Terkejut saya mendapati sebuah tulisan yang mengatakan bahwa Sayyidina Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu pernah sholat di gereja. Lebih mengejutkan lagi tulisan itu dijadikan sebuah “dasar pembanding” untuk memperbolehkan seseorang melakukan “ritual” keyakinannya di dalam “rumah” umat lain dengan alasan toleransi. Tapi saya tidak ingin terjebak pada hal yang kedua, karena menurut saya kondisi ini ternyata telah menjadi polemik dan telah menjadi “gorengan” berbagai fihak yang akhirnya berujung pada perdebatan yang berkepanjangan dan justru bisa mengurangi aktifitas kita dalam beribadah di bulan suci ini, apalagi kita sudah masuk malam ke 16. Untuk hal yang kedua ini sebenarnya sih kalau kita mau baca-baca berbagai pendapat para ulama, itu sudah ada jawabannya, hanya karena ketidaktahuan sebagian kita saja, sehingga menjadikan masalah seperti ini menjadi besar. Padahal kalau saja kita mau membaca perlahan dan jernih tentang hukum yang satu ini, tidak akan terjadi perdebatan yang berkepanjangan. Namun bagi saya yang bodoh dalam hal agama, saya lebih memilih untuk tidak ikut-ikutan “berfatwa” tentang boleh tidaknya melakukan “ritual” milik kita sendiri di “rumah orang lain”, biarlah para ulama kita, baik yang dari NU, Muhammadiyah, MUI dan juga ulama-ulama yang dijadikan rujukan umat yang menjawabnya.. Oleh karenanya saya lebih senang untuk mengkaji hal yang pertama, karena buat saya sejarah harus jujur dan apa adanya, tidak boleh ditambah ataupun dikurang. Ini penting agar kedepannya kita bisa tahu siapa pemimpin yang kita ikuti.
Dalam konteks seorang Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu yang merupakan seorang Khalifah pada masa itu, saya tidak tahu dari mana asal-usul cerita Khalifah Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu sholat di gereja. Memang pernah ada sebuah riwayat yang mengatakan kalau Khalifah Umar Radhiyallahu Anhu memperbolehkan orang Sholat di Gereja. Dalam suatu riwayat dijelaskan bahwa Khalifah Umar Radhiyallahu Anhu pernah mendapatkan surat dari penduduk Najran perihal hukum shalat di gereja, karena mereka tidak mendapatkan tempat yang lebih bersih dan lebih baik darinya. Maka Umar Radhiyallahu Anhu berkata: “Bersihkanlah ia dengan air dan daun gaharu dan sholatlah di dalamnya.” Tapi perlu diketahui bahwa itu sifatnya darurat dan juga Umar Radhiyallahu Anhu memberikan syarat-syarat sehingga ibadah yang dilakukan di gereja itu sesuai dengan fiqih Islam. Jelas Najran saat itu bukan negeri Islam, sehingga keberadaan masjid sulit ditemui, sehingga Umar Radhiyallahu Anhu dengan kebijakannya, memperbolehkan Sholat di gereja. Keterangan ini menunjukkan luasnya pemahaman Umar dalam bidang Fiqih Islam, namun apakah dengan demikian Umar Radhiyallahu Anhu pernah melakukan Sholat di Gereja ?
Kalau sebagai orang yang sering membaca biografi beliau bahkan merupakan orang yang sangat mengagumi beliau (anak saya, saya beri nama Umar), cukup menarik juga ketika muncul cerita seperti ini. Bagi saya ini justru merupakan dorongan untuk bisa menulis tema ksejarahan. Saya tidak merasa orang yang menuliskan Umar Radhiyallahu Anhu Sholat di gereja itu salah 100 %, barangkali beliau punya referensi lain. Mungkin saja yang dimaksud orang tersebut adalah Umar bin Abdul Aziz Radhiyallahu Anhu, mengingat antara Umar bin Abdul Aziz dan Umar bin Khattab sama-sama besar dan sama-sama seorang Khalifah dan sama-sama satu darah ! Kalau Umar bin Abdul Aziz Radhiyallahu Anhu yang dimaksud mungkin ya, seperti yang diucapkan oleh Rafi’, dimana beliau mengatakan : “Aku melihat Umar bin Abdul Aziz Radhiyallahu Anhu mengimami shalat di gereja di Syam.” (Mushannif Ibn Abi Syaibah Hadits no. 4869). Tapi sekali lagi saya yakin Umar bin Abdul Aziz Radhiyallahu Anhu Sholat di gereja itu karena sebelumnya beliau sudah menyingkirkan atribu-atribut yang mengandung kesyirikan, seperti patung, gambar, dll. Sudah tentu kondisi gereja yang digunakan telah dibuat bersih jauh dari najis sehingga akhirnya bisa dijadikan untuk Sholat. Lagipula bukankah semua tanah di bumi ini bisa digunakan untuk sholat (kecuali tempat-tempat yang banyak najis dan mengandung nilai-nilai Syirik).
Justru saya berupaya untuk menambah data agar keterangannya bisa jadi bahan perbandingan. Sampai tadi malam saya berupaya mengumpulkan semua biografi Khalifah Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu yang ada dibuku-buku saya terutama yang ditulis secara lengkap oleh penulis-penulis sejarah kenamaan di Timur Tengah.
Berdasarkan apa yang saya pelajari. Khalifah Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu memang pernah “bersinggungan” dengan gereja, tapi apakah beliau sampai harus sholat di dalam gereja, itu menjadi sebuah pertanyaan.
Dr. Muhammad Husein Haikal (2000 : 316) seorang penulis kenamaan Sejarah Nabi Muhammad SAW, menuliskan tentang kronologis mengenai hal tentang Umar ini. Pada saat Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu memasuki Baitul Maqdis setelah jatuhnya Yurusalem ketangan Umat Islam. Umar masuk ke kota ini dtemani dengan seorang Uskup Agung yang bernama Severinus. Kepada Umar Radhiyallahu Anhu, Severinus banyak banyak bercerita tentang tempat-tempat ibadah yang ada di Yurusalem. Semua diceritakan secara terbuka tanpa ditutup-tutupi. Sementara kedua orang itu sedang di Gereja Anastasi, waktu sholat tiba. Uskup Severius kemudian meminta Umar Radhiyallahu Anhu melaksanakan sholat ditempat itu, karena itu juga rumah Tuhan. Tetapi Umar Radhiyallahu Anhu menolak dengan alasan di waktu-waktu yang datang khawatir jejaknya diikuti kaum muslimin, karena mereka akan menganggap apa yang dikerjakan Umar Radhiyallahu Anhu itu sebagai teladan yang baik. Kalau mereka sampai melakukan itu, orang-orang Kristen akan dikeluarkan dari gereja mereka dan ini jelas menyalahi perjanjian yang ada. Dengan alasan yang sama pula, Umar Radhiyallahu Anhu menolak Sholat di Gereja Konstantin di dekat Gereja Anastasis itu. Di Ambang pintu Gereja itu mereka sudah menghamparkan permadani untuk Sholat. Tapi Umar Radhiyallahu Anhu melakukan sholat ditempat lain di dekat Batu Suci di reruntuhan Kuil Sulaiman. Di tempat inilah kaum muslimin kemudian mendirikan masjid yang mewah, yaitu Masjidil Aqsa. Pada masa itu Umar Radhiyallahu Anhu masjid yang didirikan itu sangat sederhana, seperti Masjid Nabawi di Madinah ketika dulu dibangun.
Dr. Haekal (2000 : 317 - 318) juga menambahkan : Penolakan Umar Radhiyallahu Anhu Sholat di Gereja Anastasi adalah suatu peristiwa yang sangat penting dalam sejarah agama-agama serta hubungan pemeluknya masing-masing di berbagai tempat di dunia ini. Hal ini memperlihatkan toleransi Islam dan kejujuran Khalifah Umar Radhiyallahu Anhu dalam berpegang pada prinsip bahwa tak ada paksaan dalam soal agama, sekaligus melukiskan kebijakan Muslimin masa itu dan keteguhannya berpegang pada prinsip kebebasan menganut suatu keyakinan.
Selain Haikal, Dr Mustafa Murad (2007 : 108 – 109) juga menuliskan : Pada saat Khalifah Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu akan memasuki Yurusalem, kabar kdatangan beliau telah tersebar ke seluruh pelosok kota itu. Semua menantinya dengan sukacita. Khlaifah Umar Radhiyallahu Anhu berangkat dari Jabiyah dengan menunggang unta. Saat Khalifah Umar Radhiyallahu Anhu datang, semua khalayak terkejut, terutama para penduduk kota. Mereka tak dapat berkata apa-apa. Hati mereka hanya bergumam. Uskup Agung Sophoronius menyambut kedatangan sang Khalifah itu dengan penuh takzim. Lalu , kepada penduduk, ia berkata, dengan mata yang bergetar, dengan suara yang parau, “Lihatlah, sungguh ini adalah kesahajaan dan kegetiran yang telah dikabarkan oleh Danial sang Nabi ketika ia datang ketempat ini.”
Semua sejarawan mencatat peristiwa ini. Pemimpin terbesar umat Islam itu datang ke Yurusalem tanpa iring irungan pasukan atau ajudan. Ia datang dengan menuntun seekor unta dan hanya ditemani dengan Aslam, budak yang paling setia dan telah dibebaskan. Khalifah Umar Radhiyallahu Anhu juga tidak mengenakan pakaian kebesaran dan kemegahan layaknya para kaisar penahluk. Khalifah Umar Radhiyallahu Anhu lalu diajak Uskup Sophorinus berkeliling ke tempat tempat suci di sepanjang kota. Saat waktu zuhur tiba, Uskup Sophorius membukakan Gereja Makam Suci, kiblat dan tempat tersuci umat Kristen, lalu mempersilahkan Khalifah Umar Radhiyallahu Anhu melaksanakan sholat di dalam gereja. Tawaran kehormartan itu disambut dengan baik oleh Umar Radhiyallahu Anhu, tapi ia menolak, “jika saya mendirikan sholat di dalam gereja ini, saya khawatir orang-orang islam nantinya akan menduduki gereja ini dan menjadikannya sebagai masjid”. Khaliafah Umar Radhiyallahu Anhu lalu keluar dari gereja, meminta ditunjukan tempat reruntuhan Kuil Sulaiman. Uskup Sophorinius menunjukkan tempat itu, yang ternyata kotor tertimbun sampah. Bersama beberapa sahabat lainnya, beliau membersihkan sendiri tempat tersebut, lalu menggariskan sebuah tapat untuk dijadikan tempat sholat. Di tempat itu pulalah Khalifah Umar Radhiyallahu Anhu memerintahkan dibangun masjid yang kelak dikenal dengan nama Masjid Umar.
Dr. Muhammad Shalabi (2008 : 741) juga telah menuliskan hal yang sama dimana sebenarnya Umar Radhiyallahu Anhu sholat saat memasuki wilayah Yurusalem ini. Abu Salamah meriwayatkan, Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu berkata kepada Ka’ab, “dimana sebaiknya aku sholat ?”.
Sa’ad menjawab, “jika engkau sependapat denganku, alangkah baiknya jika engkau sholat dibelakang batu, Al Quds saat ini telah menjadi kekuasaanmu”.
Khalifah Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu berkata, “Akankah aku menyerupai Yahudi ? Tidak, aku tidak akan berbuat seperti itu, Akan tetapi aku akan sholat di tempat Rasulullah SAW Sholat.” Umar lalu melangkah maju dan maju menghadap ke arah kiblat, kemudian melakukan sholat .
Setelah itu Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu menggelar selendangnya dan membersihkan kotoran di sekitar tempat itu kemudian diikuti oleh orang-orang.. Ditempat ini kelak berdiri masjid yang dinamakan Masjidil Aqsa. Ketika menahlukan Baitul Maqdil, diatas batu tersebut terdapat sampah-sampah yang menumpuk, banyak orang-orang Nasrani sengaja melakukannya karena unsur pelecehan, kebalikan dari umat Yahudi yang justru menganjurkan untuk sholat menghadapnya. Maka Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu berkata kepada Ka’ab, “dimanakah sebaiknya kita membangun mushollah (tempat sholat) untuk umat Islam ?” Ka’ab menjawab, “Di belakang batu itu, “Umar Radhiyallahu Anhu berkata, “wahai keturunan Yahudi, engkau mencampur adukkan Islam dengan ajaran Yahudi. Kita akan membangunnya di depan batu itu, karena di sana adalah jantung mesjid.
Itulah prinsip yang agung dari prinsip-prinsip Amirul Mukminin yang tak terhitung banyaknya, yang mana dipakai sebagai hujjah amaliah, bahwa Islam menghormati semua agama-agama langit dan menjadikan tempat-tempat yang disucikan itu tetap mulia.
Begitu hati-hatinya tentang keberadaan tempat ibadah orang lain dan hubungannya dengan keimanan seorang muslim, seperti gereja misalnya. Umar Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Janganlah kalian memasuki tempat ibadah orang kafir pada saat mereka sedang merayakan hari agama mereka, karena kemarahan Allah akan turun kepada mereka.” (Al Adab Asy Syar’iyyah 3/442).
Dari pemaparan ini semua jelaslah bahwa Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu tidak pernah melakukan sholat di Gereja seperti yang pernah yang kami ungkap diatas. Yang pernah melakukan itu adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz pada saat di Syam. Kalaupun ada ulama ceramah di Gereja atau mungkin Sholat di Gereja itu yang bisa menjawab adalah mereka sendiri dan mungkin saja mereka itu mengambil pendapat para fuqaha Malikiyah dan Hanabilah dan sebagian ulama Syafi’iyah yang berpendapat bahwa seorang muslim diperbolehkan memasuki gereja atau tempat ibadah orang kafir lainnya. Sedangkan sebahagian yang lainnya mensaratkan harus ada izin dari mereka yang menggunakan tempat tersebut. (Kasyful Qana’ 1/294, Hasyiyatul Jamal 3/572).
Tapi jujur, kalau saya ditanya pribadi, rasa-rasanya untuk Sholat di dalam Gereja saya “belum sanggup” deh, apalagi “maqom” saya hanya hanya seorang “prajurit”. Saya lebih memilih Sholat di dalam masjid sajalah, atau dibumi lain sajalah, apalagi Indonesia masih banyak masjid yang kosong. Lha wong di masjid saja jarang-jarang meramaikan, apalagi di gereja, kuil, klenteng atau synaqog. Dan saya juga gak mau menyalahka atau Suu’dzhon kepada mereka yang muslim memasuki Gereja, lha saya kan gak tahu apa dan niat mereka masuk ke gereja.
Tap kalau kata guru ngaji saya, “Kalau ente mau berkeh (berkah), ya ente kudu cari tempat-tempat yang berkeh, biar idup ente tambah berkeh.....”
Sumber :
Dr. Muhammad Husein Haikal. Umar bin Khattab, Jakarta : Litera Antar Nusa, 2000.
DR. Mustafa Murad. Kisah Hidup Umar bin Khattab, Zaman, Jakarta, 2007.
DR. Muhammad Shalabi. The Great Leader Umar Bin Khattab, Jakarta : Al Kautsar, 2008