Oleh : Iwan Mahmud Al-Fattah
Terlepas pandangan sebagian orang yang mungkin sering berbeda pendapat dalam menilai sosok Jenderal Soeharto sebagai Presiden RI ke dua, yang jelas ketika saya membuka lembaran demi lembaran pada buku sejarah yang dibuat oleh pemerintah orde baru dibawah ini terutama pada jilid pertama, saya dibuat miris ketika membacanya, tadinya saya berharap peran ulama dan santri dimunculkan dengan proporsi yang banyak, namun sayang saya hanya menemukan 1 saja, itupun hanya berupa foto dari Laskar Hizbullah tanpa keterangan panjang lebar. Padahal kalau mau saat penulisan buku ini saksi sejarah para pejuang Islam angkatan 45 masih banyak yang hidup, betapa mudahnya jika ingin mencari keberadaan mereka.
Secara dokumentasi sebenarnya "buku sejarah" ini sudah baik karena kaya akan foto, sayangnya dari semua foto yang ada tidak banyak menggambarkan bagaimana kiprah perjuangan para ulama dan santri. Keterangan-keterangan yang muncul juga tidak menggambarkan secara utuh. Buku ini lebih menonjolkan gerakan nasionalisme versi pemerintah saat itu. Betapapun demikian saya tetap memberikan respek atas keberadaan buku ini karena jerih payah tim penulis dalam mengumpulkan foto demi foto beserta keterangannya. Dari buku ini juga setidaknya kita tahu bagaimana sikap pemerintah saat itu terhadap sejarah umat Islam Indonesia juga mereka² yang dianggap mbalelo pada negara.
Saya maklum, buku ini memang dibuat pada saat Rezim Orde Baru yang saat itu sedang menuju puncak kejayaannya. Tim penulis juga terdiri dari para loyalis² "garis keras" orde baru. Bentuk buku juga terlihat mewah untuk ukuran saat itu (kerena memang tidak diperjulblikan). Jadi sangat tidak mungkin ada versi "putih" dari fihak luar yang masuk memperkaya dan mewarnai isi buku. Fobia Islam memang saat itu sudah mulai muncul, partai Islam dan partai lain "dipaksa" untuk berfusi. Khusus partai Islam selain "dipaksa", mereka juga "wajib tunduk" terhadap kebijakan² pemerintah orde baru saat itu.
Orde baru benar-benar hampir menguasai semua lini kehidupan dengan menerapkan Dwi Fungsi ABRI termasuk dalam bidang sejarah. Sejarah yang ditulis terutama pada masa perjuangan 45 sering menonjolkan sosok Jenderal Soeharto ketimbang sosok besar lain, benar memang Jenderal Soeharto yang saat itu berpangkat Letkol punya peran, namun jangan lupa ada tokoh² lain yang sebenarnya punya peran besar seperti Sultan Hamengkubuwono IX, Jenderal Nasution, Jenderal Sudirman, Jenderal GPH Jatikusumo, Jenderal Urip Sumoharjo, Bung Tomo, sangat besar. Ini belum terhitung nama² ulama besar saat itu yang kiprahnya sangat besar dalam menentukan bentuk negara.
Menulis sejarah perjuangan 45 dalam sudut pandang ulama dan santri di masa orde baru adalah sebuah tindakan yang nekat dan bisa dianggap keblinger karena bisa menyalahi versi pemerintah yang dianggap paling sahih. Selain ulama dan santri keberadaan para habaib yang kiprahnya juga besar dalam perjuangan 45 juga hampir sulit ditemukan pada boku ini. Kiprah para ulama, santri, habaib yang menggelorakan ummatnya untuk terus berjuang jihad fisabilillah melawan penjajah kafir benar benar telah terbenam dalam buku ini..
Belajar dari ini semua, perlu kiranya bagi mereka yang memahami sejarah untuk bisa menulis ulang atau paling tidak menambahkan sejarah yang telah ditulis oleh rezim orde baru itu sekaligus juga bisa dijadikan sebagai bahan pembanding. Minimnya menempatkan kiprah umat Islam dalam sejarah bangsa Indonesia adalah sebuah ketidak adilan. Bagaimana mungkin Islam yang jumlahnya mayoritas dan pernah berjasa besar dalam memerdekakan negeri ini justru informasinya sengaja ditutup tutupi ? Bagaimana mungkin perlawanan disana sini yang didalamnya banyak terdapat teriakan takbir seperti hilang bagaikan kabut ? Apakah umat Islam justru dianggap sebagai pelaku utama yang merusak "tinta emas" sejarah ?
Menulis sejarah itu perlu kejujuran dan keberanian dalam mengungkap fakta dan data, jangan karena berada di lingkaran kekuasaan sejarah yang ditulispun berdasarkan keinginan si pemenang...padahal suatu waktu si pemenang akan kalah secara alamiah berpindahnya kekuasaannya, sedangkan tulisan yang telah dia buat akan terus dibaca, dipercaya dan boleh jadi akan diikuti dan dicontoh isinya oleh generasi mendatang, bagus jika memang isinya sesuai fakta dan data, namun akan sangat berbahaya jika isinya "benar sefihak" hanya karena berdasarkan keinginan sesaat dari si penulis dan pesanan dari penguasa.
Saya tidak benci dengan Jenderal Soeharto apalagi beliau sudah wafat, mungkin dulu masa orde baru saya termasuk golongan garis keras dalam menentangnya, namun itu semua sudah selesai setelah beliau wafat...saya hanya menyayangkan ketidaklengkapan sejarah yang pernah ditulis pada masanya....semoga ini menjadi pelajaran bagi kita semua...jika ingin mengungkap sejarah, tulislah berdasarkan hati nurani, kejujuran, keterbukaan dan merdeka tanpa dipengaruhi oleh siapapun..