mukhtar berhasil dikalahkan. Dia dibunuh langsung oleh Al Mukhtar setelah itu kepalanya kemudian dipenggal seperti dulu dia memperlakukan kepada Al Husain Ra. Allah menakdirkan Ubaidullah bin Ziyad terbunuh pada hari Asyura 10 Muharam tahun 67 H, persis seperti hari kematian Al Husain Ra di Karbala. Al Mukhtar kemudian mengirim kepada Ubaidullah ke Abdullah bin Zubair, lalu kepala itu dikirimkan kepada Ali bin Al Husain (Ali Zaenal Abidin). Sekalipun demikian Imam Ali Zaenal Abidin Ra tidak pernah mau ikut melibatkan diri dengan gerakan ini karena dia sudah belajar banyak bagaimana dulunya kakeknya, pamannya, ayahnya dikhianati berkali-kali di Kufah.
16.Husain bin Namir, terbunuh dalam perang melawan Al Mukhtar.
17. Sinan bin Anas, mengaku dirinya mengaku membunuh Al Husain Ra di hadapan massa dalam sebuah pertemuan yang digagas oleh Hajjaj bin Yusuf, tidak lama setelah pulang dari pertemuan itu, lidahnya kaku dan akalnya hilang sehingga ia harus makan dan buang air di tempat tidur. Ia juga pernah terlihat buang hajat di Masjid dalam keadaan tua bangka renta dan hilang akal (gila).
18. Abdullah bin Abul Hushain Al Azdi, tiga hari sebelum kematian Al Husain Ra pada perang Thaf, dialah yang menduduki dan menutup saluran air di Karbala, ia sengaja mendudukinya agar cucu Nabi itu tidak bisa mendapatkan air minum. Selang berapa lama setelah terjadi tragedy Karbala Abdullah bin Abul Hushain jatuh sakit, ia minum air kolam lalu muntah, ia mencoba minum lagi hingga kenyang, tetapi kemudian ia muntah. Setelah itu dia minum lagi tapi dahaganya tidak pernah hilang. Derita ita terus menyertainya hingga ia mati.
19. Yazid bin Muawiyah. Pada masa pemerintahannya, Yazid hampir dibenci semua orang. Pemberontakan terhadap kepemimpinannya berulang kali terjadi termasuk di Madinah, bahkan hampir seluruh penduduk kota ini ikut memberontak. Untuk mengatasi hal tersebut, Yazid mengirim pasukan untuk menumpas mereka hingga meletuslah Perang Hurrah yang sangat terkenal itu. Namun Allah tidak membiarkan Yazid bertahta lama, kekuasaannya hanya bertahan tidak lebih dari 4 tahun.
Adapun Keluarga dan Pengikut Al Husain Ra yang gugur dan tercatat adalah :
1. AL Husain Ra/Sayyidina Husain Asshibti/Abu Syuhada bin Ali bin Abi Thalib
2. Al Abbas bin Ali bin Abi Thalib, 34 tahun
3. Ja’far bin Ali bin Abi Thalib, 19 tahun
4. Abdullah bin Ali bin Abi Thalib, 25 tahun
5. Muhammad bin Ali bin Abi Thalib (antara 20 – 25 tahun)
6. Abubakar bin Ali bin Abi Thalib (antara 20 – 25 tahun)
7. Ustman bin Ali bin Abi Thabli (antara 20 – 25 tahun)
8. Abdullah bin Al Husain ra, 25 tahun
9. Ali Akbar bin Al Husain ra, 19 tahun
10. Abu Bakar bin Al Hasan ra
11.Abdullah bin Al Hasan Ra
12.Al Qasim bin Al Hasan ra
13. Aun bin Abdullah bin Jakfar bin Abi Thalib (Abdullah bin Jakfar adalah Suami Sayyidah Zaenab RA)
14. Muhammad bin Abdullah bin Jakfar bin Abi Thalib
15. Jakfar bin Aqil bin Abi Thalib (misan AL Husain Ra)
16. Abdurrahman bin Aqil bi Abi Thalib (misan Al Husain Ra)
17. Abdullah bin Muslim bin Aqil bin Abi Thalib (misan Al Husain Ra)
18. Muhammad bin Abu Sa’id bin Aqil bin Abi Thalib
19. Sulaiman (pembantu setia Al Husain Ra)
20. Manjah (pembantu setia Al Husain Ra)
21.Abdullah bin Baqtar (pembantu setia Al Husain ra)

Wallahu A’lam Bisshowwab…

Daftar Pustaka :

HMH Al Hamid Al Husaini. AL Husain bin Ali Ra-Pahlawan Besar Dan Kehidupan Islam Pada Zamannya, Semarang : Toha Putra, 1978.
Syekh Hasan Al Husaini. Hasan & Husain The Untold Story, Jakarta : Pustaka Imam Syafii, 2013
Al Imam Jalaludin Suyuti, Tarikh Khulafa, Jakarta : Darul Kutub Al Islamiah, 2011.

Selasa, 08 September 2020

MENGENAL PEMBUNUH KHALIFAH ALI RA, ABDURRAHMAN BIN MULJAM AL MURADI AL HIMYARI, “SI MANUSIA PALING CELAKA”

(Seri Sejarah Keluarga Nabi Muhammad SAW)

Oleh : Iwan Mahmoed Al Fattah

Sosok yang akan kita bicarakan disini sebenarnya sudah banyak yang menulisnya, namun demikian tak ada salahnya jika sejarahnya kembali kita ulas dengan tujuan untuk menjadikannya sebagai pelajaran sejarah yang berharga, mengingat ditangannya telah syahid salah seorang Khalifah ke 4 yang juga menantu dari Nabi Muhammad SAW yaitu Sayyidina Ali bin Abi Thalib Ra. Beliau adalah sosok yang dikenal sangat dekat dengan Rasulullah SAW dan banyak dicintai dan dihormati para sahabat termasuk mereka-mereka yang tidak sependapat dengannya.

Pada saat terbunuhnya Khalifah Ali bin Thalib Ra, beliau tinggal di kota Kufah. Kufah sendiri adalah kora utama yang ada di Irak saat itu. Kota ini menjadi  istimewa karena menjadi tempat tinggal para sahabat Nabi, para tabi’in dan ulama soleh. Kufah ini menurut catatan Ibnu Batutah dalam rihlahnya banyak berkaitan dengan Nabi-nabi terdahulu seperti Nabi Ibrahim AS,  Nabi Nuh AS, Nabi Idris AS.  Kelak setelah kematian Khalifah Ali Ra. Anak dan cucunya akan dimakamkan di kota ini seperti Muslim bin Aqil bin bin Abi Thalib  serta cucunya yang bernama Atikah dan Sakinah. Di kota inilah menjadi saksi bisu sejarah telah terjadi sebuah tragedy pembunuhan yang dilakukan seorang manusia paling celaka terhadap manusia mulia kecintaan Rasulullah SAW…dan pembunuh keji itu bernama Abdurrahman bin Muljam Al Murodi Al Himyari.

Abdurrahman bin Muljam Al Murodi Al Himyari sendiri dahulunya dikenal sebagai sosok yang baik, beliau dalam kehidupan awal keislamannya bahkan pernah dipercaya oleh Khalifah Umar bin Khattab Ra untuk mengajarkan Al Qur’an di masjid. Dia juga pernah belajar kepada sahabat Nabi yang bernama Muadz bin Jabal Ra. Dia sendiri pada awalnya pernah merasakan hidup jahiliiah. Ibnu Muljam baru mampu berhijrah di masa Khalifah Umar bin Khattab Ra. Dalam riwayat kehidupannya Abdurrahman bin Muljam ini bahkan pernah dikirim ke Mesir untuk membantu Gubernur Amr bin Al ‘Ash Ra dalam mengajarkan Al-Qur’an. Ibnu Muljam bahkan pernah diberi gelar Al Muqri karena keahliannya membaca Al-Qur’an. Di masa itu sosoknya selain dikenal baik, dia juga dikenal gemar beribadah, rajin berpuasa, rutin melakukan sholat malam. Khalifah Umar bin Khattab Ra bahkan dalam suratnya yang ditujukan kepada Amr  bin Al Ash Ra mengatakan bahwa sosok Abdurrahman bin Muljam adalah pribadi yang soleh dan  meminta agar Amru bin Ash Ra memuliakannya.

Dengan adanya gambaran dari Khalifah Umar bin Khattab Ra, kita bisa menilai bahwa sosok yang nantinya menjadi pembunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib Ra ini paling tidak latar belakangnya adalah orang baik. Ini tentu merupakan hal sangat mengejutkan, betapa orang yang dahulunya soleh dan hidup pada masa Sahabat Nabi tiba-tiba bisa berubah 180 derajat menjadi sosok yang mengerikan. Kemana bacaan Al-Qur’annya yang selama ini dia ajarkan ke orang banyak ? Apakah ibadah yang selama ini dilakukan tidak membekas sedikitpun sehingga dia bisa berubah total seperti itu ?

Dari beberapa sumber yang saya pelajari, nampaknya perubahan karakter seorang Abdurrahman bin Muljam terjadi ketika dia mulai bergaul dengan orang-orang khawarij di wilayah Mesir saat itu. Saat itu faham Khawarij muncul setelah timbulnya peristiwa Tahkim (Arbitrase)  antara fihak Khalifah Ali Ra dan fihak Muawiyah Ra. Tadinya Abdurrahman bin Muljam berada di fihak Khalifah Ali bin Abi Thalib Ra, namun sejak dia mulai terjangkiti pemahaman yang sempit dari orang-orang khawarij, maka sejak itu berubahlah karakternya yang tadinya sholeh menjadi jahat. Sepertinya sosok Abdurrahman bin Muljam ini tidak seperti para sahabat – sahabat yang pernah mendapat didikan langsung dari Nabi Muhammad SAW. Dalam sejarahnya sendiri sepertinya Abdurrahman bin Muljam tidak mendapat didikan langsung dari Nabi Muhammad SAW mengingat dia baru berhijrah di masa Umar bin Khattab, sehingga sudah dapat dipastikan kualitas keislaman dan keislamannya tidak sebanding dengan para sahabat Nabi Muhammad SAW yang lainnya. Kesholehan dia sepertinya tidak ditopang dengan pengetahuan agamanya, ia mungkin seorang sekedar pandai membaca Al-Qur’an namun untuk mampu menyelami lebih dalam seperti para sahabat Nabi Muhammad SAW, sehingga bacaan Al-Qur’an yang dia miliki hanya sebatas kerongkongan saja. Boleh jadi pula dia ini belum mencapai tahap penghafal  Al-Qur’an yang sesungguhnya seperti halnya para sahabat Nabi. Untuk menjadi seorang penghafal Al Qur’an di masa Nabi dan Sahabat itu terdiri dari orang-orang yang terbaik seperti Abu Musa Al Asyari Ra, Abu Darda Ra, Zait bin Tsabit Ra,  Abdullah bin Mas’ud Ra, Usman bin Affan Ra, Ali bin Abi Thalib Ra, Ubai bin Kaab, dll. Sedangkan untuk Abdurrahman bin Muljam  terus terang kami pribadi sangsi kalau dia merupakan penghafal Al-Qur’an seperti halnya para sahabat yang telah kami sebutkan tersebut. Tidak menutup kemungkinan dia baru sebagian kecil menguasai dan menghafal isi Al-Qur’an, namun karena kesolehannya saat itu sangat menonjol maka bukan hal yang aneh kalau dia kemudian dipercaya Khalifah Umar bin Khattab Ra untuk mengajarkan Al-Qur’an sesuai dengan kemampuan dengan pemahaman yang dia miliki…

Hubungannya dengan khawarij memang cukup mengagetkan, namun kenyataannya itu memang terjadi. Sejak pertama kali kemunculannya, faham Khawarij memang cukup mengkhawatirkan persatuan ummat. Langkah Sayyidina Ali Ra untuk menyelesaikan sengketa dengan Muawiyah bin Abi Sofyan Ra justru dipandang salah oleh kaum ini, oleh karena itu mereka yang tidak setuju dengan adanya Tahkim kemudian memisahkan diri dari kelompok Khalifah Ali Ra. Slogan yang sering diucapkan kaum Khawarij adalah “LĀ HUKM ILLĀ LI ALLĀH”, tidak ada keputusan kecuali keputusan Allah. Slogan inilah yang nantinya diucapkan oleh Abdurrahman bin Muljam saat membunuh Khalifah Ali Ra. Kaum khawarij berkesimpulan Khalifah Ali Ra dan Muawiyah Ra adalah fihak-fihak yang berdosa (sebuah penilaian yang sangat tidak pantas apalagi ditujukan kepada sahabat Nabi Muhammad SAW). Khawarij juga berpandangan bahwa hanya golongan merekalah yang benar, sementara yang lain adalah salah dan wajib diperangi. Kebencian yang begitu mendalam nampaknya lebih ditujukan kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib Ra, dan anehnya setiap kejahatan politik  yang dilakukan fihak Syam  oleh khawarij dipikulkan pertanggungjawabnya ke pundak Khalifah Ali Ra. Orang-orang khawarij  terus berkampanye dan berpropaganda bahwa Khalifah Ali Ra telah murtad dan menjadi kafir. Khalifah Ali bin Abi Thalib Ra harus dilawan demi tegaknya hukum Allah, menurut mereka. Di mana-mana mereka tidak bosan meneriakan slogan “TIADA HUKUM SELAIN HUKUM ALLAH”.

Ath-Thabari salah seorang penulis sejarah Islam mencatat bahwa sebab munculnya khawarij dan alasan berpisahnya mereka dari pasukan Ali adalah karena dangkalnya pengetahuan mereka tentang hakikat permasalahan, juga tentang makna ayat Al-Qur’an, serta minimnya ilmu fikih dan pengetahuan mereka terhadap ajaran pokok syariat dan agama. Dari penjelasan Ath-Thabari ini akhirnya kita berkesimpulan bahwa betapa berbahayanya faham yang satu ini pada waktu itu.

Berbagai cara dan cara sebenarnya sudah dilakukan Khalifah Ali Ra untuk menyadarkan kaum ini.  Namun jerih payah Khalifah Ali Ra nampaknya tidak membawa hasil apapun juga hingga akhirnya beliau pun bersikap tegas kepada kaum yang menyimpang ini. Kaum khawarij sendiri bertahan sikapnya dengan tetap keras kepala dan menumpahkan semua kesalahan kepada Khalifah Ali Ra. Dalam suatu dialog yang terjadi antara Khalifah Ali Ra dan kaum khawarij, mereka tanpa tedeng aling menyatakan  terus terang pendiriannya sebagai berikut: “…kami bukanlah dari golongan kalian dan bukan pula dari orang-orang yang menghendaki keduniaan seperti yang kalian inginkan. Hai Ali, jika engkau mau mengakui dengan sadar bahwa engkau sekarang telah menjadi kafir, kemudian engkau bersedia bertaubat sebagaimana kami telah bertaubat, barulah kami sudi untuk bersatu lagi denganmu untuk menghadapi musuhmu. Kalau tidak, tidak ada jalan lain kecuali pedang.

Kaum khawarij  memang pada akhirnya tidak pernah mau berdiam diri dan tidak pernah mau bertukar pikiran untuk mencari kebenaran, bahkan terus menerus menantang dan mengancam hendak melancarkan serangan bersenjata. Setiap orang yang tidak sefaham dengan mereka dan diketahui bersimpati kepada Khalifah Ali  Ra mereka bunuh dan mereka aniaya. Mereka menetapkan hukum sendiri, bahwa setiap  orang yang tidak sependapat dengan mereka, halal ditumpahkan darahnya dan dirampas segala miliknya.

Cara berpikir khawarij yang serba sempit ini dapat dilihat dalam surat yang ditulis Ali ibn Abi Thalib; “jelaskan kepada kami, alasan apa yang menyebabkan kalian menghalalkan untuk memerangi kami dan membelot dari jamaah. Mempersenjatai bekas hamba sahaya kalian dan menyerang orang-orang dengan memenggal kepada mereka ? Sesungguhnya perbuatan ini adalah kerugian yang sangat nyata. Demi Allah, seandainya kalian membunuh seekor ayam atas dasar semua ini, pastilah dosanya sangat besar di sisi Allah, maka bagaimana dengan membunuh nyawa manusia yang diharamkan oleh Allah.”

Perlu diketahui, kaum khawarij ini kebanyakan dari orang-orang Arab Badui yang hidup di padang pasir dan keadaan yang serba keras, membuat mereka bersifat sederhana dalam alam pikiran, keras dalam pendirian, berani dalam bertindak, dan mandiri. Mereka berpandangan sempit, fanatik, kurang toleran terhadap perbedaan, tidak terbuka karena kurang berilmu pengetahuan. Akibatnya rawan akan terjadinya pengelompokan baru. Mereka mudah menuduh kafir atau musrik terhadap siapa saja yang tidak mengikuti mereka. Kafir atau musyrik dengan sendirinya halal darahnya untuk dialirkan. Ajaran-ajaran Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist, mereka artikan menurut lafadnya dan harus dilaksanakan sepenuhnya. Oleh karena itu iman dan paham mereka merupakan iman dan paham mereka yang sederhana dalam pemikiran. Sikap fanatik ini membuat mereka tidak mentolerir penyimpangan terhadap ajaran Islam menurut paham mereka, walaupun hanya penyimpangan dalam bentuk kecil.

Sejarah membuktikan bahwa kaum khawarij ini termasuk orang-orang yang membenci Imam Ali Ra secara berlebih-lebihan, mereka tidak hanya memusuhi dan memerangi saja, tetapi  bahkan mengkafir-kafirkannya kemudian berkomplot  membunuhnya. Kebencian mereka yang sangat berlebih-lebihan  itu membawa  mereka kepada jalan yang tidak benar, sebagaimana yang dicanangkan oleh sabda Rasulullah SAW, setiap muslim yang tidak sefaham dengan mereka dipandang sebagai kafir dan mereka halalkan darah dan harta bendanya.

Pemikiran-pemikiran dari Khawarij ini nantinya sangat berpengaruh kuat terhadap Abdurrahman bin Muljam untuk membunuh Sayyidina Ali Ra sebagai khalifah saat itu. Keinginan Abdurrahman bin Muljam untuk cepat membunuh Sayyidina Ali Ra bahkan semakin menguat manakala dia bertemu dengan seorang perempuan cantik yang bernama Qitham binti Asy-Syajnah di Kufah (Irak) yang ternyata juga seorang khawarij sejati. Qitham binti Asy-Syajnah memberikan beberapa syarat kepada Ibnu Muljam untuk bisa menikahinya, salah satunya adalah dengan membunuh Khalifah Ali Ra. Syarat yang diajukan ini justru seperti pucuk dicinta ulam pun tiba. Qitham binti asy-Syajnah memberi syarat tersebut karena dia dendam kepada Khalifah Ali Ra dan pengikutnya yang telah banyak membunuh kerabatnya dalam perang Nahrawan. Perang Nahrawan sendiri adalah perang  yang bertujuan untuk menumpas habis kaum khawarij yang telah memberontak dan selalu melakukan adu domba dan provokasi setelah adanya Tahkim. Dengan lantang mereka selalu berkata: “Tidak boleh ada hukum kecuali hukum Allah.”adanya pemahaman yang sempit ini kemudian dijawab oleh Sayyidina Ali Ra dengan perkataan: Perkataan yang benar, tetapi ditujukan untuk kebathilan.”

 

Pertemuannya dengan wanita cantik yang berhati kejam semakin menambah semangat Ibnu Muljam untuk segera menghabisi Khalifah Ali Ra. Semua kesolehannya telah berubah menjadi sifat iblis, pergaulannya yang salah, ambisinya yang begitu besar, pemahamannya yang sempit terhadap Islam, serta adanya godaan wanita semakin membuat Abdurrahman bin Muljam betul-betul menjadi gelap mata, dia lupa kalau dulu Khalifah Umar bin Khattab pernah memujinya, dia lupa sahabat Amr bin Ash Ra dulu pernah menjadikanya seorang mulia karena kedekatannya dengan Al-Qur’an. Hilang semua itu akibat kebodohannya karena bergaul dan berdekat-dekatan dengan kaum khawarij. Intelektual dan pemikirannya tidak berhasil untuk menolak faham ini..kesholehannya seolah tidak berdaya menghadapi pemikiran-pemikiran yang disodorkan oleh kaum khawarij ini.

 

Sosok yang dulu rumahnya pernah dekat dengan  salah satu otak pembunuhan Khalifah Ustman bin Affan yang  bernama Abdurrahman bin Udais Al-Balawi ini akhirnya melaksanakan misi jahatnya setelah didesak oleh perempuan impiannya.

 

Rencana pembunuhan terhadap Sayyidina Ali Ra pada dasarnya merupakan misi besar dari kaum khawarij. Misi pembunuhan itu tidak saja ditujukan kepada Imam Ali Ra namun juga kepada Muawiyah bin Abi Sufyan Ra, Gubernur Amr bin Ash Ra yang dipandang sebagai biang keladi perpecahan ummat.  Untuk rencana pembunuhan terhadap Imam Ali Ra mereka pandang sebagai tindakan pembalasan atas terbunuhnya  kawan-kawan mereka di masa lalu. 

 

Untuk melaksanakan pembunuhan terhadap tiga tokoh tersebut maka  terpilihlah nama Abdurrahman bin Muljam Al-Muradi Al-Himyari yang ditugaskan membunuh Imam Ali Ra. Untuk membunuh Muawiyah Ra mereka menugaskan seorang Bani Tamim bernama  Al-Hajjaj bin Abdullah Ash-Sharimy. Sedangkan untuk membunuh Amr bin Ash Ra mereka menugaskan ‘Amr bin Bakr orang dari Bani Tamim juga.  Mereka menentukan waktu  pelaksanaan  rencana tersebut secara serentak, yaitu menjelang tanggal 17 Ramadhan tahun 40 Hijriah. Selama menunggu waktu yang telah ditentukan mereka tinggal di Makkah. Selesai berumroh, pada bulan Rajab mereka berpisah, masing-masing menuju tempat tujuan. Pada waktu yang telah ditentukan ternyata Al-Hajjaj Ash Sharimy tidak berhasil membunuh Muawiyah Ra karena kebetulan beliau sedang memakai baju besi sebagaimana kebiasaannya ketika keluar meninggalkan rumah. Ia hanya luka-luka tapi tidak membahayakan jiwanya. Al Hajjaj kemudian tertangkap kemudian dibunuh. Untuk Amr bin Bakr, ternyata ia juga gagal membunuh Amr bin Ash Ra karena ketika itu Amr tidak keluar rumah karena sedang sakit. Untuk mengimami sholat jamaah Amr bin Ash Ra kemudian menugaskan pengawalnya  yang bernama Kharijah bin Huzaifah Al Adwy. Kharijah inilah yang akhirnya terbunuh. Amr bin Bakr kemudian ditangkap lalu dibunuh oleh Amr bin Ash Ra.

 

Bagaimana dengan Abdurrahman bin Muljam ?

 

Pada malam tanggal 17 Ramadan 40 Hijriah, dibulan yang mulia, rencana Ibnu Muljan beserta dua orang kawannya  untuk membunuh Khalifah Ali Ra akhirnya dijalankan.  Menjelang subuh seperti kebiasaan Khalifah Ali Ra, beliau selalu membangunkan orang-orang untuk sholat berjamaah. Di jalan yang biasa Khalifah Ali Ra lalui ini sudah lama mengintai  Ibnu Muljam dan dua 2 orang kawannya.  Setelah bertemu, Abdurrahman bin Muljam kemudian  menebas tengkuk Khalifah Ali Ra yang sudah terjatuh setelah sebelumnya  ditebas oleh komplotan Ibnu Muljam.  Darah pun membanjiri tengkuk dari khalifah yang mulia ini. Sambil menebas tengkuk Khalifah Ali Ra dengan pedang yang sudah diberi racun mematikan, Abdurrahman bin Muljam berteriak ”TIDAK ADA HUKUM KECUALI MILIK ALLAH, BUKAN MILIKMU ATAU SAHABAT-SAHABATMU !!!”  setelah mengeluarkan perkataan ini Ibnu Muljam  membaca Al-Qur’an “DAN DIANTARA MANUSIA  ADA YANG MENJUAL JIWANYA MENCARI KERIDHOAAN ALLAH  DAN ALLAH  MAHA LEMBUT KEPADA HAMBA-HAMBANYA…” Khalifah Ali Ra pun sempat menjawab dan berseru, “KALIAN AKAN MENDAPAT HUKUM ALLAH…”

 

Perbuatan yang dilakukan oleh Abdurrahman bin Maljan dkk, jelas sangat menggemparkan para sahabat yang akan melakukan sholat. Anak-anak Khalifah Ali Ra seperti Sayyidina Hasan ra,  Ummu Kalsum RA sangat marah terhadap sosok yang kini sudah berubah menjadi monster pembunuh. Betapapun demikian Khalifah Ali walaupun dalam keadaan kritis tetap melarang anak-anaknya untuk memperlakukan Abdurrahman bin Muljam di luar  batas kemanusiaan, Khalifah Ali Ra melarang anak-anaknya menyiksa sosok pembunuh berdarah dingin itu, bahkan beliau memberi pesan agar Ibnu Muljam diberi makan dan minum dan ditawan dengan baik. Menurut beliau Jangankan manusia, kepada anjing liar saja hal tersebut tidak boleh dilakukan. Perkataan dan nasehat Khalifah Ali Ra ini yang nantinya menyebabkan Abdurrahman bin Muljam dihukum mati dengan cara yang sesuai dengan syariat Islam. Ini penting diungkap karena beberapa sumber tulisan menulis Abdurrahman bin Muljam digambarkan dibunuh dengan dengan cara yang kejam dan tidak manusiawi, jelas ini sangat bertentangan dengan pesan dan wasiat dari Khalifah Ali Ra. Tidak mumgkin kekejaman dihadapi dengan kekejaman karena itu bertentangan dengan hukum Islam juga bertentangan dengan sifat para sahabat. Beberapa tulisan bahkan menyebut adanya pencungkilan mata, ada pemotongan lidah, ada pemutilasian bahkan ada pembakaran jasad dirinya. Jelas ini tulisan yang patut dipertanyakan kebenarannya.

 

Pada tanggal 21 Ramadan 40 Hijriah Khalifah Ali bin Abi Thalib ra setelah 3 hari bertahan dengan luka-lukanya terutama di selaput otaknya, akhirnya sosok yang mulia wafat syahid, maka sejak wafatnya beliau dan juga setelah penyerahan jabatan khalifah dari Sayyidina Hasan Ra kepada Muawiyah bin Abi Sufyan Ra berakhirlah sejarah emas sistem pemerintahan Kekhalifahan Nubuwwah (Khilafah Rasyidah). Sayyidina Ali Ra sendiri setelah wafat dikuburkan di Najaf, Iraq. Di tempat itulah sampai sekarang bisa kita saksikan sebuah masjid besar dalam bentuk bangunan yang indah terhias beberapa kubah berlapiskan emas. Berpuluh-puluh ribu, bahkan mungkin beratus-ratus ribu kaum muslimin, terutama penganut Syiah setiap tahun datang dan berziarah ke tempat tersebut. Selain Najaf ada sebagian ada juga yang berpendapat bahwa makam Sayyidina Ali Ra sudah dipindahkan oleh Al-Husein Ra dan dikebumikan kembali  berdampingan dengan istrinya di Baqi’ Madinah.

 

Bagaimana hukuman mati yang diterima Ibnu Muljam setelah berhasil membunuh Khalifah Ali Ra yang agung itu ? Benarkah hukuman yang diterima ibnu Muljam dilakukan dengan cara yang kejam ? Benarkah saat mau dihukum dia masih percaya diri dan tidak merasa ketakutan ? benarkah dia meminta agar badannya dimutilasi ? untuk menjawab semua itu dibawah ini akan dijelaskan bagaimana sebenarnya yang terjadi.

 

Beberapa waktu setelah kematian Khalifah Ali Ra, Al-Hasan Ra sebagai putra tertua bersiap-siap melaksanakan hukuman Qishas terhadap pembunuh ayahnya.  Akhirnya Ibnu Muljam  si pembunuh durjana itu dibawa  ke hadapan massa untuk diqishas, Ibnu Muljam tampak begitu ketakutan, hingga mengiba-iba kepada Al-Hasan Ra.

 

Ibnu Muljam berkata : “Maukah kamu menerima tawaranku ? Demi Allah, setiap kali aku bersumpah kepada Allah, aku selalu menepatinya. Dahulu aku bersumpah kepada  kepada-Nya di sisi Ka’bah, untuk membunuh Ali dan Muawiyah, atau aku yang terbunuh karena itu. Sekarang, lepaskanlah aku agar aku dapat membunuh Muawiyah. Aku bersumpah kepadamu, Demi Allah, jika aku tidak berhasil membunuh Muawiyah, atau aku berhasil membunuhnya dan aku tetap hidup, aku akan kembali menyerahkan diri kepadamu.”

 

Mendengar tawaran demikian, Al-Hasan  Ra berkata: “Demi Allah, itu tidak akan pernah terjadi sebelum kamu melihat neraka.” Ibnu Muljam kemudian dibawa ke depan, lalu Al Hasan Ra pun mengqishasnya.

 

Dari paparan diatas ini kita menjadi tahu bahwa Ibnu Muljam menjelang kematiannya, dia sangat ketakutan sekali, dari sini pula kita bisa tahu betapa bodohnya dia akan pemahaman keagamaan. Betapa sangat salah kaprahnya dia ketika berani bersumpah “Demi Allah” untuk sebuah kebatilan, dia fikir hukum bisa dibolak balik dan dipermainkan. Ibnu Muljam masih beruntung hanya diqishas, mungkin bila dia jatuh ke tangan Persia dan Roma bisa jadi dia akan diperlakukan dengan sangat sadis. Namun begitulah akhlak Keluarga Nabi. Sesuai pesan Khalifah Ali Ra, Al Hasan Ra melakukan qishas sesuai dengan syariat Islam. Artinya sebelum qishas jatuh tidak ada penyiksaan, semua dilakukan dengan cepat hingga akhirnya Ibnu Muljam mati dalam hina dihadapan Ummat Islam.

 

Setelah dihukum mati dengan cara qishos dengan cara dipenggal kepala, tidak diketahui dimana manusia paling celaka ini dimakamkan. Namun berdasarkan catatan Ibnu Batutah dalam rihlahnya, makam Ibnu Muljam ternyata tidak jauh dari pemakaman keluarga Khalifah Ali Ra. Menurut beliau makam Ibnu Muljam berada di sebelah barat pemakaman Kufah. Makam Ibnu Muljam berbentuk sebuah bangunan hitam legam diatas tanah putih. Makam “Si Manusia Celaka” ini setiap tahun didatangi penduduk Kufah. Mereka membawa kayu dan membakarnya  di atas makam itu selama 7 hari. Di dekat makam Ibnu Muljam terdapat pula makam Al-Mukhtar bin Abu Ubaid Bin Mas’ud Ats- Tsaqafi.

 

Dari pelajaran diatas kita dapat simpulkan kenapa seorang Ibnu Muljam yang hidup di masa para sahabat bisa berubah menjadi orang yang jahat dikarenakan beberapa factor, yaitu :

 

1.  Ibnu Muljam bukan produk didikan Rasulullah SAW karena dia hadir pada masa Khalifah Umar bin Khattab, sehingga kualitas keimanannya pun tidak bisa disamakan dengan para sahabat, sekalipun para sahabat ada yang bertentangan dalam beberapa persoalan, namun semua itu bisa diselesaikan dengan cara yang baik, sedangkan ibnu muljam dengan cara kekerasan.

2.    Ibnu Muljam adalah gambaran seorang yang berwawasan sempit padahal dia berada di lingkungan orang-orang yang terbaik.

3.    Ibnu Muljam hanya mampu menjadi manusia yang sholeh buat dirinya sendiri namun tidak mampu untuk membuat sholeh orang lain.

4.     Ibnu Muljam telah memasuki pergaulan yang salah ketika dia berdekat-dekatan dengan kaum khawarij.

5.    Ibnu Muljam adalah sosok yang lebih mengedepankan dunia ketimbang akhirat, ini terbukti ketika dia mau melakukan pembunuhan terhadap Khalifah Ali berkat rayuan seorang wanita.

6.      Ibnu Muljam adalah tipikal manusia yang berfikir leterleks (kaku) bukan kontekstual.

7.      Ibnu Muljam tipikal manusia egois yang sulit menerima pendapat dari orang lain.

8.    bnu Muljam seorang  merasa “berilmu” tapi mati terbunuh oleh kebodohannya sendiri, ilmunya tidak bermanfaat bagi dirinya (karena tidak diamalkan).

9.    Ibnu Muljam sekalipun memiliki nama yang indah (Abdurrahman) namun ternyata nama itu tidak mampu menjadikannya manusia yang berguna.

10.   Ibnu Muljam bukanlah penghafal Al-Qur’an seperti halnya para sahabat Nabi, yang selain hafal mereka juga bisa mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, Ibnu Muljam mungkin bisa mengajar Al-Qur’an namun untuk memahami maknanya secara lebih luas nampaknya dia tidak mampu. Sekalipun kalau memang benar dia katanya hafal Al-quran, hafalan yang dia miliki hanya bisa sampai kepada kerongkongan saja, dan tidak sampai kepada akal dan hatinya untuk diamalkan dalam kehidupan nyata. Kami  pribadi sendiri masih ragu apakah Ibnu Muljam ini seorang penghafal Qur’an mengingat pada masa itu hanya terjadi pada dirinya saja, bila dibandingkan dengan para penghafal Alquran lainnya.. Bagaimana mungkin, bukankah Al-Qur’an merupakan bagian “Cahaya Allah” ? tidak mungkin “cahaya” itu menyebabkan seorang menjadi pembunuh. Seorang penghafal Al-Quran sejati akan selalu Allah jaga baik perkataan atau perbuatannya.

 

 

Wallahu A’lam Bisshowwab…

Daftar Pustaka :                 

Abu Ja‟far Muhammad. Tarikh Ath-Thabari Jilid 3. Terj. Abu Ziad Muhammad Dhiaul-Haq dan Abdul Syukur Abdul Razak. Jakarta : Pustaka Azam, 2011.

Hairul Puadi, Radikalisme Islam: Studi Doktrin Khawarij, Jurnal Pusaka LP3M IAI Al-Qolam, 2016.

HMH Al Hamid Al Husaini. Imamul Muhtadin Sayyidina Ali bin ABi Thalib Ra, Jakarta : Pustaka Hidayah, 1989.

Mustafa Murad. Kisah Hidup Ali bin Abu Thalib, Jakarta : Zaman, cet VII tahun 2016.

Sukring. Ideologi, Keyakinan, Doktrin Dan Bid’ah Khawarij: Kajian Teologi Khawarij Zaman Modern, Jurnal Theologia — Volume 27, Nomor 2, Desember 2016.

Syekh Hasan Al-Husaini (Ulama Ahlul Bait. Hasan-Husein The Untold Stories, Jakarta : Pustaka Imam Asy-Syafii, 2013.

 

Kamis, 03 September 2020

SIAPA YANG MEMBUNUH AL HASAN BIN ALI RA ? CUCU NABI YANG TELAH MENGGENAPKAN MASA KHILAFAH NUBUWWAH/KHILAFAH RASYIDAH

 (Seri Sejarah Keluarga Nabi)

Oleh : Iwan Mahmoed Al Fattah

Pertanyaan ini sebenarnya sudah lama mengiang-ngiang dialam pikiran saya. Dalam sejarah keluarga Nabi SAW sosok Sayyidina Hasan Ra sangatlah penting untuk dibahas keberadaannya mengingat ditangannya umat Islam telah berhasil bersatu kembali setelah sebelumnya telah terjadi konflik antara kubu Khalifah Ali Ra bin Abi Thalib dengan kubu Muawiyah bin Abi Sufyan yang telah menelan banyak korban. Al Hasan Ra juga merupakan sosok yang mampu dan cerdas dalam membaca kondisi zaman, dia tahu hanya dengan keputusan “mementingkan dan mempersatukan ummat” Islam akan berjaya, siapapun nanti yang jadi pemimpinnya dia tidaklah berkeberatan, sehingga Al Hasan tidaklah terlalu merasa rugi jika jabatan yang dia sandang sebagai “Khalifah transisi” diberikan kepada Muawiyah bin Abi Sufyan. Hanya 6 bulan Al Hasan Ra memegang tampuk pemerintahan setelah kematian ayahnya untuk kemudian kekuasaan itu diserahkan kepada Muawiyah bin Abi Sufyan disertai dengan beberapa syarat tertentu. Sejak penyerahan itu maka Muawiyah bin Abi Sufyan resmi menjadi Amirul Mukminin sekaligus orang pertama yang mendirikan Dinasti Umayyah, karena sejak pemerintahannya semua Amirul Mukminin yang diangkat berasal dari keturunannya.
Seiring pengunduran diri Al Hasan Ra sebagai khalifah yang ditandai dengan pembaiatannya terhadap Muawiyah, maka berakhir sudah masa khilafah nubuwwah (kepemimpinan nabawi) atau yang dikenal dengan khilafah rasyidah (kepemimpinan yang mendapat petunjuk), yang berlangsung selama 30 tahun sebagaimana yang dijanjikan Rasulullah SAW.
Pemerintahan Al Hasan Ra meski terbilang singkat, masa kekhalifahannya ini dikategorikan sebagai khilafah rasyidah. Karena kurun waktu kekhalifahan itu menggenapkan masa kekhalifahan sebelumnya hingga menjadi 30 tahun, persis seperti yang disampaikan Nabi SAW. Kekhalifahan sebelumnya yaitu Khalifah Abu Bakar Ra berlangsung 2 tahun 3 bulan, Khalifah Umar Ra 11, 5 tahun, Khalifah Usman bin Affan Ra 12 tahun, Khalifah Ali Ra 4 tahun 9 bulan dan kekhalifahan Al Hasan Ra berlangsung selama 6 bulan. Setelah itu pemerintahan pun berganti menjadi system kerajaan sebagaimana Hadist Nabi SAW yang berbunyi, “kekhalifahan di tengah umatku berlangsung selama tiga puluh tahun, setelah itu muncullah sistem kerajaan” . Dengan demikian Al Hasan Ra telah membuktikan perkataan yang pernah diucapkan kakeknya.
Kasus terbunuhnya Sayyidina Hasan Ra dengan cara diracun dengan kadar yang sangat mematikan adalah merupakan lembaran hitam dalam sejarah ummat Islam, sehingga patut kiranya jika peristiwa tersebut menjadi pembelajaran bagi kita semua. Begitu kuatnya racun yang masuk ke dalam tubuhnya, seorang tabib yang pernah mengobatinya berkata bahwa racun yang ada di tubuh Al Hasan telah menghancurkan fungsi ususnya. Sebelumnya itu saya sendiri pernah menulis bahwa sosok yang dianggap berpotensi kuat sebagai pelaku utama terbunuhnya Al Hasan Ra adalah Muawiyah bin Abi Sufyan (semoga Allah SWT mengampuni saya atas penulisan tersebut). Namun setelah saya membaca kembali beberapa sumber nampaknya hal itu perlu kiranya dikritisi kembali, mengingat posisi Muawiyah bin Abi Sufyan sampai wafatnya Al Hasan tetap menjalin hubungan yang baik.
Selama ini ada beberapa pandangan sejarah tentang kematian Al Hasan Ra yang diantaranya adalah :
1. Al Hasan Ra wafat karena telah diracun oleh istrinya yang bernama Ja’dah bintu Asy’ats bin Qays Al Kindi. Sekelompok orang mengatakan bahwa hal itu dilakukan karena Ja’dah dibisiki oleh Muawiyah bin Abi Sufyan dengan iming-iming tertentu, dan kebetulan ia juga memiliki beberapa madu.
2. Al Hasan Ra wafat diracun Ja’dah bintu Asy’ats bin Qays Al Kindi atas bujukan Yazid bin Muawiyah. Istri Al Hasan itu menaruh racun di hidangan makan. Yazid berjanji kepada Ja’dah bahwa Yazid akan menikahinya setelah dirinya diceraikan Al Hasan ra, sehingga Ja'dah ’un tergiur untuk melaksanakan bujukan tersebut. Selama 40 hari Ja’dah memberikan racun berturut turut hingga menyebabkan Al Hasan Ra lemah tak berdaya . Yazid melakukan itu untuk mencegah agar Al Hasan Ra tidak berpeluang lagi naik menjadi pemimpin bila Muawiyah bin Abi Sufyan wafat apalagi itu diperkuat dengan perjanjian sebelumnya antara Al Hasan Ra dan Muawiyah.
Dua point diatas sudah banyak yang mengetahui, sebagian mempercayai riwayat tersebut, namun sebagian juga meragukannya. Saya sendiri pada mulanya ikut larut dengan kedua pendapat tersebut dikarenakan sumber yang saya dapat memang seperti itu. Namun informasi sejarah kadang memberikan kejutan-kejutan yang mau tidak mau "memaksa" kita harus merubah cara pandang yang selama ini kita percayai. Dan ini juga terjadi pada sejarah Al Hasan Ra dan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Lantas bila memang demikian siapa sebenarnya pembunuh dari Sayyidina Hasan ra ini ? benarkah bahwa pembunuhan terhadap Al Hasan juga melibatkan salah satu istrinya tersebut dan melibatkan Muawiyah yang notabenenya termasuk Sahabat Nabi ?
Dari beberapa sumber yang saya pelajari ada beberapa fihak yang kiranya pantas dituduh bertanggung jawab atas kematian terhadap Al Hasan Ra, diantaranya adalah :
1. Kelompok pertama adalah, kelompok Sabaiyah, yaitu para pengikut Abdullah bin Saba disebabkan mereka mendapatkan tamparan keras dari Al Hasan Ra ketika dirinya melepaskan jabatan khalifah dan menyerahkannya kepada Muawiyah bin Abi Sufyan karena seiring perdamaian itu berhentilah pertikaian di kalangan umat Islam dan perdamaian pun tercipta.
2. Kelompok kedua adalah, Khawarij yang telah membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib. Motif mereka meracuni Al Hasan Ra adalah membalaskan dendam atas darah sebagian mereka yang tewas dalam perang nahrawan maupun peperangan lainnya.
Apabila diamati lebih dalam, kebencian kaum Sabaiyah terhadap Al Hasan Ra nampaknya lebih besar dibandingkan kebencian kaum khawarij, karena rekonsiliasi umat Islam yang digagas Al Hasan Ra telah menghapus semua impian mereka. Bagi mereka, Al Hasan Ra merupakan aktor utama yang telah menghancurkan rencana busuk mereka dengan bersedia melakukan perundingan dengan Muawiyah, mengalah, bahkan melepaskan jabatan khalifah demi terciptanya perdamaian. Kelompok Sabaiyah ingin melanjutkan langkah yang sudah mereka mulai sebelumnya , yaitu menyulut api perpecahan dan mengobarkan perang saudara antar sesama muslimin.
Adanya pengkhianat dalam pemerintahan Islam memang sering terjadi dan ini juga dialami Al Hasan Ra. Ketika berada di Kuffah (Irak), tanpa diduga salah satu pengikutnya menyebarkan isu bahwa salah satu Panglima Al Hasan Ra yaitu Qais telah terbunuh, seketika itu juga terjadilah kekacauan di tengah pasukan, tanpa cek dan ricek sebagian besar pasukan tersebut mulai berbuat ulah. Yang tidak habis fikir orang-orang Irak itu malah menyerbu tenda Al Hasan ra, mereka merampas barang-barangnya, menyabet serban yang dipakainya dan menarik karpet yang diduduki Al Hasan Ra. Yang lebih keterlaluan mereka jugq menikam Al hasan ra dan melukainya. Dari karakter para pengkhianat inilah semakin meyakinkan bahwa jalan perdamaian dengan Muawiyah adalah langkah yang tidak bisa ditawar-tawar lagi oleh Al Hasan Ra. Bertempur bersama orang orang yang gemar berkhianat adalah upaya yang sia sia dan tidak berguna dan Al Hasan sangat menyadari akan hal tersebut.
Adapun hubungan Al Hasan Ra dengan Muawiyah bin Abi Sufyan ternyata pada perkembangan selanjutnya berlangsung baik. Muawiyah sangat respek terhadap Al Hasan Ra dan juga adiknya Al Husain Ra, apabila bertemu dengan Al Hasan, Muawiyah sering menyambut dengan mengatakan, “Selamat datang, wahai cucu Rasulullah SAW”. Muawiyah juga selalu menempatkan Al Hasan Ra dan Al Husain Ra di sebelah tempat duduknya saat berkumpul dengan pemimpin klan arab. Setiap tahun Al Hasan ra rutin berkunjung menemui Muawiyah. Setiap berkunjung Muawiyah selalu memberikan uang 100 ribu dirham, tidak itu saja Muawiyah sering memberikan hadiah yang lainnya, pemberian hadiah dan uang ini tidak pernah beliau berikan kepada siapapun selain kepada Al Hasan Ra karena begitu cinta dan hormatnya Muawiyah kepada sosok Al Hasan Ra. Selama hidupnya Muawiyah tidak pernah memboikot hak-hak Al Hasan Ra dan Al Husain Ra, keduanya juga tidak pernah mendapatkan perlakuan buruk dari Muawiyah.
Setelah kematian Al Hasan Ra hubungan tersebut dilanjutkan oleh Al Husain Ra selama 20 tahun. Muawiyah bin Abi Sufyan bahkan juga memberikan penghormatan dan penghargaan kepada Al Husain Ra. Pergesekan diantara Muawiyah dan Al Husain Ra terjadi pada masa akhir-akhir pemerintahan Muawiyah Ra, tepatnya ketika dia mengangkat Yazid sebagai Amirul Mukminin sebagai pengganti dirinya.
Terjadinya hubungan yang harmonis antara Muawiyah dan Al Hasan Ra juga Al Husain Ra telah menggugurkan tuduhan kalau Muawiyah adalah pelaku pembunuhan Al Hasan Ra. Sedangkan tuduhan terhadap Yazid bin Muawiyah juga patut dipertanyakan kembali, berapa usianya saat Al Hasan Ra terbunuh ? Keterlibatan Yazid bin Muawiyah justru lebih terlihat pada peristiwa Karbala dan dia juga wafat pada usia yang sangat muda. Yang juga perlu dipertanyakan kedudukan istri Al Hasan yang dianggap ikut terlibat. Semua istri Al Hasan biasanya orang orang terbaik dari sukunya, sehingga jika mereka membuat aib nama sukunya ikut terbawa. Al Hasan sendiri diketahui mempunyai beberapa mantan istri yang sudah diceraikan, anehnya mereka yang sudah diceraikan justru mempunyai pandangan yang baik terhadap Al Hasan Ra, jadi dengan adanya fakta tersebut patut dipertanyakan benarkah istri Al Hasan yang disebut diatas terlibat pembunuhan suaminya sendiri ?
Harmonisnya hubungan Al Hasan Ra dengan Muawiyah adalah hal yang sangat menggembirakan dan membahagiakan, bahwa betapapun diantara keduanya pernah terjadi konflik, namun karena mereka berada pada generasi terbaik, semua itu bisa diselesaikan dengan baik dan cerdas. Memang membahas tentang pertikaian diantara pada Sahabat Nabi kita perlu kehati-hatian. Diperlukan rambu-rambu untuk menulis sejarah mereka sebab :
a. Generasi sahabat merupakan generasi terbaik,
b. Membahas pertikaian di antara sahabat bukan hal yang fundamental
c. Memastikan kesahihan riwayat
d. Memberikan penafsirah terbaik terhadap riwayat sahih yang ada
e. Menyadari bahwa perselisihan itu lahir dari ijtihad
f. Semua sahabat menyesali pertikaian diantara mereka
g. Para sahabat tetap saling mencintai
h. Para sahabat tidak maksum

Wallahu A’lam...
Alfatehah untuk Sayyidina Hasan Ra dan Amirul Mukminin Muawiyah bin Abi Sufyan....

Daftar Pustaka :
Sayyid Hasan AL Husaini (Terj), Hasan & Husain The Untold Stories, Jakarta : Pustaka Imam Syafii, 2013
Syeikh Abdul Mun’im Al Hasyimi (terj), Anak Cucu Nabi, Jakarta : Al Kautsar, 2009.
Syekh Muhammad Ridha (terj), Hasan & Husain Penghulu Pemuda Surga, Jakarta : Al Kautsar, 2006