Telponan 2 jaman lebih sama Dr. Yan seorang zuriah Tuan Idrus Tanjung Salam OKU Sumsel tentang keberadaan kiprah para zuriah Walisongo dan Zuriah Basyaiban , banyak banget informasi yang sangat bernilai tinggi yang gak sempat ane catat. Dr. Yan ini sudah puluhan tahun meneliti nasab keluarganya yang menurut catatan ahli nasab Palembang yaitu Sayyid Isa Al-Kaf masih berhubungan dengan sejarah keluarga Basyaiban.
Diskusi berjalan hangat, pertanyaan mendasar, kenapa di wilayah pedalaman nasab² banyak yang tidak disetorkan ke wilayah kota terutama pada masa² kesultanan ? jawabannya disebabkan karena zuriah² Walisongo lebih fokus menata kehidupan masyarakat. Mereka banyak yang memilih berbaur dan menyatu dengan masyarakat. Mereka lebih konsen pada pada bidang pertanian dan perkayuan dan bidang bidang yang dibutuhkan masyarakat. Nasab yang mereka miliki kebanyakan diriwayatkan secara turun temurun, kalaupun ditulis itu terbilang jarang karena pada masa itu alat tulis terbilang barang mahal dan istimewa. Namun sekalipun banyak yang tidak dicatat nasab mereka tetap terpelihara oleh para pemuka pemuka mereka yang ahli silsilah dan nasab juga melalui pernikahan antar kerabat. Mereka yang diamanatkan unruk menjaga dan memelihara nasab bukanlah orang-orang sembarangan, dan itu biasanya juga berlaku secara turun temurun.
Biasanya para zuriah walisongo yang berada di Pedalaman (uluan) sudah merasa nyaman di lingkungannya. Mereka juga tidak merasa minder dengan orang² kesultanan yang datang dari kota, sebab mereka sendiri banyak yang juga merupakan bangsawan kesultanan. Justru mereka sangat senang jika kedatangan sanak kerabat mereka atau yang berkunjung seperti dari daerah Palembang, Jambi, Lampung, Cirebon, Banten, Surabaya, Demak, Madura, Pasai, Malaka, dll. Tidaklah mengherankan jika garis keturunan di daerah pedalaman wilayah seperti OKU itu beraneka ragam, ada yang masih keturunan Sunan Kudus, Sunan Ampel, Sunan Gunung Jati, Fattahillah, Raden Fattah, Raden Husein, belum lagi garis keturunan Basyaiban yang menurut Dr. Yan telah berkolaborasi sangat apik dengan zuriah Walisongo dalam mendakwahi banyak daerah Sumsel dan daerah² sumatra lainnya..
Kami sendiri juga sempat bertanya tanya, kenapa kok nasab-nasab yang ada di wilayah pedalaman itu tidak dipublish atau disetorkan kepada fihak kesultanan terutama kepada ulama yang ditugaskan sultan mendata zuriah² yang ada. Jawabannya ternyata bahwa mereka lebih nyaman berdakwah tanpa embel embel nasab, apalagi medan yang mereka hadapi lebih mengedepankan pendekatan akulturasi. Sehingga tidak mengherankan jika sesepuh² sering melarang anak keturunannya untuk membeberkan nasabnya secara terbuka. Bahkan ada yang sangat tegas melarang untuk membawa bawa nasab dalam hal apapun. Lebih banyak yang memilih hidup bersahaja dan egaliter.
Sikap tersebut tidak salah, karena sejak dulu memang target utama dakwah walisongo adalah merangkul masyarakat tanpa adanya sekat sekat status sosial seperti yang pernah terjadi di masa majapahit. Nasab tetap dijaga, namun ketika terjun kepada masyarakat, semua "menyimpannya" baik-baik sambil terus berdakwah dengan konsep rahmatan lil alamin...
Dalam diskusi tersebut kita juga bersepakat untuk tidak membahas polemik nasab yang saat ini sedang viral, sebab pembahasan kita lebih cenderung kepada riset demi riset. Karena masih banyak ribuan nasab² yang menunggu untuk dikaji tanpa harus ribut ribut dan mencari cari kesalahan, karena bila kita sudah terjun dalam ilmu nasab, maka yang dikedepankan adalah silaturahim bukan kebencian...
Wallahu A'lam bisshowwab...