(Sebuah
Jawaban Dan Klarifikasi Terhadap Tokoh Besar Nusantara)
Bung
Hatta.....
Siapapun
insan di negeri ini pasti mengetahui sosok besar dan berjasa ini. Kapasitas dan
keberadaannya sebagai tokoh bangsa tidak perlu
diragukan lagi. Konsistensi dan ketegarannya akan prinsip hidup patut
kita contoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak banyak tokoh besar
seperti beliau yang mampu bertahan secara konsisten dalam mempertahankan
prinsip hidup ditengah gempuran-gempuran rezim yang datang silih berganti, dari
mulai era Sebelum Kemerdekan, Masa Pendudukan Jepang, Masa Kemerdekaan, Masa Negara Federal, Era
Negara Kesatuan, Masa Demokrasi
Terpimpin, Orde Lama sampai kepada masa Orde Baru, sikapnya tidak berubah, tetap kritis dan tegar dalam menghadapi
“kezaliman” penguasa politik yang ada. Sekalipun dirinya “dikungkung” oleh
berbagai rezim yang ada, namun perlawanannya terhadap ketidak adilan terus
berkibar sekalipun nanti yang dihadapinya adalah sahabatnya sendiri. Ini yang
akhirnya nanti banyak membuat kagum banyak fihak kawan dan lawan.
Bung
Hatta adalah satu diantara tokoh-tokoh yang sampai saat ini sangat harum
namanya. Sebagai bentuk pengakuan rakyat, pada saat wafatnya saja ratusan ribu
orang banyak menghadiri pemakamannya, hal yang sama juga pernah terjadi pada
saat KH Wahid Hasyim dan Gus Dur wafat. Begitu
cintanya rakyat akan sosok ini bahkan seorang Iwan Fals saja telah membuat lagu
khusus pasca wafatnya. Para sejarawanpun telah banyak banyak yang menulis sosok
yang bersahaja ini, mulai dari masa kecilnya, pemikirannya, sampai kepada kisah
asmaranya. Tentu dengan banyak ditulisnya sejarah beliau, menandakan jika
beliau adalah tokoh besar yang tak lekang dengan masa.
Kami
sendiri termasuk orang yang sangat kagum dengan sosok Bung Hatta. Diantara
sekian tokoh politik yang ada bagi kami Bung Hatta dapat dijadikan motivasi dan
inspirasi dalam kehidupan. Kesederhanaan dirinya bahkan telah membuat kami
kagum bukan kepalang, padahal jabatan yang diembannya pada waktu masanya adalah Wakil Presiden dan juga Perdana
Menteri. Sebuah jabatan yang cukup mentereng dan menggoda untuk ukuran saat ini.
Tapi Bung Hatta tetaplah Bung Hatta, Sekalipun pada masa itu kondisi negara dalam keadaan susah tapi Bung Hatta
tidak pernah mengambil kesempatan yang ada. Gaya hidupnya masih tetap sederhana dan apa
adanya.
Sekalipun
demikian, tentu tidak ada gading yang tak retak, sebagai manusia biasa tentu
Bung Hatta dulunya bisa saja mempunyai beberapa “kesalahan” atau “dosa” di
dalam kehidupannya seperti yang pernah kami ketahui dari ungkapan beberapa
orang yang membicarakan sosok besar ini. Kami sendiri sebenarnya enggan untuk
menanggapi “kesalahan” dan “dosa” yang pernah dilakukan tokoh bangsa yang
sangat religius ini. Membicarakan “kejelekan” seorang tokoh sekelas Bung Hatta
bagi kami bukanlah hal yang bijak mengingat sepak terjangnya yang begitu besar
pada bangsa ini. Kalaupun nanti ingin membuka “sisi lain” seorang Bung Hatta
sudah tentu harus disertai dengan landasan etika dan fakta-fakta yang bisa dipertanggungjawabkan.
Terus
terang saat kami membaca beberapa pendapat yang “miring” tentang Bung Hatta,
hati kami begitu tergetar dan tidak habis fikir, benarkah gambaran mereka itu ?
kalaupun memang “miring” seberapa besar sih tingkat “kemiringan” pribadi dan
sepak terjang seorang Bung Hatta. Kami sendiri tidak menafikkan seorang Bung
Hatta pernah melakukan kesalahan, namanya juga manusia biasa dan juga bukan
malaikat. Toh Kami sendiri sangat menghargai orang yang bersikap kritis dalam
melakukan interpretasi sejarah. Tapi terus terang kalau tokoh sekelas Bung
Hatta “diobrak-abrik” kami kok merasa kurang berkenan ya. Oleh karena itu demi
untuk menjawab semua kegelisahan tersebut kami akan mencoba memberikan
“jawaban” yang mudah-mudahan bisa membuka mata hati orang yang memberikan
sefihak tentang Bung Hatta ini.
Diantara
beberapa pendapat yang “tidak mengenakkan” tentang Bung Hatta yang kami peroleh
dari beberapa akun Facebook yang telah kami amati adalah sebagai berikut:
- 1. Pada Tahun 1930an pada saat pertama kali datang ke Jakarta, Bung Hatta tidak mau sowan dan dianggap mau membuat mesjid tandingan di Kwitang Jakarta untuk menyaingi masjid Kwitang yang didirikan Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi.
- 2. Bung Hatta dituduh sebagai antek antek Wahabi (pengikut aliran Syekh Muhammad bin Abdul Wahab).
- 3. Bung Hatta dituduh anti Kyai.
- 4. Bung Hatta dituduh anti tradisi.
- 5. Bung Hatta dituduh telah memerintahkan Jenderal Sudirman untuk membunuh tahanan politik.
- 6. Bung Hatta dituduh memecat semua Tentara yang tidak punya ijazah dalam program Re Ra.
Jawaban
kami :
1. Kami
tidak tahu darimana sumber yang mengatakan bahwa Bung Hatta mau membuat masjid
tandingan di Kwitang Jakarta (atau mungkin kami yang bodoh karena kurang tahu informasi
ini ? ). Tapi seumur-umur kami mengaji di Kwitang, tidak pernah kami mendengar
hal yang satu ini. Kami mengaji di Kwitang sejak tahun 1989 dan sampai sekarang
(2016) sama sekali tidak pernah mendengar berita kalau Bung Hatta mau membuat
masjid di Kwitang apalagi untuk sebuah persaingan (aneh.....), Sejak masa Habib
Muhammad Al Habsyi dan anaknya Habib Abdurrahman Al Habsyi bahkan hingga yang sekarang yaitu Habib Ali
Al Habsyi kami tidak pernah mendengar riwayat ini. Begitupun dari Habib-habib
yang lain seperti Al Marhum Habib Muhammad Al Baqir Al Attas dari Kebun Nanas,
Al Marhum Habib Fuad Al Habsyi, Al Marhum Habib Novel bin Salim bin Jindan, Al
Marhum Habib Abdullah bin Husein Syami Al Attas, para Kyai seperti Al Marhum KH
Abdullah Syafi’i, Al Marhum KH Thohir Rohili, Habib Ali bin Abdurrahman
Assegaf, Habib Husein bin Ali Al Attas, dan yang lain-lain sama sekali kami
belum pernah mendengar cerita yang satu
ini. Orangtua kami yang pernah lama tinggal di tanah tinggi saja tidak pernah
menceritakan hal yang satu ini, kebetulan orangtua kami adalah orang yang faham
sejarah tentang daerah seputar Kwitang, Kenari, Senen, Tanah Tinggi, Cikini,
dan sekitarnya.
Kalau dikatakan Bung Hatta pertama kali datang ke Jakarta lantas
mau membuat Masjid Tandingan, lha ini malah lebih aneh, sebab Bung Hatta itu
datang ke Jakarta tahun 1932 dan pada tahun ini pula beliau kemudian di
penjara, kemudian pada bulan Desember ditahun yang sama Hatta lebih banyak
sibuk berpolemik dengan Bung Karno. Pada bulan Februari tahun 1933 Hatta justru
berangkat ke Jepang dan di sana Hatta mendapat julukan “Gandi Of Java”. Pada
bulan Mei 1933 Hatta ditangkap bersama dengan pamannya yang bernama Mak Etek
Ayub Rais (Zulkifli, dkk, 2015 : 25 – 26). Pada tahun 1934, selama tujuh bulan
Hatta juga pernah ditangkap dan dipenjara
di Glodok karena dianggap makar oleh Belanda (Zulkfili, dkk, 2015 : 76) sehingga
nyaris kehidupan dan aktifitasnya lebih banyak berjuang dan pindah dari satu
penjara ke penjara lainnya. Selanjutnya pada tahun 1935 – 1942 Hatta kemudian
dibuang atau diasingkan ke Digul (kini menjadi Tanah Merah Papua) dan Banda
Naira (Lihat di Pengantar Taufik Abdullah, 1998 : xxvii). Jelaslah antara tahun
1932 s/d 1942 Bung Hatta lebih banyak berada di Penjara ketimbang diluar. Sudah
jelas konsentrasi beliau lebih banyak ke perjuangan politik dan pergerakan. Adanya
fakta ini mementahkan tuduhan kalau Bung Hatta ingin membuat masjid di Kwitang, karena
bagaimana mungkin mau menyaingi masjid Kwitang, masjid Kwitang atau Masjid Arriyad saja saja
baru didirikan pada tahun 1356 Hijriah atau tahun 1938 Masehi saat Bung Hatta sudah
berada di Banda Naira. Sedangkan pada tahun 1932 M saat Bung Hatta datang ke
Jakarta, masjid tersebut belum ada sama
sekali ! yang ada adalah Madrasah
Unwanul Falah yang memang sudah eksis dalam bidang pendidikan sejak tahun 1920.
(lihat di Mauladawilah, Abdul Qodir Umar, 2011 : 150
– 157).
Tuduhan bahwa Bung Hatta mau membangun masjid untuk menyaingi
masjid Kwitang jelas sangat tidak sesuai dengan kronologis tahun yang ada. Sumber
data yang mendeskriditkan Bung Hatta ini
patutlah dipertanyakan dari mana asalnya, kalau sumber tersebut asalnya dari
Belanda, sudah jelas validitasnya wajib dipertanyakan karena seperti biasa
Belanda ini sangat senang melakukan pembunuhan karakter tokoh-tokoh bangsa
Indonesia yang mengancam kedudukannya. De vide Et Impera selalu mereka gunakan
termasuk penyelewengan informasi. Kalau misalnya data tersebut berasal dari kalangan
kiri, wah itu juga kami pertanyakan lagi
kualitas datanya, kalau dari fihak keluarga Habib Ali Kwitang sendiri, mohon
maaf kami sangat meragukannya mengingat Keluarga Besar Habib Ali Kwitang
dakwahnya terkenal sangat santun dan mengedepankan akhlak dalam melakukan
dakwah dan komunikasi dengan tokoh-tokoh politik saat itu, jadi tidak mungkin keluarga
besar beliau mengumbar umbar cerita yang seperti ini. Kalau ada tuduhan Bung
Hatta tidak mau sowan ke Habib Ali Kwitang, lha bagaimana mau sowan, kalau
belum apa-apa sudah ditangkap dan dipenjara, bagaimana mau sowan kalau setiap
gerak geriknya selalu diawasi secara ketat oleh Belanda. Tidak sowannya Bung
Hatta ke Habib Ali Kwitang itu bukan karena tidak hormat sama ulama, tapi itu
semata karena keadaan yang tidak memungkinkan. Habib Ali Kwitang juga tentu
sudah mengetahui bagaimana kondisi Bung Hatta yang memang selalu sulit untuk
bergerak kesana kemari, apalagi Habib Ali juga terkenal sangat peduli terhadap
perjuangan pemuda pejuang seperti Bung Hatta ini, jadi jangan buru-buru menuduh
kalau tidak Sowannya Bung Hatta lantaran sombong atau tidak punya adab kepada
Habib Ali Al Habsyi, terlalu picik kalau ada anggapan seperti ini. Bung Hatta
adalah keturunan dari beberapa ulama
yang juga mursyid dan Waliyullah, dan beliau juga mempunyai dasar pendidikan agama yang kuat,
jadi sangat tidak mungkin beliau bertindak gegabah seperti itu. Sekalipun
beliau 11 tahun belajar di Belanda, namun sejarah membuktikan Bung Hatta
tetaplah Bung Hatta, keimananannya tidak luntur walaupun belajar di negeri
orang kafir Belanda.
2. 2.. Bung
Hatta dituduh sebagai antek Wahabi. Menurut kami ini adalah tuduhan yang cukup
kasar dan tidak sopan. Kami tidak ingin masuk dalam perdebatan tentang Wahabi,
karena perdebatan tentang ini sudah banyak terjadi. Yang ingin kami luruskan
disini adalah pernyataan tersebut.
Setahu kami
Bung Hatta tidaklah seperti yang digambarkan tersebut, bagaimana mungkin beliau
seorang Wahabi jika dalam hidupnya saja dia sering berziarah ke makam
leluhurnya. Semasa menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta sering berziarah sambil
berdoa di sisi makam ayahnya (Zulkifli,
dkk, 2015 : 16), bahkan semasa masih menjadi Wakil Presiden dan pensiunpun
kebiasaan berziarah beliau masih sering dilakukan terutama pada saat ke makam
pamannya (Zulkifli, dkk, 2015 : 25 – 26). Ini saja sudah menggugurkan pendapat
kalau beliau seorang Wahabi, karena seperti yang kita ketahui bahwa Ajaran
Syekh Muhammad bin Abdul Wahab sangat melarang keras yang namanya ziarah kubur.
Kalau Hatta seorang Wahabi tulen tentu beliau akan memerintahkan orang-orang
bawahannya menghancurkan makam para leluhurnya yang dibangun secara permanen
bahkan dibuat dengan memakai gubah, sebuah hal yang sangat tabu bagi penganut
ajaran Syekh Muhammad bin Abdul Wahab. Makam Bung Hatta sendiri sampai sekarang
dibangun dengan cara permanen.
Dalam faham
keagamaan sepertinya adanya anggapan bahwa beliau seorang Wahabi patut
dipertanyakan, karena keluarga Bung Hatta adalah keluarga yang menganut ajaran
Thoriqoh, terutama Thoriqoh Naqsabandiyah. Bung Hatta adalah
keturunan dari ulama besar yang bernama Syekh Muhammad Jamil bin Syekh
Batuhampar (Alam, Wawan Tunggul, 2003 : 4) . Syekh Batuhampar pada masanya
dikenal sebagai ulama besar di Sumatra Barat. Siapapun mereka yang berasal dari
Sumatra Barat terutama mereka yang menggeluti dunia Thoriqoh pasti mengenal
dari kakek Bung Hatta ini. Kakek Bung Hatta adalah ulama Karismatik sekelas
dengan Mbah Kholil Bangkalan, Kyai Hasyim Asy’ari, Syekh Arsyad Al Banjari,
Syekh Junaid Al-Batawi, Habib Ali Kwitang, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi,
Syekh Nawawi Banten, Syekh Mahfud Tremas, Syekh Burhanuddin Ulakan, Syekh Abdul
Wahab Rokan dan beberapa ulama karismatik Nusantara lainnya.
Menurut Bung
Hatta salah satu ajaran dari kakeknya yang masih diingat adalah bahwa bahwa
beliau memperingatkan bahwa bagi mereka yang ingin masuk ke jalan tarekat harus
dari mereka yang yang sudah cukup pengetahuan agamanya. Ajaran tarekat adalah pengunci didikan agama. Jalan
Tarekat adalah bertangga naik, tidak dapat dilalui dengan meloncat-loncat.
Untuk masuk ke dalam Tarekat, orang harus Insyaf benar bahwa dalam agama tidak
ada paksaan (La Ikraha Fiddin). Jalan ke Tuhan ialah meyakinkan orang lain dan
dimulai dengan meyakinkan diri sendiri. Menurut Bung Hatta begitu besar
pengaruh kakeknya, beliau dapat mendamaikan apa yang selalu terasa bertentangan
di Minangkabau antara hukum Islam dan hukum adat, terutama yang mengenai harta
pusaka.Syekh Abdurrahman inilah yang mampu melaksanakan apa yang menjadi
pepatah di Minangkabau : “adat bersendi syara, syara bersendi adat” (Hatta,
Muhammad, 2011 : 21).
Jika
dilihat guru-guru agama Bung Hatta
sendiri memang harus diakui sebagian mereka telah mendapat pengaruh pemikiran
modern, tapi jika disangkut pautkan dengan gerakan Syekh Muhammad Abdul Wahab
rasa-rasanya tidak seluruhnya benar, karena guru agama Hatta sendiri lebih
banyak bergurunya kepada Syekh Ahmad Khotib Al Minangkabawi yang jelas-jelas
merupakan Guru Besar Mazhab Syafi’I di Masjidl Haram pada waktu itu. Kedua Guru
Hatta yaitu Syekh Muhammad Jamil Jambek dan DR. Abdullah Ahmad adalah lulusan
Mekkah sebelum masuknya era Ibnu Saud di tahun 1924. Syekh Muhammad Jamil
Djambek bahkan terkenal sebagai ahli falak dan beliau masih sering merayakan
maulid Nabi sekalipun nanti syairnya dirubah dengan bahasa melayu. DR. Abdullah
Ahmad adalah pendiri sekolah Adabiah, sekolah yang berbasiskan modern. Sebelum
tahun ini seperti diketahui Mekkah banyak bertaburan mazhab-mazhab, dan
sebagian besar Mahasiswa Indonesia lebih banyak memilih guru yang berasal dari
Indonesia seperti Syekh Ahmad Khotib Al Minangkabawi. Kedua guru Hatta ini
terkenal sebagai pembaharu dalam bidang
pendidikan dan pemikiran, dan mereka lebih banyak dipengaruhi
pemikiran-pemikiran yang berkembang di Mesir, oleh sebab itu sangatlah tidak
relevan jika Hatta dianggap sebagai pengikut ajaran Syekh Muhammad bin Abdul
Wahab.
3. 3. Bung
Hatta dituduh anti Kyai. Lho Kyai yang mana ? aneh…setahu kami Hatta adalah
tipikal sosok yang sangat terbuka dan ramah pada semua golongan, kalau dengan
golongan kiri saja dia masih membina hubungan politik yang baik apalagi kepada
golongan kanan. Bung Hatta lahir dari keluarga ulama dan dididik dengan modal
keagamaan yang baik, apa mungkin dia menjadi seorang pembenci Kyai ? Kalau dia
membenci kyai tidak mungkin beliau bias berhubungan baik dengan KH Wahid
Hasyim.
Untuk
memperkuat jika hubungan Bung Hatta dengan kyai baik, ini pernah terjadi pada
keluarga KH Wahid Hasyim. Rumah keluarga KH Wahid Hasyim yang ada di Matraman
sejak dahulu sering didatangi para Kyai NU dan Kyai-kyai lain dan disitu juga
terdapat keberadaan Bung Hatta. Dalam lintasan sejarah, pada tahun 1944 Gus Dur yang merupakan putra sulung KH Wahid
Hasyim, diajak
ayahnya ke Jakarta, pada masa itu mereka tinggal di Menteng, Jakarta Pusat yang
saat itu merupakan daerah yang diminati oleh pengusaha terkemuka, para
profesional, dan politikus. Dengan berdiam di daerah Menteng, KH Wahid Hasyim
dan putranya ini berada di pusat kegiatan. Misalnya ketika mereka melaksanakan
ibadah sholat di Masjid Matraman yang letaknya tidak begitu jauh, mereka secara
teratur dapat bertemu dengan pemimpin-pemimpin nasionalis seperti Muhammad
Hatta (Lihat di Barton, Greg, 2006 : 37).
KH Wahid
Hasyim adalah ulama karismatik NU pada waktu itu, sangat tidak mungkin Bung
Hatta tidak menjadikan beliau sebagai rekan perjuangan. Disamping itu sangat
tidak masuk akal Hatta benci kepada Kyai, sedangkan Bung Hatta adalah penasehat
Masjid Matraman yang sejak dulu terkenal sebagai gudangnya para Kyai yang ada
di Jakarta. Sepengetahuan kami, nama Bung Hatta cukup harum di mata Kyai-kyai
Jakarta. Begitu juga hubungan dengan Kyai luar Jakarta, komunikasinya Hatta
juga cukup baik. Kami sangat mengetahui betul bagaimana seorang Bung Hatta di
lingkungan Masjid Matraman, karena kebetulan kami lahir dan besar di lingkungan
masjid ini, jadi kami tahu betul bagaiimana akhlak seorang Bung Hatta ini.
4. 4. Bung Hatta dituduh anti Tradisi ? Tradisi yang mana ? Setahu kami Bung
Hatta justru sangat mendukung tradisi keislaman yang ada. Ini perlu saya
tegaskan karena beliau ini merupakan penasehat Masjid Jami Matraman yang
terkenal akan wajah Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah. Siapapun mereka yang pernah
dating ke masjid akan merasakan benar wajah Islam yang penuh dengan tradisi. Di
Masjid ini sering diadakan Maulid Nabi sejak masa Bung Hatta menjadi Wakil Presiden dan
pensiun. Selain Maulid, ada juga Isra’ Mi’raj, Yassinan, 1 Muharram, peringatan
Nuzulul Qur’an. Tata cara sholat Jumat pun jelas-jelas merupakan cara yang identik
dengan faham Ahlussunnah Wal Jama’ah. Mengenai tuduhan kalau Bung Hatta anti
tradisi dan wajah keislamannya yang digambarkan beku, telah dibantah Gus Dur, Gu Dur bahkan menulis, bawah tokoh Bung Hatta ini dulunya agak
disalahpahami oleh gerakan keagamaan islam karena penolakannya yang tegas
terhadap gagasan negara teokratis. Bung Hatta bukan bagian dari perjuangan
kita, begitulah kira-kira jalan pikiran berbagai macam gerakan itu. Akan tetapi
di akhir hayatnya, Bung Hatta justru menjadi contoh dari seorang muslim tulen.
Setiap jumat selalu datang terdahulu, langsung menuju tempat yang sama di baris
pertama. Mobil bernomor B-17845 menjadi penghias halaman masjid Matraman
Jakarta secara tetap selama tigapuluh tahun. Kesantrianan Bung Hatta yang penuh
dengan jadwal waktu tetap untuk beribadat kepada Allah dijadikan contoh yang
ditularkan dari mulut kemulut, dari guru kemurid. Tidak peduli besarnya
perbedaan jalan pikiran masyarakat yang memenuhi masjid itu dengan jalan
pikiran Bung Hatta sendiri. Kalau ada yang tidak setuju dengan kerasnya pengeras
suara yang mengumandangkan suara adzandari masjid tersebut, mungkin Bung Hattalah orang
yang pertama akan bersikap demikian. Tetapi sikapnya untuk berdiam diri di
hadapan kenyataan seperti itu justru dihargai orang di lingkungan itu; pinter
ngemong, kata orang jawa. Kearifan orang yang telah menemukan hubungannya
sendiri dengan Tuhannya, tidak terganggu dengan manisfestasike hidupan beragama
orang banyak di sekitar (Lihat di Wahid, Abdurrahman, 1999 : 119 –
120). Bagi yang meragukan hal ini sekali-kali
datanglah ke Masjid Jami’ Matraman, lihatlah wajah keislaman yang dijalankan
pada masjid ini agar nanti pandangan anda kepada Bung Hatta tidak salah.
Dimata cucu
Syekh Muhammad Jamil Djambek, Hatta bahkan dikenal sebagai sosok yang sangat
religius, bahkan dalam sebuah pidato kebudayaan di Jakarta tahun 2002,
penampilan Bung Hatta digambarkan oleh Nurcholis Madjid sebagai sosok seorang
sufi, memiliki ketulus ikhlasan, semua ini tidak lepas dari latar belakang
keluarganya, dia adalah putra seorang guru mursyid sebuah gerakan sufi di Sumatra Barat (Zulkifli,
Arif, dkk, 2015 : 16 – 18).
Begitu sangat terjaganya “akidahnya” Bung Hatta bahkan pernah menolal menjadi
anggota Theosofi di Batavia (Organisasi Kebatinan Yang Didirkan Ningrat
Berdarah Rusia (Helena Petrova Blavostsy)
5. 5.. Bung
Hatta dituduh telah memerintahkan Jenderal Sudirman
untuk membunuh tahanan politik ? Benarkah Bung Hatta yang kita kenal
sangat religiuus telah memerintahkan Pak
Dirman untuk membunuh tawanan politik yang tidak sefaham dengan pemerintah ?
siapa yang dimaksud ? Tan Malaka atau Amir Syarifuddin ? kalau kedua tokoh yang
dimaksud, ketahuilah bahwa kedua tokoh “kiri” ini mengalami kematiannya karena
situasi lapangan yang saat itu memang
kondisinya sulit untuk dikontrol, apalagi ditengah kondisi bangsa yang sedang
berkecamuk. Kematian kedua tokoh tersebut sampai sekarang bahkan masih menjadi
tanda tanya, apakah karena “inisiatif” dari eksekutor lapangan atau memang
perintah dari “atas”.
Kita perlu tahu, bahwa Bung Hatta
adalah sosok yang sangat membenci kekerasan dan darah (Zulkifli, Arif, dkk, 2015 : 51), jadi kalau beliau memerintahkan
Pak Dirman untuk membunuh tawanan politik ini adalah hal yang aneh, sekalipun
jabatan beliau saat itu sangat mendukung.
6. Bung
Hatta dituduh memecat semua Tentara
yang tidak punya ijazah dalam program Re Ra? Program yang satu ini sering memberikan
kesan yang multi tafsir. Dan untuk
memberikan jawaban yang jernih tentu kita membutuhkan sebuah sumber yang
merasakan dan mengikuti hal tersebut. Mengenai Re Ra atau REKONSTRUKSI DAN
RASIONALISASI militer pada saat itu Jenderal Abdul Haris Nasution menulis,
masalah ini adalah sebuah masalah yang cukup gawat (rawan) karena menjadi
sering dipolitisir, masalah ini sebenarnya telah dimulai sejak sebelum ditandatanganinya “Perjanjian
Renvile”. Demikianlah hal itu dilakukan pada bulan Desember 1947 dan Januari
1948 oleh BPKNIP di Jogyakarta yang
telah menerima suatu mosi mengenai susunan Pertahanan Negara atau Angkatan
Perang RI. Kemudian mosi itu terkenal setelah ditetapkan dengan
Undang-Undang No.3 Tahun 1948. Adapun pokok dari mosi yang diterima BKNIP
tersebut antara lain : “Bahwa ditempatkannya Angkatan Perang dibawah
kekuasaan Menteri Pertahanan dan ditetapkan bertanggung jawab penuh juga
dibidang organisasi, administrasi, perlengkapan persenjataan, kwalitas
seluruh Angkatan Perang Politik Pertahanan dan siasat militer Angkatan
Perang dan pimpinan Menteri Pertahanan atas kementerian pertahahan serta
angkatan perang selalku suatu kesatuan yang erat”.
Perlu
diketahui, menurut Jenderal Nasution mosi Rasionalisasi dan Rekonstruksi TNI
muncul dari Baharuddin yang merupakan golongan kiri yang kemudian diterima oleh
Pemerintah dan Menteri Pertahanan, Aruji Kartawinata,dan menurut Bung Karno
dengan Rasionalisasi dan Rekonstruksi haruslah diciptkan satu kesatuan tentara
dibawah satu komando, Pertahanan harus pertahanan rakyat, bukan pertahanan
partai.
Betapapun
demikian menurut Nasution banyak muncul pendapat masyarakat mengenai Re Ra ini
yang “seolah-olah” akan memecah pimpinan Angkatan Perang RI. Dan dengan
demikian timbul pula pendapat yang mengatakan “ada dua garis Komando”, akan
timbul bermacam macam organisasi pasukan, bahkan sampai pada anggapan bahwa
konsepsi tersebut akan memecah dan melemahkan potensi Angkatan Perang RI,
bahkan sampai ada yang menghubungkan dengan konsepsi yang dihubungkan dengan
konsep Pemerintah Belanda yaitu konsepsi Tentara Federal.
Adanya
berbagai pendapat tersebut menurut Nasution
karena masyarakat saat itu tidak kompak, masing-masing orang, golongan, partai menafsirkan setiap
kejadian atau peristiwa sesuai dengan kemauan dan kebutuhan kepentingannya
sendiri atau kepentingan golongannya sendiri.
Demikianlah
mereka (orang/golongan/partai) menafsirkannya untuk menempatkan /meletakkan
kepentingannya diatas kepentingan orang banyak (Negara). Dan mereka lupa atau
tidak mengindahkan bahwa “kepentingan
orang banyak atau Negarta adalah diatas segala galanya”. (Lihat semuanya di
Djenderal Nasution, 1966 : 122 – 123).
Jelaslah
adanya tuduhan kepada Bung Hatta yang memecat tentara karena tidak punya ijazah
tidak benar ! ini jelas kekeliruan dalam penafsiran peristiwa seperti yang
diuraikan oleh Djenderal Abdul Nasution,
lagipula menurut kami sangatlah wajar jika diadakan RE RA, mengingat garis komando
saat itu belum merata, bisa dibayangkan sebuah pasukan tidak memiliki garis
komando yang jelas. Adanya Re Ra juga demi untuk menciptakan militer yang lebih
professional dan tangguh, selama ini harus diakui profesionalitas militer masih
“merangkak” dibandingkan dengan militer dari Negara lain. Kalaupun saat itu
banyak Tentara yang tereliminir itu adalah seleksi alam, bukan karena Bung
Hatta. Harus juga difahami mereka yang banyak bertempur pada masa kemerdekaan
itu banyak yang berasal dari kalangan sipil, mereka ikut berperang karena
panggilan jiwa dan bangsa, contohnya Hizbullah. Diantara pasukan yang
terleminir memang Hizbullah inilah yang terbanyak, tapi sakit hatikah mereka ?
kami rasa tidak ! buktinya para pemimpinnya setelah pasca perang banyak yang
kembali kepada kehidupannya yang semula seperti KH Noer Ali yang kemudian
membuka Pondok Pesantren At Takwa, KH Raden Abdullah Bin Nuh yang kemudian
mendirikan majelis Al Ihya, KH Yusuf Hasyim yang lebih memilih mengelola
Pesantren Tebu Ireng, KH Soetalaksana, KH Pardjaman, KH Sholeh Iskandar, KH Rusad Nurdin, KH Syam’oen, KH Ahmad Chatib.
Para Pejuang Perang kembali kedunianya tanpa menuntut tanda jasa, kembali berjuang membina
pesantrennya atau lembaga pendidikan lainnya (Suryanagara, 2014 : 295). Seharusnya
semua faham siapa yang awalnya punya
“misi khusus” dan ngotot terhadap Re Ra ini, justru yang kemudian berhasil
menyapu bersih pengaruh “kiri” di Angkatan Perang adalah Bung Hatta. Kalangan
“kiri” inilah yang berkeinginan kuat untuk merongrong kedudukan Panglima Besar
Sudirman atau memperlemah Tentara dengan cara apapun. Sedangkan Bung Hatta
justru mampu membuat militer berkembang lebih baik. Kalau memang tidak baik,
sudah tentu Jenderal Nasution pasti sudah menulisnya.
Kalau kita
mau membaca isi Pidato Bung Hatta tentang Re Ra ini maka kita akan mengetahui
bagaimana cerdasnya Bung Hatta dalam menangani kasus yang satu ini. Tidak mudah
untuk mengatur militer apalagi dalam kondisi yang serba rumit pada saat itu.
Kecerdasan dan kebijaksanaan Hatta terlihat pada pidato yang tertulis, “bahwa
Pemerintah saat itu tetap menghargai para pemuda yang telah
ikut dalam perjuangan tentara, tidak melupakan apa yang telah mereka korbankan
untuk mempertahankan Negara dan tanah air. Hanya saja pemerintah mau menegaskan
bahwa jasa pemuda yang begitu bersemangat, tidak hanya terletak pada
pertempuran semata, tetapi juga dalam upaya untuk membangun Negara”. Bung
Hatta seperti sangat khawatir akan kesalahan persepsi para pemuda akibat Re Ra
ini, apalagi gerakan anti Re Ra pada saat itu banyak bermunculan dan kondisi
ini tentu bisa dimanfaatkan oleh oknum yang mempunyai pemahaman yang salah akan
Negara saat itu (Muhammad Hatta, 1981 : 206 – 208). Bagi kami terlalu dangkal
tuduhan yang mengatakan “dipecatnya” para tentara karena tidak punya ijazah,
karena terbukti banyak yang pendidikannya rendah bisa juga menjadi anggota TNI.
Cobalah pula lihat bagaimana keadaan kondisi kas Negara yang pada waktu itu
yang memang cukup sulit untuk membiayai Angkatan Perang yang memang jumlahnya
cukup banyak. Sudah jelas langkah Re Ra adalah sebuah solusi yang harus segera
dilakukan. Jelas Bung Hatta malah kami anggap berjasa dan cerdas karena telah
berhasil mereformasi kekuatan militer yang lebih efektif dan efesien.
Pengakuan
akan jasa Bung Hatta terhadap TNI bahkan ditegaskan oleh Pak Nas, disamping
Presiden Soekarno, Panglima Besar Sudirman, Jenderal Urip Sumoharjo. Bung Hatta
bersama 3 tokoh tersebut adalah yang
pertama-tama menanamkan politik dan idiologi tentara. Sebagai Perdana Menteri
dan Menteri Pertahanan pada tahun 1948 Bung Hatta telah memberikan pegangan
pada para Panglima Divisi, Komandan Brigade, Komandan Resimen yang dikumpulkan
oleh Panglima Besar Sudirman beretmpat di Rindam Magelang, kepada para Pimpinan
TNI waktu itu Bung Hatta secara terperinci dan gambling mengingatkan tentang
mukadimah UUD 45 yang harus selalu menjiwai
TNI. Kalau Bung Karno menanamkan Pancasila dan UUD 45 sebagai politik tentara,
Panglima Besar menanamkan jiwa Tentara yang tak kenal menyerah, Jenderal Urip
mengingatkan rakyat keseluruhan sebagai kekuatan tentara, maka Bung Hatta
meresapkan kepada kita mukadimah UUD 45 (Yayasan Idayu, 1980 : 238 – 239).
Demikianlah
jawaban yang bisa kami berikan terhadap beberapa pandangan “miring’ yang
dilontarkan kepada sosok Proklamator yang sederhana dan merakyat ini. Kami
tidak menyalahkan kepada mereka mereka yang mempunyai tafsir lain mengenai Bung
Hatta, tapi paling tidak sebelum kita memberikan sebuah interpretasi sejarah,
ada baiknya kita mempelajari secara utuh dan seimbang mengenai seluk beluk
seorang tokoh….Bung Hatta adalah tokoh besar yang sudah berjasa pada negeri
ini, sepak terjangnya, kesetiannya, kedisplinanannya, perjuangannya sangat
pantas kita hormati. Tidak pantas rasanya kita yang telah merasakan hasil
kemerdekaan ini, tiba-tiba mencari kesalahan beliau hanya karena interpretasi
yang terburu-buru.
Wallahu A’lam
bisshowab…
Daftar Pustaka :
Alam,
Wawan Tunggul. Pertentangan Soekarno Hatta, Jakarta : Penerbit Gramedia
Pustaka Media, 2003.
Barton, Greg. Biografi Gus Dur
(The Authorized Biography Of Abdurrahman Wahid), Yogyakarta : LKIS, Cet 8,
2006,.
Hatta,
Muhammad. Bukit Tinggi – Roterdam Lewat Betawi, Sebuah Otobiografi,
Jakarta : Kompas, Cet IV, 2011.
Hatta,
Muhammad. Kumpulan Pidato Muhammad Hatta, Jakarta : Yayasan Idayu, 1981.
LP3ES, Karya Lengkap Bung Hatta, Jakarta : LP3ES, Cet 1, 1998.
Mauladawilah, Abdul Qodir Umar.
17 Habaib Berpengaruh di Indonesia, Malang : Pustaka Bayan, Cet VIII, 2011.
Nasution,
AH, DR. Sedjarah Perjuangan Nasional Di Bidang Bersenjata, Djakarta :
Mega Bookstore.
Suryanegara, Ahmad
Mansur. Api Sejarah 2, Bandung : Salamadani, 2014.
Wahid,
Abdurrahman. Tuhan Tidak Perlu Dibela, Yogyakarta : LKIS, 1999.
Yayasan
Idayu, Bung Hatta Kita Dalam Pandangan Masyarakat, Jakarta : Yayasan Idayu,
1980.
Zulkifli, Arif, dkk. Hatta, Jejak Yang Melampaui Zaman,
Jakarta : KPG, Cet Ke IV, 2015.