Jakarta adalah kota tua dengan peradaban yang cukup panjang. Salah satu ciri khas kehidupan masyarakat Jakarta dalam peradabannya adalah wajah Islamnya. Sampai saat ini wajah Islam di negeri ini masih begitu kuat sekalipun di dalamnya dikepung dengan kehidupan modern sana sini.
Menjadi sebuah pertanyaan besar..siapakah sebenarnya yang paling besar memberikan andil dalam menentukan wajah keislaman Jakarta pada masa lalu ?
Di dalam Kitab Al Fatawi saya menemukan fakta bahwa wajah Islam di Jakarta ternyata sudah muncul pada saat namanya masih "SUNDA KELAPA". Didalam catatan kitab Al Fatawi ditegaskan bahwa wajah pemerintahan Sunda Kelapa adalah Islam, namun berdasarkan keterangan sejarah lain Sunda Kelapa akhirnya harus meredup setelah dianeksasi Kerajaan Pajajaran tahun 1522 M.
Para penguasa Sunda Kelapa ini bahkan pada tahun 1511 pernah terlibat pada perang jihad ke I melawan Portugis di Malaka dibawah komando Kesultanan Demak.
Di dalam kitab Al Fatawi hal yang mengejutkan saya, ternyata para penguasa Sunda Kelapa itu masih berkerabat dekat dengan Fattahillah Sang Mujahid Agung Pendiri Kota Jakarta. Artinya bahwa ketika Fattahillah masuk Sunda Kelapa beliau ini justru telah menyelamatkan Sunda Kelapa terhadap ancaman penjajahan yang salah satu misinya adalah penyebaran idiologi.
Sejak masuknya Fattahillah mulailah terbentuk wajah Islam di Jakarta yang saat itu beliau beri nama Fathan Mubina atau dalam bahasa lokalnya Jayakarta. Negeri Fathan Mubina di kemudian hari semakin berkembang dengan wajah Islamnya yang berlandaskan akidah AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH.
Sejak masuknya Fattahillah di Negeri Fathan Mubina, maka mulailah pada saat itu gelombang para dai mendatangi negeri yang indah ini. Dalam perkembangannya, para pendakwah itu banyak dari mereka yang berasal dari keturunan Rasulullah SAW yang berasal dari Hadramaut, kemudian Hijrah ke India kemudian hijrah lagi Ke Champa hingga kemudian mereka masuk ke Jawa dan pada akhirnya mereka itu ada yang menyebar ke negeri FATHAN MUBINA. Mereka dinegeri FATHAN MUBINA dikenal dengan gelar Sayyid (sekarang dikenal dengan gelar HABIB), beberapa juga menggunakan Maulana. Pada perjalanan seterusnya banyak dari mereka yang kemudian memakai gelar lokal seperti Pangeran, Raden, dan gelar-gelar lainnya. Di negeri Fathan Mubina ini peran serta keluarga Rasulullah SAW di dalam dunia dakwah plus juga politik sangat didukung kuat oleh Majelis Wali Agung yang berpusat di Kesultanan Demak. Di Jawa sendiri Majelis Wali Agung ini dikenal dengan sebutan Walisongo. WALISONGO sendiri nasabnya masih satu garis dengan Fattahillah.
Dalam beberapa catatan nasab yang pernah saya pelajari, diketahui salah satu Pendiri kota Jakarta yaitu Fatttahillah adalah seorang Sayyid (Ahlul Bait) dari keturunan Sayyid Husein Jamaluddin Jumadil Kubro Wajo. Kakek Fattahillah adalah adik dari Maulana Malik Ibrahim, sedangkan Sayyid Husein Jamaluddin adalah cicit Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammul Faqih bin Muhammad Shohib Mirbath. Al Imam Alwi Ammul Faqih adalah paman dari Al Imam Faqihil Muqaddam (Al Habib Muhammad bin Ali Ba'alawi) yang merupakan leluhur para Habib di Nusantara saat ini. Fattahillah sendiri masih kerabat dekat Walisongo apalagi ibunya adalah adik Sunan Giri
Selain Fattahillah ada nama Maulana Hasanuddin Banten bin Sunan Gunung Jati Cirebon yang nasabnya juga satu garis. Ada pula nama Pangeran Ahmad Jayawikarta atau yang dikenal dengan nama Pangeran Jayakarta Jatinegara Kaum. Lagi-lagi dalam catatan yang saya miliki juga berasal dari nasab yang sama dengan Fattahillah. Nama lain seperti Ratu Bagus Angke, Pangeran Wijayakusuma juga berasal dari Sayyid Husein Jamaluddin. Generasi selanjutnya muncul nama Pangeran Sanghyang, Pangeran Sake, Pangeran Sogiri, Datuk Ibrahim, yang nasabnya sama dengan yang sudah saya sebut. Selain nama nama tersebut sebenarnya masih banyak tokoh lain. Beberapa yang saya sebut ini kelak dari keturunan mereka banyak yang menjadi ulama ulama besar Jakarta. Tentu karena sudah ratusan tahun wajah dan gaya hidup mereka sudah menjadi pribumi setempat.
Setelah era para pendiri Kota Jakarta berlalu, muncullah nama nama Sayyid Husein bin Abu Bakar Alaidrus, belum lagi nama nama lain yang tidak tercatat dalam sejarah tertulis tapi mereka hidup dalam tradisi lisan masyarakat setempat. Setelah era beliau Habib Husein Alaidrus muncul nama Syekh Nawawi Banten yang pernah singgah di Pekojan. Nama lain yang tidak kalah menariknya yaitu nama Sultan Hamid Al Qadri yang berada di Angke.
Setelah fase diatas ini kemudian muncul lagi gelombang kedatangan keluarga Keturunan Rasulullah terutama pada pertengahan dan akhir abad ke 19, mereka datang secara besar-besaran ke Jakarta apalagi setelah dibukanya terusan suez. Mereka kebanyakan berasal dari Hadramaut Yaman yang banyak didominasi dari keluarga Bani Alawi.
Pada era itu muncullah nama Sayyid Usman bin Yahya, Sayyid Abdurrahman Al Habsyi, Sayyid Muhsin bin Muhammad Al Attas, serta para pendiri Jamiatul Khoir, dll. Istilah panggilan Sayyid atau Wan kemudian pada tahun-tahun selanjutnya bergeser dengan panggilan Habib. Muncullah nama Habib Ali Bin Abdurrahman Al Habsyi, Habib Ali bin Husein Al Attas, Habib Salim Jindan, Habib Salim bin Toha Al Haddad, Habib Abdullah bin Salim Al Attas, Habib Muhammad bin Ahmad Al Haddad, Al Habib Umar bin Hud Al Attas, Sayyidil Walid Al Habib ABDURRAHMAN BIN AHMAD ASSEGAF, Alhabib Abdullah bin Husein Syami Al Attas, dll.
Setelah era tersebut muncul pula nama Habib Novel bin Salim bin Ahmad bin Jindan, Habib Muhammad Al Baqir Al Attas, Habib Husein bin Ali bin Husein Al Attas, Habib Abdul Qodir Al Haddad, Habib Alwi King, Habib Syekh bin Ali Al Jufri, Al Habib Muhammad bin Abdurrahman Assegaf Sayyidil Walid Al Habib Ali bin Abdurrahman Aseegaf, Al Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Ali Al Habsyi, Al Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf, Al Habib Alwi bin Abdurrahman Assegaf, Habib Hud bin Muhammad Al Attas, Habib Husein bin Umar Allatas, Habib Abdurrahman bin Syekh Al Attas, Habib Syekhan Al Bahar, Habib Muhammad bin Soleh Al Attas dan masih banyak lagi yang lainnya.
Maju sedikit, pada era sekarang ini muncul nama-nama tenar Habib Riziq Shihab, Habib Mundzir Mussawa, Habib Ahmad bin Ali Assegaf, Habib Segaf bin Umar Assegaf, Al Habib Husein Assegaf, Habib Ali bin Abdurrahman bin Muhammad Al Habsyi, Habib Ibrahim Al Aidit (Habib Metal), Habib Hamid bin Zaid Al Attas, Al Habib Muhsin bin Zaid Al Attas, Habib Salim bin Umar Al Attas, Habib Hasan bin Ja'far Assegaf, Habib Jindan bin Novel, Habib Ahmad bin Novel, Habib Mustofa Alaidrus, Habib Ahmad Al Habsyi dan masih banyak lagi nama nama yang lainnya.
Mereka para keturunan Rasulullah inilah yang nantinya menentukan wajah Keislaman negeri Fathan Mubina (Jakarta). Ini belum lagi para ulama keturunan Sayyid Abdul Malik Azmatkhan yang lebih dahulu datang dan sudah berasimilasi dengan penduduk pribumi. Dan mereka itu terutama pada era tahun 1920 s/d sekarang banyak yang merupakan pakunya ulama Jakarta. Hampir semua sanad keilmuan ulama Jakarta berasal dari keturunan dari IMAM AHMAD AL MUHAJIR AL BASRI AL HUSAINI ini sehingga tidaklah mengherankan wajah Keislaman Jakarta adalah Islam Ahlussunnah Wal Jamaah yang mayoritas dianut oleh para keturunan Rasulullah SAW ini. Jadi kalau sekarang Jakarta didominasi wajah AHLUL BAIT atau "Keluarga Rasulullah" dalam dunia dakwahnya, itu tidaklah mengherankan sebab perjalanan sejarahnya begitu panjang..
Negeri Jakarta adalah negeri bersejarah. Banyak tokoh besar mencintai negeri ini termasuk Sultan Trenggono/Sayyid Abdurrahman/Sultan Demak II yang merupakan Panglima Tertinggi Operasi Jihad di Sunda Kelapa pada bulan Ramadhan tahun 933 Hijriah. Begitu cintanya Sultan Trenggono pada negeri ini, di akhir-akhir hidupnya beliau pernah berkata kepada Fattahillah yang merupakan adik iparnya, "AKU BERHARAP ANDA TIDAK MENINGGALKAN FATHAN MUBINA, AKU LEBIH SUKA ENGKAU MENINGGALKAN DEMAK DARIPADA ENGKAU MENINGGALKAN FATHAN MUBINA, BIARLAH DEMAK MENJADI KENANGAN TAPI FATHAN MUBINA HARUS TETAP ABADI...."