Selasa, 04 Juni 2024

PERBEDAAN GELAR HABIB, SAYYID DAN SYARIF PADA KETURUNAN NABI MUHAMMAD SAW

 Oleh : Iwan Mahmoed Al Fattah II

Akhir-akhir ini ditengah ramainya isu nasab Baalawi yang masih terus berlangsung, beberapa fihak untuk yang ke sekian kalinya kembali melontarkan sebuah tema khusus untuk menggugat keabsahan nasab Baalawi. Gugatan mereka adalah mengenai gelar panggilan “Habib” yang dimiliki keluarga Baalawi. Menurut mereka gelar Habib itu bukan keturunan Nabi Muhammad SAW, yang keturunan Nabi Muhammad SAW asli bergelar Sayyid dan Syarif. Menurut mereka gelar Habib hanya dimiliki imigran Yaman yang nasabnya palsu (mereka selalu menyebut imigran Yaman). Tidak sedikit yang menjadikan gelar habib itu menjadi sebuah plesetan, misalnya menjadi Bibib, kabib, babbib, tabib dan sejenisnya, seolah-olah kata-kata habib itu “najis mugholazoh” untuk mereka. Selain itu ada juga yang mengolok olok bahwa banyak dari kalangan “bibib” merupakan pedagang minyak wangi (seolah profesi ini hina dina dan merekalah yang mulia lagi agung) dan juga merupakan kaki tangan penjajah, kalau tidak percaya lihat saja foto-foto kabib tempo dulu dengan para penguasa kolonial…(kata mereka loh…). Padahal jika kita mau belajar sejarah dan meneliti perkembangan diaspora bangsa Arab maka disitu kita akan mendapati bahwa panggilan-panggilan terhadap keturunan Nabi Muhammad itu beraneka ragam tergantung dimana wilayah mereka berada.
Dalam sejarah dakwah ahlul bait banyak istilah-istilah gelar yang muncul yang dinisbatkan kepada mereka baik oleh masyarakat maupun dari orang-orang terdekat mereka. Baik gelar secara nasab atau gelar-gelar secara budaya setempat. Selain gelar Sayyid dan Syarif, di Indonesia terdapat gelar Sunan, Susuhunan, dll yang ternyata garis nasabnya banyak yang bersambung dengan Rasulullah SAW. Khusus di Indonesia gelar-gelar keturunan Nabi Muhammad SAW sejak masa Wali Songo hingga abad ke 19 akan mengalami akulturasi dengan budaya setempat. Gelar-gelar tersebut sejak dulu digunakan pada adat istiadat dan tradisi di kepulauan nusantara. Setiap raja memiliki gelar khusus. Demikian juga para pangeran, para pegawai tinggi dan semua yang memiliki kedudukan. Gelar-gelar merupakan hal yang penting dalam istilah yang digunakan di masyarakat, sehingga kebanyakan orang tidak mengenal suatu pribadi kecuali gelarnya. Ada gelar-gelar yang dipakai secara turun temurun. Keturunan para Sultan memiliki gelar, demikian pula keturunan para pangeran. Gelar-gelar itu banyak dan dan bermacam-macam. Sedangkan untuk gelar-gelar Sayyid, Syarif, atau habib memang kental sekali aroma keahlul baitannya.
Adapun istilah-istilah gelar yang identik dengan keturunan Nabi Muhammad SAW baik yang berasal dari jalur Al-Hasani, Al-Husaini, Bani Alawi, Wali Songo sebagai berikut :
1. Gelar Sayyid
Menurut Hamka Keturunan Hasan dan Husein dipanggil dengan gelar Sayyid, kalau untuk banyaknya disebut sadat. Sebab Nabi Muhammad mengatakan, “Kedua anakku ini menjadi sayyid (tuan) dari pemuda-pemuda di syurga. Di sebagian negeri mereka disebut syarif, yang berarti orang mulia atau orang berbangsa, kalau banyak disebut asyraf. Hamka juga menambahkan, selain dipanggil Tuan Sayyid, mereka juga dipanggil juga dengan gelar habib, di Jakarta dipanggil wan. Di Serawak dan Sabah disebut tuanku. Di Pariaman mereka disebut sidi. Mereka telah tersebar di seluruh dunia. Di negeri-negeri besar seperti Mesir, Bahgdad, Syam dll, mereka dipimpin oleh seorang naqib, yaitu orang yang bertugas mencatat dan mendaftarkan keturunan-keturunan. Di saat sekarang (1975) umumnya telah mencapai 36-37-38 silsilah sampai kepada Sayyidina Ali dan Fathimah. Hamka juga menyebutkan bahwa gelar habib digunakan untuk seorang yang alim, yang telah berusia lanjut, atau seorang pemuka diantara mereka. Apabila seorang Alawi memegang suatu pemerintahan dia digelari syarif. Gelar ini biasanya dipakai secara turun temurun oleh anak cucunya.
Diantara sayyid pada masa lalu yang hidup pada masa Wali Songo seperti Sayyid Fadhol Ali Murtadho (Raja Pandita), Sayyid Rahmat, Sayyid Maulana Ishak. Sedangkan untuk era akhir awal abad 20 terutama di masa tahun 60an muncul gelar habib yang kita kenal misalnya seperti Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi Kwitang, Habib Ali bin Husein Al-Attas Bungur, Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas Empang Bogor, Habib Salim Jindan Otista, Habib Soleh bin Muhsin Al-Hamid Tanggul, Habib Umar bin Hud Al-Attas Condet, dll.
2. Gelar Syarif
Syarif adalah istilah khusus yang diberikan kepada ahlul bait. Jalaluddin As-Suyuthi di dalam kitabnya Risalah Al-Zainabiyah mengatakan bahwa pada abad permulaan kata syarif itu ditujukan kepada siapa saja termasuk ahlu bait, baik ia dari keturunan Hasan atau Husein atau Alawi dari keturunan Muhammad Al-Hanafiah, Jakfar, Aqil maupun Abbas bin Abdul Muthalib. Oleh karena itulah dalam kitab sejarah karya Al-Hafidz Al-Dzahabi penuh dengan kalimat-kalimat tersebut, seperti Syarif Abbas, Syarif Aqili, Syarif Ja’fari, Syarif Zainabi. Namun tatkala pemerintahan di Mesir dipegang oleh golongan Fatimiyah, maka kata Syarif khusus diperuntukkan bagi keturunan Hasan dan Husein saja. Hamka juga menyebutkan, gelar Syarif khusus digunakan bagi keturunan Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein apabila menjadi raja. Sultan-Sultan di Indonesia yang keturunan Rasulullah SAW seperti Sultan-Sultan Siak, Pontianak dan lain-lain digelari dengan gelar syarif. Sultan Siak terakhir secara resmi digelari Sultan Syarif Qasim bin Sultan Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin. Demikian juga pendiri kota Jakarta yang terkenal dengan panggilan Sunan Gunung Jati, digelari Syarif Hidayatullah. Orang-orang sejak masa Kesultanan Aceh sampai sekarang meletakkan gelar sayyid sebelum menyebutkan namanya.
3. Gelar Habib atau Habaib
Kata “habib”, atau “habaib” dalam bentuk jamaknya berarti kekasih atau yang dikasihi. Kata ini bagi masyarakat Hadhramaut dan para keturunan Hadhramaut yang tersebar di berbagai belahan dunia menjadi sebuah panggilan untuk para Sayid Ba ‘Alawi. Yang pertama kali menyandang sebutan ini adalah Habib Umar bin Abdurahman Alatas, Sohibur Ratib Alatas (992-1072 H/1572-1652 M). Sebelum beliau, keturunan Sayid Alwi bin Ubaidillah tidak dipanggil habib tetapi dipanggil dengan kata sayid, atau imam atau syekh, misalnya Imam Sayid Ahmad bin Isa al-Muhajir (273-345 H/873-956 M), Imam Sayid Muhammad bin Ali Al-Faqih Al-Muqaddam (574-653 H/1178- 1232 M), Syekh Abdurahman Assegaf bin Muhammad Mawladawilah (739-819), dan lainnya yang hidup sebelum Habib Umar bin Abdurahman Alatas.

Pada mulanya, menurut keterangan Habib Zain bin Smith, panggilan dan gelar habib ini diberikan kepada para Sayid Ba ‘Alawi yang alim dan memiliki dedikasi sosial yang tinggi. Sementara mereka yang tidak demikian biasa dipanggil dengan sayid, atau di daerah dipanggil iyek, ayip atau wan. Boleh jadi, panggilan ini untuk Habib Umar bin Abdurahman Alatas sebagai bentuk kecintaan dan penghormatan kepada beliau karena integritas diri beliau dalam keilmuan dan amalnya. Kemudian panggilan ini juga diberikan kepada para Sayid Ba ‘Alawi yang mempunyai kapasitas yang sama dengan beliau oleh orang-orang di sekitarnya, seperti Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad dan lainnya, sehingga tidak setiap sayid Ba ‘Alawi dipanggil habib.
Dewasa ini di Tanah Air, khususnya Jakarta dan sekitarnya, panggilan habib diberikan kepada semua Sayid Ba ‘Alawi, bahkan kepada mereka yang bukan ulama. Kata habib juga di sebagian keluarga Ba ‘Alawi, digunakan untuk menyebut kakek, sedangkan untuk nenek disebut hubâbah atau hababah.
4. Gelar Syarifah
Merupakan salah satu gelar kehormatan dari Aceh yang diberikan kepada orang-orang yang merupakan bagian dari keturunan Nabi Muhammad SAW, yang sampai sekarang banyak diikuti oleh masyarakat. Gelar ini biasanya ditujukan kepada wanita keturunan Rasulullah SAW. Sampai saat ini gelar Syarifah secara mayoritas masih eksis digunakan oleh keturunan Nabi Muhammad SAW terutama yang berada di wilayah Indonesia pada umumnya. Pada kalangan Baalawi panggilan gelar Syarifah untuk wanita keturunan Nabi Muhammad SAW seringkali kami temukan.
Sumber : Buku Mengungkap Fakta Keturunan Walisongo, oleh: Iwan Mahmoed Al Fattah II