Menulis Sejarah Islam Berdasarkan Fakta & Data, Cp 08179803186, FB : Iwan Mahmoed Al Fattah II & III
Rabu, 09 September 2020
NASIB ORANG-ORANG YANG TERLIBAT PADA PEMBUNUHAN AL HUSAIN BIN ALI BIN ABI THALIB RA
Selasa, 08 September 2020
MENGENAL PEMBUNUH KHALIFAH ALI RA, ABDURRAHMAN BIN MULJAM AL MURADI AL HIMYARI, “SI MANUSIA PALING CELAKA”
(Seri Sejarah Keluarga Nabi Muhammad SAW)
Oleh : Iwan Mahmoed Al Fattah
Sosok yang
akan kita bicarakan disini sebenarnya sudah banyak yang menulisnya, namun
demikian tak ada salahnya jika sejarahnya kembali kita ulas dengan tujuan untuk
menjadikannya sebagai pelajaran sejarah yang berharga, mengingat ditangannya
telah syahid salah seorang Khalifah ke 4 yang juga menantu dari Nabi Muhammad
SAW yaitu Sayyidina Ali bin Abi Thalib Ra. Beliau adalah sosok yang dikenal
sangat dekat dengan Rasulullah SAW dan banyak dicintai dan dihormati para
sahabat termasuk mereka-mereka yang tidak sependapat dengannya.
Pada saat
terbunuhnya Khalifah Ali bin Thalib Ra, beliau tinggal di kota Kufah. Kufah
sendiri adalah kora utama yang ada di Irak saat itu. Kota ini menjadi istimewa karena menjadi tempat tinggal para
sahabat Nabi, para tabi’in dan ulama soleh. Kufah ini menurut catatan Ibnu
Batutah dalam rihlahnya banyak berkaitan dengan Nabi-nabi terdahulu seperti
Nabi Ibrahim AS, Nabi Nuh AS, Nabi Idris
AS. Kelak setelah kematian Khalifah Ali
Ra. Anak dan cucunya akan dimakamkan di kota ini seperti Muslim bin Aqil bin
bin Abi Thalib serta cucunya yang
bernama Atikah dan Sakinah. Di kota inilah menjadi saksi bisu sejarah telah
terjadi sebuah tragedy pembunuhan yang dilakukan seorang manusia paling celaka
terhadap manusia mulia kecintaan Rasulullah SAW…dan pembunuh keji itu bernama
Abdurrahman bin Muljam Al Murodi Al Himyari.
Abdurrahman bin Muljam Al Murodi Al Himyari sendiri
dahulunya dikenal sebagai sosok yang baik, beliau dalam kehidupan awal
keislamannya bahkan pernah dipercaya oleh Khalifah Umar bin Khattab Ra untuk
mengajarkan Al Qur’an di masjid. Dia juga pernah belajar kepada sahabat Nabi
yang bernama Muadz bin Jabal Ra. Dia sendiri pada awalnya pernah merasakan
hidup jahiliiah. Ibnu Muljam baru mampu berhijrah di masa Khalifah Umar bin
Khattab Ra. Dalam riwayat kehidupannya Abdurrahman bin Muljam ini bahkan pernah
dikirim ke Mesir untuk membantu Gubernur Amr bin Al ‘Ash Ra dalam mengajarkan
Al-Qur’an. Ibnu Muljam bahkan pernah diberi gelar Al Muqri karena keahliannya
membaca Al-Qur’an. Di masa itu sosoknya selain dikenal baik, dia juga dikenal gemar
beribadah, rajin berpuasa, rutin melakukan sholat malam. Khalifah Umar bin
Khattab Ra bahkan dalam suratnya yang ditujukan kepada Amr bin Al Ash Ra mengatakan bahwa sosok
Abdurrahman bin Muljam adalah pribadi yang soleh dan meminta agar Amru bin Ash Ra memuliakannya.
Dengan adanya gambaran dari Khalifah Umar bin Khattab Ra,
kita bisa menilai bahwa sosok yang nantinya menjadi pembunuh Khalifah Ali bin
Abi Thalib Ra ini paling tidak latar belakangnya adalah orang baik. Ini tentu
merupakan hal sangat mengejutkan, betapa orang yang dahulunya soleh dan hidup
pada masa Sahabat Nabi tiba-tiba bisa berubah 180 derajat menjadi sosok yang
mengerikan. Kemana bacaan Al-Qur’annya yang selama ini dia ajarkan ke orang
banyak ? Apakah ibadah yang selama ini dilakukan tidak membekas sedikitpun
sehingga dia bisa berubah total seperti itu ?
Dari beberapa sumber yang saya pelajari, nampaknya perubahan
karakter seorang Abdurrahman bin Muljam terjadi ketika dia mulai bergaul dengan
orang-orang khawarij di wilayah Mesir saat itu. Saat itu faham Khawarij muncul
setelah timbulnya peristiwa Tahkim (Arbitrase) antara fihak Khalifah Ali Ra dan fihak
Muawiyah Ra. Tadinya Abdurrahman bin Muljam berada di fihak Khalifah Ali bin
Abi Thalib Ra, namun sejak dia mulai terjangkiti pemahaman yang sempit dari
orang-orang khawarij, maka sejak itu berubahlah karakternya yang tadinya sholeh
menjadi jahat. Sepertinya sosok Abdurrahman bin Muljam ini tidak seperti para sahabat
– sahabat yang pernah mendapat didikan langsung dari Nabi Muhammad SAW. Dalam
sejarahnya sendiri sepertinya Abdurrahman bin Muljam tidak mendapat didikan
langsung dari Nabi Muhammad SAW mengingat dia baru berhijrah di masa Umar bin
Khattab, sehingga sudah dapat dipastikan kualitas keislaman dan keislamannya
tidak sebanding dengan para sahabat Nabi Muhammad SAW yang lainnya. Kesholehan
dia sepertinya tidak ditopang dengan pengetahuan agamanya, ia mungkin seorang sekedar
pandai membaca Al-Qur’an namun untuk mampu menyelami lebih dalam seperti para
sahabat Nabi Muhammad SAW, sehingga bacaan Al-Qur’an yang dia miliki hanya
sebatas kerongkongan saja. Boleh jadi pula dia ini belum mencapai tahap
penghafal Al-Qur’an yang sesungguhnya
seperti halnya para sahabat Nabi. Untuk menjadi seorang penghafal Al Qur’an di
masa Nabi dan Sahabat itu terdiri dari orang-orang yang terbaik seperti Abu
Musa Al Asyari Ra, Abu Darda Ra, Zait bin Tsabit Ra, Abdullah bin Mas’ud Ra, Usman bin Affan Ra,
Ali bin Abi Thalib Ra, Ubai bin Kaab, dll. Sedangkan untuk Abdurrahman bin
Muljam terus terang kami pribadi sangsi
kalau dia merupakan penghafal Al-Qur’an seperti halnya para sahabat yang telah
kami sebutkan tersebut. Tidak menutup kemungkinan dia baru sebagian kecil menguasai
dan menghafal isi Al-Qur’an, namun karena kesolehannya saat itu sangat menonjol
maka bukan hal yang aneh kalau dia kemudian dipercaya Khalifah Umar bin Khattab
Ra untuk mengajarkan Al-Qur’an sesuai dengan kemampuan dengan pemahaman yang
dia miliki…
Hubungannya dengan khawarij memang cukup mengagetkan, namun
kenyataannya itu memang terjadi. Sejak pertama kali kemunculannya, faham Khawarij
memang cukup mengkhawatirkan persatuan ummat. Langkah Sayyidina Ali Ra untuk
menyelesaikan sengketa dengan Muawiyah bin Abi Sofyan Ra justru dipandang salah
oleh kaum ini, oleh karena itu mereka yang tidak setuju dengan adanya Tahkim kemudian
memisahkan diri dari kelompok Khalifah Ali Ra. Slogan yang sering diucapkan kaum
Khawarij adalah “LĀ HUKM ILLĀ LI ALLĀH”,
tidak ada keputusan kecuali keputusan Allah. Slogan inilah yang nantinya
diucapkan oleh Abdurrahman bin Muljam saat membunuh Khalifah Ali Ra. Kaum khawarij
berkesimpulan Khalifah Ali Ra dan Muawiyah Ra adalah fihak-fihak yang berdosa
(sebuah penilaian yang sangat tidak pantas apalagi ditujukan kepada sahabat
Nabi Muhammad SAW). Khawarij juga berpandangan bahwa hanya golongan merekalah
yang benar, sementara yang lain adalah salah dan wajib diperangi. Kebencian
yang begitu mendalam nampaknya lebih ditujukan kepada Khalifah Ali bin Abi
Thalib Ra, dan anehnya setiap kejahatan politik
yang dilakukan fihak Syam oleh khawarij
dipikulkan pertanggungjawabnya ke pundak Khalifah Ali Ra. Orang-orang khawarij terus berkampanye dan berpropaganda bahwa
Khalifah Ali Ra telah murtad dan menjadi kafir. Khalifah Ali bin Abi Thalib Ra
harus dilawan demi tegaknya hukum Allah, menurut mereka. Di mana-mana mereka
tidak bosan meneriakan slogan “TIADA HUKUM SELAIN HUKUM ALLAH”.
Ath-Thabari salah seorang penulis sejarah Islam mencatat
bahwa sebab munculnya khawarij dan alasan berpisahnya mereka dari pasukan Ali
adalah karena dangkalnya pengetahuan mereka tentang hakikat permasalahan, juga
tentang makna ayat Al-Qur’an, serta minimnya ilmu fikih dan pengetahuan mereka
terhadap ajaran pokok syariat dan agama. Dari penjelasan Ath-Thabari ini
akhirnya kita berkesimpulan bahwa betapa berbahayanya faham yang satu ini pada
waktu itu.
Berbagai cara dan cara sebenarnya sudah dilakukan Khalifah
Ali Ra untuk menyadarkan kaum ini. Namun
jerih payah Khalifah Ali Ra nampaknya tidak membawa hasil apapun juga hingga
akhirnya beliau pun bersikap tegas kepada kaum yang menyimpang ini. Kaum khawarij
sendiri bertahan sikapnya dengan tetap keras kepala dan menumpahkan semua
kesalahan kepada Khalifah Ali Ra. Dalam suatu dialog yang terjadi antara
Khalifah Ali Ra dan kaum khawarij, mereka tanpa tedeng aling menyatakan terus terang pendiriannya sebagai berikut:
“…kami bukanlah dari golongan kalian dan bukan pula dari orang-orang yang
menghendaki keduniaan seperti yang kalian inginkan. Hai Ali, jika engkau mau
mengakui dengan sadar bahwa engkau sekarang telah menjadi kafir, kemudian
engkau bersedia bertaubat sebagaimana kami telah bertaubat, barulah kami sudi
untuk bersatu lagi denganmu untuk menghadapi musuhmu. Kalau tidak, tidak ada
jalan lain kecuali pedang.
Kaum khawarij memang
pada akhirnya tidak pernah mau berdiam diri dan tidak pernah mau bertukar
pikiran untuk mencari kebenaran, bahkan terus menerus menantang dan mengancam
hendak melancarkan serangan bersenjata. Setiap orang yang tidak sefaham dengan
mereka dan diketahui bersimpati kepada Khalifah Ali Ra mereka bunuh dan mereka aniaya. Mereka
menetapkan hukum sendiri, bahwa setiap
orang yang tidak sependapat dengan mereka, halal ditumpahkan darahnya
dan dirampas segala miliknya.
Cara berpikir khawarij yang serba sempit ini dapat dilihat
dalam surat yang ditulis Ali ibn Abi Thalib; “jelaskan kepada kami, alasan apa
yang menyebabkan kalian menghalalkan untuk memerangi kami dan membelot dari
jamaah. Mempersenjatai bekas hamba sahaya kalian dan menyerang orang-orang
dengan memenggal kepada mereka ? Sesungguhnya perbuatan ini adalah kerugian
yang sangat nyata. Demi Allah, seandainya kalian membunuh seekor ayam atas
dasar semua ini, pastilah dosanya sangat besar di sisi Allah, maka bagaimana
dengan membunuh nyawa manusia yang diharamkan oleh Allah.”
Perlu diketahui, kaum khawarij ini kebanyakan dari orang-orang
Arab Badui yang hidup di padang pasir dan keadaan yang serba keras, membuat
mereka bersifat sederhana dalam alam pikiran, keras dalam pendirian, berani
dalam bertindak, dan mandiri. Mereka berpandangan sempit, fanatik, kurang
toleran terhadap perbedaan, tidak terbuka karena kurang berilmu pengetahuan.
Akibatnya rawan akan terjadinya pengelompokan baru. Mereka mudah menuduh kafir
atau musrik terhadap siapa saja yang tidak mengikuti mereka. Kafir atau musyrik
dengan sendirinya halal darahnya untuk dialirkan. Ajaran-ajaran Islam yang
terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist, mereka artikan menurut lafadnya dan harus
dilaksanakan sepenuhnya. Oleh karena itu iman dan paham mereka merupakan iman
dan paham mereka yang sederhana dalam pemikiran. Sikap fanatik ini membuat
mereka tidak mentolerir penyimpangan terhadap ajaran Islam menurut paham
mereka, walaupun hanya penyimpangan dalam bentuk kecil.
Sejarah membuktikan bahwa kaum khawarij ini termasuk
orang-orang yang membenci Imam Ali Ra secara berlebih-lebihan, mereka tidak
hanya memusuhi dan memerangi saja, tetapi
bahkan mengkafir-kafirkannya kemudian berkomplot membunuhnya. Kebencian mereka yang sangat
berlebih-lebihan itu membawa mereka kepada jalan yang tidak benar,
sebagaimana yang dicanangkan oleh sabda Rasulullah SAW, setiap muslim yang
tidak sefaham dengan mereka dipandang sebagai kafir dan mereka halalkan darah
dan harta bendanya.
Pemikiran-pemikiran
dari Khawarij ini nantinya sangat berpengaruh kuat terhadap Abdurrahman bin
Muljam untuk membunuh Sayyidina Ali Ra sebagai khalifah saat itu. Keinginan
Abdurrahman bin Muljam untuk cepat membunuh Sayyidina Ali Ra bahkan semakin
menguat manakala dia bertemu dengan seorang perempuan cantik yang bernama Qitham binti Asy-Syajnah di Kufah (Irak) yang
ternyata juga seorang khawarij sejati. Qitham
binti Asy-Syajnah memberikan beberapa syarat kepada Ibnu Muljam untuk
bisa menikahinya, salah satunya adalah dengan membunuh Khalifah Ali Ra. Syarat
yang diajukan ini justru seperti pucuk dicinta ulam pun tiba. Qitham binti asy-Syajnah memberi syarat
tersebut karena dia dendam kepada Khalifah Ali Ra dan pengikutnya yang telah
banyak membunuh kerabatnya dalam perang Nahrawan. Perang Nahrawan sendiri
adalah perang yang bertujuan untuk
menumpas habis kaum khawarij yang telah memberontak dan selalu melakukan adu
domba dan provokasi setelah adanya Tahkim. Dengan lantang mereka
selalu berkata: “Tidak boleh ada hukum kecuali hukum Allah.”adanya
pemahaman yang sempit ini kemudian dijawab oleh Sayyidina Ali Ra dengan
perkataan: “Perkataan yang benar, tetapi ditujukan untuk kebathilan.”
Pertemuannya
dengan wanita cantik yang berhati kejam semakin menambah semangat Ibnu Muljam
untuk segera menghabisi Khalifah Ali Ra. Semua kesolehannya telah berubah
menjadi sifat iblis, pergaulannya yang salah, ambisinya yang begitu besar, pemahamannya
yang sempit terhadap Islam, serta adanya godaan wanita semakin membuat
Abdurrahman bin Muljam betul-betul menjadi gelap mata, dia lupa kalau dulu
Khalifah Umar bin Khattab pernah memujinya, dia lupa sahabat Amr bin Ash Ra dulu
pernah menjadikanya seorang mulia karena kedekatannya dengan Al-Qur’an. Hilang
semua itu akibat kebodohannya karena bergaul dan berdekat-dekatan dengan kaum
khawarij. Intelektual dan pemikirannya tidak berhasil untuk menolak faham
ini..kesholehannya seolah tidak berdaya menghadapi pemikiran-pemikiran yang
disodorkan oleh kaum khawarij ini.
Sosok yang
dulu rumahnya pernah dekat dengan salah
satu otak pembunuhan Khalifah Ustman bin Affan yang bernama Abdurrahman bin Udais Al-Balawi ini akhirnya
melaksanakan misi jahatnya setelah didesak oleh perempuan impiannya.
Rencana pembunuhan terhadap Sayyidina Ali Ra pada dasarnya merupakan
misi besar dari kaum khawarij. Misi pembunuhan itu tidak saja ditujukan kepada
Imam Ali Ra namun juga kepada Muawiyah bin Abi Sufyan Ra, Gubernur Amr bin Ash Ra
yang dipandang sebagai biang keladi perpecahan ummat. Untuk rencana pembunuhan terhadap Imam Ali Ra
mereka pandang sebagai tindakan pembalasan atas terbunuhnya kawan-kawan mereka di masa lalu.
Untuk melaksanakan pembunuhan terhadap tiga tokoh tersebut maka terpilihlah nama Abdurrahman bin Muljam Al-Muradi
Al-Himyari yang ditugaskan membunuh Imam Ali Ra. Untuk membunuh Muawiyah Ra mereka
menugaskan seorang Bani Tamim bernama Al-Hajjaj bin Abdullah Ash-Sharimy. Sedangkan
untuk membunuh Amr bin Ash Ra mereka menugaskan ‘Amr bin Bakr orang dari Bani
Tamim juga. Mereka menentukan waktu pelaksanaan
rencana tersebut secara serentak, yaitu menjelang tanggal 17 Ramadhan
tahun 40 Hijriah. Selama menunggu waktu yang telah ditentukan mereka tinggal di
Makkah. Selesai berumroh, pada bulan Rajab mereka berpisah, masing-masing
menuju tempat tujuan. Pada waktu yang telah ditentukan ternyata Al-Hajjaj Ash
Sharimy tidak berhasil membunuh Muawiyah Ra karena kebetulan beliau sedang
memakai baju besi sebagaimana kebiasaannya ketika keluar meninggalkan rumah. Ia
hanya luka-luka tapi tidak membahayakan jiwanya. Al Hajjaj kemudian tertangkap
kemudian dibunuh. Untuk Amr bin Bakr, ternyata ia juga gagal membunuh Amr bin
Ash Ra karena ketika itu Amr tidak keluar rumah karena sedang sakit. Untuk
mengimami sholat jamaah Amr bin Ash Ra kemudian menugaskan pengawalnya yang bernama Kharijah bin Huzaifah Al Adwy.
Kharijah inilah yang akhirnya terbunuh. Amr bin Bakr kemudian ditangkap lalu
dibunuh oleh Amr bin Ash Ra.
Bagaimana dengan Abdurrahman bin Muljam ?
Pada malam tanggal 17 Ramadan 40 Hijriah, dibulan yang mulia, rencana
Ibnu Muljan beserta dua orang kawannya
untuk membunuh Khalifah Ali Ra akhirnya dijalankan. Menjelang subuh seperti kebiasaan Khalifah Ali
Ra, beliau selalu membangunkan orang-orang untuk sholat berjamaah. Di jalan
yang biasa Khalifah Ali Ra lalui ini sudah lama mengintai Ibnu Muljam dan dua 2 orang kawannya. Setelah bertemu, Abdurrahman bin Muljam
kemudian menebas tengkuk Khalifah Ali Ra
yang sudah terjatuh setelah sebelumnya
ditebas oleh komplotan Ibnu Muljam.
Darah pun membanjiri tengkuk dari khalifah yang mulia ini. Sambil
menebas tengkuk Khalifah Ali Ra dengan pedang yang sudah diberi racun mematikan,
Abdurrahman bin Muljam berteriak ”TIDAK ADA HUKUM KECUALI MILIK ALLAH, BUKAN
MILIKMU ATAU SAHABAT-SAHABATMU !!!”
setelah mengeluarkan perkataan ini Ibnu Muljam membaca Al-Qur’an “DAN DIANTARA MANUSIA ADA YANG MENJUAL JIWANYA MENCARI KERIDHOAAN
ALLAH DAN ALLAH MAHA LEMBUT KEPADA HAMBA-HAMBANYA…” Khalifah
Ali Ra pun sempat menjawab dan berseru, “KALIAN AKAN MENDAPAT HUKUM ALLAH…”
Perbuatan yang dilakukan oleh Abdurrahman bin Maljan dkk, jelas sangat
menggemparkan para sahabat yang akan melakukan sholat. Anak-anak Khalifah Ali Ra
seperti Sayyidina Hasan ra, Ummu Kalsum RA
sangat marah terhadap sosok yang kini sudah berubah menjadi monster pembunuh.
Betapapun demikian Khalifah Ali walaupun dalam keadaan kritis tetap melarang
anak-anaknya untuk memperlakukan Abdurrahman bin Muljam di luar batas kemanusiaan, Khalifah Ali Ra melarang
anak-anaknya menyiksa sosok pembunuh berdarah dingin itu, bahkan beliau memberi
pesan agar Ibnu Muljam diberi makan dan minum dan ditawan dengan baik. Menurut
beliau Jangankan manusia, kepada anjing liar saja hal tersebut tidak boleh
dilakukan. Perkataan dan nasehat Khalifah Ali Ra ini yang nantinya menyebabkan
Abdurrahman bin Muljam dihukum mati dengan cara yang sesuai dengan syariat Islam.
Ini penting diungkap karena beberapa sumber tulisan menulis Abdurrahman bin
Muljam digambarkan dibunuh dengan dengan cara yang kejam dan tidak manusiawi,
jelas ini sangat bertentangan dengan pesan dan wasiat dari Khalifah Ali Ra. Tidak
mumgkin kekejaman dihadapi dengan kekejaman karena itu bertentangan dengan hukum
Islam juga bertentangan dengan sifat para sahabat. Beberapa tulisan bahkan menyebut
adanya pencungkilan mata, ada pemotongan lidah, ada pemutilasian bahkan ada
pembakaran jasad dirinya. Jelas ini tulisan yang patut dipertanyakan
kebenarannya.
Pada tanggal 21 Ramadan 40 Hijriah Khalifah Ali bin Abi Thalib ra
setelah 3 hari bertahan dengan luka-lukanya terutama di selaput otaknya, akhirnya
sosok yang mulia wafat syahid, maka sejak wafatnya beliau dan juga setelah
penyerahan jabatan khalifah dari Sayyidina Hasan Ra kepada Muawiyah bin Abi
Sufyan Ra berakhirlah sejarah emas sistem pemerintahan Kekhalifahan Nubuwwah
(Khilafah Rasyidah). Sayyidina Ali Ra sendiri setelah wafat dikuburkan di
Najaf, Iraq. Di tempat itulah sampai sekarang bisa kita saksikan sebuah masjid
besar dalam bentuk bangunan yang indah terhias beberapa kubah berlapiskan emas.
Berpuluh-puluh ribu, bahkan mungkin beratus-ratus ribu kaum muslimin, terutama
penganut Syiah setiap tahun datang dan berziarah ke tempat tersebut. Selain
Najaf ada sebagian ada juga yang berpendapat bahwa makam Sayyidina Ali Ra sudah
dipindahkan oleh Al-Husein Ra dan dikebumikan kembali berdampingan dengan istrinya di Baqi’
Madinah.
Bagaimana hukuman mati yang diterima Ibnu Muljam setelah berhasil
membunuh Khalifah Ali Ra yang agung itu ? Benarkah hukuman yang diterima ibnu
Muljam dilakukan dengan cara yang kejam ? Benarkah saat mau dihukum dia masih
percaya diri dan tidak merasa ketakutan ? benarkah dia meminta agar badannya
dimutilasi ? untuk menjawab semua itu dibawah ini akan dijelaskan bagaimana
sebenarnya yang terjadi.
Beberapa waktu setelah kematian Khalifah Ali Ra, Al-Hasan Ra sebagai
putra tertua bersiap-siap melaksanakan hukuman Qishas terhadap pembunuh ayahnya. Akhirnya Ibnu Muljam si pembunuh durjana itu dibawa ke hadapan massa untuk diqishas, Ibnu Muljam
tampak begitu ketakutan, hingga mengiba-iba kepada Al-Hasan Ra.
Ibnu Muljam berkata : “Maukah kamu menerima tawaranku ? Demi Allah,
setiap kali aku bersumpah kepada Allah, aku selalu menepatinya. Dahulu aku
bersumpah kepada kepada-Nya di sisi
Ka’bah, untuk membunuh Ali dan Muawiyah, atau aku yang terbunuh karena itu.
Sekarang, lepaskanlah aku agar aku dapat membunuh Muawiyah. Aku bersumpah
kepadamu, Demi Allah, jika aku tidak berhasil membunuh Muawiyah, atau aku
berhasil membunuhnya dan aku tetap hidup, aku akan kembali menyerahkan diri
kepadamu.”
Mendengar tawaran demikian, Al-Hasan Ra berkata: “Demi Allah, itu tidak akan pernah
terjadi sebelum kamu melihat neraka.” Ibnu Muljam kemudian dibawa ke depan,
lalu Al Hasan Ra pun mengqishasnya.
Dari paparan diatas ini kita menjadi tahu bahwa Ibnu Muljam menjelang
kematiannya, dia sangat ketakutan sekali, dari sini pula kita bisa tahu betapa
bodohnya dia akan pemahaman keagamaan. Betapa sangat salah kaprahnya dia ketika
berani bersumpah “Demi Allah” untuk sebuah kebatilan, dia fikir hukum bisa
dibolak balik dan dipermainkan. Ibnu Muljam masih beruntung hanya diqishas,
mungkin bila dia jatuh ke tangan Persia dan Roma bisa jadi dia akan
diperlakukan dengan sangat sadis. Namun begitulah akhlak Keluarga Nabi. Sesuai
pesan Khalifah Ali Ra, Al Hasan Ra melakukan qishas sesuai dengan syariat
Islam. Artinya sebelum qishas jatuh tidak ada penyiksaan, semua dilakukan
dengan cepat hingga akhirnya Ibnu Muljam mati dalam hina dihadapan Ummat Islam.
Setelah dihukum mati dengan cara qishos dengan cara dipenggal kepala, tidak
diketahui dimana manusia paling celaka ini dimakamkan. Namun berdasarkan
catatan Ibnu Batutah dalam rihlahnya, makam Ibnu Muljam ternyata tidak jauh
dari pemakaman keluarga Khalifah Ali Ra. Menurut beliau makam Ibnu Muljam
berada di sebelah barat pemakaman Kufah. Makam Ibnu Muljam berbentuk sebuah
bangunan hitam legam diatas tanah putih. Makam “Si Manusia Celaka” ini setiap
tahun didatangi penduduk Kufah. Mereka membawa kayu dan membakarnya di atas makam itu selama 7 hari. Di dekat
makam Ibnu Muljam terdapat pula makam Al-Mukhtar bin Abu Ubaid Bin
Mas’ud Ats- Tsaqafi.
Dari pelajaran diatas kita dapat simpulkan kenapa seorang Ibnu Muljam
yang hidup di masa para sahabat bisa berubah menjadi orang yang jahat
dikarenakan beberapa factor, yaitu :
1. Ibnu Muljam bukan produk didikan Rasulullah SAW karena dia hadir pada masa
Khalifah Umar bin Khattab, sehingga kualitas keimanannya pun tidak bisa
disamakan dengan para sahabat, sekalipun para sahabat ada yang bertentangan dalam
beberapa persoalan, namun semua itu bisa diselesaikan dengan cara yang baik,
sedangkan ibnu muljam dengan cara kekerasan.
2. Ibnu Muljam adalah gambaran seorang yang berwawasan sempit padahal dia
berada di lingkungan orang-orang yang terbaik.
3. Ibnu Muljam hanya mampu menjadi manusia yang sholeh buat dirinya sendiri
namun tidak mampu untuk membuat sholeh orang lain.
4. Ibnu Muljam telah memasuki pergaulan yang salah ketika dia
berdekat-dekatan dengan kaum khawarij.
5. Ibnu Muljam adalah sosok yang lebih mengedepankan dunia ketimbang
akhirat, ini terbukti ketika dia mau melakukan pembunuhan terhadap Khalifah Ali
berkat rayuan seorang wanita.
6. Ibnu Muljam adalah tipikal manusia yang berfikir leterleks (kaku) bukan
kontekstual.
7. Ibnu Muljam tipikal manusia egois yang sulit menerima pendapat dari
orang lain.
8. bnu Muljam seorang merasa “berilmu”
tapi mati terbunuh oleh kebodohannya sendiri, ilmunya tidak bermanfaat bagi
dirinya (karena tidak diamalkan).
9. Ibnu Muljam sekalipun memiliki nama yang indah (Abdurrahman) namun
ternyata nama itu tidak mampu menjadikannya manusia yang berguna.
10.
Ibnu Muljam bukanlah penghafal Al-Qur’an seperti halnya para sahabat
Nabi, yang selain hafal mereka juga bisa mempraktekkan dalam kehidupan
sehari-hari, Ibnu Muljam mungkin bisa mengajar Al-Qur’an namun untuk memahami
maknanya secara lebih luas nampaknya dia tidak mampu. Sekalipun kalau memang
benar dia katanya hafal Al-quran, hafalan yang dia miliki hanya bisa sampai
kepada kerongkongan saja, dan tidak sampai kepada akal dan hatinya untuk
diamalkan dalam kehidupan nyata. Kami pribadi sendiri masih ragu apakah Ibnu Muljam
ini seorang penghafal Qur’an mengingat pada masa itu hanya terjadi pada dirinya
saja, bila dibandingkan dengan para penghafal Alquran lainnya.. Bagaimana
mungkin, bukankah Al-Qur’an merupakan bagian “Cahaya Allah” ? tidak mungkin “cahaya”
itu menyebabkan seorang menjadi pembunuh. Seorang penghafal Al-Quran sejati
akan selalu Allah jaga baik perkataan atau perbuatannya.
Wallahu A’lam Bisshowwab…
Daftar Pustaka :
Abu Ja‟far Muhammad. Tarikh Ath-Thabari Jilid 3. Terj. Abu
Ziad Muhammad Dhiaul-Haq dan Abdul Syukur Abdul Razak. Jakarta : Pustaka Azam,
2011.
Hairul Puadi, Radikalisme Islam: Studi Doktrin Khawarij,
Jurnal Pusaka LP3M IAI Al-Qolam, 2016.
HMH Al Hamid Al Husaini. Imamul Muhtadin Sayyidina Ali bin
ABi Thalib Ra, Jakarta : Pustaka Hidayah, 1989.
Mustafa Murad. Kisah Hidup Ali bin Abu Thalib, Jakarta :
Zaman, cet VII tahun 2016.
Sukring. Ideologi, Keyakinan, Doktrin Dan Bid’ah Khawarij:
Kajian Teologi Khawarij Zaman Modern, Jurnal Theologia — Volume 27, Nomor 2,
Desember 2016.
Syekh Hasan Al-Husaini (Ulama Ahlul Bait. Hasan-Husein The
Untold Stories, Jakarta : Pustaka Imam Asy-Syafii, 2013.
Kamis, 03 September 2020
SIAPA YANG MEMBUNUH AL HASAN BIN ALI RA ? CUCU NABI YANG TELAH MENGGENAPKAN MASA KHILAFAH NUBUWWAH/KHILAFAH RASYIDAH
(Seri Sejarah Keluarga Nabi)