Pada pertengahan kedua abad ke VII Masehi (tahun 683 M) untuk beberapa tahun lamanya sejarah Islam memperoleh corak yang lain. Dunia Islam mengenal Muawiyah bin Abi Sufyan. Ia bukan terkenal karena keturunan orang Sholeh, bukan karena ilmu agama atau ketekunannya beribadah, bukan karena jasa-jasanya dalam perjuangan menegakkan Islam seperti Khalifah Abu Bakar Ra, Khalifah Umar Ra, Khalifah Usman Ra, Khalifah Ali Ra, melainkan karena hal-hal lain yang memang patut dikenal. Antara lain :
Pertama : Bersama ayahnya Abu Sufyan bin Harb, ia memerangi Nabi dan kaum muslimin dalam perang Badr, perang Uhud dan perang Ahzab.
Kedua : ia bersama ayahnya ayahnya memeluk Islam pada hari jatuhnya kota Mekkah ke tangan kaum muslimin, yaitu detik-detik dimana dua orang ayah dan anak harus memilih, mati atau masuk Islam.
Ketiga : Dengan kekerasan senjata ia merebut kekhalifahan dari tangan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib Ra.
Itulah Muawiyah yang dikenal sejarah. Muawiyah bin Abi Sufyan, atau sebutlah Muawiyah I.
Akan tetapi disamping Muawiyah itu ada pula Muawiyah lain yang tidak hidup sezaman dengan Muawiyah I, tetapi mempunyai hubungan darah dengannya secara langsung. Muawiyah yang lahir pada zaman belakangan itu bukan lain adalah anak lelaki Yazid bin Muawiyah. Untuk membedakan Muawiyah anak Yazid dan Muawiyah ayah Yazid, Muawiyah bin Yazid diberi nama Muawiyah II. Meskipun Muawiyah II mempunyai hubungan darah langsung dengan ayah dan kakeknya, tetapi menurut kenyataannya persamaan darah tidak menentukan watak, perangai dan akhlak.
Muawiyah I memang jauh lebih cerdik dan lebih cerdas dibandingkan ayahnya, Abu Sufyan. Sedangkan Yazid melebihi ayahnya bukan dalam hal kecerdikan dan kecerdasan, melainkan dalam hal kedunguan dan kenaifan berfikir. Tak usah kita persoalkan lagi kelebihannnya dalam hal kemaksiatan, dialah yang menjadi aktor utama pembantaian terhadap Sayyidina Husein Ra dan anak-anaknya di Karbala. Lain halnya dengan Muawiyah II, ia sangat berlainan dengan ayah maupun kakeknya. Berlainan dalam segala hal mulai dari tabiatnya, perangainya, akhlaknya dan cara berfikirnya. Sebut sajalah 180 derajat berlainan dengan ayah maupun kakeknya. Atau katakanlah perbedaannya seperti bumi dan langit.
Muawiyah II terkenal sebagai anak muda yang patuh kepada ketentuan agamanya, berkelakuan sopan dan berpendidikan tinggi. Berbagai literatur sejarah Islam mengemukakan, masa kekuasaan Muawiyah II sangat singkat, hanya 40 hari. Akan tetapi dalam waktu yang sesingkat itu ia meninggalkan kesan yang sangat mendalam di kalangan kaum muslimin. Ia diangkat ke singgasana kekuasaan untuk menggantikan ayahnya, Yazid, setelah meninggal dunia. Empat puluh hari kemudian atas kemauannya sendiri ia melepaskan istana kemegahan dan kemewahan. Peristiwanya memang mengejutkan dan dramatis, tetapi itulah yang terjadi.
Pada suatu hari Muawiyah II dalam kedudukannya sebagai “Khalifah” atau sebagai raja, memerintahkan orang banyak supaya berkumpul di dalam masjid raya Damaskus. Setelah masjid penuh sesak dengan pengunjung, datanglah Muawiyah II dan langsung menuju ke mimbar. Beberapa saat lamanya ia memandang ke arah hadirin dengan air muka tenang campur bayangan sendu menggambarkan keprihatinan dan derita batin. Semua hadirin bertanya-tanya dalam hati masing-masing. Apakah yang hendak dikatakan oleh pemegang kekuasaan ummat Islam itu ? Namun tidak seorang di antara mereka yang dapat menjawab pertanyaanya sendiri. Sesaat kemudian, setelah mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT dan selamat sejahtera kepada Nabi Muhammad SAW.....”Khalifah” yang masih muda belia itu berkata dengan mantap :
“Hai kaum Muslimin. Ketahuilah bahwa aku sesungguhnya bukanlah orang yang merasa senang karena diangkat sebagai Khalifah. Aku sama sekali tidak mempunyai keinginan memerintah kalian. Sebab aku menyadari bahwa kalian itu sebenarnya tidak menyukai diriku, karena kalian tahu benar bahwa kakekku Muawiyah Rahimahullah, telah merebut kekhalifahan dari seorang yang sebenarnya lebih utama daripada kakekku sendiri, karena orang itu bersama selalu dengan Rasulullah SAW dan dia pun seorang yang paling dini memeluk Islam. Kakekku telah merebut kekhalifahan dari seorang yang paling mulia di kalangan kaum Muhajiirin. Ia terkenal sebagai pria yang gagah perkasa, luas ilmu pengetahuannya dan teguh keimanannya. Ia adalah saudara misan dan menantu Rasulullah SAW, suami Fatimah Az-Zahra, dan ayah dua orang penghuni surga, Al-Hasan dan Al Husein Ra. Orang itu ialah Ali bin Abi Thalib.”
Sampai pada kalimat tersebut Muawiyah II berhenti sejenak, menatapkan pandangan matanya ke arah hadirin, seolah-olah ingin mengetahui bagaimana tanggapan mereka, tetapi tak seorang pun yang menjawab dan suasana tetap tenang. Orang masih terkejut mendengar perkataan yang sama sekali tidak terduga sebelumnya.
Lebih lanjut Muawiyah II berkata lag :
“Aku merasa tak perlu mengulangi cerita itu. Kalian semua mengetahui apa yang telah terjadi antara kakekku dan Ali bin Abi Thalib hingga berakhir dengan beralihnya kekuasaan dan pimpinan umat Islam dari tangan Ali bin Abi Thalib Ra ke tangan kakekku. Ketika ajal kakekku tiba ia meninggalkan segala kekuasaannya. Di tempat peristirahatannya yang terakhir kakekku dilakukannya selama hidup di dunia. Setelah kakekku wafat kekuasaaan umat Islam pindah ke tangan ayahku, Yazid. Itu adalah hasil hawa nafsu kakekku yang telah mengangkatnya sebagai penggantinya.”
“Sebenarnya ayahku tidak layak menjadi Khalifah memimpin Umat Muhammad SAW karena tingkah lakunya yang buruk. Kemudian karena dorongan hawa nafsunya ayahku sampai berani melakukan perbuatan yang amat tercela terhadap cucu Rasulullah SAW. Mungkin karena itulah Allah menghendaki kekuasaan ayahku tidak berlangsung lama. Sekarang ia berada di liang lahat menantikan hukuman Allah yang akan dijatuhkan atas kejahatan yang telah diperbuatnya...”
Untuk beberapa saat lamanya ia berhenti menahan gejolak perasaannya sehingga air matanya tampak berlinang-linang. Sebagai anak ia merasa iba dan kasihan kepada ayahnya karena ia yakin, bahwa ayahnya akan menerima hukuman Allah SWT, atas semua perbuatan yang dilakukannya selama hidup di dunia. Setelah gejolak perasaannya mereda ia meneruskan pembicaraannya dengan suara bernada rendah :
“Sekarang aku orang ketiga yang menerima kekuasaan atas umat Islam setelah terlepas dari tangan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib Ra. Menurut fikiran dan perasaanku, sebagian besar kaum muslimin tidak menyukai diriku. Demi Allah, aku tidak bersedia memikul dosa atas perbuatan kalian di masa lalu, dan aku pun tidak mau turut bertanggung jawab di hadapan Allah karena itu, sekarang juga kekuasaan kukembalikan kepada kalian. Terserahlan siapa yang akan kalian pilih sebagai Khalifah.”
Kalimat-kalimat yang diucapkannya paling belakangan itu tenggelam di tengah-tengah suara gaduh hadirin yang menggema di ruangan masjid yang luas itu. Satu sama lain saling mengemukakan pendapat dan tanggapannya. Akan tetapi karena pernyataan Muawiyah II itu dikemukakan secara mendadak, orang pada umumnya masih tertegun keheran-heranan dan tidak tahu bagaimana menanggapi pernyataan itu dengan tepat. Pernyataan Khalifah Muawiyah II itu sungguh diluar dugaan mereka.
Seorang tua bekas tokoh Bani Umayyah yang cukup terkenal, Marwan bin Al-Hakam, yang saat itu duduk di dekat mimbar berusaha meredakan kegaduhan dengan menghimbau Muawiyah II supaya mencabut kembali pernyataannya. Akan tetapi belum selesai ia berkata, sudah ditegur oleh Muawiyah II dengan suara membentak :
“Enyahlah engkau ! Apakah engkau hendak menipu diriku supaya aku menghianati agamaku ? Demi Allah, aku tidak pernah sedetik pun merasakan kenikmatan sebagai Khalifah, bahkan sebaliknya, yang kurasakan hanyalah kepahitan belaka ! “
Hadirin bertambah bingung dan keheran-heranan, karena selama ini mereka mengenal Muawiyah II sebagai orang muda yang selalu lembut tutur katanya, tetapi kali ini mereka mendengar sendiri ucapannya yang keras dan tegas. Tanpa menghiraukan kegelisahan hadirin, Muawiyah II turun dari mimbar dan langsung pulang ke tempat kediamannya. Tidak berapa lama setelah itu para anggota keluarga dan ibunya masuk ke dalam kamar Muawiyah II yang sedang menangis. Melihat Muawiyah II sedang menangis terisak-isak, ibunya menegur dengan ucapan yang sangat menusuk perasaan :
“Aduh......seandainya engkau masih berupa segumpal darah, pasti akan kegugurkan kandunganku, dengan begitu aku tidak akan pernah mendengar riwayatmu seperti sekarang ini...”
Anak yang patuh itu tampaknya sudah tidak dapat dicegah lagi kebulatan tekadnya, karena itu tanpa meninggalkan sikap hormat kepada ibunya ia menjawab :
“Memang benar apa yang ibu katakan. Aku sendiri sebenarnya tidak ingin Ibu lahirkan, sebab akan celakalah aku bila tidak memperoleh rahmat dan ampunan Ilahi.”
Peristiwa yang dramatis itu belum reda sudah disusul dengan peristiwa lain yang tidak kalah aneh. Orang-orang Bani Umayyah yang menjadi andalan Muawiyah I dan Yazid sangat terkejut mendengar pernyataan Muawiyah II. Mereka tidak dapat mengerti mengapa Muawiyah II sampai berpendirian seperti itu. Pernyataan yang menyanjung-nyanjung Sayyidina Ali Ra, dan mengecam pedas Muawiyah I dan Yazid dipandang oleh mereka sangat merugikan kabilah Bani Umayyah dan kekuasaan yang semestinya harus dipertahankan. Mereka menduga sikap Muawiyah II yang demikian itu tidak mencerminkan kemauannya sendiri, tetapi hanya terpengaruh oleh gurunya yang bernama Umar Al Maqsus. Oleh karena itu kemarahan mereka ditumpahkan kepada Al-Maqsus, bukan kepada Muawiyah II yang mereka anggap masih hijau.
Al-Maqsus yang sebenarnya tidak tahu duduk perkara yang sebenarnya tiba-tiba diseret dan dibanjiri berbagai tuduhan oleh orang-orang Bani Umayyah :
“Rupanya engkaulah yang selama ini mengajarkan dan menanamkan rasa cinta kasih kepada Ali bin Abi Thalib sehingga Muawiyah II bersikap seperti sekarang ini.”
Umar Al-Maqsus dengan keras membantah tuduhan mereka, tetapi sia-sia. Makin keras ia membantah tuduhan, makin keras pula kemarahan mereka dan semakin kalap. Akhirnya mereka melampiaskan kemarahannya dengan menganiaya dan menyiksa guru yang malang itu, Ia dikeroyok dan dipukuli sedemikian hebat hingga luka parah dan memar. Akan tetapi orang-orang Bani Umayyah belum merasa puas. Dalam keadaan merintih kesakitan dan tak berdaya Al Maqsus dimasukan kedalam liang dan dikubur hidup-hidup.
Akan tetapi, apapun yang dilakukan orang-orang Bani Umayyah, sama sekali tidak merubah pendirian Muawiyah II. Melihat tantangan dan perlawanan orang-orang sekabilahnya, Muawiyah II mengucilkan diri secara total di istananya. Ia tidak mau mau bertemu dengan siapapun. Mungkin dengan cara seperti itu dipandang lebih baik baginya untuk menghindari kemungkinan terjadi keributan lebih besar bila secara resmi ia mengundurkan diri. Beberapa hari setelah mengucilkan diri ia wafat dalam usia masih sangat muda, 21 tahun.
Usia Muawiyah II memang pendek sekali dan masa kekuasaannya pun hampir tidak mengakibatkan adanya perubahan apapun juga, namun kekuasaanya yang sesingkat itu tetap menjadi kenangan indah dalam sejarah kehidupan ummat Islam.
Kisah Muawiyah II sekali lagi mengajarkan kepada kita bahwa jika Allah akan memilih seseorang untuk memperoleh hidayah, maka siapapun dia, maka Allah lah yang mempunyai kuasa...Sekalipun dia anak dari seorang penentang agama, seperti Ikrimah anak Abu Jahal, atau Muawiyah II anak Yazid, maka hidayah Allah lah yang berbicara...
Wallahu A'lam Bisshowwab..
Sumber :
HMH Al-Hamid Al Husaini. Al-Husain bin Ali Pahlawan Besar Islam Pada Zamannya, Semarang : Toha Putra, 1978, hlm 411 - 416