Pasca dibakarnya Keraton Jayakarta (lokasi keraton tidak jauh dari pelabuhan Sunda Kelapa), maka kehidupan masyarakat Jayakarta otomatis berubah. Masyarakat Jayakarta yang tadinya lebih banyak hidup dalam tradisi perairan atau pesisir, terpaksa mau tidak mau sebagian besar harus menjadi kehidupan agraris.
Terbakarnya Keraton Jayakarta dalam sejarahnya sering diklaim karena lemahnya pertahanan Jayakarta bahkan dibumbui dengan cerita-cerita yang konyol dan tidak masuk akal atau mitos.Disisi lain sejarah sering menulis jika Keraton Jayakarta itu dibakar oleh VOC dan antek-anteknya, padahal Keraton Jayakarta dibakar oleh Pejuang Jayakarta sendiri, hal ini terpaksa dilakukan untuk mengelabui dan memudahkan evakuasi penduduk Jayakarta keluar wilayah Keraton, terutama anak-anak, wanita dan orangtua. Karena Keraton dan bangunan lain berasal dari Kayu sudah tentu sangat mudah terbakar. Tentu dibakarnya keraton Jayakarta adalah merupakan strategi perang yang dilakukan mujahidin Jayakarta saat itu.
Jatuhnya pusat pemerintahan Jayakarta yang digambarkan dalam Keraton Jayakarta sebenarnya jika dilihat dari satu sisi merupakan musibah dan merupakan malapetaka kaum muslimin, karena di wilayah sekitar Keraton banyak terdapat pusat-pusat kegiatan Islam, seperti masjid, majelis ilmu dan fasilitas lainnya. Tapi disisi lain, dengan terbakarnya Keraton Jayakarta menjadikan penyebaran penduduk Jayakarta menjadi lebih merata sehingga penyebaran Islam jadi lebih menyeluruh. Selama ini memang penyebaran Islam masih terpusat di benteng Jayakarta, sehingga perhatian para pemimpin Jayakarta di pedalaman wilayah Jayakarta masih terbatas.
Sekalipun wilayah vital Jayakarta telah diambil oleh VOC yang dipimpin oleh Jan Pieterzoon Coen, bukan berarti kehidupan masyakarat Jayakarta runtuh total, justru ketika wilayah pusat Jayakarta itu menjadi kendali VOC, para pemimpin Jayakarta, Mujahidin dan ulamanya bersatu padu melakukan perlawanan dengan cara gerilya. VOC sendiri sering menyebut kalau gerakan Mujahidin Jayakarta ini.sebagai perampok.
Hijrahnya penduduk Jayakarta keberbagai wilayah Jayakarta lainnya, menyebabkan banyak terjadi perubahan.Yang jelas jalur komunikasi mereka jadi lebih terbatas.Namun demikian ada satu hal yang tidak banyak berubah, yaitu pemakaian bahasa.
Pada masa berkembangnya penduduk Jayakarta hingga kemudian hijrah ke berbagai wilayah, bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah bahasa Melayu Kejawen.Bahasa Melayu Kejawen adalah bahasa Melayu yang bercampur dengan bahasa Jawa.Jangan salah faham dulu, bahwa Kejawen disini bukanlah faham Kebatinan yang selama ini kita ketahui. Kejawen disini untuk menegaskan bahwa ada pengaruh yang kuat dalam pemakaian tata bahasa di Jayakarta dari unsur –unsur Bahasa Jawa, sedangkan bahasa yang selalu digunakan sehari-hari pada masa negeri Jayakarta berdiri, kemudian juga setelah era 1619 Masehi adalah Bahasa Melayu (terutama mereka yang tidak pernah mau tunduk pada pemerintahan Penjajah VOC, Penjajah Inggris, Penjajah Belanda).
Kita tidak perlu heran adanya hal ini, karena dahulunya memang Jayakarta adalah wilayah yang dikuasai Kesultanan Demak yang berpusat di Demak (kini menjadi wilayah Jawa Tengah).Kesultanan Demak dibawah pimpinan Sultan Trenggono banyak mengirim ulama, bangsawan, tokoh penting dan sebagian mujahidin Demak untuk bersatu dalam membangun Jayakarta menjadi Wilayah Islam.Bahkan Sultan Trenggono berharap Jayakarta ini akan menggantikan Demak jika nanti Kesultanan Demak Runtuh. Sehingga pada saat Sultan Trenggono akhirnya mengutus salah satu tokoh yang nantinya menentukan berdirinya sejarah Jayakarta, salah satu yang diutus adalah Fattahillah. Masuknya Fattahillah telah menyebabkan banyaknya pengaruh budaya Jawa dan Melayu dinegeri ini, terutama dalam pemakaian bahasa.
Fattahillah adalah tokoh besar lintas wilayah, di Malaka dia diakui kebesaranya, di Aceh namanya disebut sebut, di Palembang namanya sama harum dengan tokoh besar Kesultanan Palembang, di Lampung dia juga menjadi tokoh yang dikagumi, di Banten namanya sangat karismatik di Cirebon bahkan menjadi tokoh penting dalam pemerintahan, sehingga tidak heran jika dialah salah satu tokoh yang paling banyak mewarnai sejarah Jayakarta.
Penyebaran masyarakat Jayakarta, setelah era tahun 1619 Masehi yang tercatat dalam kitab Al Fatawi sebagiannya terdapat diwilayah Jelambar, Pekojan, Cengkareng, Palmerah, Slipi, Tangerang, Depok, Pondok Gede dan sekitarnya, Jatinegara Kaum, Tanah Tinggi Kayu Putih, Kampung Benda, Bekasi (seperti misalnya Cibarusah), Bogor, Karawang. Perlu diketahui bahwa wilayah Jayakarta itu justru pada masa Fattahillah hingga pada masa pemimpin Jayakarta era gerakan bawah tanah justru lebih besar dari wilayah sekarang, karena wilayah seperti Tangerang, Bekasi, Karawang, menjadi wilayah Jayakarta. Sebenarnya pada masa lalu wilayah Jakarta Selatan seperti Lebak Bulus, Pondok Labu, Cinere, Gandul, Mampang Prapatan, Tegal Parang, Kuningan juga masuk kategori tersebut terutama dalam penggunaan bahasa Melayu Kejawen, namun siiring daerah-daerah tersebut menjadi wilayah modern, maka lama kelamaan terkikislah bahasa Melayu Kejawennya. Namun untuk daerah Pamulang, Gunung Sindur, Pondok Cabe masih kami dengar gaya bahasa Melayu Kejawen ini.
Para pemimpin Jayakarta yang hijrah ke wilayah tersebut banyak membentuk pasukan perlawanan untuk menghadapi penjajah.Mereka banyak yang menyamar jadi petani, mereka banyak yang berbaur dengan rakyat tanpa menunjukkan diri kalau mereka itu bangsawan. Bahasa yang digunakan sehari-hari juga sama dengan masyarakat Jayakarta pada masa itu, terutama daerah yang telah kami sebut itu.Gaya Pesisirnya penduduk Jayakarta betul-betul “hijrah” menjadi bahasa pedalaman.
Bahasa Melayu Kejawen tentu merupakan sebuah fakta unik dalam sejarah Jayakarta.Kami sendiri telah membuktikan keunikan tersebut. Pada tahun 2002 pada saat terjadi banjir besar wilayah Jakarta dan sekitarnya, kami dan beberapa teman mendapat tugas dari organisasi yang menaungi kami yaitu Wanadri (Organisasi Perhimpunan Penempuh Rimba Dan Pendaki Gunung) untuk mendata peta wilayah musibah banjir, kebetulan kami tertarik untuk mendata wilayah Bekasi dan . Saat itu kami mencoba peta wilayah Bekasi Utara.Wilayah Bekasi Utara yang kami datangi yaitu Wilayah Taruma Jaya, Babelan, Cabang Bungin, Ujung Harapan (wilayah ulama Karismatik bekasi, KH NOER ALI), Gabus, Muara Gembong dan sekitarnya.Dan sampai di daerah-daerah ini kami merasa terkejut ketika mendengar dialek mereka dalam berbahasa Jakarta.Sangat jelas jika unsur bahasa yang mereka gunakan, telah banyak mendapat serapan dari unsur melayu dan Jawa. Ketika kami menanyakan pada beberapa orang ibu berapa umurnya, beliau jawab, “Tebak Bae”, jawaban ini jelas membuat kami tersenyum, karena diucapkan dengan gaya lepas dan khas rakyat banget, kami juga berapa kali mendengar kata yang sering digunakan sepertiDewek, Ora, Sirah, Bagen, Bocah, Banyu, Katong, Puguh, Meneng, Iwak, Wadon, Munggah, Lanang, Kulon, Wetan, dan masih banyak lagi yang lainnya. Bahasa-bahasa seperti ini kami juga pernah dengar di daerah-daerah yang kami sebut diatas. Pada tahun 1993 – 1999 kami sering sekali berkunjung ke daerah Cengkareng dan sekitarnya dan bahasanya hampir sama. Bahkan di Tangerang yang berbatasan dengan Jakarta seperti daerah Gondrong, Petir, Jombang ataupun sekitarnya sampai saat ini masih kami temukan.
Bahasa Melayu Kejawen memang terdengar seperti kasar, apalagi jika diucapkan secara lepas dan lantang, (anda tentu ingat masih gaya intonasinyaMpok Nori, Bokir, Nasir, Malih, Nirin Kumpul, Bolot, Mandra dan dari daerah “pinggiran” lainnya bukan ?) sehingga terkadang sering menciptakan stereotif yang salah pada pemakainya, terutama kepada mereka yang tinggal diperkotaan pada pemerintahan masa lalu, yang diantaranya para pejabat pemerintahan Belanda dan juga Golongan “Batavieren”. Sedangkan para ulamanya, pejuangnya, dan masyarakatnya yang religius justru bisa saling memahami bahkan akrab, misalnya orang Kwitang dengan orang Kayu Putih Tanah Tinggi atau sama orang Bekasi, Orang Cengkareng sama orang Kenari Jakarta Pusat, Orang Mester (Jatinegara, Kampung Melayu) sama Orang Bekasi. Orang Mester sama orang Pekojan, Orang Rawa Belong sama Orang Tenabang, Orang Palmerah sama Orang Jelambar, Orang Kemandoran sama Orang Tenabang, Orang Jatinegara Kaum dengan Orang Mangga Dua dan masih banyak lagi lainnya. Kita harus tahu bahwa daerah Jakarta dulu tidak seperti sekarang, yang sering disebut adalah wilayah lokal, kecuali wilayah-wilayah vital Penjajah Belanda, seperti Daerah Medan Merdeka, Sao Besar, Senen, Mester, dan beberapa lainnya. Sikap egaliter pada masa itu cukup kuat, sesama orang Jayakarta, tidak ada itu yang namanya bentrok sesame rakyat Jayakarta, karena mereka itu telah disatukan dengan agama mereka yaitu Islam. Tidak ada sejarahnya Orang Tenabang berkelahi dengan Orang Cengkareng, tidak ada Orang Senen berkelahi dengan Orang Bekasi, yang ada Orang Rawa Belong atau Cengkareng berkelahi melawan tukang pukul para tuan tanah lintah darat, dan jongosnya kumpeni untuk melindungi rakyat. Kalau ada sesama rakyat Jayakarta berkelahi, apalagi sama-sama Islam, jelas itu sangat memalukan.Semua rakyat Jayakarta pada masa itu saling menghormati dan saling bersilaturahim, fatwa ulama lebih mereka patuhi, omongan tokoh sangat mereka hormati.
Pada pusat pemerintahan penjajah yang berpusat di Batavia, dibandingkan dengan bahasa Melayu Kejawen yang banyak digunakan diwilayah “pinggiran”, bahasa yang berkembang di Pusat pemerintahan Belanda memang lebih banyak dipengaruhi serapan bahasa dari berbagai etnis, seperti China, Arab, Belanda, dan etnis-etnis Nusantara lain apalagi memang pada masa itu Batavia telah dijadikan pusat pemerintah dan daerah perekomian yang cukup menjanjikan sehingga telah mengundang banyak fihak dari luar negeri.
Pada masa itu stereotif yang muncul pada orang-orang menggunakan bahasa Melayu Kejawen tersebut terutama yang berada di “pedalaman”, seolah kampungan dan masuk masyarakat “kelas bawah”, oleh Penjajah dan “golongan Batavierennya”. Padahal dari daerah yang katanya “kampungan” bahkan katanya “terbelakang” ini telah lahir Para Pejuang Jayakarta yang militan, seperti Pendekar Pituan Pitulung (Pitung), KH Noer Ali, Syekh Abdul Ghoni, KH Ahmad Syar’i Mertakusuma, Dedengkot Pemberontakan Ki Dalang, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Sejatinya mereka yang tinggal di daerah “pinggiran” justru banyak terdapat Mujahidin Jayakarta yang selalu siap sedia jika diperintahkan oleh ulama atau tokoh yang mereka hormati untuk berperang melawan penjajah kafir dan juga para begundalnya, tidak ada kata toleransi, kerjasama dan damai dengan penjajah, sekali penjajah tetap penjajah. Loyalitas dan kepatuhan mereka kepada tokoh adat, tokoh masyarakat, pejabat dan ulama sangatlah tinggi, dan itu sampai sekarang masih bertahan terutama daerah-daerah yang kami sebut diatas.Sekalipun memang tidak banyak, daerah “pinggiran” yang menggunakan bahasa Melayu Kejawen sampai sekarang ternyata masih terus bertahan, bahkan pada masa lalu sering bahasa ini dijadikan sebagai media perlawanan terhadap penjajah kafir dengan adanya kiprah para DALANG WAYANG KULIT dan adanya PERTUNJUKAN-PERTUNJUKAN LENONG. Bahasa yang digunakan para Dalang itu adalah bahasa Melayu Kejawen kerakyatan yang didalamnya banyak sindiran-sindiran Kepada “Penjajah Kumpeni Kafir”, “Para Tuan Tanah Lintah Darat”, “Centeng-Centeng” yang jadi jongosnya Kumpeni. Kelihatannya memang lucu dan rendahan, tapi bagi para masyarakat yang mengerti siapa “dalang” nya, dan siapa yang “mempertunjukan” lenong itu, jelas itu merupakan bentuk sebuah perlawanan terhadap penjajah kafir atas kezaliman mereka. Tema tidak akan jauh dari “MAJIKAN”, “JONGOS”, “AJARAN AGAMA”, “SEMANGAT PERJUANGAN” dan tema-tema “pemberontakan”. Adanya pertunjukan Wayang Kulit yang dilakukan seperti ini bukanlah hal yang aneh dalam sejarah Jayakarta, karena wayang kulit yang dimainkan memang mendapat pengaruh dari Walisongo, terutama pada penyiaran Islam, dan ini juga dilakukan oleh para Dalang-Dalang dari Jayakarta, terutama untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah kafir.
Bahasa Melayu Kejawen yang kadang sering disebut bahasa “Betawi Ora” (ada yang mengatakan Ora Betawi) sampai saat ini masih bertahan, anda yang ingin mengetahui silahkan kunjungi kehidupan masyarakat yang ada di perbatasan kota Jakarta seperti perbatasan Tangerang dan Bekasi, Depok, dan lain sebagainya jika anda menemukannya, itulah bahasa yang pernah digunakan oleh masyarakat Jayakarta yang sejak berdiri tahun 1527 Masehi, kemudian hijrah besar-besaran ditahun 1619 Masehi, hingga sampai sekarang ini, dan bahasa ini juga banyak kami temukan dalam kitab Al Fatawi, sehingga terkadang sering membingungkan kami dalam membacanya, karena antara Melayu dan Jawa saling berkolaborasi….
Bahasa Melayu Kejawen jelas merupakan salah satu kekayaan sejarah Jayakarta yang dahulunya merupakan wilayah Islam yang berperadaban…….
Wallahu A’lam Bisshowab…..
Sumber :
Iwan Mahmud Al Fattah, Fattahillah Mujahid Agung Pendiri Kota Jayakarta, Jakarta : Madawis & Ikrafa, Jakarta, 2014.
KH Ahmad Syar’i Mertakusuma, Kitab Al-Fatawi (Babul Tarikh Jayakarta), Jayakarta-Palembang : Majelis Adat Jayakarta Al Fatawi, 1910.
Wawancara :
Bang Yu, (Yusuf bin Gunawan bin Semaun bin KH Ahmad Syar’i bin Abdul Wahab bin Bahsan Mertakusuma), Sejarah Jayakarta, 17 Agustus 2015 di kediaman keluarga besar beliau Joglo Jakarta Barat.
Biografi Yusuf Mertakusuma :
Yusuf Mertakusuma atau panggilan akrabnya Bang Yu adalah penulis sejarah Jayakarta dan merupakan seniman asli keturunan Jayakarta. Dalam beberapa tahun ini beliau bermukim di Bandung Jawa Barat, namun kepeduliannya akan sejarah Jayakarta tidak pernah luntur. Sejak tahun 1968 M beliau bersama ayahnya (Babe Gunawan Mertakusuma) konsen pada pelestarian sejarah Jayakarta melanjutkan perjuangan Al-Allamah KH Ahmad Syar’i Mertakusuma yang merupakan penulis sejarah asli Jayakarta. Sampai pada tahun 1999 Bang Yu bersama ayahnya terus menerus berusaha meluruskan sejarah Jayakarta. Bang Yu lah yang banyak mendokumentasikan sejarah Jayakarta. Penulisan Sejarah Jayakarta yang mereka lakukan berdasarkan catatan turun-temurun yang dipegang oleh para keturunan Mujahidin Jayakarta. Ayahnya Babe Gunawan juga aktif menulis di beberapa harian surat kabar seperti Sinar Pagi terutama mengenai sejarah Jayakarta. Babenya Bang Yu ini juga secara silsilah berkerabat dekat dengan keluarga Firman Muntaco (Penulis Betawi) , MH Husni Thamrin, Syekh Abdul Ghoni, Guru Mansur, Rano Karno (Gubernur Banten) serta beberapa tokoh Jakarta lainnya. kakeknya Bang Yu yang bernama Engkong Semaun juga merupakan penulis sejarah Jakarta dan merupakan Kepala Redaksi Koran Bintang Timur pada masa Penjajahan. Kakeknya Bang Yu lulusan Mulo dan memiliki kemampuan Bahasa Inggris, Belanda, Belgia, Arab. Salah satu karya Bang Yu adalah Si Manis Jembatan Ancol (Versi Asli Jayakarta), sampai saat ini karya tersebut belum ada yang menerbitkan karena berbagai alasan, sedangkan saat ini Bang Yu sedang menyelesaikan buku sejarah Pangeran Kertadria (Pangeran Pecah Kulit). Karya-karya lain Bang Yu adalah lukisan-lukisan tentang Jakarta dan beberapa syair lagu, termasuk lagu Rampak Si Pitung. Perjuangan Bang Yu dan babenya dalam mensosialisasikan sejarah Jayakarta tidaklah mudah, terutama dalam menghadapi sejarawan yang berkiblat pada penulisan sejarah versi penjajah. Namun demikian perjuangan Bang Yu tidaklah mengenal lelah, secara rutin beliau selalu melakukan komunikasi dengan beberapa orang yang peduli terhadap sejarah terutama dalam melestarikan sejarah Jayakarta yang merupakan negeri Islam ini... Semoga perjuangan Bang Yu dan keluarga besarnya tetap selalu istiqomah..