Salah satu tokoh besar Bangsa Indonesia yang sampai saat ini menurut kami jarang ada “tandingannya” adalah HOS Tjokroaminoto. Berbicara tentang HOS Tjokroaminoto seolah kita sedang bicara tentang “Pabrik” penghasil para pemimpin bangsa. Dari didikannya telah banyak lahir para tokoh-tokoh pemimpin dengan berbagai aliran pemikiran, dari yang mulai nasionalis, komunis, sosialis, religius, dan cabang pemikiran lain baik itu pemikiran “kiri” ataupun “kanan” seperti yang kami ungkapkan tadi. Disamping dalam bidang pemikiran, HOS COKROAMINOTO ini juga menularkan ilmunya dalam bidang sejarah dan juga beliau juga telah menanamkan ajaran-ajaran “perlawanan” yang kemudian hari ajaran tersebut mampu menciptakan manusia tangguh.
Salah satu kata mutiara yang terkenal dari HOS adalah : Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat. Ini menggambarkan suasana perjuangan Indonesia pada masanya yang memerlukan tiga kemampuan pada seorang pejuang kemerdekaan.
Beberapa muridnya yang selama ini kita kenal dalam penulisan sejarah misalnya :
Soekarno : Beliau adalah salah satu murid yang paling disayang HOS. Selama menjadi “santri” HOS, Soekarno paling sering “ngintil” kemanapun HOS pergi. Soekarno bahkan orang yang sangat “santri” dihadapan Tjokroaminoto, selama Tjokroaminoto mengajar atau bertemu dengan koleganya diberbagai tempat, Soekarno selalu duduk didepan kaki HOS, karena rasa hormatnya kepada HOS. Soekarno sendiri sangat fanatik pada sosok HOS ini, Dalam pidatonya tanggal 1 Maret 1966 pada acara pembukaan Kongres Gerakan Wanita Partai Syarikat Islam Indonesia (Gerwapsi) di Istora Senayan, Soekarno sempat mengatakan : “I try to live up, I try to live up to the teaching of Tjokroaminoto” yang dalam penjelasanya adalah : “saya mencoba, mengikuti, bukan saja Tjokroaminoto, tetapi segala ajaran Tjokroaminoto, aku coba, aku ikhtiarkan, aku usahakan, aku laksanakan, oleh karena aku kagum kepada guruku yang bernama Haji Oemar Said Tjokroaminoto[1]. Di akhir hidupnya Soekarno yang nasionalis ini mengalami kisah yang cukup tragis, beliau “dikurung” oleh sebuah rezim yang tidak menginginkan nama besarnya muncul pada masa itu. Disamping sebagai seorang Presiden Soekarno juga dikenal banyak menghasilkan banyak tulisan, seperti buku Di Bawah Bendera Revolusi, beliau juga banyak menerima gelar Doktor Honoris Causa.
Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo : Beliau salah satu “santri” yang juga cukup dekat, menurut Suwelo Hadiwijoyo[2] pada waktu dirumah HOS, Kartosuwiryo mempelajari banyak ilmu agama, Kartosuwiryo bahkan pernah menjadi sekretaris pribadi HOS. HOS sendiri pada waktu itu terkenal sebagai figur yang memiliki pengetahuan ilmu agama yang sangat luas. Pada waktu itu Kartosuwiryo sempat menjadi sosok pemuda yang Islam minded, yaitu sosok pemuda yang hanya berfikir dan bersikap menggunakan sudut pandang Islam. Ditangan HOS Kartowiryo menjadi seorang kader Syarikat Islam yang tangguh dan selalu diandalkan. Di kemudian karto menjadi seorang “pemberontak” terhadap pemerintahan Orde Lama yang dipimpin oleh “saudaranya” sendiri. Hidup beliau berakhir tragis setelah dieksekusi oleh Militer. Sampai sekarang kami sendiri masih tidak yakin jika Bung Karnolah memberikan “perintah” tembak mati untuk Kartosuwiryo ini, mengingat kedekatan hubungan mereka pada masa sama-sama menjadi santri HOS. Secara politik memang idiologi mereka berbeda, namun secara hubungan pribadi tetap saja hubungan mereka baik itu karena pembinaan kader yang telah berhasil ditanamkan HOS kepada mereka.
Semaun, Musso, Alimin : tadinya mereka adalah murid-murid HOS yang cukup dekat, namun kemudian setelah beberapa tahun justru mereka telah mengadakan “perlawanan” terhadap gurunya tersebut. Jika Semaun lebih banyak berkecimpung di luar negeri terutama di Uni Soviet pasca pemberontakan PKI ditahun 1926/1927, maka Musso dan Alimin masih lebih banyak melakukan melakukan kegiatan di negeri sendiri. Semaun, Alimin dan Moesso tentu saja juga merupakan “murid” dari HOS Tjokrominoto karena sewaktu di Surabaya mereka pernah mondok di rumah HOS Tjokroaminoto dan belajar banyak darinya. Mereka bertiga Semaun, Musso, Alimin walaupun pernah menjadi “santri” ternyata dikemudian hari telah mengadakan “perlawanan” terhadap gurunya sendiri karena merasa gurunya sudah tidak bisa memahami kondisi perjuangan pada masa itu sesuai dengan pemahaman mereka. Bahkan menurut Safrizal Rambe[3] Peran mereka paling besar dalam konflik antara PKI dengan SI pimpinan Tjokroaminoto adalah dalam pergolakan masyarakat Banten. Mereka berhasil memprovokasi masyarakat Banten dan terutama SI Banten untuk mengganti kedudukan Tjokroaminoto pada tahun 1923. Hal ini dianggap sebagai dampak dari ketidakmampuan SI dalam mengakomodir tantangan radikalisme masyarakat Banten pada waktu itu. Radikalisme masyarakat Banten yang berujung pada pemberontakan itu dengan lihai berhasil ditunggangi oleh PKI. Selain itu, Alimin dan Moesso juga pernah mengusulkan untuk mengubah nama SI menjadi Sarekat Hindia. Namun hebatnya HOS menghadapi mereka sangat tenang dan tidak reaksioner, dengan penuh hati-hati HOS mungkin karena merasa, bahwa betapapun sikap mereka pada dirinya, HOS masih tidak lupa bahwa mereka itu adalah murid-muridnya juga yang mungkin dianggapnya “nakal” dalam hal pemikiran dan Perjuangan. Setelah pasca pemberontakan 1926/1927 Alimin Musso melarikan ke Singapura, Musso yang sempat menetap di Moscow datang lagi ditahun 1948 dan kembali mengadakan gerakannya, namun berhasil ditumpas.
KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma : Hal yang sangat mengejutkan kami adalah, ternyata diantara sekian banyak muridnya, ada satu murid beliau yang kelak nanti mampu menggelorakan semangat perlawanan di Jayakarta atau Jakarta atau Betawi. Siapakah muridnya itu? Tidak lain dan tidak bukan beliau adalah KH RATU BAGUS AHMAD SYAR’I MERTAKUSUMA (penyusun kitab Sejarah dan Silsilah Jayakarta). HOS sendiri yang kami ketahui banyak melakukan berbagai perjalanan keberbagai daerah di Nusantara dan juga luar negeri, perjalanan itu ada yang tertulis adapula yang tidak tertulis, namun beberapa informasi itu disimpan oleh beberapa muridnya. Kami sendiri sempat kaget ketika membaca kembali biografi KH RATU BAGUS AHMAD SYAR’I MERTAKUSUMA ini, karena jelas-jelas dalam biografi yang ditulis oleh satu cucunya yang bernama Babe Gunawan Mertakusuma juga merupakan ahli sejarah Jayakarta/Jakarta, bahwa salah satu guru dari KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i adalah HOS Tjokroaminoto. Jelas ini menjawab berbagai pertanyaan kami selama ini, siapa sajakah dibalik perlawanan KH RATU BAGUS AHMAD SYAR’I MERTAKUSUMA inI, ternyata dia adalah HOS Tjokroaminoto[4]. KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma adalah sosok yang misterius dalam sejarah Jayakarta (atau sengaja dimisteriuskan fihak penjajah dan antek-anteknya ?). KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma adalah Pelopor Gerakan Pituang Pitulung/Pitung (Gerakan 7 Pendekar Penolong Rakyat), bersama 7 Pendekar Pitung beliau bersama-sama menggelorakan perlawanan terhadap penjajah Belanda, KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i juga merupakantokoh kunci “pemberontakan” Ki Dalang Tahun 1924 di Tangerang (lengkap tercatat di Kitab Al Fatawi), beliau juga merupakan penasehat MH Thamrin, beliau juga salah satu buruan penjajah paling dicari sejak tahun 1924 sampai pada masa pasca kemerdekaan, beliau juga salah satu tokoh yang paling pedas mengkritik sumpah pemuda 1928 di negeri Betawi (tercatat dalam sejarah yang ditulis cucunya), beliau juga penulis sejarah dan silsilah yang produktif, beliau memang seorang yang rajin menulis dan seorang kutu buku. Tentu Strategi perlawanan yang dilakukan KH Ahmad Syar’i Mertakusuma karena adanya ajaran HOS, dan tentu KH Ahmad Syar’i Mertakusuma belajar langsung kepada HOS dengan mendatangi beliau, apalagi KH Ahmad Syar’i ini adalah seorang “pengembara” yang hidupnya selalu berpindah-pindah karena selalu dicari-cari belanda. Beliau adalah sosok yang paling membenci pribumi yang telah bekerjasama dengan penjajah. KH Ahmad Syar’i Mertakusuma akhirnya wafat di tahun 1959 di Palembang Sumatra Selatan dan dimakamkan di Puncak Sekuning. Beliau wafat posisi “kesendirian” dalam kondisi memegang teguh prinsip perjuangan. Sekalipun hidupnya selalu “diintip” penjajah namun nilai-nilai perjuangan terus beliau tanam kepada semua anak cucunya.
Sayyid Bahruddin bin Sayyid Abdurrozaq Azmatkhan [5] : Yang juga tidak kalah mengejutkan, Sayyid Bahruddin yang dikenal sebagai ulama ahli nasab keturunan Walisongo yang lahir tahun 1899 Masehi dan berasal dari Banyuwangi Jawa Timur juga merupakan satu dari sekian banyak murid dari HOS yang cukup “bersinar” namun tidak terlalu dikenal dalam “sejarah formal”. Beliau memang sengaja dipersiapkan HOS untuk tidak banyak bicara namun tugas beliau adalah menyimpan dan menulis berbagai macam data pemikiran HOS. Beliau bahkan banyak mencatat ajaran dan beberapa pemikiran dari HOS, bahkan Sayyid Bahruddin banyak memegang Sanad keilmuan yang dimiliki oleh HOS ini. HOS Tjokroaminoto memang selama ini lebih banyak dikenal sebagai politikus ulung, padahal sebenarnya beliau ini adalah juga seorang ulama yang multi dimensi, ini terbukti ketika Kartosuwiryo datang, beliau khusus belajar ilmu agama kepada HOS. HOS pada masa itu memang dikenal banyak memiliki kemampuan agama yang cukup luas. Salah satu bidang ilmu yang diwariskan oleh HOS kepada Sayyid Bahruddin adalah Ilmu Sejarah dan Ilmu Nasab (disamping juga ada beberapa sanad keilmuwan lain). Jika melihat kemampuan Sayyid Bahruddin dalam meneliti sejarah, meneliti nasab, menjaga penulisan sejarah dan menjaga pemeliharaan nasab khususnya Walisongo secara sistematis dan terbatas, jelas beliau Sayyid Bahruddin telah berhasil menjalankan tugas yang diemban dari gurunya itu. Jelas HOS telah mempersiapkan murid-muridnya secara cerdas. HOS tentu melihat jika bakat Sayyid Bahruddin ini lebih cocok pada bidang penulisan dan penyimpanan data, karena diantara semua muridnya, Sayyid Bahruddin memang lebih condong pada dunia keilmuwan ketimbang terjun langsung pada dunia politik, sekalipun Sayyid Bahruddin faham tentang dunia politik, namun beliau lebih dipercaya untuk lebih banyak menyimpan sebagian besar data-data yang dimiliki HOS, disamping itu HOS juga menginginkan ada satu orang muridnya yang kiranya bisa menjaga kerahasiaan data yang dimilikinya tersebut, sehingga sangat wajar jika Sayyid Bahruddin ini juga masuk sebagai salah satu diantara sekian murid yang dipercaya oleh HOS. Sampai akhir hayatnya Sayyid Bahruddin banyak menyimpan data-data yang disampaikan oleh HOS dan juga beberapa ulama besar lainnya. Beliau hidup dan wafat dalam kondisi sederhana dan cenderung lebih banyak menyembunyikan diri (mastur). Sayyid Bahruddin sendiri banyak mewariskan berbagai tulisan-tulisan yang cukup penting dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan yang kini disimpan oleh keluarganya di Banyuwangi Jawa Timur.
HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) : Salah satu murid terbungsu dari HOS adalah Hamka. Beliau adalah tokoh besar Islam pada bangsa ini, beliau selain ulama juga sastrawan. Ulama yang satu terkenal tegas dan konsekwen dalam memegang prinsip keagamaan, pada saat menjadi Ketua MUI beliau dengan tegas menolak intervensi pemerintah Orde Baru mengenai keputusan MUI mengenai salah satu Fatwa, bahkan ketika menyikapi Revolusi Iran, beliau juga menyikapinya dengan tegas pada beberapa aspek. Mengenai hubungannya dengan HOS, beliau pernah menuliskannya dengan perkataan :“Saya tidak dapat melupakan almarhum HOS Tjokroaminoto yang telah menunjukkan pandangan Islam dari segi ilmu pengetahuan barat, ketika beliau mengajarkan kepada saya tentang “Islam & Sosialisme” ketika saya datang ke Yogya tahun 1924[6] Dalam bidang keilmuan dan penulisan Hamka telah banyak menulis buku-buku dari berbagai bidang. Mulai dari pendidikan, tasawuf, filsafat, tafsir, akhlak, sejarah roman dan lainnya. Diantara judul-judul bukunya yang banyak tersebut antara lain adalah : Tasawuf Modern, Filsafat Hidup, Lembaga hidup, Tafsir Al Azhar, Lembaga Budi, Ayahku, Sejarah Umat Islam, Revolusi Agama, Revolusi Pemikiran, Studi Islam, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Dibawah Lindungan Ka’bah dan Pandangan Hidup Muslim.
Mungkin yang jadi pertanyaan sekarang adalah, mengapa mereka ini bisa berkumpul bersama dalam satu wadah perjuangan, idiologi dan cita-cita? Terutama mereka yang telah mau melanjutkan ajaran-ajaran dan nasehat dari HOS Tjokroaminoto ini?
Tidak lain dan tidak bukan karena didalam diri mereka, ada kesamaan nasab yang saling berhubungan. Secara tidak mereka ketahui, nasab telah mendekatkan mereka pada sebuah hubungan yang “unik”. Siapa sangka ternyata mereka itu satu garis keturunan, padahal mereka berasal dari wilayah yang jauh. Namun itulah keunikan dunia ilmu nasab, banyak hal-hal yang kadang sulit ditebak.
Dalam catatan Sayyid Bahruddin bin Sayyid Abdurrozaq Azmatkhan [7] mengenai siapa saja leluhur dari mereka adalah sebagai berikut :
HOS Tjokroaminoto, leluhurnya adalah Ki Ageng Hasan Besari, seorang ulama besar yang merupakan ulama pendukung setia Pangeran Diponegoro. Ki Ageng Hasan Besari yang merupakan leluhur HOS adalah keturunan dari Panembahan Wirasmara bin Sunan Prawoto bin Sultan Trenggono bin Raden Fattah. Raden Fattah adalah Pendiri Kesultanan Demak, kekhilafahan Islam Pertama di Pulau Jawa. Ki Ageng Hasan Besari sendiri adalah ulama karismatik dan sosok yang sangat dihormati Pangeran Diponegoro.
Soekarno, yang juga merupakan murid terdekat dari HOS, leluhurnya juga merupakan keturunan Raden Fattah yang juga merupakan leluhurnya HOS. Kebanyakan leluhurnya Soekarno ini banyak yang merupakan pemimpin dalam bidang pemerintahan.
Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, yang belajar intensif kepada HOS terutama bidang agama, ternyata juga keturunan Raden Fattah. Leluhur Kartosuwiryo adalah Aria Penangsang atau Aria Jipang bin Pangeran Sekar Seda Lepen bin Raden Fattah. Darah Islamnya yang kental berasal dari para leluhurnya itu, Aria Penangsang adalah seorang Penganut Islam yang tegas dan konsekwen dan juga merupakan seorang mursyid. Pangeran Sekar Seda Lepen atau Sayyid Ali adalah salah satu santri angkatan pertama yang terbaik dari Sunan Kudus. Leluhur dari Kartosuwiryo ini banyak yang merupakan pejuang dan juga ulama.
KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma, leluhurnya adalah Aria Penangsang atau Aria Jipang bin Pangeran Sekar Seda Lepen bin Raden Fattah. Beberapa anak Aria Penangsang yang di Jayakarta banyak menurunkan banyak pejuang Jakarta seperti Raden Ateng Kertadria (Pahlawan Perang pecah Kulit), Aria Wiratanudatar (Bupati Cianjur yang telah hijrah dari Jayakarta), Syekh Junaid Al Batawi, Guru Mansur, Syekh Abdul Ghani Kayu Putih, Anggota Pitung dan juga KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma sendiri. Leluhur-leluhur Kyai Ratu Bagus Ahmad Syar’i ini banyak yang menjadi ulama plus menjadi pencatat sejarah dan silsilah tokoh-tokoh Jayakarta/Jakarta.
Sayyid Bahruddin , leluhurnya berasal dari Sunan Kudus, sedangkan pertautan nasabnya juga ada yang berasal dari Raden Fattah, karena salah satu leluhurnya yang bernama Sayyid Amir Hasan bin Sunan Kudus telah menikah dengan anak raden Fattah yang bernama Dewi Ratih binti Raden Fattah. Beberapa keturunan Sunan Kudus yang satu nasab dengan Sayyid Bahruddin adalah Mbah Kholil Bangkalan Madura yang merupakan pakunya ulama Jawa pada masa itu. Sayyid Bahruddin juga merupakan murid dari Mbah Khollil Bangkalan ini. Banyak leluhur Sayyid Bahruddin ini yang merupakan ulama-ulama besar pada masa lalu.
Hamka, leluhurnya adalah Sultan Minangkabau yang merupakan keturunan dari Sunan Giri bin Maulana Ishak Azmatkhan. Sultan Minangkabau Hijriah dari Jawa menuju Minangkabau untuk melakukan penyiaran agama Islam. Keturunan beliau di Minangkabau banyak yang menjadi ulama-ulama besar termasuk leluhurnya HAMKA.
SUMBER
[1] Raharjo, Iman Toto K, & Suko Sudarso, Bung Karno, Islam, Pancasila, NKRI, Jakarta : Penerbit KNRI (Komunitas Nasionali Religius Indonesia, 2006, hlm 543.
[2] Hadiwijoyo, Suwelo, Kahar Muzakar & Kartosuwiryo - Pahlawan atau Pemberontak, Jogyakarta: Penerbit Palapa, 2013, hlm 124-125,
[3] Rambe, Safrizal, Syarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905 – 1942, Jakarta: Penerbit Yayasan Kebangkitan Islam Cindekia, 208, hlm 107.
[4] Mertakusuma, Ratu Bagus Gunawan, Catatan-Catatan Perjalanan Hidup Saya & Intisari Kitab Al Fatawi, Jakarta: Penerbit Al Fatawi, 1983, hlm 4.
[5] Al Fattah, Iwan Mahmud & Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan, Sayyid Bahruddin, Mutiara Dari Banyuwangi, Jakarta : Penerbit Madawis, 2015.
[6] Hamka, Falsafah Hidup, Jakarta : Penerbit Ummida, 1981, hlm 1.
[7] Azmatkhan, Sayyid Bahruddin bin Sayyid Abdurrozaq, Al Mausuuah Li Ansaabi Al Imam Al Husaini, Jakarta: Penerbit Madawis, Edisi II, Vol 24, 2014.